Tanya
: Apakah
benar jika kita melihat kekafiran atau kesyirikan (akbar), kita menghukumi
pelakunya dengan kekufuran lahir tanpa perlu iqaamatul-hujjah. Adapun iqaamatul-hujjah
hanya untuk memastikan yang bersangkutan kufur secara batin. Jika ia menolak,
maka ia kufur secara lahir dan batin.
Jawab
: Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa
Rasululillah wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihi wa man waalah, amma ba’d :
Madzhab
Ahlus-Sunnah mensyaratkan iqaamatul-hujjah (penegakan
hujjah) terlebih dahulu sebelum pengkafiran terhadap individu tertentu (mu'ayyan). Iqaamatul-hujjah
adalah menyampaikan dalil kepada orang yang belum sampai hujjah itu kepadanya
atau samar baginya, serta menjelaskan dan memahamkannya[1]
tentang kebenaran dan sekaligus kebatilan yang mereka lakukan. Ini adalah
prinsip umum dalam pengkafiran sebagaimana ditegaskan para ulama kita dari
zaman ke zaman.
Asy-Syaafi’iy
rahimahullah (w. 204 H) berkata:
فَإِنْ خَالَفَ ذَلِكَ بَعْدَ ثُبُوتِ
الْحُجَّةِ عَلَيْهِ فَهُوَ كَافِرٌ، فَأَمَّا قَبْلَ ثُبُوتِ الْحُجَّةِ
فَمَعْذُورٌ بِالْجَهْلِ، لِأَنَّ عِلْمَ ذَلِكَ لَا يُدْرَكُ بِالْعَقْلِ، وَلَا
بِالرُّؤْيَةِ وَالْفِكْرِ، وَلَا نُكَفِّرُ بِالْجَهْلِ بِهَا أَحَدًا، إِلَّا
بَعْدَ انْتِهَاءِ الْخَبَرِ إِلَيْهِ بِهَا
“Apabila
ia (pelaku kekufuran) menyelisihi hal itu setelah tegaknya hujjah padanya, maka
ia kafir. Adapun jika penyelisihannya itu sebelum tegak hujjah padanya, ia
diberikan ‘udzur dengan sebab kejahilannya, karena ilmu tentang hal itu
tidaklah dicapai dengan akal, pandangan, dan pemikiran. Kami tidak mengkafirkan
seorangpun dengan sebab kejahilan terhadapnya, kecuali setelah sampainya khabar
tersebut kepadanya” [Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw oleh Ibnu Qudaamah
Al-Maqdisiy, no. 93 hal. 181].
Ath-Thabariy
rahimahullah (w. 310 H) berkata:
وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ قَامَتْ عَلَيْهِ حُجَّةُ
اللَّهِ، تَعَالَى ذِكْرُهُ، بِوَحْدَانِيَّتِهِ وَشَرَائِعِهِ، فَإِنَّهُ غَيْرُ خَارِجٍ،
مَعَ قِيَامِ الْحُجَّةِ عَلَيْهِ بِهَا، مِنَ الإِيمَانِ أَوِ الْكُفْرِ
“Begitu
pula setiap orang yang telah tegak padanya hujjah Allah ta’ala tentang
ke-Esaan-Nya dan syari’at-syari’at-Nya, maka ia tidaklah keluar - bersamaannya
dengan tegaknya hujjah tersebut terhadapnya - dari keimanan atau kekufuran[2]”
[Tahdziibul-Aatsaar no. 965].
Di
lain tempat beliau rahimahullah berkata:
فإن هذه المعاني التي وصفت ونظائرها مما
وصف الله عز وجل بها نفسه أو وصف بها رسوله ﷺ مما لا تدرك حقيقة علمه بالفكر
والروية، ولا نكفر بالجهل بها أحداً إلا بعد انتهائها إليه
“Sesungguhnya
makna-makna yang telah aku sebutkan ini dan selainnya dari apa saja yang telah
Allah ‘azza wa jalla sifatkan diri-Nya dengannya atau disifatkan oleh
Rasul-Nya ﷺ
dengannya, yang hakekat ilmunya tidak dapat dicapai dengan akal pikiran maupun
pengamatan; maka kami tidak mengkafirkan seorangpun yang tidak mengetahuinya
kecuali setelah hal itu sampai kepadanya” [At-Tabshiir fii Ma’aalimid-Diin,
hal. 140].
Ibnu
Hazm rahimahullah (w. 456 H) berkata:
فَقُلْنَا: عُذْرًا بِجَهْلِهِمَا كَمَا يُعْذَرُ
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَأَخْطَأَ فِيهِ، وَبَدَّلَهُ، وَزَادَ، وَنَقَصَ وَهُوَ يَظُنُّ
أَنَّهُ عَلَى صَوَابٍ، وَأَمَّا مَنْ قَامَتِ الْحُجَّةُ عَلَيْهِ، وَتَمَادَى مُعَانِدًا
لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَهُوَ كَافِرٌ بِلَا شَكٍّ
“Kami
katakan : Diberikan ‘udzur dikarenakan kejahilan keduanya sebagaimana diberikan
‘udzur orang yang membaca Al-Qur’an lalu ia keliru dengan mengubahnya,
menambahnya, dan menguranginya dalam keadaan ia menyangka di atas kebenaran. Adapun
orang yang telah tegak padanya hujjah, dan kemudian ia tetap melakukannya
dengan penentangan terhadap Rasulullah ﷺ, maka ia kafir tanpa keraguan” [Al-Muhallaa,
7/70].
