Tulisan
ini tidak akan membahas hukum memanjangkan jenggot atau mencukurnya, karena
telah lewat pembahasan itu dalam Blog ini artikel berjudul Hukum
Jenggot dalam Syari'at Islam. Bahasan yang akan diangkat di sini adalah
panjang jenggot Nabi ﷺ dan sikap sebagian salaf yang
ternukil dalam atsar-atsar yang shahih.
عَنْ جَابِر بْن سَمُرَةَ، يَقُولُ: كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَدْ شَمِطَ مُقَدَّمُ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، وَكَانَ إِذَا
ادَّهَنَ لَمْ يَتَبَيَّنْ، وَإِذَا شَعِثَ رَأْسُهُ تَبَيَّنَ، وَكَانَ كَثِيرَ
شَعْرِ اللِّحْيَةِ
Dari
Jaabir bin Samurah, ia berkata : “Rasulullah ﷺ telah mulai berubah (beruban) rambut
kepala bagian depannya dan juga jenggotnya. Apabila beliau ﷺ meminyakinya,
maka ubannya tidak kelihatan. Dan apabila rambut kepala beliau ﷺ kusut,
maka nampaklah uban itu. Jenggot beliau ﷺ lebat…”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2344].
Dalam
hadits lain yang semisal:
عَنْ الْبَرَاءِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ رَجِلًا مَرْبُوعًا عَرِيضَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ، كَثَّ اللِّحْيَةِ....
Dari
Al-Barraa’, ia berkata : “Rasulullah ﷺ perawakannya sedang (tidak tinggi dan
tidak pula pendek), kedua dadanya bidang/lebar, dan jenggotnya tebal….”
[Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 5232; shahih].
Abu
‘Ubaid bin Salaam rahimahullah berkata:
وَقَوْلُهُ: كَثَّ اللِّحْيَةِ: الْكُثُوثَةُ
أَنْ تَكُونَ اللِّحْيَةُ غَيْرَ دَقِيقَةٍ وَلا طَوِيلَةٍ، وَلَكِنْ فِيهَا كَثَافَةٌ
مِنْ غَيْرِ عِظَمٍ وَلا طُولٍ
“Dan
perkataannya ‘katstsal-lihyah’, maksudnya al-kutsuutsah, yaitu
(keadaan) jenggot yang tidak tipis dan tidak pula panjang. Akan tetapi padanya
sifat tebal, tidak membesar dan tidak pula panjang” [Diriwayatkan oleh
Ath-Thabaraniy dalam Al-Ahaadiitsuth-Thuwwaal no. 44 dan Abu Nu’aim
dalam Dalaailun-Nubuwwah no. 565; shahih].
Abul-‘Abbaas
Al-Qurthubiy rahimahullah saat mengomentari hadits Jaabir di atas (khususnya
perkataanya : ‘jenggot beliau ﷺ lebat’) berkata:
لا يفهم من هذا أنه كان طويلها ، فإنَّه قد
صحَّ أنه كان كثَّ اللحية ؛ أي : كثير شعرها غير طويلة
“Dan
tidaklah dipahami dari perkataan ini beliau ﷺ mempunyai
jenggot panjang. Telah shahih (dalam hadits) bahwasannya beliau ﷺ ‘katstsal-lihyah’, yaitu : lebat
rambut (jenggot)-nya namun tidak panjang” [Al-Mufhim, 6/135].
Al-Haafidh
Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
قوله كث اللحية أي فيها كثافة واستدارة
وليست طويلة
“Dan
perkataannya ‘katstsal-lihyah’, yaitu tebal/padat, membulat, dan tidak
panjang” [Muqaddimah Fathil-Baariy, 1/173].
Dalam
kitab Al-Mu’jamul-Wasiith, katstsasy-syi’r (كَثَّ
الشّعْرُ) maknanya:
اجتمع وكثر في غير طول ولا دقة
“Berhimpun/berkumpul
dan banyak (lebat), tidak panjang dan tidak pula tipis” [2/471].
