Artikel
ini merupakan kelanjutan dari bagian pertama
yang telah ditulis tanggal 30 November 2014. Kibaar ulama di sini maksudnya
kibaar ulama muta’khkhiriin.
1.
Asy-Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Aba Buthain rahimahullah (w. 1282 H)
Asy-Syaikh
'Abdullah bin 'Abdirrahmaan Abu Buthain rahimahullah pernah ditanya
tentang makna Laa ilaha illallaah, dan orang yang mengucapkannya namun
tidak mengkafiri segala sesuatu yang diibadahi selain Allah. Apakah orang yang
mengucapkannya sedangkan ia juga berdoa kepada Nabi dan para wali, kalimat itu
bermanfaat baginya, ataukah darah dan hartanya menjadi halal ditumpahkan
meskipun ia mengucapkannya?
Maka
syaikh rahimahullah memberikan uraian tentang makna Laa ilaha illah,
yaitu tidak ada tuhan yang berhak diibadahi melainkan Allah. Semua peribadahan
yang dikhususkan ditujukan kepada Allah namun dipalingkan kepada selain Allah,
maka syirik dan pelakunya musyrik. Beliau kemudian berkata :
"Barangsiapa
yang mengucapkan Laa ilaha illallaah namun bersamaan dengannya ia melakukan
syirik akbar seperti berdoa kepada orang mati dan orang yang tidak hadir,
meminta kepada mereka untuk memenuhi hajatnya, menghilangkan
kesulitan/kesusahan, bertaqarrub kepada mereka dengan melakukan nadzar dan
penyembelihan; maka orang ini musyrik baik ia sadar/setuju dengannya atau
tidak. Dan Allah tidak mengampuni orang yang berbuat syirik kepada-Nya sebagai
firman-Nya : 'Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan)
Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah
neraka' (QS. Al-Maaidah : 72). Akan tetapi dengan perbuatan ini, ia
musyrik. Barangsiapa yang melakukannya, maka kafir.
Akan
tetapi berdasarkan perkataan Syaikh, TIDAK dikatakan Fulaan kafir HINGGA
DIJELASKAN apa yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ. Apabila ia terus melakukannya setelah
dijelaskan, maka ia dikafirkan, halal darah dan hartanya......." [Ithaaful-Khalq
bi-Ma'rifatil-Khaaliq hal. 57-58].
2.
As-Syaikh
‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah (w. 1376 H)
Beliau
rahimahullah ketika menjelaskan bab riddah berkata:
“…….
Apa yang engkau sebutkan dari dalil-dalil Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijmaa' bahwa
berdoa kepada selain Allah dan beristighatsah kepadanya adalah kufur yang
menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka, maka ini tidak diragukan lagi
(kebenarannya). Namun apa yang engkau sebutkan tentang penyamaan kejahilan
orang Yahudi, Nashrani, dan seluruh orang kafir yang tidak beriman kepada Rasul
dan tidak membenarkannya akibat kejahilannya; dengan orang yang beriman kepada
Muhammad ﷺ,
meyakini kebenaran semua ajarannya dan kewajiban untuk mentaatinya, namun
kemudian ia terjatuh dalam kekeliruan berdoa kepada selain Allah dan berbuat
syirik kepada-Nya sedangkan ia tidak mengetahui dan tidak sadar perbuatan
tersebut termasuk kesyirikan - bahkan ia menganggapnya sebagai bentukan
pengagungan terhadap orang yang diseru tersebut lagi diperintahkan oleh Allah;
maka itu merupakan kekeliruan yang jelas, berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah,
serta ijmaa' shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, yang
membedakan antara dua hal ini.
Termasuk
perkara al-ma'luum minad-diin bidl-dlaruurah tentang kekafiran
orang-orang yang jahil dari kalangan Yahudi, Nashrani, dan seluruh orang kafir
lainnya. Ini merupakan perkara yang tidak mungkin diingkari. Adapun orang yang
beriman kepada Rasulullah ﷺ, membenarkan semua perkataannya, dan
berkomitmen terhadap agama yang dibawanya, namun kemudian ia terjatuh dalam
kekeliruan pada perkara keyakinan (i'tiqad), perkataan, atau perbuatan/amalan
karena jahil atau taqlid atau (salah dalam) ta'wiil; maka Allah ta'ala
berfirman (tentangnya) : "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami
jika kami lupa atau kami tersalah" (QS. Al-Baqarah : 286). Allah
memaafkan umatnya karena kesalahan, lupa, dan semua yang dilakukan karena
terpaksa. Baik dalam perkataan maupun keyakinan, meskipun itu
kekufuran......." [Al-Fataawaa As-Sa'diyyah, hal. 579-580].
3.