Di
lain tempat beliau rahimahullah mengatakan:
وَكَذَلِكَ من قَالَ أَن ربه جسم فَإِنَّهُ
إِن كَانَ جَاهِلا أَو متأوَلَا فَهُوَ مَعْذُور لَا شَيْء عَلَيْهِ وَيجب
تَعْلِيمه فَإِذا قَامَت عَلَيْهِ الْحجَّة من الْقُرْآن وَالسّنَن فَخَالف مَا
فيهمَا عناداً فَهُوَ كَافِر يحكم عَلَيْهِ بِحكم الْمُرْتَد
“Begitu
pula dengan orang yang mengatakan bahwa Rabbnya adalah jism (memiliki
badan). Apabila jahil atau keliru ta’wil, maka ia diberikan
‘udzur dan tidak ada dosa padanya. Wajib untuk mengajarinya. Apabila telah
tegak padanya hujjah dari Al-Qur’an dan as-sunnah, lalu ia menyelisihinya
dengan penentangan, maka ia kafir. Ia dihukumi dengan hukum orang murtad” [Al-Fashl
fil-Milaal wal-Ahwaa’ wan-Nihal, 3/141].
Ibnul-‘Arabiy
Al-Malikiy rahimahullah (w. 543 H) berkata:
فالجاهل والمخطئ من هذه الأمة ولو عمل من
الكفر والشرك ما يكون صاحبه مشركاً أو كافراً، فإنه يعذر بالجهل والخطأ حتى يتبين
له الحجة التي يكفر تاركها بياناً واضحاً ما يلتبس على مثله، وينكر ما هو معلوم
بالضرورة من دين الإسلام، مما أجمعوا عليه إجماعاً قطعياً، يعرفه من المسلمين من
غير نظر وتأمل
“Orang
yang jaahil dan keliru dari umat ini, meskipun melakukan kekufuran dan
kesyirikan, maka pelakunya tidaklah menjadi kafir atau musyrik, karena ia
diberikan ‘udzur atas kejahilan dan kekeliruannya tersebut. Hal ini berlaku
hingga jelas baginya hujjah secara gamblang yang mengkafirkan orang yang
meninggalkannya tanpa ada kesamaran bagi orang (lain) yang semisal dengan ia.
Atau ia mengingkari sesuatu yang diketahui secara jelas dalam agama Islam,
telah disepakati secara pasti (oleh para ulama), dan diketahui oleh kaum
muslimin tanpa melalui proses penelitian dan perenungan” [Tafsiir
Al-Qaasimiy, 5/1307-1308].
Ibnu
Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah (w. 620 H) berkata:
وكذلك كلُّ جاهل بشيء يُمكن أن يجهله، لا
يُحكم بكفره حتى يعرف ذلك وتزول عنه الشبهة ويستحله بعد ذلك
“Dan
begitu pula setiap orang yang jahil (tidak mengetahui) tentang sesuatu yang
dimungkinkan baginya untuk tidak mengetahuinya, maka tidak dihukumi kafir
hingga ia mengetahui hal tersebut dan hilangnya darinya syubhat lalu ia
menghalalkannya setelahnya” [Al-Mughniy, 12/277].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah (w. 728 H) berkata:
وليس لأحد ان يكفر أحدا من المسلمون وان
أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك
عنه بالشك بل لا يزول الا بعد إقامة الحجة وازالة الشبهة
“Dan
tidak boleh bagi seorangpun mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau
ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan
kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap keislamannya dengan
yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang
kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 12/466].
وإذا عرف هذا فتكفير المعين من هؤلاء
الجهال وأمثالهم بحيث يحكم عليه بأنه من الكفار لا يجوز الاقدام عليه الا بعد ان
تقوم على أحده الحجة الرسالية التي يتبين بها أنهم مخالفون للرسل وان كانت هذه
المقالة لا ريب انها كفر
“Apabila
telah diketahui hal ini, maka pengkafiran secara mu’ayyan
(individu/personal) terhadap orang-orang bodoh tersebut dan yang semisal dengan
mereka - dengan penghukuman bahwa mereka itu kafir - tidak diperbolehkan
kecuali setelah tegak padanya hujjah risaaliyyah yang menjelaskan bahwa
mereka menyelisihi Rasul; meskipun perkataan tersebut tidak diragukan lagi
kekufurannya” [idem, 12/500].
Adz-Dzahabiy
rahimahullah (748 H) memberi kesaksian atas madzhab Ibnu Taimiyyah dalam
pengkafiran (takfiir) dengan perkataannya:
ومذهبه توسعة العذر للخلق، ولا يكفر أحد إلا
بَعْد قيام الحجة عَلَيْهِ.
“Dan
madzhabnya (Ibnu Taimiyyah) adalah luas dalam pemberian ‘udzur kepada makhluk.
Beliau tidak mengkafirkan seorangpun kecuali setelah ditegakkan hujjah
kepadanya” [Adz-Dzail ‘alaa Thabaqaat Al-Hanaabilah, 4/506].[3]
Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah (w. 1206 H) berkata:
وكذلك تمويهه على الطغام بأن ابن عبد
الوهاب يقول: الذي ما يدخل تحت طاعتي كافر، ونقول: سبحانك هذا بهتان عظيم! بل نشهد
الله على ما يعلمه من قلوبنا، بأن من عمل بالتوحيد، وتبرأ من الشرك وأهله، فهو
المسلم في أي زمان وأي مكان. وإنما نكفّر مَن أشرك بالله في إلهيته، بعد ما نبين
له الحجة على بطلان الشرك
“Begitu
juga distorsi yang mereka lakukan terhadap masyarakat awam bahwasannya Ibnu
‘Abdil-Wahhaab mengatakan : ‘Orang yang tidak berada di bawah ketaatanku, maka
kafir’. Subhaanallaah, ini adalah kedustaan yang sangat besar. Akan
tetapi kami bersaksi kepada Allah terhadap apa yang Ia ketahui pada perkataan
kami bahwasannya siapa saja yang beramal ketauhidan serta berlepas diri dari
kesyirikan dan pelakunya, maka dia adalah muslim kapapunpun dan dimanapun. Kami
hanyalah mengkafirkan orang berbuat syirik kepada Allah dalam ilahiyyah-Nya
setelah kami jelaskan padanya hujjah atas batilnya kesyirikan” [Ar-Risaalah
Asy-Syakhshiyyah, hal. 60].
