Tabarruk
adalah aktifitas mencari barakah melalui perantaraan sesuatu. Barakah sendiri
artinya tetapnya kebaikan pada sesuatu [Al-Mufradaat, hal. 44]. Sesungguhnya
semua barakah itu berasal dari Allah ta’ala, sehingga kita tidak boleh
memohon barakah kecuali hanya kepada Allah ta’ala saja. Allah ta’ala
berfirman :
قُلِ اللّهُمّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي
الْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمّنْ تَشَآءُ وَتُعِزّ مَن تَشَآءُ
وَتُذِلّ مَن تَشَآءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنّكَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah
: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang
yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” [QS. Ali-‘Imran : 26].
Benda-benda,
ucapan-ucapan, dan perbuatan-perbuatan yang oleh syari’at diperbolehkan dipakai
mencari barakah, tidak lain itu semua hanyalah sarana saja. Sama seperti obat.
Ia hanyalah merupakan sarana penyembuh saja, dan yang menyembuhkan hakikatnya
adalah Allah ta’ala. Sebagaiamana hal itu diterangkan pada salah satu doa Nabi ﷺ
untuk orang sakit dalam hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَوِّذُ
بَعْضَهُمْ يَمْسَحُهُ بِيَمِينِهِ أَذْهِبْ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ وَاشْفِ
أَنْتَ الشَّافِي، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
Dari
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Nabi ﷺ
biasa berdoa meminta perlindungan untuk sebagian keluarganya, lalu mengusapkan
tangan kanan beliau dan berdoa : ‘Hilangkanlah kesengsaraan, wahai Rabb
manusia. Sembuhkanlah karena Engkaulah Dzat yang bisa menyembuhkan. Tidak ada
penyembuh melainkan Engkau. Suatu penyembuhan yang tidak lagi meninggalkan
sakit” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5750].
Mencari
barakah pada sesuatu harus didasarkan dalil, baik dzatnya maupun kaifiyyah-nya.
Tidak boleh berdasarkan perasaan dan prasangka semata.
Dulu
orang pernah tabarruk dengan sengaja mencari-cari jejak peninggalan Nabi
ﷺ hanya untuk shalat padanya. Ini tidak
boleh, karena termasuk bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi ﷺ
dan para shahabat radliyallaahu ‘anhu. Oleh karena itu, ‘Umar radliyallaahu
‘anhu melarangnya.
عَنْ مَرْوَان بْن سُوَيْدٍ الأَسَدِيُّ
قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ مَنْ
مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ، فَلَمَّا أَصْبَحْنَا صَلَّى بِنَا الْغَدَاةَ، ثُمَّ
رَأَى النَّاسَ يَذْهَبُونَ مَذْهَبًا، فَقَالَ: أَيْنَ يَذْهَبُ هَؤُلاءِ؟ قِيلَ:
يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَسْجِدٌ صَلَّى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُمْ يَأْتُونَ يُصَلُّونَ فِيهِ، فَقَالَ: إِنَّمَا هَلَكَ
مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِمِثْلِ هَذَا، يَتَّبِعُونَ آثَارَ أَنْبِيَائِهِمْ
فَيَتَّخِذُونَهَا كَنَائِسَ وَبِيَعًا، مَنْ أَدْرَكَتْهُ الصَّلاةُ مِنْكُمْ فِي
هَذِهِ الْمَسجِدِ فَلْيُصَلِّ، وَمَنْ لا فَلْيَمْضِ، وَلا يَعْتَمِدْهَا
Dari
Marwaan bin Suwaid Al-Asadiy, ia berkata : Aku pernah keluar bersama Amiirul-Mukminiin
‘Umar bin Al-Khaththaab dari Makkah menuju Madiinah. Ketika memasuki waktu
pagi, kami shalat Shubuh. Kemudian ia (‘Umar) melihat orang-orang pergi ke
suatu tempat, lalu berkata : “Kemana mereka ini pergi ?”. Dikatakan : “Wahai
Amiirul-Mukminiin, (mereka pergi) ke masjid dimana Rasulullah ﷺ
dulu pernah shalat di dalamnya. Mereka mendatangi untuk shalat di dalamnya”.
