Berjihad Melawan Penguasa dengan Tangan……


Ibnu Hibbaan rahimahullah berkata:
أَخْبَرَنَا عِمْرَانُ بْنُ مُوسَى بْنِ مُجَاشِعٍ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذْ بْنِ مُعَاذْ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ السِّمْطِ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ طَلْحَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي ثُمَّ اسْتَكْتَمَنِي أَنْ أُحَدِّثَ بِهِ مَا عَاشَ مُعَاوِيَةُ، فَذَكَرَ عَامِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ: حَدَّثَنِي عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ، وَهُوَ قَاضِي الْمَدِينَةِ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ وَهُوَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " سَيَكُونُ أُمَرَاءُ مِنْ بَعْدي يَقُولُونَ مَا لا يَفْعَلُونَ، وَيَفْعَلُونَ مَا لا يَأْمُرُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ  بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، لا إِيمَانَ بَعْدَهُ "
قَالَ عَطَاءٌ: فَحِينَ سَمِعْتُ الْحَدِيثَ مِنْهُ انْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: أَنْتَ سَمِعْتَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ هَذَا؟ كَالْمُدْخَلِ عَلَيْهِ فِي حَدِيثِهِ، قَالَ عَطَاءٌ: فَقُلْتُ: هُوَ مَرِيضٌ فَمَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَعُودَهُ؟، قَالَ: فَانْطَلِقْ بِنَا إِلَيْهِ، فَانْطَلَقَ وَانْطَلَقْتُ مَعَهُ، فَسَأَلَهُ عَنْ شَكْوَاهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ عَنِ الْحَدِيثِ، قَالَ: فَخَرَجَ ابْنُ عُمَرَ وَهُوَ يُقَلِّبُ كَفَّهُ وَهُوَ يَقُولُ: مَا كَانَ ابْنُ أُمِّ عَبْدٍ يَكْذِبُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ

Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Imraan bin Muusaa bin Mujaasyi’ : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah bin Mu’aadz bin Mu’aadz : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim bin Muhammad, dari ‘Aamir bin As-Simth, dari Mu’aawiyyah bin Ishaaq bin Thalhah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku – kemudian  ia memintaku untuk menyimpannya selama Mu’aawiyyah (bin Ishaaq) masih hidup - . Lalu ‘Aamir menyebutkan, ia berkata : Aku mendengarnya (Mu’aawiyyah)  berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Athaa’ bin Yasaar – dan ia seorang qaadliy di Madiinah – berkata : Aku mendengar Ibnu Mas’uud berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Kelak akan ada para pemimpin setelahku yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya, maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang melawan mereka dengan hatinya, maka ia pun seorang mukmin. Tidak ada keimanan setelah hal itu”.
‘Athaa’ (bin Yasaar) berkata : “Ketika aku mendengar hadits tersebut darinya, maka aku pergi dengan riwayat tersebut menemui ‘Abdullah bin ‘Umar, lalu aku khabarkan tentangnya. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Engkau mendengar Ibnu Mas’uud mengatakan ini?”. (Kemudian ia menyampaikan) seperti pengantar terhadapnya dalam haditsnya. Setelah itu ‘Athaa’ berkata : “Ia (Ibnu Mas’uud) sedang sakit. Apa yang menghalangimu untuk menjenguknya ?”. Ibnu ‘Umar berkata : “Pergilah bersamaku kepadanya”. Maka ia pergi dan akupun pergi bersamanya. (Ketika sampai), ia (Ibnu ‘Umar) bertanya tentang keluhan sakitnya, kemudian ia bertanya tentang hadits tersebut. Lalu Ibnu ‘Umar keluar seraya membolak-balik telapak tangannya dan berkata : “Ibnu Ummi ‘Abd (yaitu Ibnu Mas’uud – Abul-Jauzaa’) tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah ” [Shahiih Ibni Hibbaan, 1/403-404 no. 177].
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad secara ringkas[1] (7/374) dari jalan ‘Aamir bin As-Simth, dan Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 3308 dari jalan Al-Hasan bin ‘Amru Al-Fuqaimiy; keduanya dari Mu’aawiyyah bin Ishaaq, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Ibnu Mas’uud.