Asy-Syaikh
Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy rahimahullah (w. 1420 H) berkata:
لكن الحقيقة التكفير الذي يذكرونه مقرونا
بمخالفة الإجماع هو الإجماع اليقيني الذي يعبر عنه علماء الأصول بمخالفة ما ثبت من
الدين بالضرورة فهذا هو الذي يستلزم التكفير بعد إقامة الحجة.
وعلى هذا النوع من الإجماع ـ الإجماع
اليقيني ـ يطبق قوله تعالى : وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا
“Akan
tetapi hakekat pengkafiran (takfir) yang diakibatkan dari penyelisihan
terhadap ijmaa’, (maksudnya) adalah ijmaa’ yang yakin/pasti (ijmaa’
yaqiiniy) yang dinyatakan ulama ushul sebagai penyelisihan terhadap perkara
agama yang telah jelas/pasti (al-ma’luum minad-din bidl-dlaruurah -
Abul-Jauzaa’). Maka ijmaa’ inilah yang mengkonsekuensikan pengkafiran
setelah ditegakkannya hujjah.
Berdasarkan
atas jenis ijmaa’ ini – yaitu ijmaa’ yang yakin (ijmaa’
yaqiiniy) – diterapkan firman Allah ta’ala : ‘Dan barang siapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu
seburuk-buruk tempat kembali’ (QS. An-Nisaa’ : 115)” [Fataawaa
Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy fil-Madiinah wal-‘Imaaraat, hal.
45].
نعم، نقل كلام الصوفية ولا يمكن أن يفهم
منه إلا أنه يقول بوحدة الوجود، لكن نحن من قاعدتنا -وأنت من أعرف الناس بذلك لأنك
تتابع جلساتي- لا نكفر إنساناً ولو وقع في الكفر إلا بعد إقامة الحجة
“Ya,
ia (Sayyid Quthb) menukil perkataan Shuufiyyah yang tidak mungkin kita pahami
darinya kecuali dirinya mengatakan wihdatul-wujuud. Akan kami dengan prinsip
kami – dan engkau termasuk orang yang paling mengenal hal tersebut karena
engkau mengikuti majelis-majelis pengajianku – bahwa kami tidak mengkafirkan seseorang
meskipun ia terjatuh dalam kekufuran, kecuali setelah ditegakkannya hujjah” [Kaset
berjudul Mafaahimu Yajibu an Tushahhah].
Ini
merupakan bentuk keadilan syari’at Allah ta’ala. Allah ta’ala
tidak akan memberikan hukuman terhadap seseorang hingga ia mengetahui ilmunya
dari apa yang ia langgar dari ketentuan/syari’at-Nya. Seseorang tidak hilang
status keislamannya hanya dengan tuduhan kekafiran hingga tegak padanya hujjah.
Dalilnya
pensyari’atan penegakan hujjah (sebelum takfir) sangatlah banyak, diantaranya:
1.
Firman Allah ta’ala:
وَمَا
كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“Dan Kami tidak
akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” [QS. Al-Israa’ : 15].
Tentang ayat ini
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأن
حكم الوعيد على الكفر لا يثبت في حق الشخص المعين حتى تقوم عليه حجة الله التي بعث
بها رسله كما قال تعالى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“Bahwasannya hukum
peringatan atas kekafiran tidaklah ditetapkan terhadap diri seseorang hingga
tegak padanya hujjah Allah yang Ia mengutus dengannya para Rasul-Nya,
sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Dan Kami tidak akan mengazab
sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15)” [Bughyatul-Murtaad,
hal. 311].
ومن
خالف ما ثبت بالكتاب والسنة فإنه يكون إما كافرا وإما فاسقا وإما عاصيا إلا أن
يكون مؤمنا مجتهدا مخطئا فيثاب على إجتهاده ويغفر له خطؤه وكذلك إن كان لم يبلغه
العلم الذى تقوم عليه به الحجة فإن الله يقول وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا وأما
إذا قامت عليه الحجة الثابتة بالكتاب والسنة فخالفها فإنه يعاقب بحسب ذلك إما
بالقتل وإما بدونه والله أعلم
“Dan barangsiapa yang
menyelisihi apa yang telah tetap dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ia
statusnya boleh jadi kafir, fasiq, atau orang yang bermaksiat. Kecuali jika
dirinya adalah seorang mukmin mujtahid yang keliru (dalam ijtihadnya), maka ia
diberikan pahala dalam ijtihad-nya dan diampuni kesalahannya tersebut.
Begitu pula jika belum sampai kepadanya ilmu yang dengannya ditegakkan hujjah,
maka Allah ta’ala berfirman : ‘‘Dan Kami tidak akan mengazab sebelum
Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15). Adapun jika telah tegak
padanya hujjah yang tsaabit dari Al-Qur’an dan As-Sunnah lalu ia
menyelisihinya, maka ia dihukum sesuai kadar penyelisihannya. Bisa jadi ia
dibunuh, bisa jadi hukumannya di bawah itu, wallaahu a’lam” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 1/113].
2.
Firman Allah ta’ala:
وَمَا
كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا
يَتَّقُونَ
“Dan
Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi
petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus
mereka jauhi” [QS. At-Taubah : 115].
Al-Bukhaariy rahimahullah
berdalil dengan ayat ini pada satu bab dalam kitab Shahiih-nya
berjudul:
بَاب
قَتْلِ الْخَوَارِجِ وَالْمُلْحِدِينَ بَعْدَ إِقَامَةِ الْحُجَّةِ عَلَيْهِمْ
“Bab : Pembunuhan
orang-orang Khawaarij setelah ditegakkannya hujjah terhadap mereka” [Shahiih
Al-Bukhaariy, 4/280].
