Atsar Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahumallah tentang Bid’ah


Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
حدثنا أحمد بن عمر بن أنس نا الحسين بن يعقوب نا سعيد بن فحلون نا يوسف بن يحيى المغامي نا عبد الملك بن حبيب أخبرني بن الماجشون أنه قال قال مالك بن أنس من أحدث في هذه الأمة اليوم شيئا لم يكن عليه سلفها فقد زعم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خان الرسالة لأن الله تعالى يقول {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} فما لم يكن يومئذ دينا لا يكون اليوم دينا

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Umar bin Anas : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain bin Ya’quub : Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid bin Fahluun : Telah mengkhabarkan kepada kami Yuusuf bin Yahyaa Al-Maghaamiy : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Habiib : Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnul-Maajisyuun, ia berkata : Telah berkata Maalik bin Anas : “Barangsiapa yang mengada-adakan pada umat ini sesuatu yang tidak ada pendahulunya (dari kalangan salaf) pada hari ini, sungguh ia telah menuduh Rasulullah mengkhianati risalah, karena Allah ta’ala berfirman : ‘Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’ (QS. Al-Maaidah : 3). Apa saja yang bukan perkara agama pada waktu itu (yaitu jaman Nabi dan para shahabat), maka bukan pula perkara agama pada hari ini” [Al-Ihkaam fii Ushuulil-Ahkaam, 6/225 & 791].
Keterangan para perawinya adalah sebagai berikut:
1.    Ahmad bin ‘Umar bin Anas
Adz-Dzahabiy rahimahullah menyebut tentang dirinya : “Ibnu Dalhaats, al-imaam, al-haafidh, al-muhaddits, at-tsiqah, Abul-‘Abbaas Ahmad bin ‘Umar bin Anas bin Dalhaats bin Anas bin Faldzaan bin ‘Umar bin Muniin Al-‘Udzriy Al-Andalusiy”. Lahir tahun 393 H dan wafat tahun 478 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 18/567 no. 296].
2.    Al-Husain bin Ya’quub
Adz-Dzahabiy rahimahullah menyebut tentang dirinya : “Asy-syaikh, al-faqiih, al-mu’ammar (berumur panjang), Abu ‘Aliy Al-Husain bin ‘Abdillah bin Al-Husain bin Ya’quub Al-Andalusiy Al-Bajaaniy Al-Maalikiy”. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Khaulaaniy berkata : “Ia mencari ilmu semenjak awal, banyak mendengar/menerima hadits, termasuk dari kalangan ulama, panjang umurnya, dijadikan hujjah…”. Lahir tahun 320 H dan wafat tahun 421 H [idem, 17/377-378 no. 238].
3.    Sa’iid bin Fahluun
Adz-Dzahabiy rahimahullah menyebut tentang dirinya : “Asy-syaikh, ats-tsiqah, al-imaam, Abu ‘Utsmaan Sa’iid bin Fahluun Al-Andalusiy Al-Ilbiiriy… Seorang yang shaduuq, jarang rambutnya. Wafat tahun 346 H” [idem, 16/51 no. 37].
4.    Yuusuf bin Yahyaa Al-Maghaamiy
Adz-Dzahabiy rahimahullah menyebut tentang dirinya : “Al-‘allaamah, al-muftiy, Syaikhul-Maalikiyyah (pembesar ulama kalangan Maalikiyyah), Abu ‘Amru Yuusuf bin Yahyaa Al-Azdiy Al-Andalusiy Al-Qurthubiy Al-Maalikiy, dikenal dengan nama Al-Maghaamiy… Penghulu dalam bidang fiqh tak ada bandingnya, ahli bahasa Arab lagi fasih…. Muhammad Al-Qiiruwaaniy berkata : ‘Abu ‘Umar Al-Maghaamiy seorang yang tsiqah lagi imam, menghimpun beberapa cabang keahlian ilmu, ‘aalim dalam hal pembelaan terhadap madzhab penduduk Hijaaz, faqih….. Wafat tahun 288 H” [idem, 13/336-337 no. 155].
5.    ‘Abdul-Malik bin Habiib
Para ulama berbeda pendapat tentang dirinya.
Adz-Dzahabiy rahimahullah menyebut tentang dirinya : “Al-imaam, al-‘allaamah, seorang faqih negeri Andalus, Abu Marwaan ‘Abdul-Malik bin Habiib bin Sulaimaan bin Haaruun bin Jaahimah bin ‘Abbaas bin Mirdaas As-Sulamiy Al-‘Abbaasiy Al-Andalusiy Al-Qurthubiy Al-Maalikiy” [idem, 12/102 no. 32].