Al-Bazzaar rahimahullah berkata:
وَهَذَا الْحَدِيثُ لا نَعْلَمُهُ يُرْوَى بِهَذَا اللَّفْظِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ إِلا بِهَذَا الإِسْنَادِ، وَلا نَعْلَمُ رَوَى عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ غَيْرَ هَذَا الْحَدِيثِ، وَلا نَعْلَمُهُ سَمِعَ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ قَدِيمًا، وَلا نَعْلَمُ أَسْنَدَ الْحَسَنُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ إِسْحَاقَ إِلا هَذَا الْحَدِيثَ
“Hadits ini tidak kami ketahui diriwayatkan dengan lafadh ini dari ‘Abdullah (bin Mas’uud) kecuali dengan sanad ini. Kami tidak mengetahui ‘Athaa’ bin Yasaar meriwayatkan dari ‘Abdullah kecuali hadits ini, dan kami tidak mengetahuinya (‘Athaa’) mendengar hadits darinya (Ibnu Mas’uud), meskipun ia (‘Athaa’) termasuk perawi yang terdahulu[2]. Dan kami tidak mengetahui Al-Hasan bin ‘Amru membawakan sanad dari Mu’aawiyyah bin Ishaaq kecuali hadits ini” [selesai].
Penyimakan hadits ‘Athaa’ bin Yasaar dari Ibnu Mas’uud diperselisihkan para ulama. Sebagian ulama ada yang menafikkan – sebagaimana isyarat perkataan Al-Bazzaar di atas - , sebagian yang lain menetapkannya.
Ibnu Abi Haatim rahimahullah berkata:
سَأَلْتُ أَبِي عَنْ حَدِيثٍ رَوَاهُ عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ إِسْحَاق، عَنْ عَطَاءَ بْنِ يَسَارٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ "، الْحَدِيثَ، قَالَ أَبِي: " هَذَا خَطَأٌ، قَوْلُهُ سَمِعْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ فَإِنَّ عَطَاءَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَكَذَا هُوَ عِنْدِي لَمْ يَسْمَعْ مِنَ ابْنِ مَسْعُودٍ "
“Aku bertanya kepada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan ‘Abdul-Waahid bin Ziyaad, dari ‘Aashim bin Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mu’aawiyyah bin Ishaaq, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, ia berkata : Aku mendengar Ibnu Mas’uud berkata : Telah bersabda Rasulullah : ‘Kelak akan ada para pemimpin setelahku yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka…’, al-hadits. Ayahku berkata : ‘Ini keliru, yaitu perkataannya ‘aku mendengar Ibnu Mas’uud berkata’. Karena, ‘Athaa’ tidak pernah mendengar hadits dari ‘Abdullah bin Mas’uud. Demikianlah menurutku, ia tidak mendengar riwayat dari Ibnu Mas’uud” [Al-Maraasiil no. 572].
Al-‘Alaaiy rahimahullah berkata : “Telah berkata Abu Haatim : ‘’Athaa’ tidak mendengar riwayat dari Ibnu Mas’uud’, dan ia menyalahkan orang yang mengatakan darinya (‘Athaa’) : Aku mendengar Ibnu Mas’uud’. Al-Bukhaariy menyelisihinya, dan ia menetapkan penyimakan riwayatnya dari Ibnu Mas’uud, wallaahu a’lam” [Jaam’ut-Tahshiil, hal. 238 no. 524].
Selain Al-Bukhaariy, Ibnu Sa’d (Ath-Thabaqaat, 5/173) dan Abu Daawud (As-Siyar, 4/449) juga menetapkan penyimakan riwayat ‘Athaa’ dari Ibnu Mas’uud.
Ad-Daaraquthniy setelah membawakan beberapa perselisihan, ia menguatkan periwayatan ‘Athaa’ (bin Yasaar), dari Abu Waaqid Al-Laitsiy, dari Ibnu Mas’uud lebih shahih [Al-‘Ilal Al-Waaridah, 5/341-342 no. 936].
‘Athaa’ bin Yasaar mempunyai mutaba’ah dari Abu Raafi’ Al-Qibthiy yang diriwayatkan oleh:
1.    Muslim no. 50, Ahmad 7/378, Abu ‘Awaanah 1/43 no. 100, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj 1/137, Ibnu Mandah dalam Al-Iimaan 1/345 no. 183, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 10/90 & Syu’abul-Iimaan 6/68, 85 & Al-I’tiqaad hal. 326, dan Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 35/430 dari jalan Shaalih bin Kaisaan;
2.    Abu ‘Awaanah 1/43 no. 98, Ibnu Hibbaan 14/71 no. 6193, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 10/13 no. 9784, dan Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj 1/137 no. 177 dari jalan ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad Ad-Daraawardiy;
3.    Ahmad 7/411, Ibnu Mandah dalam Al-Iimaan 1/346 no. 184, Abu ‘Awaanah 1/43 no. 99, dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 1/212 no. 54 dari jalan ‘Abdullah bin Ja’far Al-Makhzuumiy;
Ketiganya dari jalan Al-Haarits bin Fudlail, dari Ja’far bin ‘Abdillah bin Al-Hakam, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Miswar, dari Abu Raafi’, dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي، إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ، وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ، يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ، وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ، حَبَّةُ خَرْدَلٍ "،
قَالَ أَبُو رَافِعٍ: فَحَدَّثْتُهُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، فَأَنْكَرَهُ عَلَيَّ، فَقَدِمَ ابْنُ مَسْعُودٍ، فَنَزَلَ بِقَنَاةَ، فَاسْتَتْبَعَنِي إِلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ يَعُودُهُ، فَانْطَلَقْتُ مَعَهُ، فَلَمَّا جَلَسْنَا سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ، حَدَّثَنِيهِ كَمَا حَدَّثْتُهُ ابْنَ عُمَرَ
Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah sebelumku, melainkan ia mempunyai murid-murid setia (hawariyyun) dan para shahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah mereka, muncul para penerus yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya, maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya, maka ia pun seorang mukmin. Tidak ada keimanan setelah hal itu, walau seberat biji sawi”.