Abul-Qaasim
Al-Ashbahaaniy rahimahullah berhujjah dengan ayat ini dalam perkataannya:
ومن
تعمد خلاف أصل من هَذِهِ الأصول وكان جاهلا لم يقصد إليه من طريق العناد فإنه لا يكفر
لأنه لم يقصد اختيار الكفر ولا رضي به وقد بلغ جهده فلم يقع له غير ذَلِكَ، وقد أعلم
الله سبحانه أنه لا يؤاخذ إلا بعد البيان، ولا يعاقب إلا بعد الإنذار فقال تَعَالَى:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ.
“Dan barangsiapa
sengaja menyelisihi salah satu pokok dari pokok-pokok (syari’at) ini dalam
keadaan jahil tanpa ada maksud penentangan, maka ia tidak dikafirkan. Hal itu
dikarenakan ia tidak bermaksud sengaja melakukan kekafiran dan tidak pula ridla
dengannya. Dan ia telah mengerahkan kemampuannya namun tidak ia dapatkan selain
dari itu (kekeliruannya). Allah ta’ala telah memberitahukan bahwasannya
ia tidak dihukum kecuali setelah datang penjelasan dan peringatan. Allah ta’ala
berfirman : ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum,
sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka’ (QS. At-Taubah : 115)” [Al-Hujjah
fii Bayaanil-Mahajjah, 2/511].
3.
Firman Allah ta’ala:
رُسُلا
مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ
بَعْدَ الرُّسُلِ
“(Mereka
kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul
itu”
[QS. An-Nisaa’ : 165].
Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata:
لكن
من الناس من يكون جاهلا ببعض هذه الأحكام جهلا يعذر به فلا يحكم بكفر احد حتى تقوم
عليه الحجة من جهة بلاغ الرسالة كما قال تعالى لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى
اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وقال تعالى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى
نَبْعَثَ رَسُولاً ولهذا لو أسلم رجل ولم يعلم ان الصلاة واجبة عليه أو يعلم ان
الخمر يحرم لم يكفر بعدم اعتقاد ايجاب هذا وتحريم هذا بل ولم يعاقب حتى تبلغه
الحجة النبوية
“Akan tetapi ada di
antara manusia yang jaahil (tidak mengetahui) terhadap sebagian
hukum-hukum ini dimana kejahilannya ini diberikan ‘udzur. Maka tidak boleh
seseorang dihukumi kafir hingga tegak padanya hujjah dari sisi sampainya
risalah kepadanya sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Agar supaya
tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu’
(QS. An-Nisaa’ : 165). Dan Allah ta’ala juga berfirman : ‘Dan Kami
tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ :
15)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/406].
4.
Firman Allah ta’ala:
ذَلِكَ
أَنْ لَمْ يَكُنْ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا غَافِلُونَ
“Yang
demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara
aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah”
[QS. Al-An’aam : 131].
Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata:
أى
هذا بهذا السبب فعلم أنه لا يعذب من كان غافلا ما لم يأته نذير ودل أيضا على أن
ذلك ظلم تنزه سبحانه عنه
“Yaitu, dengan sebab
ini maka diketahui bahwa Allah tidak mengadzab orang yang lengah selama tidak
datang kepadanya orang yang memberi peringatan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa
kedhaliman ditiadakan dari Allah subhaanahu wa ta’ala” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 19/215-216].
5.
Hadits Sa’d bin
‘Ubaadah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
لَوْ
رَأَيْتُ رَجُلًا مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرُ مُصْفِحٍ عَنْهُ،
فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: " أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟
فَوَاللَّهِ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي، مِنْ أَجْلِ غَيْرَةِ
اللَّهِ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا شَخْصَ أَغْيَرُ
مِنَ اللَّهِ، وَلَا شَخْصَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ
ذَلِكَ بَعَثَ اللَّهُ الْمُرْسَلِينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا شَخْصَ أَحَبُّ
إِلَيْهِ الْمِدْحَةُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ وَعَدَ اللَّهُ الْجَنَّةَ
"
“Seandainya aku melihat
seorang laki-laki Bersama istriku, sungguh akan aku tebas ia dengan pedang. Lalu
hal itu sampai kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau ﷺ bersabda: “Apakah kalian merasa heran
dengan cemburunya Sa’d?. Maka demi Allah, sungguh aku lebih cemburu daripadanya
dan Allah lebih cemburu daripada aku. Dikarenakan kecemburuan Allah itulah,
maka Allah mengharamkan perbuatan keji (zina) baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.
Tidak ada seorangpun yang lebih menyukai adanya ‘udzur (alasan) daripada Allah.
Oleh karena itulah, Allah mengutus (para Rasul) yang memberikan kabar gembira
dan peringatan. Dan tidak ada seorangpun yang lebih menyukai pujian daripada
Allah, dan oleh karena itulah Allah menjanjikan surga” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 7416 dan Muslim no. 1499].
An-Nawawiy rahimahullah
berkata:
فَالْعُذْر
هُنَا بِمَعْنَى الْإِعْذَار وَالْإِنْذَار قَبْل أَخْذهمْ بِالْعُقُوبَةِ ،
وَلِهَذَا بَعَثَ الْمُرْسَلِينَ كَمَا قَالَ سُبْحَانه وَتَعَالَى : {وَمَا
كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَث رَسُولًا}
“’Udzur di sini
bermakna pemberian maaf dan peringatan sebelum memberikan mereka hukuman. Oleh
karenanya, Allah ta’ala mengutus para Rasul sebagaimana firman-Nya subhaanahu
wa ta’ala : ‘: ‘Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus
seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15)” [Syarh Shahiih Muslim, 10/132].
6.
Dan yang lainnya.
Apabila
telah tegak hujjah pada seseorang yang melakukan kekufuran (akbar), maka kafir.
