Dalam
kitab Nawaaqidlul-Islaam karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah,
ini merupakan pembatal keislaman ketiga yang secara tekstual berbunyi:
من لم يكفر المشركين أو شك في كفرهم أو صحح
مذهبهم كفر
“Barangsiapa
yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik atau ragu akan kekafiran mereka
atau membenarkan madzhab mereka, maka kafir”.
Yang
dimaksud dengan kesyirikan dan kekafiran ini adalah kesyirikan dan kekafiran
yang sangat jelas lagi diketahui kemunkarannya. Barangsiapa yang mengetahui
kekufuran atau kesyirikan seseorang yang telah tetap/shahih kekufurannya
berdasarkan nash, serta tidak ada perselisihan tentang perbuatan atau
perkataannya tersebut merupakan kekufuran; kemudian ia tidak mengkafirkannya
atau abstain atau ragu akan kekufurannya, maka ia kafir. Siapa saja yang telah
ditetapkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang kekafirannya, maka wajib
bagi kita untuk mengkafirkannya. Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang
telah dikafirkan Allah dan Rasul-Nya ﷺ, maka ia kafir karena mendustakan Allah
dan Rasul-Nya ﷺ. Adapun orang yang (malah) membenarkan
madzhab (agama) mereka, maka ini bentuk pendustaan yang lebih parah daripada
yang sebelumnya karena pembenaran merupakan ‘penambahan’ dari bentuk pendustaan
terhadap firman Allah ta’ala dan sabda Nabi ﷺ, serta penghalalan (istihlaal)
terhadap apa yang diharamkan Allah. Allah ta’ala berfirman:
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ
لَمُشْرِكُونَ
“Dan
jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang
musyrik” [QS. Al-An’aam : 121].
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا
وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلا
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ
نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya,
sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak
(pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami
memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan”
[QS. Al-A’raaf : 40].
Al-Qaadliy
‘Iyaadl rahimahullah berkata:
ولهذا نكفِّر كل من دان بغير ملة المسلمين
من الملل ، أو وقف فيهم، أو شك ، أو صحَّح مذهبهم ، وإن أظهر مع ذلك الإسلام ،
واعتقده ، واعتقد إبطال كل مذهب سواه ، فهو كافر بإظهاره ما أظهر من خلاف ذلك
“Oleh
karena itu, kita mengkafirkan semua orang yang beragama selain agama Islam,
atau abstain terhadap (kekafiran) mereka, atau ragu-ragu (akan kekafiran
mereka), atau membenarkan madzhab mereka; meskipun yang bersangkutan
menampakkan keislamannya, meyakininya (Islam), dan meyakininya batilnya setiap
madzhab selain agama Islam. Ia tetap kafir dikarenakan ia menampakkan sesuatu
yang menyelisihinya (yang ia yakini)” [Asy-Syifaa bi-Ta’riifi Huquuqil-Musthafaa,
2/1071].
Al-Bahuutiy
rahimahullah berkata saat menjelaskan sebab-sebab kekafiran:
( أَوْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ ) أَيْ
تَدَيَّنَ ( بِغَيْرِ الْإِسْلَامِ كَالنَّصَارَى ) وَالْيَهُودِ ( أَوْ شَكَّ فِي
كُفْرِهِمْ أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ ) فَهُوَ كَافِرٌ لِأَنَّهُ مُكَذِّبٌ
لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ
يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنْ الْخَاسِرِينَ } .
“(Atau
tidak mengkafirkan orang yang beragama), yaitu memeluk agama (selain Islam,
seperti Nashaaraa) dan Yahudi (atau ragu-ragu tentang kekufuran mereka atau
membenarkan madzhab mereka), maka ia kafir karena mendustakan firman-Nya ta’ala
: ‘Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi’ (QS. Aali ‘Imraan : 85)” [Kasysyaaful-Qinaa’, 5/146].
Untuk
menghukumi kekafiran orang yang tidak mengkafirkan orang kafir, perlu perincian
terkait status orang kafirnya:
1.
Orang kafir asli.