Ibnu Wadldlah dan Baqiy bin Makhlad telah meriwayatkan dimana diketahui bahwa keduanya tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang tsiqah menurut mereka [Liisaanul-Miizaan 5/285 dan Tahdziibut-Tahdziib, 6/390].[1]
Ketika sampai berita kematiannya kepada Suhnuun, maka ia (Suhnuun) berkata : “Telah meninggal seorang ‘aalim negeri Andalus. Bahkan – demi Allah - seorang ‘aalim dunia”. Muhammad bin ‘Umar bin Lubaabah berkata : “Ibnu Habiib seorang ‘aalim negeri Andalus…”. ‘Utbiy berkata : “Aku tidak mengetahui seorangpun yang menulis madzhab penduduk Madiinah seperti dirinya. Ia memiliki banyak tulisan/karya seperti Al-Waadlihah, Al-Jawaami’, Fadlaailush-Shahaabah, Ar-Raghaaib, dan lainnya”.
Ibnul-Qaradliy berkata : “Mempunyai kunyah Abu Marwaan. Ia seorang yang haafidh dalam bidang fiqh, namun ia tidak mengetahui ilmu hadits serta tidak mengenal hadits yang shahih maupun yang dla’if”. Di lain tempat ia berkata : “Ia seorang yang faqih, ahli nahwu, penyair, ahli ‘aruudl, ahli nasab, panjang lisannya (jelek lisannya), dan pemimpin dalam cabang-cabang keilmuan”.
Ibnul-Qaththaan berkata : “Seorang mutahaqqiq dalam menjaga madzhab Maalik, menolongnya, dan membelanya. Ia menjumpai para pembesar dari kalangan murid-murid Maalik bin Anas”.
Ibnu Hazm berkata : “Tidak tsiqah (ada beberapa hadits ‘Abdul-Malik yang diingkari oleh Ibnu Hazm)”. Ibnu Sayyidin-Naas menjelaskan kelemahan ‘Abdul-Malik bin Habiib bahwasannya ia seorang shahafiy (sering salah dalam penulisan hadits)[2]. Ia kemudian berkata : “Dirinya dilemahkan lebih dari seorang ulama, dan sebagiannya menuduhnya melakukan kedustaan”. Terkait dengan sifat ‘shahafiy’, Adz-Dzahabiy berkomentar : ‘Tidak diragukan dirinya seorang shahafiy. Adapun (kemungkinan) unsur kesengajaan, maka tidak”.
Ad-Daaraquthniy mendla’ifkan dirinya dalam Gharaaibu Maalik. ‘Iyaadl dalam Al-Madaarik menyebutkan bahwa ‘Abdul-A’laa bin Wahb mendustakannya atas apa yang ia riwayatkan dari Ashbagh dan yang lainnya. Al-Baajiy mengatakan bahwa Ibnu ‘Abdil-Barr mendustakannya. Ibnu ‘Abdil-Barr menyebutkan riwayat ‘Abdul-Maalik dari Asad bin Muusaa yang diingkarinya.
Para ulama menuduhnya dalam hal penyimakan haditsnya dari Asad bin Muusaa, dan ia (‘Abdul-Maalik) mengklaim periwayatannya itu dengan ijazah. Ahmad bin Sa’iid Ash-Shadafiy berkata : “Ia dicerca karena membolehkan mengambil periwayatan dengan munaawalah tanpa adanya perjumpaan/pertemuan.
Dikatakan bahwa Ibnu Abi Maryam pernah menjumpai dirinya dan mendapatkan di sisinya kitab-kitab Asad dalam jumlah banyak. Maka Ibnu Abi Maryam berkata kepadanya : “Kapan engkau mendengar riwayat itu (darinya)?”. ‘Abdul-Malik bin Habiib berkata : “Shahabatnya telah mengijazahkannya kepadaku”. Maka Ibnu Abi Maryam mendatangi Asad dan bertanya kepadanya tentang hal tersebut, lalu Asad menjawab : “Aku tidak melihat adanya qira’ah (darinya), lantas bagaimana aku mengijazahkannya ?. Dirinya hanyalah mengambil kitab-kitabku untuk kemudian menulisnya (ulang)”. Namun Ahmad bin Khaalid mengomentari bahwa penetapan Asad baginya dengan hal tersebut merupakan bentuk ijazah itu sendiri.