Abu Raafi’ berkata : Lalu aku menceritakan riwayat ini kepada ‘Abdullah bin ‘Umar, namun ia mengingkariku. Ketika Ibnu Mas'uud datang dan singgah di Qanaah, ‘Abdullah bin ‘Umar mengajakku untuk mengikutinya mengunjungi Ibnu Mas'uud. Aku pun pergi bersamanya. Ketika kami duduk, aku bertanya kepada Ibnu Mas'uud tentang hadits ini,. Lalu ia menceritakan hadits tersebut kepadaku sebagaimana aku menceritakannya kepada Ibnu ‘Umar” [lafadh dari Muslim].
Ibnu Hibbaan menggunakan lafadh aqwaam (kaum-kaum) sebagai ganti umaraa’ atau khuluuf.
Dua jalan hadits tersebut (‘Athaa’ bin Yasaar dan Abu Raafi’) sama-sama menceritakan pengingkaran Ibnu ‘Umar setelah disampaikan hadits oleh perawi kepadanya, dan juga kepergiannya menemui Ibnu Mas’uud dalam rangka check and re-check. Besar kemungkinan, peristiwa tersebut hakekatnya satu (sekali) karena tidak mungkin terjadi dua kali pengingkaran Ibnu ‘Umar jika masalahnya telah clear pada pertemuannya dengan Ibnu Mas’uud yang pertama. Sementara itu, dua jalan periwayatan ini (‘Athaa’ bin Yasaar dan Abu Raafi’) masing-masing ada kritikan dari para ulama mutaqaddimiin.
Riwayat ‘Athaa’ bin Yasaar dikritik ulama dari sisi penyimakan dirinya dari Ibnu Mas’uud sebagaimana ditegaskan oleh Abu Haatim dan Ad-Daaraquthniy, serta diisyaratkan oleh Al-Bazzaar. Adapun riwayat Abu Raafi’, Al-Khallaal membawakan kritikan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ذَكَرَ حَدِيثَ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ فُضَيْلٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَكَمِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: " يَكُونُ أُمَرَاءٌ يَقُولُونَ مَا لا يَفْعَلُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ ".
قَالَ أَحْمَدُ: جَعْفَرٌ هَذَا هُوَ أَبُو عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ، وَالْحَارِثُ بْنُ فُضَيْلٍ لَيْسَ بِمَحْفُوظِ الْحَدِيثِ، وَهَذَا الْكَلامُ لا يُشْبِهُ كَلامَ ابْنِ مَسْعُودٍ، ابْنُ مَسْعُودٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " اصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي "
Telah mengkhabarkan kepada kami Sulaimaan, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah menyebutkan hadits Shaalih bin Kaisaan, dari Al-Haarits bin Fudlail, dari Ja’far bin ‘Abdilllah bin Al-Hakam, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Miswar bin Makhramah, dari Abu Raafi’, dari ‘Abdullah bin Mas’uud, dari Nabi : “Kelak akan ada para pemimpin yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya”.
Ahmad berkata : “Ja’far ini adalah Abu ‘Abdil-Hamiid bin Ja’far, sedangkan Al-Haarits bin Fudlail haditsnya tidak terjaga. Perkataan ini tidak seperti perkataan Ibnu Mas’uud. Ibnu Mas’uud berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Bersabarlah hingga kalian menemuiku (kelak di haudl)” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Muntakhab hal. 169-170 no. 89].