Orang
kafir asli yang tidak pernah masuk agama Islam dari kalangan Yahudi[1],
Nashrani[2],
orang-orang musyrik[3],
dan yang semisalnya yang kekufurannya ditegaskan Allah dan Rasul-Nya berdasarkan
nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa ada perselisihan; maka orang yang tidak
mengkafirkan mereka, ragu akan kekafiran mereka, abstain dalam kekafiran
mereka, atau bahkan membenarkan agama mereka, maka ia kafir berdasarkan ijmaa’.
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ومن
لم يقر بأن بعد مبعث محمد لن يكون مسلم إلا من آمن به واتبعه باطنا وظاهرا فليس
بمسلم ومن لم يحرم التدين بعد مبعثه بدين اليهود والنصارى بل من لم يكفرهم ويبغضهم
فليس بمسلم بإتفاق المسلمين
“Dan
barangsiapa yang tidak mengakui bahwa setelah diutusnya Muhammad seseorang
tidak dianggap muslim kecuali orang yang beriman kepadanya dan mengikutinya
secara lahir dan batin; maka ia bukan muslim. Barangsiapa yang tidak
mengharamkan beragama Yahudi dan Nashara setelah diutusnya Nabi ﷺ, bahkan barangsiapa yang tidak
mengkafirkan mereka dan membenci (agama) mereka, maka ia bukan muslim
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 27/464].
Asy-Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Abu Buthain rahimahullah berkata:
أجمع
المسلمون على كفر من لم يكفر اليهود والنصارى، أو شك في كفرهم
“Kaum
muslimin sepakat atas kafirnya orang yang tidak mengkafirkan orang Yahudi dan
Nashara, atau ragu akan kekafiran mereka” [Ad-Durarus-Saniyyah, 2/207
& 8/160].
Hal
sama dengan individu-individu yang telah ditegaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah
akan kekafirannya tanpa ada perselisihan seperti Fir’aun[4],
Haamaan, Qaaruun[5], Abu
Lahab[6],
dan yang semisalnya; maka orang yang tidak mengkafirkan mereka dihukumi sama
dengan sebelumnya.
2.
Orang yang murtad
dari Islam.
Orang
yang murtad dari Islam terbagi menjadi dua:
a.
Orang yang
mengumumkan dengan jelas kekafiran dan kemurtadan dirinya dari agama Islam
kepada agama selainnya, maka statusnya seperti golongan nomor 1 di atas dari kalangan
Yahudi, Nashrani, Majusi, Hindu, Budha, dan yang semisalnya. Orang yang tidak
mengkafirkan mereka, ragu akan kekafiran mereka, abstain dalam kekafiran
mereka, atau bahkan membenarkan agama mereka; maka ia kafir.
b.
Orang yang melakukan kekafiran
namun dirinya menyangka di atas Islam dan/atau ia tidak menganggap kafir atas
perbuatannya, maka dalam hal ini dibagi menjadi dua golongan.
Golongan
pertama. Orang yang melakukan kekafiran yang jelas
dan disepakati tentang kekafirannya; maka orang yang tidak mengkafirkan mereka dihukumi
kafir setelah datang penjelasan dan/atau hujjah tegak atasnya, karena mungkin
dalam dirinya (orang yang tidak mengkafirkan) terdapat syubhat atau kejahilan.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
setelah menegaskan perkataan orang-orang Huluuliyyah dan yang berpemahaman wihdatul-wujuud
lebih jelek dan lebih kufur dibandingkan orang Nashara, beliau berkata:
ولهذا
يلبسون على من لم يفهمه فهذا كله كفر باطنا وظاهرا بإجماع كل مسلم ومن شك فى كفر
هؤلاء بعد معرفة قولهم ومعرفة دين الإسلام فهو كافر كمن يشك فى كفر اليهود
والنصارى والمشركين
“Karenanya, mereka
mengelabuhi orang yang tidak memahaminya. Maka semua ini adalah kufur secara
bathin dan dhaahir berdasarkan ijmaa’ semua orang muslim. Barangsiapa
yang ragu akan kekufuran mereka setelah mengetahui (hakekat) perkataan
mereka dan mengetahui (hakekat) agama Islam, maka ia kafir seperti kafirnya
orang yang ragu akan kekufuran Yahudi, Nashrani, dan orang-orang musyrik” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 2/368].
Asy-Syaikh
‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah berkata :
وكل
من حكم الشرع بتكفيره فإنه يجب تكفيره ومن لم يكفر من كفره الله ورسوله فهو كافر
مكذب لله ورسوله وذلك إذا ثبت عنده كفره بدليل شرعي
“Setiap orang yang
dihukumi syari’at tentang kekafirannya, wajib bagi kita untuk mengkafirkannya.
Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya ﷺ, maka ia kafir karena mendustakan Allah
dan Rasul-Nya ﷺ. Pengkafiran tersebut dilakukan apabila
telah tetap baginya akan kekafirannya[7]
berdasarkan dalil syar’iy” [Al-Fataawaa As-Sa’diyyah, 1/215].
Ulama Lajnah Daaimah pernah
ditanya tentang hukum orang yang tidak mengkafirkan orang kafir, mereka rahimahumullah
menjawab:
من
ثبت كفره وجب اعتقاد كفره والحكم عليه به وإقامة ولي الأمر حد الردة عليه إن لم
يتب، ومن لم يكفر من ثبت كفره فهو كافر، إلا أن تكون له شبهة في ذلك، فلا بد من
كشفها
“Barangsiapa yang
telah tetap kekufurannya, wajib untuk meyakininya kekufurannya, mengukumi kafir
terhadapnya, dan ulil-amri menegakkan hukum orang murtad[8]
kepada yang bersangkutan apabila tidak bertaubat. Dan barangsiapa yang tidak
mengkafirkan orang yang telah tetap kekafirannya, maka ia kafir. Kecuali
apabila ia memiliki syubhat tentang hal tersebut, maka (syubhat tersebut) harus
dihilangkan[9]” [Fataawaa
Al-Lajnah Ad-Daaimah, 2/93].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah
pernah ditanya tentang hukum orang yang meninggalkan shalat dan melakukan
amalan kesyirikan, beliau berkata (dengan peringkasan) :
حكم
من ترك الصلاة من المكلفين الكفر الأكبر في أصح قولي العلماء وإن لم يعتقد ذلك هو؛
لأن الاعتبار في الأحكام بالأدلة الشرعية لا بعقيدة المحكوم عليه.
وهكذا
من تعاطى مكفرا من المكفرات كالاستهزاء بالدين، والذبح لغير الله، والنذر لغير
الله، والاستغاثة بالأموات وطلبهم النصر على الأعداء أو شفاء المرض ونحو ذلك لقول
الله عز وجل: قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ *
لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ[1]، وقوله سبحانه: قُلْ
إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لا
شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ، وقوله سبحانه:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ * فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.
"Hukum orang mukallaf
(yang telah dibebani syariat) yang meninggalkan shalat adalah kufur akbar
menurut pendapat paling shahih diantara dua pendapat yang beredar di kalangan
ulama apabila ia tidak berkeyakinan bolehnya meninggalkan shalat. Hal itu
dikarenakan yang dianggap dalam hukum adalah dalil-dalil syar'iy, bukan
keyakinan orang yang dihukumi terhadapnya.
Begitu pula orang
yang melakukan perbuatan-perbuatan kufur seperti istihzaa'
(mengolok-olok) agama, menyembelih untuk selain Allah, bernadzar kepada selain
Allah, beristighatsah kepada orang mati, memohon kepada mereka pertolongan dari
musuh-musuh atau kesembuhan dari penyakit, dan yang lainnya berdasarkan firman
Allah 'azza wa jalla : "Katakanlah: "Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?'. Tidak usah kamu minta
maaf, karena kamu kafir sesudah beriman" (QS. At-Taubah : 65-66). Juga
berdasarkan firman-Nya subhaanahu wa ta'ala : "Katakanlah:
"Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada
Allah)" (QS. Al-An'aam : 162-163). Juga firman-Nya : "Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena
Tuhanmu dan menyembelihlah" (QS. Al-Kautsar : 1-2).
........
ومن
لم يكفر الكافر فهو مثله إذا أقيمت عليه الحجة وأبين له الدليل فأصر على عدم
التكفير، كمن لا يكفر اليهود أو النصارى أو الشيوعيين أو نحوهم ممن كفره لا يلتبس
على من له أدنى بصيرة وعلم.
"Dan barangsiapa
yang tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia semisal dengannya (kafir) apabila
telah ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan padanya dalil, lalu ia
bersikeras untuk tidak mengkafirkannya; seperti status (kafirnya) orang yang
tidak mengkafirkan orang Yahudi, Nashara, komunis, dan semisalnya dari kalangan
yang tidak samar lagi kekufurannya bagi orang yang memiliki pemahaman dan ilmu
minimal......" [selengkapnya : http://www.binbaz.org.sa/fatawa/226].