Ada
sebuah hadits yang lebih menjelaskan dalam hal ini, yaitu hadits Yaziid
Al-Faarisiy yang menyifati Nabi ﷺ yang ia lihat dalam mimpinya kepada Ibnu
‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
رَأَيْتُ رَجُلًا بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ، جِسْمُهُ
وَلَحْمُهُ، أَسْمَرُ إِلَى الْبَيَاضِ، حَسَنُ الْمَضْحَكِ، أَكْحَلُ الْعَيْنَيْنِ،
جَمِيلُ دَوَائِرِ الْوَجْهِ، قَدْ مَلَأَتْ لِحْيَتُهُ مِنْ هَذِهِ، إِلَى هَذِهِ
حَتَّى كَادَتْ تَمْلَأُ نَحْرَهُ
“Aku
melihat seorang laki-laki yang perawakannya sedang (tidak tinggi dan tidak pendek).
Badan dan daging (kulit)nya berwarna coklat/merah keputih-putihan, tertawanya
indah, kedua matanya bercelak, dan wajahnya tampan. Jenggotnya memenuhi ini
sampai ini, (yaitu) hingga memenuhi tenggorokan/batas dada bagian atasnya…” [Diriwayatkan oleh Ahmad
1/361-362].
Sanad
riwayat ini lemah karena faktor kemajhulan Yaziid Al-Faarisiy. Namun demikian,
matannya berkesesuaian dengan substansi hadits sebelumnya berikut penjelasannya.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَكَانَ ابْنُ
عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
Dari
Ibnu ’Umar, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda : ”Selisilah oleh
kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis”. (Perawi/Naafi’
berkata : ) ”Adalah Ibnu ’Umar, jika ia menunaikan ibadah haji atau ’umrah,
maka ia menggenggam jenggotnya. Maka apa-apa yang melebihi dari genggaman tersebut,
ia potong” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5892].
Ibnu
‘Abdil-Barr rahimahullah menjelaskan:
وفي أخذ ابن عمر من آخر لحيته في الحج دليل
على جواز الأخذ من اللحية في غير الحج، لأنه لو كان غير جائز ما جاز في الحج،
لأنهم أمروا أن يحلقوا أو يقصروا إذا حلوا محل حجهم ما نهوا عنه في حجهم، وابن عمر
روى عن النبي ﷺ: " أعفوا اللحا "، وهو أعلم بمعنى ما روى، فكان المعنى
عنده، وعند جمهور العلماء الأخذ من اللحية ما تطاير، والله أعلم.
“Dalam
hadits Ibnu ‘Umar yang memotong bagian bawah jenggotnya (selebih genggaman
tangan) pada waktu haji dan ‘umrah merupakan dalil diperbolehkannya memotong
(bagian bawah) jenggot selain waktu haji. Seandainya perbuatan itu tidak boleh,
maka pada waktu haji pun tidak boleh, karena mereka diperintahkan untuk mencukur
atau memendekkan (rambut) ketika telah diperbolehkan pada waktu/tempatnya dalam
prosesi haji mereka (yaitu saat tahallul), dimana sebelumnya hal itu tidak
diperbolehkan. Dan Ibnu ‘Umar meriwayatkan dari Nabi ﷺ : ‘peliharalah
jenggot’, dan dirinya lebih mengetahui makna hadits yang ia riwayatkan.
Makna hadits tersebut menurutnya dan menurut jumhur ulama adalah memotong jenggot
yang menyebar/berantakan/kepanjangan[1]”
[Al-Istidzkaar, 4/317].
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عُمَرَ، كَانَ إِذَا أَفْطَرَ مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ الْحَجَّ، لَمْ
يَأْخُذْ مِنْ رَأْسِهِ وَلَا مِنْ لِحْيَتِهِ شَيْئًا، حَتَّى يَحُجَّ
Dari
Naafi’ : Bahwasanya Abdullah bin ’Umar apabila telah selesai bulan Ramadlan dan
ingin melakukan ibadah haji, maka ia tidak memotong rambut kepalanya dan
jenggotnya sedikitpun hingga ia benar-benar melaksanakan haji” [Diriwayatkan
oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 2/563 no. 977; shahih].