Iqaamatul-hujjah
selain
bertujuan memastikan syarat ilmu (yang menafikkan kejahilan) dalam pengkafiran
individu/personal berupa penyampaian hujjah (plus pemahamannya), juga untuk
memastikan syarat lain, yaitu al-qashd (kesengajaan/niat) yang
menafikkan al-khatha’ (kekeliruan)[4]
dan al-ikraah (keterpaksaan)[5].
Ada
beberapa permasalahan kekufuran (akbar) yang tidak menerima udzur kejahilan
seperti menghina/mencaci Allah dan Rasul-Nya, serta agama Islam, sehingga
siapapun yang beralasan tidak tahu (jahil) tidak diterima ‘udzurnya. Namun, jika
ia melakukannya karena udzur tidak sengaja atau keliru, diterima udzurnya dan
tidak dikafirkan.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah pernah ditanya : “Wahai
syaikh, semoga Allah menjaga Anda. Tentang masalah ‘udzur kejahilan, apakah itu
juga termasuk permasalahan menghina/mencaci agama dan Rabb (Allah) ?
Syaikh
: “Masalah apa ?”.
Penanya
: “Masalah menghina agama dan menghina Rabb”.
Syaikh
: “Menghina apa ?”
Penanya
: “Menghina agama dan menghina Rabb”.
Syaikh
: “Menghina siapa ?”.
Penanya
: “Menghina Rabb”
Syaikh
: “Apakah ada seorangpun yang jahil/tidak mengetahui bahwa Rabb wajib untuk
diagungkan ?. Aku bertanya kepadamu. Aku bertanya kepadamu, dan katakan ya atau
tidak”.
Penanya
: “Tidak. Tidak seorangpun”.
Syaikh
: “Tidak ada seorangpun yang jahil/tidak mengetahui bahwa Rabb memiliki hak
untuk diagungkan dan dihormati/dimuliakan, sehingga tidak mungkin seorangpun
menghina-Nya. Begitu juga syari’at. Maka ini adalah permasalahan yang wajib
(aksiomatik) dalam pikiran, dan tidak ada wujudnya dalam kenyataan (bagi
seorang muslim).
Setiap
orang yang menghina Allah, maka ia kafir murtad meskipun ia sekedar
bersendau-gurau[6]. Wajib
untuk dibunuh, wajib dihadapkan kepada waliyul-amri, dan tidak terbebas
dari tanggung jawab kecuali dengan melakukan hal tersebut” [sumber : http://ia600303.us.archive.org/26/items/elkofr/binotaimeen.mp3].
Kemudian
di lain kesempatan, beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang menghina/mencaci
agama dalam keadaan marah. Beliau rahimahullah menjawab:
إن الإنسان إذا تاب من أي ذنب – ولو كان
ذلك سب الدين – فإن توبته تقبل إذا استوفت الشروط التي ذكرناها, ولكن ليعلم أن
الكلمة قد تكون كفرا وردة ولكن المتكلم بها قد لا يكفر بها لوجود مانع يمنع من
الحكم بكفره, فهذا الرجل الذي ذكر عن نفسه أنه سب الدين في حال الغضب, نقول له: إن
كان غضبك شديدا بحيث لا تدري ما تقول, ولا تدري أنت حينئذ أأنت في سماء أم في أرض,
وتكلمت بكلام لا تستحضره ولا تعرفه, فإن هذا الكلام لا حكم له, ولا يحكم عليك
بالردة؛ لأنه كلام حصل عن غير إرادة وقصد, وكل كلام حصل عن غير إرادة وقصد فإن
الله سبحانه وتعالى لا يؤاخذ به. يقول الله تعالى في الأيمان: (لاَ يُؤَاخِذُكُمُ
اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ
الأَيْمَانَ) {سورة المائدة, الآية: 89} فإذا كان هذا المتكلم بكلمة الكفر في غضب
شديد لا يدري ما يقول, ولا يعلم ما خرج منه فإنه لا حكم لكلامه, ولا يحكم بردته
حينئذ
“Sesungguhnya
seseorang apabila bertaubat dari dosa apapun – meskipun dosa berupa
menghina/mencaci agama - , maka taubatnya diterima apabila memenuhi
syarat-syarat yang telah kami sebutkan. Akan tetapi mesti diketahui bahwa suatu
kalimat kadang merupakan kekufuran dan kemurtadan, namun orang yang
mengatakannya kadang tidak dikafirkan dengannya karena adanya penghalang yang
menghalangi penghukuman kekafirannya. Orang ini yang disebutkan bahwa dirinya
telah menghina agama dalam keadaan marah, kami katakan kepadanya : ‘Apabila
kemarahanmu amat sangat sehingga engkau tidak tahu apa yang engkau katakan,
tidak mengetahui apakah waktu itu engkau sedang berada di langit ataukah di bumi,
lalu engkau mengatakan satu kalimat yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau
ketahui; maka perkataan ini tidak ada hukumnya. Tidak pula engkau dihukumi
dengan kemurtadan, karena perkataan tersebut keluar bukan karena keinginan dan
kesengajaan. Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala tidak memberikan
hukuman dengannya. Allah ta’ala berfirman berkaitan dengan sumpah : ‘Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja’ (QS. Al-Maaidah : 89). Maka apabila orang yang mengatakan kalimat
kekufuran dalam keadaan amat sangat marah sehingga ia tidak tahu apa yang ia
katakan, maka tidak ada hukum bagi perkataannya, dan tidak pula dihukumi dengan
kemurtadan dalam hal tersebut” [Fataawaa
‘Ulamaa Al-Baladil-Haraam, hal. 752].[7]
Orang
yang menafikkan persyaratan iqaamatul-hujjah dan langsung ‘tancap gas’
dalam pengkafiran individu/personal, maka dirinya telah menyalahi prinsip
Ahlus-Sunnah.
Ini
pertama.
