Orang
yang meniadakan ‘udzur kejahilan sering berdalil dengan syarat ilmu dalam
kalimat Laa ilaha illallaah dan kemudian mengqiyaskannya dengan wudlu.
Jika wudlu seseorang batal, maka batallah shalat. Begitu juga dengan syarat
ilmu. Jika syarat ini batal (karena kejahilan), maka batallah kalimat Laa
ilaha illallaah sehingga beralih status dari muslim menjadi kafir (murtad).
Dengan ini, ‘udzur kejahilan ditiadakan.
Padahal
analog ini tidak tepat dengan alasan:
1.
Orang jahil karena baru
masuk Islam mendapatkan dispensasi seandainya ia melakukan perkara kekufuran.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَكَذَلِكَ
الْأَمْر فِي كُلّ مَنْ أَنْكَرَ شَيْئًا مِمَّا أَجْمَعَتْ الْأُمَّة عَلَيْهِ
مِنْ أُمُور الدِّين إِذَا كَانَ عِلْمه مُنْتَشِرًا كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْس
وَصَوْم شَهْر رَمَضَان وَالِاغْتِسَال مِنْ الْجَنَابَة وَتَحْرِيم الزِّنَا
وَالْخَمْر وَنِكَاح ذَوَات الْمَحَارِم وَنَحْوهَا مِنْ الْأَحْكَام إِلَّا أَنْ
يَكُون رَجُلًا حَدِيث عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ وَلَا يَعْرِف حُدُوده فَإِنَّهُ
إِذَا أَنْكَرَ شَيْئًا مِنْهَا جَهْلًا بِهِ لَمْ يَكْفُر
"Dan begitu
juga semua orang yang mengingkari perkara yang telah disepakati oleh umat yang
ia termasuk diantara perkara-perkara agama yang ilmunya telah tersebar (di
kalangan kaum muslimin secara luas) seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlaan,
mandi dari janabah, serta haramnya zina, khamr, menikahi mahram dan yang
lainnya (tidak diberikan ‘udzur). Kecuali orang yang baru masuk Islam yang
tidak mengetahui ketentuan-ketentuannya. Apabila ia mengingkari hal-hal
tersebut karena jahil, tidak dikafirkan" [Syarh Shahih Muslim,
1/205].
Begitu juga dengan
penjelasan As-Suyuuthiy rahimahullah:
كل
من جهل تحريم شيء مما يشترك فيه غالب الناس لم يقبل منه دعوى الجهل، إلا أن يكون
قريب عهد بالإسلام، أو نشأ ببادية يخفى فيها مثل ذلك كتحريم الزنا والقتل والخمر
والكلام في الصلاة والأكل في الصوم
“Setiap orang yang
jahil (bodoh) tentang pengharaman sesuatu yang diketahui bersama oleh mayoritas
manusia tidaklah diterima klaim kejahilan itu darinya, kecuali jika ia baru
masuk Islam atau hidup di daerah terpencil (yang jauh dari ilmu dan ulama)
sehingga samar padanya (keharaman tersebut), seperti misal haramnya zina,
membunuh, minum khamr, berbicara ketika shalat, dan makan ketika puasa" [Al-Asybah
wan-Nadhaair, hal. 200-201].
Ketika ada yang
memberitahukan kepadanya bahwa perbuatannya dilarang syari'at dan termasuk dosa
besar/kekufuran (akbar), ia tidak wajib memperbaharui syahadatnya jika menerimanya
dan berhenti dari perbuatannya. Statusnya masih muslim. Tidak boleh dikatakan
ia murtad karena batal keislamannya.
Berbeda halnya dengan
orang jahil baru masuk Islam yang buang air besar lalu shalat tanpa berwudlu.
Ketika usai dari shalatnya ia diberitahukan shalatnya tidak sah karena tidak
berwudlu atau wudlunya telah batal – jika sebelumnya ia telah berwudlu. Maka
dalam hal ini, ia wajib mengulangi shalat dan wudlunya yang batal tersebut.
Begitu juga kasus
lain. Orang yang mengucapkan kalimat kesyirikan karena keliru, lupa, atau tidak sengaja;
maka tidak batal keislamannya sehingga harus memperbarui syahadatnya. Berbeda
halnya dengan orang yang shalat tapi lupa tidak wudlu atau lupa kalau wudlunya
telah batal karena kentut; ketika ingat ia wajib mengulangi wudlu dan shalatnya[1].