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ،
كَانَ إِذَا حَلَقَ فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ أَخَذَ مِنْ لِحْيَتِهِ وَشَارِبِهِ
Dari
Naafi’ : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar apabila mencukur (rambut kepalanya)
ketika haji atau ‘umrah, ia memotong jenggot dan kumisnya [idem no. 978;
shahih].
Aktivitas
mencukur rambut di luar haji atau ‘umrah itu diperbolehkan. Ketika
seseorang melakukan haji atau ‘umrah, maka sebelum tiba waktu tahallul tidak
diperbolehkan baginya untuk memotong/mencukur rambutnya. Di sini Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhu memotong jenggot beserta kumisnya pada saat dirinya mencukur rambut
kepalanya ketika tahallul ibadah haji atau ‘umrah. Oleh karena itu
dipahami bahwa memotong jenggot selebih genggaman tangan boleh dilakukan di
luar waktu haji dan ‘umrah, sebagaimana kebolehan memotong rambut dan kumis.
Senada
dengan Ibnu ‘Abdil-Barr, ketika mengomentari hadits Ibnu ‘Umar di atas Ibnu
Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
الذي يظهر أن بن عمر كان لا يخص هذا
التخصيص بالنسك بل كان يحمل الأمر بالاعفاء على غير الحالة التي تتشوه فيها الصورة
بافراط طول شعر اللحية أو عرضه
“Yang
nampak bahwasannya Ibnu ‘Umar tidak mengkhususkannya (memotong jenggot yang
melebihi genggaman – Abul-Jauzaa’) dengan haji/’umrah, akan tetapi
membawa perintah memelihara jenggot tersebut pada keadaan tidak disukainya bentuk
jenggot yang tidak baik karena panjangnya yang berlebihan atau di bagian sisinya”
[Fathul-Baariy, 10/350].
Yang
menguatkan perkataan Ibnu ‘Abdil-Barr dan Ibnu Hajar rahimahumallah tersebut
adalah riwayat berikut:
عَن مَرْوَان يَعْنِي ابْن سَالِمٍ
الْمُقَفَّع قَالَ رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقْبِضُ عَلَى لِحْيَتِهِ فَيَقْطَعُ
مَا زَادَ عَلَى الْكَفِّ وَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ
وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Dari
Marwaan – yaitu Ibnu Saalim Al-Muqaffa’ - , ia berkata : Aku pernah melihat
Ibnu ‘Umar menggenggam jenggotnya dan memotong selebih dari (genggaman) telapak
tangannya, dan ia berkata : “Adalah Rasulullah ﷺ apabila berbuka puasa berdoa : ‘(Dzahabazh-zhoma-u
wab-talatil-‘uruuqu wa tsabatal-ajru insya Allooh) Rasa haus telah pergi
dan urat-urat telah terbasahi serta telah ditetapkan pahala insya Allah”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2357; hasan[2]].
Dhaahir
riwayat ini tidak menyebutkan waktu haji atau ‘umrah, wallaahu a’lam.
Selain
atsar Ibnu ‘Umar, ada atsar Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhumaa yang
melakukan hal serupa.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ عَمْرِو
بْنِ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُ
مِنْ لِحْيَتِهِ مَا جَازَ الْقَبْضَةَ
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’, dari Syu’bah, dari ‘Amru bin Ayyuub[3],
dari Abu Zur’ah, dari Abu Hurairah : Bahwasannya ia memotong jenggotnya yang
lebih dari genggaman tangan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25878; hasan].
Juga
‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ،
عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ فِي قَوْلِهِ: " ثُمَّ ليَقْضُوا
تَفَثَهُمْ، قَالَ: التَّفَثُ: حَلَقُ الرَّأْسِ، وَأَخْذٌ مِنَ الشَّارِبَيْنِ، وَنَتْفُ
الإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ، وَالأَخْذُ مِنَ الْعَارِضَيْنِ،
وَرَمْيُ الْجِمَارِ، وَالْمَوْقِفُ بِعَرَفَةَ وَالْمُزْدَلِفَةِ "
Telah
menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami
‘Abdul-Malik, dari ‘Athaa’, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ia berkata tentang
firman-Nya : ‘Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada
badan mereka’ (QS. Al-Hajj : 29) : “At-Tafatsu mencakup : mencukur
(gundul) rambut kepala, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu
kemaluan, memendekkan kuku, memotong rambut yang tumbuh di pipi (cambang), melempar
jumrah, serta tinggal di ‘Arafah dan Muzdalifah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jariir
Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 18/612; shahih].