‘Umar berkata : “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa hanyalah dengan
sebab yang seperti ini. Mereka mengikuti/mencari-cari peninggalan-peninggalan
nabi-nabi mereka, lalu menjadikannya tempat ibadah. Barangsiapa di antara
kalian yang kebetulan mendapatkan waktu shalat di masjid ini, hendaklah ia
shalat. Dan barangsiapa yang tidak mendapatinya, maka janganlah kalian sengaja
untuk datang shalat di situ” [Diriwayatkan oleh Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’
wan-Nahyu ‘anhaa no. 105; shahih].
Diriwayatkan:
عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: بَلَغَ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ أَنَّ نَاسًا يَأْتُونَ الشَّجَرَةَ الَّتِي بُويِعَ تَحْتَهَا،
قَالَ: فَأَمَرَ بِهَا فَقُطِعَتْ
Dari
Naafi’, ia berkata : “Sampai kepada ‘Umar berita bahwa orang-orang mendatangi
pohon dimana Nabi ﷺ pernah dibaiat di bawahnya. Lalu ia
memerintahkan untuk menebangnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/375; dishahihkan
oleh Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy 7/448].
Tidak
ada keberkahan dari bekas-bekas tempat yang pernah disinggahi Nabi ﷺ,
karena ketiadaan dalil yang menopangnya.
Begitu
juga yang lain, seperti misal kubur. Bertabarruk dengan mengusap-usap bangunan
kubur orang-orang shalih – atau bahkan kubur Nabi ﷺ – tidaklah disyari’atkan. Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhu membenci perbuatan ini.
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ
يَكْرَهُ مَسَّ قَبْرِ النَّبِيِّ ﷺ
Dari
Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar membenci mengusap kubur Nabi ﷺ
[Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Aashim Ats-Tsaqafiy dalam Juuz-nya no.
27, dan darinya Adz-Dzahabiy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh 1/45 dan As-Siyar
12/378; shahih].
Lantas,
apa hukum bertabarruk dengan makhluk (manusia dan benda-benda semisal air,
batu, atau yang lainnya) yang tidak ada landasan syar’iynya ?. Ada perincian.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
من تبرك بهؤلاء، أي: بأهل القبور، سواءٌ في
المسجد أو في غير المسجد: فإن كان يدعوهم أو يستغيث بهم أو يستعين بهم أو يطلب
منهم الحوائج فهذا شركٌ أكبر مخرجٌ عن الملة.
وإن كان لا يدعوهم ، ولكن يتبرك بترابهم
ونحوه فهذا شركٌ أصغر، لا يصل إلى حد الشرك الأكبر، إلا إذا اعتقد أن بركته يحصل
بها الخير من دون الله ، فهذا مشركٌ شركاً أكبر.
“Barangsiapa
yang bertabarruk dengan mereka – yaitu penghuni kubur – baik (yang terkubur) di
dalam masjid atau selain masjid, apabila ia berdoa berdoa kepada mereka dan
beristighatsah kepada mereka atau memohon pertolongan kepada mereka atau
meminta kebutuhan/keperluan kepada mereka; maka ini adalah syirik akbar yang mengeluarkan
dari agama.
Namun
apabila ia tidak berdoa kepada mereka, yaitu hanya bertabarruk dengan tanah
kubur mereka, maka ini syirik ashghar yang tidak sampai kepada syirik
akbar. Kecuali apabila ia berkeyakinan bahwa barakahnya yang mendatangkan
kebaikan berasal dari selain Allah; maka ia musyrik dengan syirik akbar” [Fataawaa
Nuur ‘alad-Darb, 2/4].