Dalam fatwa lain
beliau rahimahullah berkata:
أما
من جحد وجوبها وقال الصلاة غير واجبة، فهذا كافر عند الجميع، ومن شك في كفره فهو
كافر نعوذ بالله، وهكذا من قال إن الزكاة لا تجب أي جحد وجوبها أو صيام رمضان جحد
وجوبه، فهذا يكفر بذلك؛ لأنه مكذب لله ولرسوله، ومكذب لإجماع المسلمين فيكون
كافراً.
ومن
شك في كفره فهو كافر بعدما يبين له الدليل ويوضح له الأمر، يكون كافراً بذلك لكونه
كذب الله ورسوله، وكذب إجماع المسلمين.
وهذه
أمور عظيمة يجب على طالب العلم التثبت فيها، وعدم العجلة فيها حتى يكون على بينة
وعلى بصيرة، وهكذا العامة يجب عليهم في ذلك أن يتثبتوا، وألاَّ يقدموا على شيء حتى
يسألوا أهل العلم، وحتى يتبصروا؛ لأن هذه مسائل عظيمة، مسائل تكفير وليست مسائل
خفيفة.
“….. Adapun orang
yang mengingkari kewajibannya (shalat), lantas ia berkata : 'Shalat itu tidak
wajib', maka orang ini kafir berdasarkan kesepakatan seluruh ulama. Barangsiapa
yang ragu akan kekafirannya, maka ia kafir - na'uudzu billah - . Begitu
pula orang yang mengatakan zakat tidak wajib - yaitu mengingkari kewajibannya -
, atau mengingkari kewajiban puasa di bulan Ramadlaan; maka orang ini
dikafirkan dengan sebab itu. Hal itu dikarenakan ia mendustakan Allah dan
Rasul-Nya, serta mendustakan ijmaa kaum muslimin sehingga ia menjadi kafir.
Barangsiapa yang ragu
akan kekafirannya, maka ia kafir setelah dijelaskan kepadanya dalil dan
diterangkan kepadanya hakekat perkaranya. Ia kafir dikarenakan ia mendustakan
Allah dan Rasul-Nya, serta mendustakan ijmaa' kaum muslimin.
Ini adalah
perkara-perkara besar yang wajib bagi penuntut ilmu untuk melakukan tatsabbut
padanya dan tidak tergesa-gesa, hingga dirinya berada di atas bukti dan pengetahuan.
Begitu juga masyarakat umum (orang-orang awam), wajib bagi mereka untuk tatsabbut
dan tidak mendahului dalam sesuatupun hingga mereka bertanya terlebih dahulu
kepada ulama dan mereka memiliki pemahaman yang benar. Karena permasalahan ini
adalah sangat besar. Permasalahan takfiir bukan permasalahan yang
ringan” [selengkapnya : http://www.binbaz.org.sa/fatawa/4150].
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz
Ar-Raajihiy rahimahullah pernah ditanya tentang dlaabith
pengkafiran orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik seperti Ibnu Sinaa,
seperti misal ada orang yang berkata : ‘Aku tidak mengkafirkan Ibnu Sinaa,
menurutku ia seorang muslim’. Apakah orang ini dikafirkan ?. Beliau hafidhahullah
menjawab:
إذا
كان عنده لبس , ولا يعرف حاله , لا يكفر حتى يتبين له أمره , لكن من عرف أنه كافر
وأنه ملحد , ولم يكفره فهذا داخل في هذا الناقض , لكن قد لا يتبين هذا لبعض الناس
, فالذي لا يتبين له يبين له حاله.
“Apabila ia memiliki kesamaran dan tidak
mengetahui keadaan dirinya (Ibnu Sinaa), maka tidak dikafirkan hingga
dijelaskan kepadanya keadaannya (Ibnu Sinaa). Akan tetapi bagi orang yang
mengenal bahwa Ibnu Sinaa kafir dan mulhid, namun ia tidak
mengkafirkannya, maka ini masuk dalam pembatal keislaman tersebut. Akan tetapi
kadang hal ini tidak jelas bagi sebagian orang, sehingga bagi orang yang tidak
jelas, perlu dijelaskan keadaannya (Ibnu Sinaa) kepadanya” [Syarh Nawaaqidlil-Islaam].