Wafat tahun 238 H/239 H pada usia 53/56 tahun.
[selengkapnya : Lisaanul-Miizaan 5/255-259 no. 4901 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 12/102-107 no. 32].
Tarjiih :
Dirinya lemah dalam hadits, karena terbukti ada pengingkaran para ulama dalam hadits-hadits yang diriwayatkannya. Ia memang bukan ahli dalam bidang hadits, namun tidak benar jika dinisbatkan kepadanya kedustaan. Ibnu Wadldlah dan Baqiy bin Makhlad yang notabene adalah dua orang ulama besar negeri Andalus – satu negeri dengan ‘Abdul-Malik – meriwayatkan darinya, dan tidak mungkin mereka meriwayatkan dari seorang pendusta.
Meski demikian, 'Abdul-Malik bin Habiib adalah pembesar/imam madzhab Maalikiyyah generasi awal. Di sini ia meriwayatkan ilmu madzhabnya dari Maalik bin Anas melalui perantaraan Ibnu-Maajisyuun (akan dituliskan keterangan ringkas tentangnya di bawah). ‘Abdul-Maalik bertemu dengan pembesar dari kalangan murid Maalik bin Anas, diantaranya Ibnul-Maajisyuun. Periwayatannya dalam madzhab Maalik terpercaya dan diterima para ulama. Sebagai bukti, kitabnya yang berjudul Al-Waadlihah merupakan kitab utama dalam madzhab Maalikiyyah selain Al-Mudawwanah.
Oleh karena itu, dirinya tsiqah dalam periwayatan ucapan Maalik (melalui perantara Ibnul-Maajisyuun).
6.    Ibnul-Maajisyuun
Sama seperti ‘Abdul-Malik bin Habiib, dirinya mendapat sedikit kritikan dalam hadits, namun terpercaya dalam periwayatan fiqh Maalik bin Anas.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “’Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Abi Salamah Al-Maajisyuun, Abu Marwaan Al-Madaniy, al-faqiih, mufti kota Madiinah. Seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa kekeliruan dalam hadits” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 624-625 no. 4223].
Adz-Dzahabiy rahimahullah menyebut tentang dirinya : “Al-‘allaamah, al-faqiih, mufti kota Madiinah, Abu Marwaan ‘Abdul-Malik bin Al-Imaam ‘Abdil-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Abi Salamah bin Al-Maajisyuun At-Taimiy maulaahum Al-Madaniy Al-Maalikiy. Murid Al-Imaam Maalik (bin Anas)”.
Ibnu ‘Abdil-Barr berkata : “Ia seorang yang faqih lagi fasiih. Fatwa berpusat pada dirinya di jamannya, dan ayahnya sebelum dirinya. Ia seorang yang buta”.
Abu Daawud berkata : “Ia tidak paham tentang hadits, yaitu bukan ahlinya, namun ia seorang terpercaya untuk dirinya sendiri”
Wafat tahun 213 H/214 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/359-360 no. 92].
Kesimpulan : Sanad atsar Maalik bin Anas rahimahumallah adalah shahih.
Ini adalah madzhab Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahumallah dalam menyikapi perkara baru dalam agama yang diada-adakan oleh (sebagian) manusia belakangan. Oleh karenanya, Ibnu Wadldlah Al-Andalusiy rahimahullah berkata:
وَقَدْ كَانَ مَالِكٌ يَكْرَهُ كُلَّ بِدْعَةٍ، وَإِنْ كَانَتْ فِي خَيْرٍ
“Dan sungguh Maalik (bin Anas) membenci semua bid’ah meskipun bid’ah tersebut dalam kebaikan” [Al-Bida’ wan-Nahyu ‘anhaa, hal. 81].
Maalik bin Anas rahimahullah sangat besar wara’-nya untuk tidak menyelisihi sunnah Rasulullah dengan pendapat pribadinya.
عَنْ عُثْمَان بْن عُمَرَ، : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى مَالِكٍ فَسَأَلَهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ، فَقَالَ لَهُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ الرَّجُلُ: أَرَأَيْتَ؟ فَقَالَ مَالِكٌ: فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ "
Dari ‘Utsmaan bin ‘Umar : Datang seorang laki-laki kepada Maalik (bin Anas) untuk bertanya kepadanya satu permasalahan. Lalu Maalik berkata kepadanya : “Telah bersabda Rasulullah begini dan begitu”. Laki-laki itu berkata : “Bagaimana pendapatmu ?”. Maka Maalik menjawab : “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An-Nuur : 63)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 236, Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 6/326, dan Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 294].