Ahmad bin Hanbal rahimahumallah melemahkan jalur periwayatan ini dikarenakan Al-Haarits dan adanya penyelisihan dalam matan dengan hadits masyhur lain dari Ibnu Mas’uud dari Nabi tentang perintah untuk bersabar (terhadap pemimpin yang dhalim). Namun secara keseluruhan, dua jalur ini saling menguatkan sehingga shahih, dan dimasukkan Muslim dalam kitab Shahiih-nya.
Ini dari segi pembahasan sanad.
Dari segi matan, telah lewat perkataan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang menegaskan bahwa hadits itu tidak seperti hadits Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Beliau rahimahullah mengisyaratkan adanya penyelisihan dengan hadits Ibnu Mas’uud yang lain dari Nabi , yaitu hadits:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟، قَالَ: أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
Sesungguhnya kelak sepeninggalku kalian akan melihat atsarah dan perkara-perkara yang kalian mengingkarinya”. Para sahabat bertanya : “Lantas apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda : “Tunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7052 dan Muslim no. 1843].
Penjelasan beliau ini sama dengan penjelasan muridnya, yaitu Abu Bakr Al-Atsram rahimahumallah saat mengulas hadits yang sama:
وروى عامر بن السمت عن معاوية بن إسحاق عن عطاء بن يسار عن ابن مسعود عن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : ((سيكون أمراء - فذكر من فعلهم ثم قال - فمن جاهدهم بلسانه فهو مؤمن، ومن جاهدهم بيده فهو مؤمن، ومن جاهدهم بقلبه فهو مؤمن))
وهذا أيضاً خلاف الأحاديث، وهو إسناد لم يسمع حديث عن ابن مسعود بهذا الإسناد غيره، وقد جاء الإسناد الواضح عن ابن مسعود بخلافه.
روى الأعمش عن زيد بن وهب عن ابن مسعود عن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : ((سترون بعدي أثرة وفتناً وأموراً تنكرونها)) قالوا : فما تأمرنا يا رسول الله؟. قال : ((تؤدون الحق الذي عليكم، وتسألون الله الذي لكم)).
وهذا عن ابن مسعود، وذاك عن ابن مسعود، وهذا أثبت الإسنادين، وهو موافق الأحاديث، وذاك لها مخالف، ثم تواترت الأحاديث عن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فكثرت عنه، وعن الصحابة والأئمة بعدهم - رضي الله عنهم - يأمرون بالكف، ويكرهون الخروج وينسبون من خالفهم في ذلك إلى فراق الجماعة ومذهب الحرورية وترك السنة
“Dan ‘Aamir bin As-Samt meriwayatkan dari Mu’aawiyyah bin Ishaaq, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Ibnu Mas’uud, dari Nabi , beliau bersabda : ‘Kelak akan ada para pemimpin – kemudian beliau menyebutkan perbuatan mereka, lalu berkata : - Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang melawan mereka dengan hatinya, maka ia pun seorang mukmin’.
Ini juga menyelisihi hadits-hadits. Dan hadits ini tidak didengar dari Ibnu Mas’uud kecuali dengan sanad ini. Terdapat sanad (lain) yang jelas/gamblang dari Ibnu Mas’uud menyelisihinya.
Al-A’masy meriwayatkan dari Zaid bin Wahb, dari Ibnu Mas’uud, dari Nabi , beliau bersabda : “Kelak sepeninggalku kalian akan melihat atsarah[3], berbagai fitnah, dan perkara-perkara yang kalian ingkari”. Para shahabat bertanya : “Lantas apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda : “Tunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah”.
Hadits ini dari Ibnu Mas’uud, dan itu juga dari Ibnu Mas’uud. Namun sanad hadits ini (dari jalan Zaid bin Wahb – Abul-Jauzaa’) paling kokoh dari dua sanad tersebut, dan berkesesuaian dengan hadits-hadits yang lain. Adapun hadits yang itu (‘Aamir/’Athaa’) mempunyai perselisihan. Kemudian mutawatir hadits-hadits dari Nabi , sehingga menjadi banyaklah riwayat dari beliau , dari para shahabat dan para imam sepeninggal mereka – radliyallaahu ‘anhum – yang (semuanya) memerintahkan untuk menahan diri, membenci pemberontakan, dan menisbatkan orang yang menyelisihi mereka dalam perkara tersebut sebagai pemisahan diri dari jama’ah, (penganut) madzhab Haruuriyyah (Khawaarij), dan meninggalkan Sunnah” [Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhuh oleh Al-Atsram, hal. 256-257].
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal – imam Ahlis-Sunnah di jamannya – dan muridnya yang terkemuka, Abu Bakr Al-Atsram rahimahumallah, tidak mengambil dhahir hadits Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu dalam perkara inkarul-munkar terhadap penguasa dengan tangan, karena bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih jelas matannya dan lebih kuat sanadnya yang memerintahkan untuk bersabar, mendengar, dan taat kepada penguasa yang dhalim.