Asy-Syaikh
‘Abdurrahmaan bin Yahyaa Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy rahimahullah (w. 1386
H)
Beliau
rahimahullah berkata dalam kitab Raf'ul-Isytibaah (3/826):
"Dan
begitu juga yang kami katakan dalam masalah doa dan yang semisalnya. Meskipun
kami mengatakan dalam gambaran pertanyaan dan yang semisalnya : 'Sesungguhnya
perbuatan ini adalah doa kepada selain Allah ta'ala, ibadah, dan
sekaligus merupakan kesyirikan' ; namun kami tidak memaksudkan dari hal itu semua
orang yang melakukannya otomatis dihukumi musyrik. Menjadi musyrik hanyalah
bagi orang yang melakukannya tanpa udzur. Adapun yang melakukannya dikarenakan
udzur, maka orang tersebut mungkin merupakan hamba Allah yang paling baik,
paling utama, dan paling bertaqwa yang boleh jadi ia diberikan pahala atas
perbuatannya tersebut (meskipun keliru)[1]"
Pada
halaman 924-925 beliau rahimahullah menjelaskan:
"Jika
engkau mengatakan : 'Bagaimana bisa diberikan udzur orang yang melakukan amalan
kesyirikan padahal Allah ta'ala berfirman : 'Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya' (QS. An-Nisaa' : 48, 116)
?'.
Maka
aku katakan : Barangsiapa udzurnya itu benar (diterima/diakui oleh syari'at),
maka ia tidak termasuk orang yang telah berbuat kesyirikan (dan dihukumi
musyrik). Hal itu sebagaimana orang yang menikahi wanita yang tidak disadarinya
ada hubungan kemahraman antara kedua - yang ternyata wanita itu saudara wanita
sepersusuannya misalnya - maka ia tidak termasuk berzina dengan saudara
wanitanya. Namun seandainya orang itu ingin menikah dengan seorang wanita, lalu
ada yang mengatakan kepadanya : 'Wanita itu saudara wanita sepersusuanmu', dan
banyak orang mengetahui hubungan kemahraman antara dua orang itu yang
seandainya engkau tanya kepada mereka, niscaya mereka akan memberitahukan
kepadamu; lalu orang itu enggan untuk bertanya, maka pernikahannya tidak
diberikan udzur (dan dianggap sebagai perzinahan)"
[selesai].
Hujjah
beliau rahimahullah dalam hal pemberian ruang udzur ini sangat kuat
dengan ilustrasi kasus pernikahan antara orang yang mempunyai hubungan
kemahraman. Mana yang diberikan udzur, mana yang tidak diberikan udzur. Dan
seperti itulah udzur kejahilan ditetapkan dalam syari'at, baik dalam ushul
maupun furuu'.
Wallaahu
a'lam.
4.
Asy-Syaikh
‘Abdul-Kariim Al-Khudlair hafidhahullah (anggota Haiah Kibaar Ulama
Saudi Arabia).
Pernah
diajukan pertanyaan kepada beliau:
"Dalam
permasalahan udzur kejahilan, ada yang berpendapat bahwa udzur tersebut tidak
ada dan ia berlebih-lebihan padanya hingga berpendangan seluruh manusia ini
adalah kafir kecuali dirinya. Sebaliknya, ada pula yang lembek seraya
menganggap Yahudi dan Nashrani tidak kafir. Semua orang berhak diberikan udzur
kejahilan. Kami mohon jawaban yang memuaskan berdasarkan madzhab
ahlul-hadits".
Kemudian,
beliau hafidhahullah menjawab:
"Udzur
kejahilan merupakan perkara yang dikenal di kalangan ulama, akan tetapi mereka
berselisih pendapat tentang kaifiyyah sampainya hujjah (buluughul-hujjah),
pemahaman hujjah, dan hilangnya penghalang dari orang yang menerima hujjah.
Di
antara mereka ada yang mengatakan : Apabila telah sampai hujjah, hilanglah
kejahilan. Tidak disyaratkan hilangnya penghalang dari orang yang menerima
hujjah, meskipun itu berupa pemahamannya (terhadap hujjah). Namun yang benar,
apabila orang jahil ini belum sampai kepadanya hujjah seperti kedudukan
orang-orang 'Ajam (non-'Arab) yang tidak memahami nash-nash - meskipun ia orang
'Arab - , maka harus dijelaskan hujjah tersebut kepadanya. Sangat disayangkan
banyak kaum muslimin yang mengatakan 'Laa ilaha illallaah', namun bersamaan
dengan itu ia senantiasa melakukan perkara yang membatalkan kalimat tauhid
karena kejahilannya bahwa perkara tersebut dapat membatalkan kalimat tauhid
(yang ia ucapkan).
Orang
seperti ini perlu dijelaskan bahwa berdoa kepada selain Allah dan meminta kebutuhan/keperluan
kepada makhluk yang tidak sanggup dipenuhi kecuali oleh Allah semata, adalah
syirik (akbar) yang mengeluarkan pelakunya dari agama. (Namun) tidak boleh
menghukumi orang seperti ini dengan kekufuran kecuali setelah memberikan
penjelasan kepadanya. Ini jika disandarkan kepada person. Adapun jika
disandarkan kepada perbuatannya, maka harus dinyatakan perbuatan itu syirik,
dan barangsiapa yang melakukannya, maka ia telah berbuat kesyirikan. Akan
tetapi hukum terhadap individu/personnya, tergantung pada (tegaknya) penjelasan
yang sesuai terhadapnya. Oleh karena itu, engkau akan dapati jawaban-jawaban
Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab bahwa beliau kadang memberikan udzur
dalam satu kasus, dan tidak memberikan udzur dalam kasus yang lain. Tidak
diragukan lagi, ini bukan paradoks, bukan pula idlthiraab (goncang)
dalam fatwa, akan tetapi hal itu kembali pada perbedaan situasi dan kondisi
yang disandarkan kepada orang-orang yang meminta fatwa.