Maalik bin Anas rahimahumallah meninggalkan dan membenci perkataan dan perbuatan dalam agama yang tidak dikatakan/dilakukan salaf.
Al-Husain bin Al-Waliid rahimahullah berkata:
لقيت مالك بن أنس فسألته عن حديث، فقال: لقد طال عهدي بهذا الحديث، فمن أين جئت به؟ قلت: حَدَّثَنِي به عنك إبراهيم بن طهمان، قَالَ: أبو سعيد؟ كيف تركته؟ قلت: تركته بخير، قَالَ: هو بعد يقول: أنا عند الله مؤمن؟ قلت له: وما أنكرت من قوله يا أبا عبد الله؟ فسكت عني وأطرق ساعة، ثم قَالَ: لم أسمع السلف يقولونه
“Aku menemui Maalik bin Anas lalu aku tanyakan kepadanya tentang sebuah hadits. Ia (Maalik) berkata : ‘Sungguh telah lama waktuku dengan hadits ini. Darimana engkau dapatkan hadits itu ?’. Aku katakan : ‘Telah menceritakan kepadaku hadits itu Ibraahiim bin Thahmaan darimu’. Maalik berkata : ‘Abu Sa’iid?[3]. Bagaimana (keadaannya ketika) engkau meninggalkannya?’. Aku katakan : ‘Aku meninggalkannya baik-baik saja’. Maalik berkata : ‘Dirinya setelah mengatakan aku di sisi Allah adalah seorang mukmin ?’[4].  Aku katakan kepada Maalik : ‘Lantas apa yang engkau ingkari dari perkataannya itu wahai Abu ‘Abdillah ?’. Maka ia pun diam dariku sejenak, lalu berkata : ‘Aku tidak pernah mendengar salaf mengatakannya” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 7/16 dan Ad-Duulaabiy dalam Al-Kunaa no. 1054].
Ja’far bin ‘Abdillah rahimahumallah berkata:
جاء رجل إلى مالك بن أنس يعني يسأله عن قوله : الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى كيف استوى؟ قال فما رأيته وجد من شيء كوجده من مقالته ، وعلاه الرحضاء ، وأطرق القوم ؛ فجعلوا ينتظرون الأمر به فيه ، ثم سُرِّي عن مالك فقال: ( الكيف غير معقول، والاستواء غير مجهول ، والإيمان به واجب ، والسؤال عنه بدعة ، وإني لأخاف أن تكون ضالاً ) ثم أمر به فأخرج
“Datang seorang laki-laki kepada Maalik bin Anas, yaitu menanyakan kepada beliau tentang firman Allah : ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’ ; bagaimana istiwaa’-nya Allah itu ?”. Perawi berkata : “Belum pernah aku melihat beliau (Malik) marah sedemikian rupa seperti marahnya beliau kepada orang itu. Tubuhnya berkeringat, orang-orang pun terdiam. Mereka terus menantikan apa yang akan terjadi. Kemudian setelah keadaan Al-Imam Malik kembali normal, beliau berkata : “Kaifiyah-nya tidaklah dapat dinalar, istiwaa’ sendiri bukan sesuatu yang majhul, beriman kepada adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Dan sesungguhnya aku takut kamu berada dalam kesesatan”. Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk dikeluarkan dari majelisnya”[5] [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 38-39].
Seandainya perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang belakangan itu baik, niscaya salaf telah melakukannya. Dalam hal ini, Al-Baghawiy rahimahullah menyebutkan perkataan Maalik rahimahullah terkait tahdzir-nya terhadap ilmu kalam dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya:
رَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ مَالِكٍ: لَوْ كَانَ الْكَلامُ عِلْمًا، لَتَكَلَّمَ فِيهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ، كَمَا تَكَلَّمُوا فِي الأَحْكَامِ وَالشَّرَائِعِ، وَلَكِنَّهُ بَاطِلٌ يَدُلُّ عَلَى بَاطِلٍ.
‘Abdurrahmaan bin Mahdiy meriwayatkan dari Maalik, (ia berkata) : “Seandainya ilmu kalam itu adalah ilmu, niscaya para shahabat dan taabi’iin telah membicarakannya sebagaimana mereka membicarakan berbagai hukum dan syari’at[6]. Akan tetapi ilmu kalam itu bathil yang menunjukkan pada kebathilan[7]” [Syarhus-Sunnah, 1/217].