Sebagaimana kaedah
umum dalam pengkafiran, maka di sini butuh penjelasan dan penegakkan hujjah terhadap
orang (yang tidak mengkafirkan) tersebut jika ia bodoh atau memiliki syubhat.
Akan tetapi dalam prakteknya secara individu, maka tidak sama. Tergantung detail/jenis
permasalahannya, keadaan individunya, serta situasi dan kondisinya. Kadang 'udzur
diberikan kepada si Fulaan, namun tidak si 'Alaan.
Golongan
kedua. Orang yang melakukan perbuatan yang kekafirannya
diperselisihkan para ulama Ahlus-Sunnah. Sebagian ulama mengatakan kafir yang
mengeluarkannya dari agama, sebagian yang lain tidak sampai mengeluarkannya
dari agama. Seperti misal orang yang meninggalkan rukun Islam yang empat selain
syahadat dengan tetap mengakui kewajibannya. Maka orang yang tidak mengkafirkan
golongan ini tidak dikafirkan.
Asy-Syaikh
‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz rahimahullah pernah berkata ketika menjelaskan
permasalahan kekafiran orang yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan
shalat:
......................
وقال
آخرون من أهل العلم: إنه لا يكفر بذلك؛ لأنه لم يجحد وجوبها، بل يكون عاصياً
وكافراً كفراً دون كفر وشركاً دون شرك، لكن لا يكون كافراً كفراً أكبر. قاله جمع
من أهل العلم. ومن شك في كفر هذا لا يكون كافراً؛ لأنه محل اجتهاد بين أهل العلم،
فمن رأى بالأدلة الشرعية أنه كافر وجب عليه تكفيره، ومن شك في ذلك، ولم تظهر له
الأدلة ورأى أنه لا يكفر كفراً أكبر بل كفر أصغر فهذا معذور في اجتهاده، ولا يكون
كافراً بذلك.
أما
من جحد وجوبها وقال الصلاة غير واجبة، فهذا كافر عند الجميع، ومن شك في كفره فهو
كافر نعوذ بالله، وهكذا من قال إن الزكاة لا تجب أي جحد وجوبها أو صيام رمضان جحد
وجوبه، فهذا يكفر بذلك؛ لأنه مكذب لله ولرسوله، ومكذب لإجماع المسلمين فيكون
كافراً.
ومن
شك في كفره فهو كافر بعدما يبين له الدليل ويوضح له الأمر، يكون كافراً بذلك لكونه
كذب الله ورسوله، وكذب إجماع المسلمين.
“Ulama lain
berpendapat bahwasannya orang yang meninggalkan shalat (karena malas) tidak
kafir, karena ia tidak mengingkari kewajibanya. Namun ia termasuk orang yang
bermaksiat dengan kekafiran di bawah kekafiran (kufur ashghar),
kesyirikan di bawah kesyirikan (syirik ashghar). Pendapat itu dikatakan
oleh sekelompok ulama. Barangsiapa yang ragu akan kekufurannya, maka tidak
kafir karena permasalahan tersebut merupakan ranah ijtihad di kalangan
ulama. Barangsiapa yang melihat dalil-dalil syar'iy bahwa ia (orang yang
meninggalkan shalat) adalah kafir, maka wajib baginya untuk mengkafirkannya.
Barangsiapa yang ragu akan kekafirannya dan tidak nampak baginya dalil-dalil
(yang mengkonsekuensikan pengkafirannya) dan kemudian berpandangan orang
tersebut tidak dikafirkan dengan kufur akbar, namun sebatas kufur ashghar saja,
maka ini diberikan udzur dalam ijtihadnya. Ia tidak kafir dengan sebab itu” [selengkapnya
: http://www.binbaz.org.sa/fatawa/4150].
Permasalahan lain misalnya
kafir tidaknya orang yang meminta kepada penghuni kubur agar ia (si mayyit)
berdoa kepada Allah untuknya. Ini juga diperselisihkan ulama. Sebagian
mengatakan syirik akbar, sedangkan jumhur ulama mengatakan syirik ashghar
yang dapat menghantarkan kepada syirik akbar.[10]
Begitu pula dengan permasalahan
pengkafiran orang muslim yang terjatuh dalam kesyirikan, apakah dipersyaratkan penegakkan
hujjah ataukah tidak.