Jadi jelas, analog ini
tidak tepat apple to apple.
2.
Ilmu dalam syarat
kalimat Laa ilaha illallaah adalah ilmu mujmal, bukan ilmu tafshiiliy.
Ilmu mujmal
tersebut berupa penafikan peribadahan terhadap selain Allah dan menetapkan
peribadahan tersebut hanya kepada Allah semata tanpa berbuat kesyirikan
sedikitpun kepada-Nya. Ilmu mujmal ini tidak bisa tidak harus ada pada
setiap orang masuk Islam atau mengaku dirinya muslim. Ilmu mujmal ini
menghasilkan keimanan yang bersifat mujmal pula.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata:
لا
ريب أنه يجب على كل أحد أن يؤمن بما جاء به الرسول إيمانا عاما مجملا
“Dan tidak diragukan
lagi bahwasannya wajib bagi setiap orang untuk beriman kepada apa yang dibawa
Rasulullah ﷺ dengan keimanan yang umum lagi mujmal” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 3/312].
فعامة
الناس اذا اسلموا بعد كفر أو ولدوا على الاسلام والتزموا شرائعه وكانوا من اهل
الطاعة لله ورسوله فهم مسلمون ومعهم ايمان مجمل ولكن دخول حقيقة الايمان الى
قلوبهم انما يحصل شيئا فشيئا ان أعطاهم الله ذلك
"Maka kebanyakan
manusia jika masuk Islam setelah kekufuran atau dilahirkan dalam keadaan
muslim, menjalankan syari’at-syari’at-Nya, serta mentaati Allah dan Rasul-Nya;
maka status mereka muslim dengan keimanan yang mujmal. Akan tetapi
masuknya hakekat keimanan pada hati-hati mereka hanyalah terwujud sedikit demi
sedikit apabila Allah memberikannya” [idem, 7/271].
Keimanan mujmal ini
tergambar dalam penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
أن
الانسان قد يكون مكذبا ومنكرا لأمور لا يعلم أن الرسول أخبر بها وأمر بها ولو علم
ذلك لم يكذب ولم ينكر بل قلبه جازم بأنه لا يخبر إلا بصدق ولا يأمر إلا بحق ثم
يسمع الآية أو الحديث أو يتدبر ذلك أو يفسر له معناه أو يظهر له ذلك بوجه من
الوجوه فيصدق بما كان مكذبا به ويعرف ما كان منكرا وهذا تصديق جديد وإيمان جديد
ازداد به ايمانه ولم يكن قبل ذلك كافرا بل جاهلا
"Seseorang kadang mendustakan dan mengingkari
perkara-perkara yang tidak ia ketahui bahwasannya Rasulullah ﷺ telah mengkhabarkannya dan memerintahkannya.
Seandainya ia mengetahui hal tersebut, niscaya ia tidak mendustakan dan tidak
pula mengingkarinya. Bahkan hatinya kokoh (dalam keyakinan) bahwa tidaklah beliau
ﷺ
mengkhabarkan kecuali kebenaran, dan tidak memerintahkan kecuali yang haq.
Kemudian ia mendengar ayat-ayat atau (mendengar) hadits-hadits, atau
mentadaburinya, atau dijelaskan kepadanya tentang maknanya, atau nampak baginya
(kebenaran) perkara itu dari arah manapun; kemudian ia membenarkan apa yang
semula ia dustakan dan meyakini apa yang semula ia ingkari. Maka ini pembenaran
yang baru dan iman yang baru, yang menyebabkan keimanannya bertambah. Dan
dirinya sebelum itu (yaitu ketika ia mendustakan dan melakukan pengingkaran - pent.)
tidaklah kafir, akan tetapi jaahil" [idem, 7/237].