Inilah yang kemudian menjadi madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah untuk senantiasa bersabar, mendengar, dan taat kepada para pemimpin yang adil ataupun faajir (jahat). Riwayat berikut menguatkannya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا زُرْعَةَ، يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: " يُهْلِكُ أُمَّتِي هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ "، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: " لَوْ أَنَّ النَّاسَ اعْتَزَلُوهُمْ ".
قال عبد الله بن أحمد: وقَالَ أَبِي فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ: اضْرِبْ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ، فَإِنَّهُ خِلَافُ الْأَحَادِيثِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي قَوْلَهُ: " اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَاصْبِرُوا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abut-Tayyaah, ia berkata : Aku mendengar Abu Zur’ah menceritakan hadits dari Abu Hurairah, dari Nabi , beliau bersabda: “Umatku akan binasa oleh sekelompok orang dari Quraisy”. Para shahabat bertanya: “Lantas, apa yang engkau perintahkan wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Seandainya orang-orang meninggalkan mereka”.
‘Abdullah bin Ahmad berkata: Telah berkata ayahku pada waktu sakitnya yang menyebabkan kematiannya[4]: ‘Tahanlah hadits ini, karena ia bertentangan dengan hadits-hadits Nabi , yaitu sabda beliau : ‘Dengar dan taatilah (pemimpin kalian), serta bersabarlah” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/301; shahih].
Perkataan beliau rahimahullah bukan bermaksud untuk mencela hadits Nabi . Orang yang mengetahui sirah beliau, pembelaan beliau terhadap hadits Nabi , serta celaan beliau terhadap orang yang meremehkan dan merendahkan hadits Nabi ; tentu tidak akan memahami demikian. Beliau rahimahullah mengatakannya karena kehatian-hatiannya dan khawatir umat akan menggunakannya sebagai wasilah untuk keluar ketaatan dari penguasa sehingga menyebabkan perpecahan dan kerusakan yang besar [baca penjelasan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Al-Imaam Ahmad no. 7992].
Memang terbukti, sebagian firqah sesat menggunakan hadits Ibnu Mas’uud tersebut untuk melegalkan penyimpangan mereka. Al-Khallal setelah membawakan hadits ini, menukil perkataan Al-Marruudziy rahimahumallah:
وقد كنت سمعته يقول : هو حديث رديء، يحتج به المعتزلة في ترك الجمعة
“Sungguh, aku telah mendengarnya (Ahmad bin Hanbal) berkata : ‘Itu hadits tidak baik/jelek, (karena) Mu’tazilah berhujjah dengannya untuk meninggalkan shalat Jum’at[5]” [Al-Muntakhab minal-‘Ilal, hal. 163].
Masih dari hadits ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu yang lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: " سَيَلِي أُمُورَكُمْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ، وَيَعْمَلُونَ بِالْبِدْعَةِ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا "، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُهُمْ كَيْفَ أَفْعَلُ؟، قَالَ: " تَسْأَلُنِي يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ، كَيْفَ تَفْعَلُ؟ لَا طَاعَةَ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ "
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya Nabi bersabda : “Kelak sepeninggalku akan mengurusi urusan kalian orang-orang yang memadamkan sunnah, mengerjakan bid’ah, dan mengakhirkan shalat dari waktu-waktunya”. Aku (Ibnu Mas’uud) berkata : “Wahai Rasulullah, apabila aku bertemu dengan mereka, apa yang mesti aku lakukan?”. Beliau bersabda : “Engkau bertanya kepadaku apa yang mesti engkau lakukan, wahai Ibnu Ummi ‘Abd?. Tidak ada ketaatan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 2865; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 590].
Al-Atsram rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan perkataannya:
وأما حديث ابن مسعود وأنس فهما اللذان تأولهما أهل البدع فقالوا: ألا تراه يقول لا طاعة لمن عصى الله عز وجل، فإذا عصى الله لم يطع في شيء، وإن دعا إلى طاعة.
وإنما يرد المتشابه إلى المفسر، فما جعل هذا على ظاهره أولى بالاتباع من تلك الأحاديث بل إنما يرد هذا إلى ما بيّن معناه فقوله: "لا طاعة لمن عصى الله "، إنما يريد أنه لا يطاع في معصية. كسائر الأحاديث.