Asy-Syaikh
Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah pernah ditanya kapan amalan tabarruk
kepada kubur dihukumi syirik ashghar dan syirik akbar ?. Maka
beliau hafidhahullah menjawab :
التبرك بالقبر إذا كان يعتقد أن القبر يمنح
البركة، فهذا شرك أكبر، أما إذا أعتقد أن البركة من الله، وإنما القبر سبب فقط،
فهذا شرك أصغر، ووسيلة من وسائل الشرك الأكبر، إذا كان يعتقد أن البركة من الله،
وأن القبر سبب للبركة، فهذا شرك أصغر، ووسيلة إلى الشرك الأكبر، أما إذا كان يعتقد
أن القبر يمنح البركة، والميت يعطي البركة، فهذا شرك أكبر، وهذا ما عليه عباد
القبور الآن، يعتقدون في الأموات أنهم يعطون، يمنعون، ويتصرفون
“Tabarruk
kepada kubur apabila pelakunya berkeyakinan bahwa kubur memberikan barakah,
maka ini syirik akbar. Adapun jika ia berkeyakinan bahwa barakah berasal dari
Allah sedangkan kubur hanyalah faktor penyebabnya saja, maka ini syirik ashghar
dan merupakan perantara dari perantara-perantara menuju syirik akbar.
Apabila ia berkeyakinan bahwa barakah berasal dari Allah sedangkan kubur
hanyalah sebab datangnya barakah, maka ini syirik ashghar dan perantara
menuju syirik akbar.
Adapun
jika ia berkeyakinan kubur memberikan barakah dan si mayit memberikan barakah,
maka ini syirik akbar. Inilah yang menjangkiti para penyembah kubur sekarang.
Mereka berkeyakinan terhadap mayit/orang mati dapat memberi barakah,
mencegahnya, dan mengaturnya” [sumber : http://www.alfawzan.af.org.sa/node/10618].
Lajnah
Daaimah pernah ditanya kapan tabarruk dihukumi syirik akbar dan kapan
dihukumi syirik ashghar. Dijawab:
التبرك بالمخلوق قسمان:أحدهما: التبرك
بالمخلوق من قبر أو شجر أو حجر أو إنسان، حي أو ميت، يعتقد فاعل ذلك حصول البركة
من ذلك المخلوق المتبرك به، أو أنه يقربه إلى الله سبحانه، ويشفع له عنده، كفعل
المشركين الأولين، فهذا يعتبر شركًا أكبر من جنس عمل المشركين مع أصنامهم
وأوثانهم، وهو الذي ورد فيه حديث أبي واقد الليثي في تعليق المشركين أسلحتهم على
الشجرة، واعتبر النبي - صلى الله عليه وسلم - ذلك شركًا أكبر من المعلقين، وشبه
قول من طلب ذلك منه بقول بني إسرائيل لموسى: اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ
آلِهَةٌ.
القسم الثاني: التبرك بالمخلوق اعتقادًا أن
التبرك به قربة إلى الله يثيب عليها، لا لأنه يضر أو ينفع، كتبرك الجهال بكسوة
الكعبة ، وبالتمسح بجدران الكعبة ، ومقام إبراهيم ، والحجرة النبوية ، وأعمدة
المسجد الحرام والمسجد النبوي ؛ رجاء البركة من الله، فإن هذا التبرك يعتبر بدعة،
ووسيلة إلى الشرك الأكبر إلا ما خصه الدليل، كالشرب من ماء زمزم والتبرك بعرق
النبي - صلى الله عليه وسلم - وشعره وما مس جسده، وفضل وضوئه - صلوات الله وسلامه
عليه -، فإن هذا لا بأس به لقيام الدليل عليه. وبالله التوفيق، وصلى الله على
نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
“Tabarruk
kepada makhluk ada dua jenis. Pertama, tabarruk kepada makhluk seperti
kubur, pohon, batu, atau manusia baik yang masih hidup maupun sudah mati; yang
pelakunya berkeyakinan bahwa makhluk-makhluk yang diharapkan barakahnya itu
dapat mendatangkan barakah, atau ia dapat mendekatkan diri kepada Allah ta’ala
dan memberikan syafa’at baginya di sisi-Nya seperti perbuatan orang-orang
musyrik generasi awal, maka ini dihukumi syirik akbar dari jenis perbuatan
orang-orang musyrik terhadap berhala-berhala mereka. Dan itulah yang dijelaskan
dalam hadits Abu Waaqid Al-Laitsiy tentang perbuatan orang-orang musyrik yang
menggantungkan senjata-senjata mereka di sebuah pohon. Nabi ﷺ
menganggapnya sebagai syirik akbar yang dilakukan oleh orang-orang yang
menggantungkannya. Beliau ﷺ juga menyamakan permintaan mereka (para
shahabat) itu dengan perkataan Bani Israaiil kepada Muusaa : “buatlah untuk
kami sebuah tuhan sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)"
(QS. Al-A’raaf : 138).