Ulama Lajnah Daaimah
yang dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahumullah menjelaskan :
وبذا
يعلم أنه لا يجوز لطائفة الموحدين الذين يعتقدون كفر عباد القبور أن يكفروا
إخوانهم الموحدين الذين توقفوا في كفرهم حتى تقام عليهم الحجة؛ لأن توقفهم عن
تكفيرهم له شبهة وهي اعتقادهم أنه لا بد من إقامة الحجة على أولئك القبوريين قبل
تكفيرهم بخلاف من لا شبهة في كفره كاليهود والنصارى والشيوعيين وأشباههم، فهؤلاء
لا شبهة في كفرهم ولا في كفر من لم يكفرهم، والله ولي التوفيق، ونسأله سبحانه أن
يصلح أحوال المسلمين، وأن يمنحهم الفقه في الدين، وأن يعيذنا وإياهم من شرور
أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، ومن القول على الله سبحانه وعلى رسوله صلى الله عليه
وسلم بغير علم، إنه ولي ذلك والقادر عليه.
"Dengan demikian diketahui bahwa tidak
boleh bagi golongan muwahhidiin (orang yang mentauhidkan Allah) yang
meyakininya kekafiran para penyembah kubur untuk mengkafirkan saudaranya muwahhidiin
lain yang tawaqquf dalam kekafiran mereka (penyembah kubur) hingga
ditegakkan hujjah kepada mereka. Sikap tawaqquf mereka terhadap
pengkafiran para penyembah kubur karena memiliki syubhat, yaitu keyakinan
mereka bahwa harus ada penegakan hujjah terhadap para penyembah kubur tersebut
sebelum pengkafirannya[11].
Berbeda halnya dengan golongan yang tidak ada syubhat dalam pengkafirannya
seperti orang Yahudi, Nashrani, komunis, dan yang semisalnya. Golongan ini
tidak ada syubhat dalam pengkafirannya dan tidak pula (ada syubhat) dalam
pengkafiran orang yang tidak mengkafirkan golongan ini. Dan Allah lah Yang
memberi taufik. Kami memohon kepada Allah subhaanahu wa ta'ala untuk
memperbaiki keadaan kaum muslimin, menganugerahkan pemahaman agama kepada
mereka, serta melindungi kita dan mereka dari kejelekan diri kita dan amal
perbuatan kita. Serta melindungi kita dari berbicara tentang Allah subhaanahu
wa ta'ala dan Rasul-Nya ﷺ tanpa ilmu. Sesungguhnya Ia Maha Kuasa
atas hal itu" [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 2/99].
Sebagaimana perkataan Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah
di atas, permasalahan takfiir adalah permasalahan besar, bukan
permasalahan yang ringan. Kadang seseorang memiliki bukti yang jelas akan
kekafiran seseorang, namun yang lain tidak memilikinya atau mempunyai takwil.
Contoh misalnya : Ada seseorang pernah melihat
Fulaan muslim dengan mata kepalanya sendiri menyembah patung Budha, mendengar
perkataannya ia meminta sesuatu kepadanya, dan memberikan sesajen kepadanya di
dalam rumahnya sehingga ia yakin akan kekafiran (murtad) Fulaan tersebut. Namun
apa yang ia lihat ternyata tidak dilihat oleh orang lain karena Fulaan
menampakkan keislamannya seperti mengerjakan shalat dan puasa. Orang yang tidak
melihat tentu berbeda sikap dan penghukumannya dengan orang yang melihat,
sehingga ia tidak mengkafirkan sebagaimana pengkafiran orang pertama.