Kedua,
status kekafiran seseorang – jika ia divonis kafir (murtad) karena melakukan
perbuatan kekufuran akbar – adalah kafir secara lahir dan batin. Oleh karena
itu, perkataan yang Anda sebutkan:
‘Adapun
iqaamatul-hujjah hanya untuk memastikan yang bersangkutan kufur secara batin.
Jika ia menolak, maka ia kufur secara lahir dan batin’.
mengkonsekuensikan
adanya status seseorang kafir secara lahir (karena dihukumi secara lahir dari
perbuatan kufurnya), namun belum kafir secara batin (karena ‘dianggap’ hujjah belum ditegakkan padanya). Atau bisa
jadi (kemungkinan) batinnya beriman, meskipun ia kafir secara lahir. Ini musykil.
Kekufuran
lahir merupakan dalil atas kekufuran batin. Dengan kata lain, barangsiapa yang
melakukan kekufuran yang ia divonis kafir (murtad) karenanya, maka dirinya kafir
secara lahir dan batin[8].
Memisahkan kekafiran lahir dan kekafiran batin dalam takfir merupakan
diantara ciri khas kelompok Murji’ah.
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فهؤلاء القائلون بقول جهم والصالحي قد
صرحوا بأن سب الله ورسوله والتكلم بالتثليث وكل كلمة من كلام الكفر ليس هو كفرا في
الباطن، ولكنه دليل في الظاهر على الكفر، ويجوز مع هذا أن يكون هذا السابُّ الشاتم
في الباطن عارفا بالله موحدا له مؤمنا به
“Orang-orang
yang mengatakan dengan perkataan Jahm dan Ash-Shaalihiy telah menegaskan bahwa
menghina Allah dan Rasul-Nya, serta mengucapkan perkataan tatsliits
(Trinitas) dan semua perkataan kekufuran, bukan kekufuran dalam batin, namun dalil (petunjuk) dalam lahir akan kekufuran. Maka diperbolehkan dalam
hal ini (untuk mengatakan) bahwa orang yang menghina dan mencaci (Allah dan
Rasul-Nya) dalam batinnya adalah seorang yang mengenal Allah, mentauhidkan-Nya,
dan beriman kepada-Nya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/557].
فإنا نعلم أن من سب الله ورسوله طوعا بغير
كره ، بل من تكلم بكلمات الكفر طائعا غير مكره ، ومن استهزأ بالله وآياته ورسوله
فهو كافر باطنا وظاهرا ، وإن من قال : إن مثل هذا قد يكون في الباطن مؤمنا بالله
وإنما هو كافر في الظاهر ، فإنه قال قولا معلوم الفساد بالضرورة من الدين
“Sesungguhnya
kami mengetahui bahwa barangsiapa menghina/mencaci Allah dan Rasul-Nya ﷺ secara
sukarela tanpa paksaan - bahkan yang berbicara dengan kalimat-kalimat kekufuran
secara sukarela tanpa paksaan -, serta mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya, dan
Rasul-Nya; maka ia kafir secara lahir dan batin. Dan orang yang mengatakan :
'Sesungguhnya orang semisal ini kadang dalam batinnya beriman kepada Allah, ia
hanyalah kafir dalam lahirnya saja'; maka ia telah mengatakan satu perkataan
yang diketahui dalam agama kerusakannya dengan jelas/pasti” [idem, 7/557-558].
ولهذا تنازع العلماء فى تكفير من يترك شيئا
من هذه الفرائض الأربع بعد الاقرار بوجوبها فأما الشهادتان اذا لم يتكلم بهما مع
القدرة فهو كافر بإتفاق المسلمين وهو كافر باطنا وظاهرا عند سلف الأمة وائمتها
وجماهير علمائها وذهبت طائفة من المرجئة وهم جهمية المرجئة كجهم والصالحى
واتباعهما الى أنه إذا كان مصدقا بقلبه كان كافرا فى الظاهر دون الباطن وقد تقدم
التنبيه على أصل هذا القول وهو قول مبتدع فى الإسلام لم يقله أحد من الأئمة
“Oleh karenanya, para ulama berbeda pendapat dalam pengkafiran
orang yang meninggalkan satu perkara dari empat kewajiban ini (rukun Islam)
setelah pengakuan tentang kewajibannya. Adapun dua kalimat syahadat, apabila
ada orang yang tidak mengucapkannya padahal mampu, maka ia kafir berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin. Ia kafir secara lahir dan batin menurut salaf umat,
para imamnya, serta jumhur ulama. Satu kelompok dari kalangan Murji’ah – mereka
itu adalah Jahmiyyah Murji’ah seperti Jahm, Ash-Shaalihiy, dan pengikutnya -
berpendapat yang bersangkutan membenarkan dalam hatinya, maka ia hanya kafir
dalam lahirnya saja tanpa batinnya. Telah berlalu peringatan tentang asal
perkataan ini, yaitu perkataan yang diada-adakan dalam Islam yang tidak pernah
dikatakan oleh seorangpun dari para imam” [idem, 7/609].
فمن قال بلسانه كلمة الكفر من غير حاجة
عامدا لها عالما بأنها كلمة كفر [ فإنه يكفر بذلك ظاهرا و باطنا و لأنا لا نجوز أن
يقال : إنه في الباطن يجوز أن يكون مؤمنا و من قال ذلك فقد مرق من الإسلام قال
سبحانه : { مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ } [ النحل : 106 ]
“Barangsiapa
berkata dengan lisannya kalimat kekufuran tanpa ada hajat (kebutuhan yang syar’iy)
secara sengaja dan tahu bahwa itu adalah kalimat kekufuran, maka ia dikafirkan
dengannya secara lahir dan batin. Dan kita tidak boleh mengatakan :
‘Sesungguhnya ia dalam batin boleh jadi seorang yang beriman’. Barangsiapa yang
mengatakan hal itu, sungguh ia telah keluar dari agama. Allah subhaanahu wa
ta’ala berfirman : ‘Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia
beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya azab yang besar’ (QS. An-Nahl : 106)” [Ash-Shaarimul-Masluul.