نا ابْنُ نُمَيْرٍ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ،
عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " التَّفَثُ: الرَّمْيُ، وَالذَّبْحُ،
وَالْحَلْقُ، وَالتَّقْصِيرُ، وَالْأَخْذُ مِنَ الشَّارِبِ، وَالْأَظْفَارِ وَاللِّحْيَةِ
Telah
mengkhabarkan kepada kami Ibnu Numair, dari ‘Abdul-Malik, dari ‘Atha’, dari
Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “At-Tafatsu mencakup menyembelih, mencukur
(rambut kepala), memendekkan (rambut kepala), serta memotong kumis, kuku, dan
jenggot” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 4/532 no. 15900; shahih].
Setelah
generasi shahabat, akan dinukilkan atsar-atsar dari generasi berikutnya:
حَدَّثَنِي يُونُسُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا
ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو صَخْرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ
الْقُرَظِيِّ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي هَذِهِ الآيَةِ: "ثُمَّ ليَقْضُوا
تَفَثَهُمْ: رَمْيُ الْجِمَارِ، وَذَبْحُ الذَّبِيحَةِ، وَأَخْذٌ مِنَ الشَّارِبَيْنِ
وَاللِّحْيَةِ وَالأَظْفَارِ، وَالطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا
وَالْمَرْوَةِ "
Telah
menceritakan kepada kami Yuunus, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ibnu Wahb, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Sakhr, dari Muhammad
bin Ka’b Al-Quradhiy : Bahwasannya ia berkata tentang ayat : ‘Kemudian
hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka’ (QS.
Al-Hajj : 29) : “Melempar jumrah; menyembelih hewan sembelihan; memotong kumis,
jenggot, dan kuku; serta thawaf di Ka’bah dan (sa’i) di Shafaa-Marwah”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Jariir Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan,
18/612-613; hasan].
Muhammad
bin Ka’b Al-Quradhiy adalah seorang ulama taabi’iy yang tsiqah.
Wafat tahun 120 H.
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، قَالَ:
ثنا أَبُو عَاصِمٍ، قَالَ: ثنا عِيسَى، وَحَدَّثَنِي الْحَارِثُ، قَالَ: ثنا
الْحَسَنُ، قَالَ: ثنا وَرْقَاءُ، جَمِيعًا عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ
مُجَاهِدٍ، ثُمَّ ليَقْضُوا تَفَثَهُمْ، قَالَ: حَلْقُ الرَّأْسِ، وَحَلْقُ
الْعَانَةِ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ، والشَّارِبِ، وَرَمْيُ الْجِمَارِ، وَقَصُّ
اللِّحْيَةِ "
Telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Amru, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Abu ‘Aashim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa (ح).
Dan telah menceritakan kepadaku Al-Haarits, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Warqaa’,
semuanya dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid tentang ayat : ‘Kemudian
hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka’ (QS. Al-Hajj
: 29), ia berkata : “Mencukur (gundul) rambut kepala; mencukur bulu kemaluan; memendekkan
kuku dan kumis; melempar jumrah; serta memendekkan jenggot” [idem,
18/613; shahih].
Mujaahid
bin Jabr Al-Makkiy, seorang imam mufassir murid ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa, yang tsiqah lagi faqih. Wafat tahun 101/102/103/104 H.
حَدَّثَنِي نَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
الأَوْدِيُّ، قَالَ: ثنا الْمُحَارِبِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَجُلا يَسْأَلُ ابْنَ جُرَيْجٍ،
عَنْ قَوْلِهِ: " ثُمَّ ليَقْضُوا تَفَثَهُمْ، قَالَ: الأَخْذُ مِنَ اللِّحْيَةِ،
وَمِنَ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ،
وَرَمْيُ الْجِمَارِ "
Telah
menceritakan kepadaku Nashr bin ‘Abdirrahmaan Al-Audiy, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Al-Muhaaribiy, ia berkata : Aku mendengar seorang
laki-laki bertanya kepada Ibnu Juraij tentang firman-Nya : ‘Kemudian
hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka’ (QS.