Contoh lain : Ada seseorang yang mendengar ‘Alaan mengatakan
Allah tidak pernah berbicara dan berfirman dalam bentuk apapun. Ini adalah
perkataan kufur dan merupakan bentuk penghinaan terhadap Allah ta’ala. Ia
pun mengkafirkannya. Kemudian ada orang lain mendengar perkataan ‘Alaan tidak
menganggapnya sebagai kekufuran dan tidak mengkafirkan ‘Alaan karena dianggapnya
ucapan itu merupakan bagian dari perbedaan pendapat biasa di kalangan ulama[12]. Seandainya
diasumsikan si ‘Alaan kafir karena telah ditegakkan hujjah oleh orang pertama
yang mendengarnya, maka tidak mengkonsekuensikan ia harus otomatis mengkafirkan
orang kedua yang mempunyai syubhat di kepalanya.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
فمن عيوب أهل البدع تكفير بعضهم بعضا ومن
ممادح أهل العلم أنهم يخطئون ولا يكفرون وسبب ذلك أن أحدهم قد يظن ما ليس بكفر
كفرا وقد يكون كفرا لأنه تبين له أنه تكذيب للرسول وسب للخالق والآخر لم يتبين له
ذلك فلا يلزم إذا كان هذا العالم بحاله يكفر إذا قاله أن يكفر من لم يعلم بحاله
“Maka termasuk diantara aib-aib ahlul-bida’ adalah
pengkafiran sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, dan termasuk diantara
yang menunjukkan terpujinya para ulama adalah mereka sekedar menyalahkan tanpa
mengkafirkan. Penyebabnya, salah seorang diantara mereka kadang menyangka
sesuatu yang bukan merupakan kekufuran sebagai kekufuran, dan yang lain (menghukumi)
sebagai kekufuran karena nampak jelas baginya perbuatan itu merupakan
pendustaan terhadap Rasul dan penghinaan terhadap Al-Khaaliq. Adapun yang lain
tidak nampak hal itu padanya (sehingga tidak mengkafirkannya). Maka tidaklah
mengkonsekuensikan orang yang mengetahui keadaannya sehingga ia mengkafirkan apabila
ada yang mengatakannya; untuk mengkafirkan orang yang tidak mengetahui keadaannya”
[Minhaajus-Sunnah, 5/251].
Ahlus-Sunnah tidak mengenal takfir MLM, takfir
berantai disebabkan karena tidak menyepakati pendapat mereka. Prinsip ini berasal
dari ahli bid’ah.
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata
saat menjelaskan ragam pendapat di kalangan kelompok Murji’ah:
واختلفت المرجئة في إكفار المتأولين على
ثلاثة أقاويل:
فقالت الفرقة الأولى منهم: لا نكفر أحداً
من المتأولين إلا من أجمعت الأمة على إكفاره.
وقالت الفرقة الثانية منهم أصحاب أبي شمر
أنهم يكفرون من رد قولهم في القدر والتوحيد ويكفرون الشاك في الشاك.
وقالت الفرقة الثالثة منهم: الكفر هو الجهل
بالله فقط ولا يكفر بالله إلا الجاهل به، وهذا قول جهم بن صفوان.
“Kelompok
Murji’ah berselisih pendapat dalam pengkafiran muta’awwiliin (orang-orang
yang salah ta’wiil[13])
dalam tiga pendapat:
Kelompok
pertama mengatakan : Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan muta’awwiliin
kecuali orang yang telah disepakati umat[14]
akan kekafirannya.
Kelompok
kedua dari kalangan pengikut Abu Syimr mengkafirkan orang yang menolak pendapat
mereka dalam permasalahan qadar dan tauhiid[15],
dan mereka mengkafirkan orang yang ragu-ragu dalam mengkafirkan orang yang
ragu-ragu (terhadap kekafiran orang yang menolak pendapat mereka).
Kelompok
ketiga mengatakan bahwa kekufuran itu hanyalah bodoh terhadap Allah saja. Tidak
ada orang yang kufur terhadap Allah kecuali orang yang jahil terhadapnya. Ini
perkataan Jahm bin Shafwaan” [Maqaalatul-Islaamiyyiin].
Kita
harus senantiasa ingat akan sabda Nabi ﷺ:
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ: يَا
كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلاَّ
رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Barangsiapa
yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’ maka ucapan itu akan kembali
kepada salah satu dari keduanya. Apabila (saudaranya itu) seperti yang ia
katakan (maka ia memang kafir); namun apabila tidak, maka tuduhannya itu akan
kembali kepadanya (yang mengatakan)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 60].
Semoga
apa yang dituliskan ini ada manfaanya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[bahan
bacaan : Syarh Nawaaqidlul-Islaam oleh Naashir bin Ahmad Al-‘Adniy, Syarh
Nawaaqidlil-Islaam oleh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak, Al-Ilmaam
bi-Syarh Nawaaqidlil-Islaam oleh Dr. ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Rays, dan beberapa
artikel di internet].