Hal. 523].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata saat mengomentari hadits tentang
‘hati’[9]:
كما قال أئمة أهل الحديث قول وعمل قول باطن
وظاهر وعمل باطن وظاهر والظاهر تابع للباطن لازم له متى صلح الباطن صلح الظاهر
وإذا فسد فسد ولهذا قال من قال من الصحابة عن المصلى العابث لو خشع قلب هذا لخشعت
جوارحه
“…..
Sebagaimana dikatakan para imam ahli hadits : (Iman) adalah perkataan dan
perbuatan. Perkataan lahir dan batin, serta perbuatan lahir dan batin. Yang
lahir mengikuti yang batin dan merupakan konsekuensi baginya. Ketika batin
baik, maka baik pula yang lahir. Begitu juga apabila batin rusak, maka rusak
pula yang lahir. Oleh karena itu salah seorang shahabat berkata tentang orang
yang main-main dalam shalatnya : ‘Seandainya hati orang ini khusyu’, niscaya
khusyu’ pula anggota badannya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/187].[10]
Jadi,
antara antara yang lahir dan yang batin saling terkait sebagaimana firman Allah
ta’ala:
ولَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
والنَّبِيِّ ومَا أُنزِلَ إلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ
“Sekiranya
mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan
kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu
menjadi penolong-penolong” [QS. Al-Maaidah : 81].
Dikarenakan
mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dalam hatinya, maka secara
lahir menjadikan mereka mengambil orang-orang musyrik sebagai penolong.
Sebaliknya, perbuatan lahir mereka mengambil orang-orang musyrik sebagai
penolong sebagai dalil ketiadaan iman mereka dalam hati terhadap Allah dan
Rasul-Nya.
Kesimpulannya
:
1.
Pengkafiran (takfiir)
dijatuhkan setelah proses iqaamatul-hujjah;
2.
Seseorang yang
melakukan kekafiran (akbar) dan ia dihukumi kafir dengannya, maka ia kafir
secara lahir dan batin.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga dapat menjawab dan ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 28 Sya’ban 1438].
[Bahan bacaan : Mudzakarah At-Takfiir wa
Dlawaabithuhu oleh Asy-Syaikh Prof. Dr. Muhammad bin ‘Umar Bazmuul, Syarh
Alfaadhis-Salaf wa Naqdlu Alfaadhil-Khalaf fii Haqiiqatil-Iimaan oleh Dr.
Ahmad bin Shaalih Az-Zahraaniy, Ar-Raddul-Burhaaniy oleh Asy-Syaikh ‘Aliy
Al-Halabiy, dan beberapa artikel di internet].
[2] Maksudnya, setelah tegak hujjah seseorang
hanya ada dua status : beriman jika ia menerima hujjah tersebut atau kafir jika
menolaknya.
[3] Adz-Dzahabiy menyifati Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahumallah sebagai orang yang sangat berhati-hati dalam
masalah pengkafiran individu. Ia (Adz-Dzahabiy) rahimahullah berkata:
وكذا
كان شيخنا ابن تيمية في أواخر أيامه يقول: أنا لا أكفر [ أحدا ] من الامة، ويقول:
قال النبي صلى الله عليه وسلم: " لا يحافظ على الوضوء إلا مؤمن " فمن
لازم الصلوات بوضوء فهو مسلم.
“Dan
guru kami, Ibnu Taimiyyah, pada hari-hari terakhir dalam kehidupannya
(menjelang wafat) berkata : ‘Aku tidak mengkafirkan seorangpun dari umat
(Islam)’. Dan beliau berkata : Nabi ﷺ bersabda :’Tidak ada orang yang menjaga wudlunya kecuali
orang yang beriman’. Maka barangsiapa yang menetapi/menjaga
shalat-shalatnya dengan berwudlu, maka ia muslim” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’,
15/88].
لَلَّهُ
أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ
عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ،
فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ
فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا،
ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ أَخْطَأَ
مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
“Allah
jauh lebih gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya
daripada kegembiraan salah seorang diantara kalian yang berada di atas hewan
tunggangannya di tanah tandus (padang pasir), lalu hewan tunggangannya itu
lepas padahal ia membawa bekal makanan dan minumnya. Maka ia putus asa
karenanya, lalu ia pun mendatangi suatu pohon untuk istirahat bersandar di
bawah naungannya. Sungguh, ia telah berputus asa untuk menemukan hewan
tunggangannya itu. Ketika ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba hewan
tunggangannya berdiri di hadapannya. Maka ia segera memegang tali kekangnya dan
berkata karena terlalu gembira : ‘Ya Allah, Engkau hambaku dan aku adalah
Rabbmu’. Ia keliru ucap karena terlalu gembira”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2747].
[5] Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
مَنْ
كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ
غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang
siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam
beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar” [QS.
An-Nahl : 106].
[6] Allah ta’ala berfirman:
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ
وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ
بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً
بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang
mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami
hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah
dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?".
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami
memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan
mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu
berbuat dosa” [QS. At-Taubah : 65-66].
[7] Silakan juga simak video beliau rahimahullah
berikut (hukum mencela agama dan Rabb dalam keadaan marah):
[8] Perlu diperhatikan dalam hal ini, seseorang
kadang melakukan kekufuran atau kemaksiatan dalam lahirnya, namun dalam
batinnya ia beriman kepada Allah ta’ala karena dirinya jahil, salah ta’wil,
tidak sengaja, atau terpaksa (yang ini semua termasuk ‘udzur dan penghalang
dalam pengkafiran). Seperti halnya perbuatan sebagian shahabat yang meminta
dibuatkan Dzaatu Anwaath karena kejahilan baru masuk Islam (silakan baca
artikel ini dan ini). Jika
perbuatan tersebut dilakukan tanpa ‘udzur, maka apa yang dilakukan secara lahir
menunjukkan apa yang ada di dalam batin.