Semua
ini disandarkan kepada orang yang mengaku beragama Islam yang mengucapkan
syahadat Laa ilaha illallaah wa anna Muhammadan-Rasuulullah. Adapun
orang yang memuluk agama selain Islam seperti Yahudi dan Nashrani, maka tidak
ragu lagi akan kekafiran mereka dan kekalnya mereka di neraka.
Nas-alullaahal-'aafiyyah"
[selesai
- http://shkhudheir.com/fatawa/1800102298].
Diambil dari status FB.
[1] Perkataan beliau rahimahullah bahwa
orang yang berbuat kesyirikan dari kalangan ulama dikarenakan kejahilan (salah ta'wil)
diberikan pahala, maka ini mengingatkan kita pada perkataan salah seorang
ustadz kita yang perkataannya menjadi 'bully' pentolan kelompok pengibar
peniadaan udzur kejahilan. Perkataan ustadz tersebut ternyata hampir semakna dengan
perkataan Asy-Syaikh 'Abdurrahmaan bin Yahyaa Al-Mu'allimiy Al-Yamaaniy, seorang
'aalim rabbaniy yang kedudukannya secara keilmuan tidak lebih rendah
dari ulama yang lainnya. Perkataan ma'juur (diberikan pahala) perlu
diteliti kembali. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
كل
من عبد عبادة نهي عنها ولم يعلم بالنهي - لكن هي من جنس المأمور به - مثل من صلى
في أوقات النهي وبلغه الأمر العام بالصلاة ولم يبلغه النهي ...... فإنها إذا دخلت
في عموم استحباب الصلاة ولم يبلغه ما يوجب النهي أثيب على ذلك ....... بخلاف ما لم
يشرع جنسه مثل الشرك فإن هذا لا ثواب فيه وإن كان الله لا يعاقب صاحبه إلا بعد
بلوغ الرسالة كما قال تعالى: {وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ
رَسُولاً} [الإسراء: 15] لكنه وإن كان لا يعذب فإن هذا لا يثاب بل هذا كما
قال تعالى: {وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء
مَّنثُورًا} [الفرقان: 23]
“Setiap
orang yang beribadah dengan peribadahan yang dilarang (oleh syari’at), namun ia
tidak mengetahui keberadaan larangan tersebut – akan tetapi ibadah tersebut
termasuk jenis yang diperintahkan – , seperti orang yang shalat di waktu-waktu
yang terlarang dimana telah sampai padanya perintah umum untuk melaksanakan
shalat, namun tidak sampai padanya larangan (untuk shalat di waktu-waktu
tersebut) ...... Maka jika ia masuk dalam keumuman dalil perintah shalat, namun
belum sampai padanya larangannya, orang tersebut tetap diberikan pahala....
Berbeda halnya dengan ibadah yang tidak disyari’atkan menurut jenisnya, seperti
perbuatan syirik. Perbuatan ini tidak diberikan pahala (jika orang tersebut
melakukannya dengan ketidaktahuannya). Sesungguhnya Allah tidaklah menghukum
orang tersebut kecuali setelah sampainya risaalah, sebagaimana yang difirmankan
Allah ta’ala : ‘Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang
Rasul’ (QS. Al-Israa’ ; 15). Akan tetapi – meskipun ia tidak diadzab karenannya
– ia tidak diberikan pahala dengannya. Bahkan perbuatannya ini sebagaimana
firman Allah ta’ala : ‘Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan,
lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan’ (QS.
Al-Furqaan : 23)...” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 20/31-33].
Seandainya
ustadz mengambil faedah dari perkataan Asy-Syaikh Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy rahimahullah
ini, tentu bisa dimaklumi karena sumbernya adalah ulama yang diakui
keilmuannya. Meski tetap kita katakan, perkataan tersebut lemah. Sama halnya
dengan perkataan sebagian orang yang mengkafirkan orang Raafidlah tanpa
pembedaan yang ‘awwam dan ‘alimnya karena mengambil fatwa dari Asy-Syaikh
Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah. Pendapat beliau ini bertentangan
dengan pendapat Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
yang tidak mengkafirkan semua orang Raafidlah.
Anyway,
substansi perkataan Asy-Syaikh 'Abdurrahmaan bin Yahyaa Al-Mu'allimiy
Al-Yamaaniy rahimahumallah adalah benar, meski barangkali ada satu
kalimat yang perlu untuk diteliti kembali. Wallaahu a’lam.
Comments
Posting Komentar