Al-Hajj : 29), ia berkata : “Memotong jenggot, kumis, kuku; mencabut bulu
ketiak; mencukur bulu kemaluan; dan melempar jumrah” [idem, shahih].
Ibnu
Juraij namanya ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy,
Abul-Waliid, seorang imam yang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai
keutamaan. Wafat tahun 149/150/151 H.
حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ مَنْصُورٍ،
قَالَ: سَمِعْتُ عَطَاءَ بْنَ أَبِي رَبَاحٍ، قَالَ: كَانُوا يُحِبُّونَ أَنْ يُعْفُوا
اللِّحْيَةَ، إِلا فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ يَأْخُذُ مِنْ عَارِضِ
لِحْيَتِهِ "
Telah
menceritakan kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Manshuur, ia berkata : Aku
mendengar ‘Athaa’ bin Abi Rabaah berkata : “Mereka menyukai memelihara jenggot
kecuali pada saat haji atau ‘umrah. Dan Ibraahiim (An-Nakha’iy) memotong sisi
samping jenggotnya (cambangnya)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 6/109 no.
25872; shahih].
Mereka
yang dimaksudkan ‘Athaa’ adalah ulama generasi taabi’iin dan shahabat
yang ia temui. ‘Athaa’ sendiri seorang ulama taabi’iin, murid ‘Abdullah
bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa. Adapun Ibraahiim An-Nakha’iy rahimahullah
adalah seorang ulama generasi taabi’iin yang tsiqah lagi faqiih.
Wafat tahun 196 H.
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ،
عَنْ أَفْلَحَ، قَالَ: كَانَ الْقَاسِمُ إِذَا حَلَقَ رَأْسَهُ أَخَذَ مِنْ
لِحْيَتِهِ وَشَارِبِهِ
Telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir Al-‘Aqadiy, dari Aflah, ia berkata :
“Al-Qaasim apabila mencukur (rambut) kepalanya (ketika haji/’umrah), ia
memotong jenggot dan kumisnya” [idem, no. 25875; shahih].
Al-Qaasim
bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiiq At-Taimiy, seorang tsiqah lagi faqih.
Wafat tahun 106 H.
Al-Muzanniy
rahimahullah berkata:
ما رأيت أحسن وجهًا من الشّافعيّ، وكان ربّما
قبض عَلَى لحيته، فلا تفْضُلُ عَنْ قبضته
“Aku
tidak pernah melihat wajah yang paling indah daripada Asy-Syaafi’iy. Kadang-kadang
dirinya menggenggam jenggotnya, maka (jenggotnya itu) tidak melebihi dari
genggamannya[4]” [Taarikhul-Islaam
oleh Adz-Dzahabiy 4/61 dan Mukhtashar Taariikh Dimasyq 6/423].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأما إعفاء اللحية فإنه يترك ولو أخذ ما
زاد علي القبضة لم يكره نص عليه كما تقدم عن ابن عمر وكذلك أخذ ما تطاير منها
“Adapun
memelihara jenggot adalah dengan membiarkannya. Seandainya memotong yang lebih
dari genggaman tangan, tidak dibenci (makruh). Hal itu dinyatakan sebagaimana
riwayat Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan sebelumnya. Begitu juga memotong yang menyebar/berantakan/kepanjangan
darinya” [Syarhul-‘Umdah, 1/236].
Kesimpulan
dari tulisan ini, asal dari jenggot adalah membiarkannya (tidak dipotong).
Boleh dipotong jika berantakan atau kepanjangan dengan batas selebih dari genggaman
tangan[5].
Hal ini tidak dibatasi pada waktu haji dan ‘umrah saja[6].
Wallaahu
a’lam.
Semoga
ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– bumi Allah yang indah, 28 Dzulqa’dah 1438]
[1] Ada sementara orang yang memahami
penjelasan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah ini sebagai bentuk kebolehan memotong
jenggot sependek-sependeknya dengan alasan ‘kerapihan’. Tentu saja ini keliru,
karena yang dilakukan Ibnu ‘Umar untuk ‘merapikan’ itu adalah memotong rambut
jenggot selebih genggaman tangan.