"Adapun hadits Ibnu Mas’uud dan Anas yang keduanya dita’wilkan oleh ahlul-bid’ah. Mereka (Ahlul-Bida’) berkata : “Tidakkah kalian melihat beliau bersabda : ‘tidak ada ketaatan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah ‘azza wa jalla”. Jika pemimpin itu bermaksiat, maka tidak ada boleh ditaati sedikitpun meskipun ia mengajak pada ketaatan.
Maka, hadits yang samar harus dikembalikan pada yang mufassar (jelas). Tidak boleh menjadikan dhahir hadits ini (yang samar) untuk lebih diikuti daripada hadits-hadits tersebut (yang jelas). Bahkan yang benar mesti mengembalikannya pada hadits-hadits yang jelas maknanya, sehingga sabda beliau : ‘tidak ada ketaatan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah’, itu maksudnya bahwasannya tidak boleh taat dalam kemaksiatan[6], seperti keseluruhan hadits-hadits lainnya” [Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhuhu, hal 252].
Point penting yang hendak disampaikan di sini, Al-Imaam Ahmad bin Hanbal dan murid-muridnya yang utama rahimahumullah tidak mengambil dhahir hadits Ibnu Mas’uud sebagai dalil memisahkan diri dari para penguasa muslim (meski dhalim) dan mengangkat senjata memerangi mereka[7]. Pengambilan dhahir hadits tersebut di jaman beliau rahimahullah hanyalah dilakukan oleh kelompok sesat dari kalangan Haruuriyyah (Khawaarij). Hadits tersebut harus diselaraskan dengan hadits-hadits lain yang jumlahnya lebih banyak, lebih kuat, dan lebih jelas penunjukkannya.
Lantas apa yang dimaksudkan dengan hadits Ibnu Mas’uud dalam bahasan di awal?.
Ada perbedaan lafadh dari dua jalur riwayat ini. Jalur ‘Athaa’ bin Yasaar dari Ibnu Mas’uud dibawakan dengan lafadh:
سَيَكُونُ أُمَرَاءُ مِنْ بَعْدي يَقُولُونَ مَا لا يَفْعَلُون.......
Kelak akan ada para pemimpin setelahku yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan……”.
Adapun mayoritas jalur Abu Raafi’ dari Ibnu Mas’uud dibawakan dengan lafadh:
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي، إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ، وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ، يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ،.....
Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah sebelumku, melainkan ia mempunyai murid-murid setia (hawariyyun) dan para shahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah mereka, muncul para penerus yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan…..
Dua riwayat ini konteks waktunya berbeda. Yang pertama konteks waktunya adalah sepeninggal Nabi , sedangkan yang kedua konteksnya adalah umat terdahulu sebelum Nabi .
Ibnu Shalaah rahimahullah berkata:
وما ورد في هذا الحديث من الحث على جهاد المبطلين باليد واللسان فذلك حيث لا يلزم منه إثارة فتنة على أن لفظ هذا الحديث مسوق فيمن سبق من الأمم وليس في لفظه ذكر هذه الأمة والله أعلم
“Dan apa yang terdapat dalam hadits ini adalah anjuran berjihad terhadap para pembela kebathilan dengan tangan dan lisan. Hal tersebut dilakukan ketika tidak menyebabkan merebaknya fitnah. Namun demikian, lafadh hadits ini disampaikan terhadap orang dari kalangan umat-umat terdahulu. Tidak ada penyebutan untuk umat ini dalam lafadh hadits itu, wallaahu a’lam”.
Kemudian An-Nawawiy mengomentari perkataan Ibnu Shaalah rahimahumallah di atas:
وهو ظاهر كما قال
“Itulah yang nampak sebagaimana yang dikatakannya” [Syarh Shahiih Muslim, 2/28].
Ketika Al-Baihaqiy membawakan hadits Ibnu Mas’uud dari jalan Abu Raafi’ ini dalam kitab Al-I’tiqaad wal-Hidaayah ilaa Sabiilir-Rasyaad (hal. 326), maka ia memasukkannya dalam Bab:
بَابُ طَاعَةِ الْوُلاةِ وَلُزُومِ الْجَمَاعَةِ وَإِنْكَارِ الْمُنْكِرِ بِلِسَانِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ بِقَلْبِهِ
قال الله عَزَّ وَجَلَّ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ، وقال: وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.
“Bab : Taat terhadap Penguasa, Menetapi Jama’ah, serta Mengingkari Kemunkaran dengan Lisannya atau Membencinya dengan Hatinya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil-amri di antara kamu’ (QS. An-Nisaa’ : 59). Allah ‘azza wa jalla juga berfirman : ‘Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali’ (QS. An-Nisaa’ : 115)” [idem, hal. 323].
Al-Baihaqiy rahimahullah sama sekali tidak mempunyai fiqh pengingkaran terhadap penguasa dengan tangan dengan penyebutan hadits tersebut dalam kitabnya.