Ibnul-Qayyim rahimahullah
berkata:
قاعدة
الايمان له ظاهر وباطن وظاهره قول اللسان وعمل الجوارح وباطنه تصديق القلب
وانقياده ومحبته فلا ينفع ظاهر لا باطن له وان حقن به الدماء وعصم به المال
والذرية ولا يجزىء باطن لا ظاهر له الا اذا تعذر بعجز أو إكراه وخوف هلاك فتخلف
العمل ظاهرا مع عدم المانع دليل على فساد الباطن وخلوه من الايمان ونقصه دليل نقصه
وقوته دليل قوته
“Kaedah/prinsip
keimanan mempunyai sesuatu yang lahir dan batin. Yang lahir berupa perkataan
lisan dan amal anggota badan, sedangkan yang batin berupa pembenaran dalam
hati, ketundukan, dan kecintaannya. Maka tidak bermanfaat keimanan lahir bagi
seseorang jika tidak mempunyai keimanan batin, meskipun darahnya tertumpah
serta terlindungi harta dan keturunannya dengannya. Begitu pula tidak mencukupi
keimanan batin bagi seseorang yang tidak mempunyai keimanan lahir, kecuali
apabila ada udzur dengan sebab kelemahan atau keterpaksaan dan khawatir
akan binasa. Maka tertinggalnya amalan lahir dengan ketiadaan penghalangnya
merupakan dalil atas kerusakan batin dan kekosongannya dari keimanan.
Kekurangan keimanan lahir adalah dalil atas kekurangan keimanan batin. Begitu
juga kuatnya keimanan lahir merupakan dalil atas kuatnya keimanan batin” [Al-Fawaaid,
hal. 124].
Maka
di sini nampak perbedaannya dari yang mereka katakan dalam hal ini bahwa
seseorang yang divonis/dicap kafir karena perbuatan kufur yang dilakukannya, ia
kafir secara lahir dan belum tentu kafir secara batin. Ini yang tidak benar.
[9] Yaitu hadits:
وَإِنَّ
فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ
فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Sesungguhnya
dalam jasad terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka baiklah seluruh
tubuhnya. Namun apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah,
ia adalah hati” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 52 dan Muslim no.
1599].
[10] Hal yang sama dikatakan oleh Asy-Syaikh
Al-Albaaniy rahimahullah:
وَالحَقِيقَةُ
أَنَّهُ لاَ يُمْكِنُ تَصَوُّرُ صَلاَحِ القُلُوبِ إِلاَّ بِصَلاَحِ الأَعْمَالِ ،
وَلاَ صَلاَحِ الأَعْمَالِ إِلاَّ بِصَلاَحِ القُلُوبِ.
وَقَدْ
بَيَّنَ ذلِكَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَجْمَلَ بَيَانٍ فِي حَدِيثِ النُّعْمَانِ بْنِ
بَشِيرٍ : «... أَلاَ وَإِنْ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً ؛ إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ
الجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ، أَلاَ وَهِيَ
القَلْبُ» ، وَحَدِيثِهِ الآخِرِ : «لَتُسَوُّنَّ صَفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ
اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ» ، أَيْ : قُلُوبِكُمْ ، وَقَوْلِهِ ﷺ : «إِنَّ اللهَ
جَمِيلٌ يُحِبُّ الجَمَالَ» ، وَهُوَ وَارِدٌ فِي الجَمَالِ المَادِّي المَشْرُوعِ
-خَلاَفاً لِظَنِّ الكَثِيرِينَ -
“Pada
hakekatnya, tidak mungkin tergambar baiknya hati kecuali dengan baiknya amal
perbuatan. Tidak mungkin pula tergambar baiknya amal perbuatan kecuali dengan
baiknya hati. Hal tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dengan seindah-indah penjelasan dalam hadits An-Nu’maan bin
Basyiir : ‘Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging.
Apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Namun apabila ia rusak, maka
rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, ia adalah hati’. Dan juga dalam
hadits yang lain : ‘Hendaklah kalian luruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan
menjadikan perselisihan di antara wajah-wajah kalian’ – maksudnya :
hati-hati kalian. Dan juga sabda beliau ﷺ : ‘Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan’.
Keindahan tersebut adalah pada keindahan jasad yang disyari’atkan, berbeda
dengan sangkaan kebanyakan orang” [Muqaddimah Riyaadlish-Shaalihiin].
Comments
Tapi ana nnt tabayyun lg sm beliau. Afwan. Mgkn ana yg salah tangkap. Jazakallohu khoiron
Wa'alaikumus-salaam.
Kalau antum tanya ke saya, maka yang saya ketahui adalah apa yang saya tuliskan (diantaranya) di atas. Terkait dengan atsar 'Umar bin Al-Khaththaab, maka memang begitu. Seseorang itu dihukumi dari apa yang nampak darinya. Tidak ada seorangpun yang menyelisihi hal ini. Hanya saja, ketika kita melabelkan status kekafiran pada seorang muslim, maka ini ada kaedahnya. Tidak setiap orang yang melakukan kekufuran disebut kafir, sebagaimana tidak setiap orang yang melakukan kebid'ahan disebut mubtadi'.
Silakan baca artikel di blog ini dalam Tag/Label Udzur Kejahilan
Wallaahu a'lam bish-shawwaab.
Afwan tadz. Ana hapus aja ya pertanyaan ana. Ana blm tabayyun ke beliau.
Ustadz..bagaimana dengan org nashrani dan non muslim lain perlukan hujjah ditegakkan kpd mereka dulu sebelum kita katakan mereka kafir..yg ana yakini selama ini mereka kafir mutlak tanpa perlu adanya hujjah
Posting Komentar