[2] Takhriij hadits ini selengkapnya
dapat dibaca pada artikel Takhrij
Doa Berbuka Puasa : Dzahabadh-Dhama-u....dst.
[3] Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat
7/224-225, dan Syu’bah meriwayatkan darinya dimana masyhur diketahui bahwa
Syu’bah tidaklah meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang ia anggap tsiqah.
[4] Tentu tidak dipahami dari perkataan ini
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah pembolehan mencukur pendek-pendek
jenggot atau bahkan membabatnya habis dengan alasan agar keren seperti yang
dilakukan sebagian orang-orang pandir. Beliau rahimahullah berkata:
وَالْحِلَاقُ
لَيْسَ بِجِنَايَةٍ لِأَنَّ فِيهِ نُسُكًا فِي الرَّأْسِ وَلَيْسَ فِيهِ كَثِيرُ أَلَمٍ،
وَهُوَ وَإِنْ كَانَ فِي اللِّحْيَةِ لَا يَجُوزُ فَلَيْسَ فِيهِ كَثِيرُ أَلَمٍ وَلَا
ذَهَابُ شَعْرٍ، لِأَنَّهُ يُسْتَخْلَفُ وَلَوِ اسْتَخْلَفَ الشَّعْرُ نَاقِصًا أَوْ
لَمْ يَسْتَخْلِفْ كَانَتْ فِيهِ حُكُومَةٌ
“Dan
mencukur (gundul) bukan termasuk kejahatan karena padanya ada peribadahan dalam
mencukur kepala dan juga tidak menimbulkan rasa sakit yang banyak. Mencukur
rambut – meskipun untuk jenggot tidak diperbolehkan – tidak akan menyebabkan rasa
sakit yang banyak dan hilangnya rambut (secara permanen) karena akan tumbuh
kembali….. “ [Al-Umm, 6/91].
[5] Sebagian shahabat ada yang membiarkannya
panjang, sebagaimana ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ
أَبِي عَبْدِ اللَّهِ مَوْلَى شَدَّادِ بْنِ الْهَادِ قَالَ: " رَأَيْتُ عُثْمَانَ
بْنَ عَفَّانَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ..... طَوِيلُ اللِّحْيَةِ حَسَنُ
الْوَجْهِ
Dari
Abu ‘Abdillah maulaa Syaddaad bin Al-Haad, ia berkata : “Aku melihat ‘Utsmaan
bin ‘Affaan di (berdiri) di atas mimbar pada hari Jum’at….. jenggotnya panjang
dan tampan wajahnya” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 3/96; shahih].
Juga
beberapa ulama lainnya.
[6] Sekaligus tulisan ini mengkoreksi
kesimpulan tulisan saya yang telah lalu
:
“Pendapat
yang paling kuat menurut kami adalah pendapat kedua yang membolehkan memotong
jenggot jika telah melebihi genggaman tangan pada waktu haji dan ’umrah”.
[selesai
kutipan]
Wal-‘ilmu
‘indallah….
INTERMEZZO :
Menurut Anda, yang manakah diantara ketiga gambar ini
yang lebih sesuai dengan sunnah dan atsar salaf ?
Comments
ralat,tadz
pada hadits berikut tertulis 'umar, mungkin maksudnya umroh..
Dari Naafi’ : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar apabila mencukur (rambut kepalanya) ketika haji atau ‘umar, ia memotong jenggot dan kumisnya [idem no. 978; shahih].
[abinya qudwah]
Terima kasih masukannya, jazaakallaahu khairan. Telah saya perbaiki.
﷽
ustadz, definisi berantakan itu bagaimana? kita orang indonesia/rumpun melayu asli sedikit sekali yang jenggotnya lebat dan panjang, dan kalo dibiarkan akan semrawut kanan kiri.. boleh nggak dirapikan semrawut itu sementara panjangnya belum lebih segenggam?
جزاكم الله خيرا
abu sa'ad
Abu Sa'ad, batasnya segenggam.
Subhanallah
Posting Komentar