Ahlul-bid’ah – menurut Maalik bin Anas rahimahullah – adalah orang-orang yang merasa lebih berilmu daripada salaf, sok tahu dalam perkara agama, dan sering offside dengan tidak diam terhadap sesuatu yang salaf diam terhadapnya.
Asyhab bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahumallah berkata:
سَمِعْتُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ، يَقُولُ: " إِيَّاكُمْ وَالْبِدَعَ، قِيلَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، وَمَا الْبِدَعُ؟، قَالَ: أَهْلُ الْبِدَعِ الَّذِينَ يَتَكَلَّمُونَ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ وَصِفَاتِهِ وَكَلَامِهِ وَعِلْمِهِ وَقُدْرَتِهِ، وَلَا يَسْكُتُونَ عَمَّا سَكَتَ عَنْهُ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ "
Aku mendengar Maalik bin Anas berkata : “Berhati-hatilah kalian terhadap bid’ah-bid’ah”. Dikatakan : “Wahai Abu ‘Abdillah, apakah bid’ah itu ?”. Ia menjawab : “Ahlul-bida’ adalah orang-orang yang berbicara tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, kalaam-Nya, ilmu-Nya, dan kekuasaan-Nya. Mereka tidak diam terhadap apa yang para shahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik diam terhadapnya” [Diriwayatkan Al-Harawiy dalam Dzammul-Kalaam wa Ahlihi no. 858. Disebutkan Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 1/217].
Solusi keselamatan dalam beragama adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan semakin kreatif berkarya dengan bid’ah-bid’ah…..
Bisyr bin ‘Umar Az-Zahraaniy rahimahumallah berkata:
سَمِعْتُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ، يَقُولُ: " مَنْ أَرَادَ النَّجَاةَ فَعَلَيْهِ بِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ ﷺ "
“Aku mendengar Maalik bin Anas berkata : ‘Barangsiapa yang menginginkan keselamatan, maka wajib baginya berpegang pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ” [Diriwayatkan oleh Al-Harawiy dalam Dzammul-Kalaam no. 864].
‘Abdullah bin Wahb rahimahumallah berkata:
سمعتُ مالكَ بنَ أنسٍ يقولُ: الْزَمْ مَا قَالَهُ رسولُ اللهِ ﷺ في حجَّةِ الوداع: «أَمْرَانِ تَرَكْتُهُمَا فِيكُمْ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كتابَ اللهِ وسُنَّةَ نَبِيِّهِ
“Aku mendengar Maalik bin Anas berkata : ‘Tetapilah apa yang dikatakan Rasulullah ketika haji wada’ : Ada dua perkara yang aku tinggalkan pada kalian yang apabila kalian berpegang teguh kepada keduanya tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ” [I’laamul-Muwaqqi’iin oleh Ibnul-Qayyim 1/256].
‘Abdullah bin Wahb rahimahumallah berkata:
كُنَّا عِنْدَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ، فَذُكِرَتِ السُّنَّةُ، فَقَالَ: " السُّنَّةُ سَفِينَةُ نُوحٍ !، مَنْ رَكِبَهَا نَجَا، وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ
“Kami pernah berada di sisi Maalik bin Anas, lalu disebutkan tentang sunnah. Maka Maalik berkata : ‘Sunnah itu adalah perahu Nuuh. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat, dan barangsiapa tertinggal darinya akan tenggelam” [Diriwayatkan oleh Al-Harawiy dalam Dzammul-Kalaam no. 872 dan Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 8/309].
Maalik bin Anas rahimahumallah berkata:
مَنْ مَاتَ عَلَى السُّنَّةِ فَلْيِبْشِرْ
“Barangsiapa yang meninggal di atas sunnah, hendaklah ia bergembira” [Diriwayatkan oleh Al-Harawiy dalam Dzammul-Kalaam no. 866 & 867].
Semakin sedikit sunnah yang tertinggal pada satu kaum, maka hawa nafsu dan bid’ah akan merajalela. Maalik bin Anas rahimahumallah berkata:
مَا قَلَّتِ الْآثَارُ فِي قَوْمٍ إِلَّا ظَهَرَتْ فِيهِمُ الْأَهْوَاءُ......
“Sedikitnya peninggalan atsar (riwayat/hadits) pada satu kaum hanya akan menimbulkan hawa nafsu di kalangan mereka…….” [idem no. 869].