Kedua,
tabarruk kepada makhluk dengan keyakinan bahwa bertabarruk dengannya
merupakan amalan mendekatkan diri kepada Allah dan diberikan pahala. Bukan
karena (keyakinan) bahwa makhkuk tersebut memberikan mudlarat atau mendatangkan
manfaat, seperti tabarruknya orang-orang bodoh dengan kiswah (kain penutup)
Ka’bah, mengusap-usap tembok Ka’bah, maqam Ibraahiim, eks kamar Nab ﷺ,
tiang-tiang Masjidil-Haraam dan Masjid Nabawi; mengharapkan barakah dari Allah.
Maka tabarruk jenis ini dihukumi bid;ah dan sarana/perantara menuju syirik
akbar. Kecuali yang dikhususkan oleh dalil seperti minum air zam-zam, tabarruk
dengan keringat Nabi ﷺ, keringat beliau, dan apa saja yang dapat
disentuh dari jasad beliau, bekas air wudlu beliau ﷺ;
maka semua ini tidak mengapa karena ada dasarnya dari dalil.
Wabillaahit-taufiiq,
wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam” [sumber
: https://goo.gl/a1N8Dk].
Inilah
rincian yang dijelaskan para ulama kita.
Kembali
ke judul, jika ada orang yang menyiram mobil dengan air kembang untuk mendapatkan
keberkahan, apakah langsung dicap dengan syirik akbar dan pelakunya musyrik
lagi kafir ?. Tentu tidak. Harus dicek dulu dan dipastikan, apakah itu masuk
dalam klasifikasi syirik akbar ataukah ashghar. Yang jelas, baik
diklasifikasikan syirik akbar atau ashghar, perbuatan itu diharamkan
tanpa ada perselisihan. Itu dilihat dari dzat perbuatannya. Belum lagi dilihat
dari pelakunya. Seandainya ia bodoh, tentu butuh untuk diajari. Seandainya
perbuatannya diklasifikasikan syirik akbar, tentu butuh terpenuhi syarat-syaratnya
untuk pengkafirannya.
Dakwah
kita bukan konsentrasi pada pengkafiran, tapi menunjukkan ketauhidan yang benar
dan lawannya (kesyirikan). Masyarakat lebih membutuhkan pengajaran dua hal itu
daripada diajari cara mengkafirkan person-person muslim.
Jangan
sampai besarnya semangat kita dalam mendakwahkan tauhid dan memerangi syirik di
masyarakat, merubah orientasi cita-cita kita menjadi mufti gadungan yang ringan
dalam takfir. Asal pegang koran atau gadget, diinventarisasi siapa yang akan
dikafirkan hari ini. Tiada hari tanpa ngomongin takfir.
Takfir
itu ada, akan tetapi ia bukan perkara yang ringan. Harus dilakukan oleh orang
yang bertaqwa dan mempunyai ilmu memadai, bukan orang yang hobi game online
atau play-station.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’].
Comments
Posting Komentar