Jika seseorang jahil
terhadap ilmu mujmal tentang kalimat tauhid Laa ilaha illallaah (wa
anna Muhammadan rasulullah); jika dirinya adalah orang kafir yang hendak masuk
Islam, maka ia tidak memenuhi syarat ilmu dalam kalimat tauhid tersebut
sehingga tidak dikatakan masuk Islam secara asal. Adapun jika dirinya orang
muslim (karena keturunan), namun ia jahil dengan ilmu mujmal ini dan kemudian tidak
berkeinginan untuk mengetahuinya, mengamalkannya, tunduk dan patuh, dan tidak menginginkan
apapun juga dari kalimat itu; maka dirinya kafir dengan kufur i’raadl
(berpaling/tidak peduli).
Setelah pengetahuan
ini ada di hatinya, ia wajib untuk mengucapkan kalimat syahadat dengan lisannya
dengan wujud berlepas diri dari kesyirikan dan berkomitmen dengan ketauhidan.
Apabila ia telah mengucapkannya, maka tetap keislamannya sehingga didapatkan darinya
pokok keimanan. Dikarenakan pengetahuan ini bersifat batin (tidak nampak) dari
yang bersangkutan, cukup bagi kita untuk menetapkan keislamannya dengan dhahir
pengucapan dua kalimat syahadat.
Ibnu Rajab
Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
ومن
المعلوم بالضرورة أنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يقبل مِنْ
كل منْ جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط ، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك ،
ويجعله مسلماً ، فقد أنكر على أسامة بن زيد قتلَه لمن قال : لا إله إلا الله ، لما
رفع عليه السيفَ ، واشتدَّ نكيرُه عليه
“Dan termasuk hal
yang telah diketahui dengan pasti bahwasannya Nabi ﷺ
menerima siapa saja yang datang kepada beliau yang ingin masuk Islam hanya
dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja. Beliau ﷺ melindungi
darahnya dan menjadikannya seorang muslim. Nabi ﷺ pernah
mengingkari dengan sangat keras terhadap Usaamah bin Zaid yang membunuh orang
yang mengucapkan Laa ilaha illallaah ketika ia (Usaamah) mengangkat
pedang kepadanya. Pengingkaran beliau ﷺ ini sangat keras terhadapnya” [Jaami’ul-‘Ulum
wal-Hikam, hal. 207].
Ibnu Hajar
Al-Asqalaniy rahimahullah berkata :
وَمِنْ
حُجَج مَنْ أَجَازَ ذَلِكَ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
أُمِرْت أَنْ أُقَاتِل النَّاس حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَه إِلَّا اللَّه ،
فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ " فَيُحْكَم بِإِسْلَامِ مَنْ
تَلَفَّظَ بِالشَّهَادَتَيْنِ - وَلَوْ كَانَ فِي نَفْسِ الْأَمْر يَعْتَقِد
خِلَاف ذَلِكَ -
“Di antara
hujjah-hujjah ulama yang membolehkan hal tersebut adalah sabda Nabi ﷺ
: ‘Aku diperintah untuk memerang manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak
ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah. Apabila mereka mengucapkannya,
terpeliharalah dariku darah mereka’. Maka orang yang mengucapkan dua
kalimat syahadat dihukumi Islam (secara dhahir), meskipun sebenarnya ia
berkeyakinan lain dari itu” [Fathul-Baariy, 13/174].
Ilmu tafshiliy
wajib ia pelajari setelah itu (setelah dirinya masuk Islam), sehingga
keimanannya bertambah sedikit demi sedikit sesuai kadarnya. Wajib bagi dirinya
untuk mempelajari rincian tauhid (rububiyyah, uluhiyyah, dan asmaa’
wa shifaat), rincian kesyirikan (ashghar dan akbar), dan syari’at Islam
lainnya secara bertahap. Dan tentu, mengamalkannya.
Ilustrasi gampangnya
adalah seperti kita dulu sebelum mengenal sunnah. Kita sama-sama ngaca,
apa yang kita ketahui dengan ketauhidan dan kesyirikan. Kita hanya tahu secara
global bahwa tuhan kita adalah 1 (satu), yaitu Allah ta’ala. Tidak boleh
berbuat syirik, haram hukumnya, tanpa mengetahui apa saja rincian kesyirikan
dan pembatal keislaman. Inilah ilmu yang bersifat mujmal, ilmu minimal yang
harus ada bagi orang yang berstatus muslim. Kemudian akhirnya kita belajar
‘aqidah, iman, dan ketauhidan. Lalu kita belajar pula tentang kesyirikan dan
segala macam rinciannya. Akhirnya dari yang dulu kita remang-remang atau bahkan
buta, dapat melihat cahaya, sedikit demi sedikit dan semakin terang. Jika bukan
karena taufiq dan hidayah Allah, niscaya kita tetap dalam keadaan seperti dulu
yang kita ingat.[2]
Wallaahu
a’lam…..