Maalik bin Anas sangat keras terhadap para pengingkar sunnah, sebagaimana dikatakan Ma’n rahimahumullah:
وَكتبَ إِلَى مَالِكٍ [رجل] من الْعَرَبِ يَسْأَلُ عَنْ قَوْمٍ يُصَلُّونَ رَكْعَتَيْنِ وَيَجْحَدُونَ السُّنَّةَ، وَيَقُولُونَ: مَا نَجِدُ إِلا صَلاةَ رَكْعَتَيْنِ، قَالَ مَالِكٌ: أَرَى أَنْ يُسْتَتَابُوا، فَإِنْ تَابُوا وَإِلا قُتِلُوا
“Seorang laki-laki ‘Arab menuliskan surat kepada Maalik menanyakan satu kaum yang mengerjakan shalat dua raka’at dan mengingkari sunnah. Mereka katakan : ‘Kami tidak dapatkan kecuali (hanya) shalat dua raka’at saja’. Maalik berkata : ‘Aku berpandangan mereka mesti diminta untuk bertaubat. Apabila mereka bertaubat, diterima; dan apabila enggan, dibunuh” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Zamaniin dalam Ushuulus-Sunnah hal. 309 no. 245].
Itulah sedikit riwayat dari Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahumallah tentang sunnah dan bid’ah.
Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – dps – 17092017].



[1]    Selengkapnya silakan baca artikel Perawi yang Melakukan Penyeleksian Riwayat.
[2]    Dalam definisi lain : orang yang mengambil ilmu/hadits dari kitab, bukan dari ustadz.
[3]    Kunyah Ibraahiim bin Thahmaan.
[4]    Al-Aajurriy rahimahullah berkata:
احْذَرُوا رَحِمَكُمُ اللَّهُ قَوْلَ مَنْ يَقُولُ إِنَّ إِيمَانَهُ كَإِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ، وَمَنْ يَقُولُ: أَنَا مُؤْمِنٌ عِنْدَ اللَّهِ، وَأَنَا مُؤْمِنٌ مُسْتَكْمِلُ الإِيمَانِ هَذَا كُلُّهُ مَذْهَبُ أَهْلِ الإِرْجَاءِ
“Berhati-hatilah – semoga Allah merahmati kalian – pendapat orang yang mengatakan : ‘sesungguhnya imannya seperti iman Jibriil dan Miikaaiil’; dan orang yang berkata : ‘aku mukmin di sisi Allah, dan aku adalah mukmin yang sempurna imannya’. Semuanya ini adalah madzhab para penganut irjaa’ (murji’ah)” [Asy-Syarii’ah, 1/312].
Silakan baca beberapa artikel terkait di blog ini seperti:
d.    dan yang lainnya.
[5]    Silakan baca artikel terkait : Pemalsuan Perkataan Al-Imam Malik rahimahullah.
[6]    Senada dengan penjelasan Ibnu Katsiir rahimahullah:
وأما أهل السنة والجماعة فيقولون في كل فعل وقول لم يثبت عن الصحابة: هو بدعة؛ لأنه لو كان خيرا لسبقونا إليه، لأنهم لم يتركوا خصلة من خصال الخير إلا وقد بادروا إليها
“Adapun Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, maka mereka mengatakan dalam setiap perbuatan dan perkataan yang tidak dilakukan para shahabat : ‘Itu adalah bid’ah’, karena seandainya hal tersebut baik, niscaya mereka (para shahabat) telah mendahului kita melakukannya. Tidaklah mereka meninggalkan kebaikan apapun kecuali mereka bersegera terhadapnya” [Tafsiir Ibni Katsiir, 7/278-279].
[7]    Abu Thaalib Al-Makkiy rahimahullah berkata:
كان مالكٌ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْ مَذَاهِبِ المُتَكَلِّمِينَ وَأَشَدَّهُمْ بُغْضاً للعِرَاقيِّينَ، وأَلْزَمَهُمْ لِسُنَّةِ السَّالِفِينَ مِنَ الصَّحَابَةِ والتَّابِعِينَ
“Maalik adalah orang yang paling jauh dari madzhab ahli kalaam, orang yang paling benci terhadap penduduk ‘Iraaq (karena berpegang pada ra’yu), dan orang yang paling menetapi sunnah terdahulu dari kalangan shahabat dan taabi’iin” [Tartiibul-Madaarik, 1/51].

Comments