[1] Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَتِ
الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ
اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan
orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah
ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir
yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
[2] Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ
كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam" [QS. Al-Maaidah : 17].
[3] Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang
musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu
adalah seburuk-buruk makhluk” [QS.
Al-Bayyinah : 6].
[4] Allah ta’ala berfirman:
كَدَأْبِ
آلِ فِرْعَوْنَ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ
فَأَهْلَكْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَكُلٌّ كَانُوا
ظَالِمِينَ
“(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun dan
pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan
ayat-ayat Tuhannya maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan
Kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah
orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Anfaal : 54].
[5] Allah ta’ala berfirman:
وَقَارُونَ
وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مُوسَى بِالْبَيِّنَاتِ
فَاسْتَكْبَرُوا فِي الأرْضِ وَمَا كَانُوا سَابِقِينَ
“Dan (juga) Qaaruun, Fir’aun, dan Haamaan. Dan sesungguhnya telah
datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan
yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah
mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu)” [QS. Al-Ankabuut : 39].
[6] Allah ta’ala berfirman:
تَبَّتْ
يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2)
سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي
جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5)
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan
apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan
(begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari
sabut” [QS. Al-Lahab : 1-5].
[7] Yaitu ia mengetahui perbuatan tersebut
termasuk kekufuran.
[8] Yaitu hukum bunuh.
[9] Dengan penjelasan dan penegakan hujjah.
[10] Silakan baca : Hukum
Meminta kepada Mayit agar Berdoa kepada Allah untuknya.
[11] Permasalahan apakah dipersyaratkan penegakan
hujjah terhadap orang yang terjatuh pada sebagian perkara kesyirikan
diperselisihkan para ulama kita. Sebagian ulama Najd tidak mensyaratkannya,
namun jumhur ulama mensyaratkannya. Pendapat kedua inilah yang lebih
kuat yang dipegang oleh Ibnul-‘Arabiy, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim,
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab, ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy, Al-Albaaniy,
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahumullah, dan banyak yang lain.
Permasalahan
ini telah banyak dibahas dalam Blog ini.
[12] Saya pernah mendengar dan melihat di rekaman
video Youtube seorang dai mengatakan bahwa kekufuran Jahmiyyah tersebut adalah sekedar
perbedaan pendapat saja.
[13] Menurut versi pemahaman mereka.
[14] Umat di sini adalah termasuk dari kalangan
ahli bid’ah, sehingga cakupan kekafiran sangatlah sedikit.
[15] Maksud dari ‘tauhiid’ versi mereka adalah
penafikkan terhadap Allah dari sifat-sifat-Nya yang azaliyyah.
Comments
bagaimana hukum sholat dibelakang seseorang yang mana ia tidak mengkafirkan yahudi dan nasrani dan dia mendakwahkan pemahamannya tersebut ? karna kebetulan orang tsb adalah seorang ustadz
بسم الله الر حمن الر حيم
Orang yang tidak mengkafirkan yahudi dan nasrani maka orang tersebut telah kafir walaupun orang tersebut jahil, apalagi orang ini mengaku berilmu. Karna orang yang tidak mengkafirkan Yahudi, nasrani, orang-orang musyrik telah mendustakan al qur'an dan as - sunnah yang dimana allah dan rasul-nya telah mengkafirkan-nya.
Tingkatan Kedua: Orang yang tawaqquf terhadap
orang-orang yang telah diketahui kekafiran mereka
secara pasti dalam dien kaum muslimin secara
khusus, seperti orang yang tawaqquf terhadap yahudi
dan nasrani, atau setiap orang yang memisahkan diri
dari dien islam.
Dan hukum orang yang tawaqquf pada tingkatan
ini kafir, dan tidak diudzur dengan kebodohan dalam
hal itu setiap orang yang telah sampai kepadanya
hujah risalah.
Berkata Al-Qadhi ‘Iyadh -rahimahullah-: “Kami
mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan orang
yang beragama selain agama kaum muslimin dari
agama-agama, atau tidak mengambil sikap terhadap
mereka, atau ragu, atau membenarkan madzhab
mereka.” (Asy-Syafa bi Ta’riif Huquqil Mushthafa 2/286)
Posting Komentar