[bahan
bacaan : https://karimesalafi.wordpress.com/iu98iy/j-3/ dan baca juga artikel : Syarat-Syarat Laa ilaha illallaah].
لا
يقبَلُ اللهُ صلاةَ أحدِكم إذا أَحْدثَ حتى يتوضَّأَ
"Allah
tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian apabila dia berhadats hingga
ia berwudu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6954].
Para
ulama telah bersepakat (ijmaa’) dalam hal ini.
Ibnu
Rusyd rahimahullah berkata:
واتفقوا
على أنّ من صلى بغير طهارة أنّه يجب عليه الإعادة عمداً أو نسياناَ
“Para
ulama sepakat bahwa orang yang shalat tanpa bersuci, wajib baginya untuk
mengulangi shalatnya. Baik dilakukan dengan sengaja maupun lupa” [Bidaayatul-Mujtahid,
1/151].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وكذلك
من نسي طهارة الحدث وصلى ناسيا فعليه أن يعيد الصلاة بطهارة بلا نزاع حتى لو كان
الناسي إماما كان عليه أن يعيد الصلاة ولا إعادة على المأمومين إذا لم يعلموا عند
جمهور العلماء كمالك والشافعى وأحمد فى المنصوص المشهور عنه ...
“Begitu
juga dengan orang yang lupa bersuci dari hadats lalu shalat dalam keadaan lupa,
maka wajib baginya untuk mengulangi shalat dengan bersuci terlebih dahulu tanpa
ada perselisihan. Meskipun orang yang lupa tersebut imam shalat, maka tetap
baginya untuk mengulangi shalat. Namun bagi makmum tidak (wajib) mengulanginya
apabila ia tidak mengetahuinya (keadaan si imam) menurut jumhur ulama seperti
Maalik, Asy-Syaafi’iy, dan Ahmad dalam nash-nash yang masyhur darinya….” [Al-Fataawaa
Al-Kubraa, 2/48].
[2] Kadang sebagian kita (dulu) mengolok-olok sebagian
syari’at Islam karena kebodohan kita bahwa itu termasuk syari’at Islam – sementara
di sisi lain kita tahu dan yakin haramnya mengolok-olok syari’at Islam.
Sebagian kita pula dulu ada yang ikut-ikut kiyai ngalap berkah ke kuburan,
serta tawassulan dan istighatsah kepada wali yang telah tertanam di dalam kubur
tanpa tahu itu termasuk syirik akbar, bahkan amal ketaatan kepada Allah ta’ala.
Sementara itu setiap sore-malam saat ‘nyantri kalong’, kita mendengarkan
wejangan pak kiyai wajibnya menjauhi kesyirikan dan harus mentauhidkan Allah.
Sebagian kita dulu juga ada yang termasuk bagian musuh-musuh dakwah tauhid
karena menganggap dakwah tauhid adalah dakwah yang gemar mengkafirkan dan mensyirikkan
orang. Kita memusuhi keras para ustadz dan penuntut ilmu, mendemo, dan menuntut
agar majelis ilmu mereka dibubarkan. Akhirnya Allah ta’ala memberikan
hidayah kepada kita sehingga kita terbimbing di atas jalan-Nya yang lurus.
Anehnya,
bermunculan orang yang amnesia terhadap sejarah dirinya sendiri dengan
mengatakan sebagian perkara kekufuran dan kesyirikan yang dilakukan orang-orang
(dan juga dirinya dulu) adalah perkara al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah,
perkara yang dhaahir yang tidak menerima udzur apapun dalam pengkafirannya. Siapapun
yang melakukan ini, harus dicap dengan kekafiran tanpa memperhatikan kaedah
yang ditetapkan para ulama.
Butuh
kaca besar bagi orang-orang seperti ini agar bekas bisulnya dulu di hidung yang
telah sembuh terlihat. Mudah-mudahan ia ingat…..
Comments
Posting Komentar