Lafadh khuluuf (خُلُوْفٌ) merupakan jamak dari khalf (خَلْف) yang maknanya adalah sekelompok orang yang menggantikan yang lain. Ini umum, bisa penguasa atau selain penguasa. Adapun penguasa, maka yang diwajibkan adalah bersabar.
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah memberikan penjelasan yang bagus:
حديث ابن مسعود الذي فيه: (يخلف من بعدهم خلوف فمن جاهدهم بيده فهو مؤمن) الحديث. وهذا يدل على جهاد الأمراء باليد، وقد استنكر الإمام أحمد هذا الحديث في رواية أبي داود وقال: هو خلاف الأحاديث التي أمر رسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم- فيها بالصبر على جور الأئمة، وقد يجاب عن ذلك بأن التغيير باليد لا يستلزم القتال، وقد نص على ذلك أحمد أيضا في رواية صالح فقال: التغيير باليد ليس بالسيف والسلاح، فحينئذ جهاد الأمراء باليد أن يزيل بيده ما فعلوه من المنكرات، مثل: أن يريق خمورهم، أو يكسر آلات اللهو التي لهم، أو نحو ذلك، أو يبطل بيده ما أمروا به من الظلم إن كان له قدرة على ذلك، وكل ذلك جائز، وليس هو من باب قتالهم، ولا من الخروج عليهم الذي ورد النهي عنه، ....... وأما الخروج عليهم بالسيف فيخشى منه الفتن التي تؤدي إلى سفك دماء المسلمين، .....
“Hadits Ibnu Mas’uud yang di dalamnya terdapat statement : ‘Kemudian setelah mereka, muncul para penerus/pengganti’ – al-hadits - . Dan ini menunjukkan jihad terhadap para penguasa dengan tangan. Al-Imam Ahmad mengingkari hadits ini dalam riwayat Abu Daawud[8]. Ia (Ahmad) berkata : “Hadits tersebut bertentangan dengan hadits-hadits yang Rasulullah memerintahkan untuk bersabar padanya atas kejahatan para penguasa. Hal tersebut dijawab bahwasannya mengubah (kemunkaran) dengan tangan tidak selalu mengkonsekuensikan peperangan. Pernyataan ini telah dinashkan juga oleh Ahmad dalam riwayat Shaalih[9], dimana Ahmad berkata : ‘Mengubah (kemunkaran) dengan tangan tidak menggunakan pedang dan senjata’. Dengan demikian, jihad terhadap para penguasa dengan tangan adalah dengan menghilangkan kemunkaran yang dilakukan penguasa dengan tangannya. Misalnya : menumpahkan minuman khamr mereka, menghancurkan alat musik mereka, atau yang semisalnya. Yang lain : membatalkan kedhaliman yang mereka perintahkan dengan tangannya apabila ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Semua hal itu boleh dilakukan, dan ini bukan termasuk bab memerangi mereka dan keluar ketaatan (memberontak) terhadap mereka yang ada nash larangannya….. Adapun pemberontakan dengan pedang terhadap penguasa maka dikhawatirkan darinya muncul fitnah yang berakibat tertumpahnya darah kaum muslimin….” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 323].
Kesimpulan : Hadits Ibnu Mas’uud tidak dipahami para ulama secara dhahirnya untuk melakukan perlawanan dengan mengangkat senjata (pemberontakan).
Wallaahu a’lam, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – di malam yang hening – 20032017].



[1]    Yaitu:
سَيَكُونُ أُمَرَاءُ بَعْدِي، يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ، وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ
Kelak akan ada para pemimpin setelahku yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan”.
[2]    Termasuk kibaarut-taabi’iin, thabaqah ke-2 yang bertemu dengan banyak shahabat.
[3]    An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan makna atsarah :
والأثرة : الاستئثار والاختصاص بأمور الدنيا عليكم. أي : أسمعوا وأطيعوا وأن أختص الأمراء بالدنيا، ولم يوصلوكم حقكم مما عندهم
Al-Atsarah adalah monopoli dan berbuat sewenang-wenang terhadap kalian dalam urusan dunia. Jadi pengertian hadits itu (yaitu hadits atsarah) adalah : dengar dan taatilah pemerintah/penguasa tersebut walaupun mereka lebih mengutamakan urusan dunia dan tidak memenuhi hak kalian di sisi mereka yang wajib ditunaikan [Syarh Shahiih Muslim, 6/225].
[4]    Riwayat ini sebagai bantahan dari desas-desus yang disebarkan di beberapa tulisan dan pesan berantai media sosial yang katanya beliau rahimahullah rujuk dari pendapatnya untuk tetap mendengar dan taat meskipun pada penguasa yang dhalim. Riwayat ini menunjukkan pandangan, sikap, dan manhaj beliau hingga menjelang kematiannya bagaimana muamalah terhadap penguasa muslim.
[5]    Kelompok sesat di jaman beliau memang banyak menggunakan ayat dan hadits-hadits shahih, juga sebagian ketergelinciran salaf sebagai legalitas mereka untuk melakukan penyimpangan. Contohnya adalah riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah dalam Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy (2/806-807):
قال المروذي: مضيت إلى الكرابيسي، وهو إذ ذاك مستور يذب عن السنة، ويظهر نصرة أبي عبد الله، فقلت له: إن كتاب المدلسين يريدون أن يعرضوه على أبي عبد الله، فأظهر أنك قد ندمت حتى أخبر أبا عبد الله.
فقال لي: إن أبا عبد الله رجل صالح مثله يوفق لإصابة الحق، وقد رضيت أن يعرض كتابي عليه.
وقال: قد سألني أبو ثور وابن عقيل، وحبيش أن أضرب على هذا الكتاب فأبيت عليهم. وقلت: بل أزيد فيه.
ولج في ذلك وأبى أن يرجع عنه، فجيء بالكتاب إلى أبي عبد الله، وهو لا يدري من وضع الكتاب، وكان في الكتاب الطعن على الأعمش والنصرة للحسن بن صالح، وكان في الكتاب: إن قلتم: إن الحسن بن صالح كان يرى رأي الخوارج فهذا ابن الزبير قد خرج.
فلما قرىء على أبي عبد الله، قال: هذا جمع للمخالفين ما لم يحسنوا أن يحتجوا به، حذروا عن هذا، ونهى عنه.
Al-Marruudziy berkata : Aku pernah pergi menemui Al-Karaabiisiy yang waktu itu keadaan dirinya masih tertutup, karena pembelaannya terhadap sunnah dan pertolongannya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal). Aku katakan kepadanya : ‘Tentang kitab Al-Mudallisiin, sesungguhnya orang-orang ingin memperlihatkannya kepada Abu ‘Abdillah. Maka, tampakkanlah bahwa engkau menyesal (telah menuliskannya) hingga aku khabarkan kepada Abu ‘Abdillah. Ia (Al-Karaabiisiy) berkata kepadaku : “Sesungguhnya Abu ‘Abdillah adalah orang yang shalih. Orang semisal dirinya telah diberikan petunjuk (oleh Allah) kepada kebenaran. Aku ridla jika kitabku tersebut diperlihatkan kepadanya”. Ia menambahkan : “Abu Tsaur, Ibnu ‘Uaqil, dan Hubaisy memintaku agar aku menghancurkan kitab ini, namun aku menolaknya. Aku katakan : ‘Bahkan aku akan menambahkannya’”. Al-Karaabiisiy tetap bersikeras dalam hal tersebut dan menolak untuk rujuk darinya. Maka didatangkanlah kitab itu kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal), sedangkan ia tidak tahu siapa yang mengarang kitab tersebut. Kitab tersebut berisi celaan terhadap Al-A’masy dan pembelaan terhadap Al-Hasan bin Shaalih (tokoh Khawaarij – Abul-Jauzaa’). Dalam kitab tersebut terdapat statement : ‘Apabila kalian mengatakan : Sesungguhnya Al-Hasan bin Shaalih memiliki pemikiran Khawaarij (yang menghalalkan keluar ketaatan/memberontak terhadap penguasa), maka Ibnu Zubair pun juga telah keluar (ketaatan/memberontak)". Ketika dibacakan kepada Abu ‘Abdillah, ia berkata: "Buku ini telah disusun oleh orang-orang menyimpang yang tidak mampu berhujjah dengan baik. Peringatkanlah orang-orang dari buku ini" - dan beliau (Ahmad bin Hanbal) melarang (orang-orang membaca) buku tersebut [selesai].
Sungguh, alangkah samanya hujjah orang-orang menyimpang dulu dan sekarang. Dulu mereka membela tokoh Khawaarij (Al-Hasan bin Shaalih) dengan dalih perbuatan 'Abdullah bin Zubair radliyallaahu 'anhumaa. Sekarang pun demikian. Lihat siapa yang mereka bela, dan dalih yang mereka pakai untuk membenarkan perbuatannya.
Tidaklah salah jika sekarang para ulama memperingatkan dengan keras umat terhadap orang-orang yang menyimpang ini sebagaimana dulu Al-Imaam Ahmad rahimahullah telah memperingatkan umat terhadap orang-orang semisal mereka.....
[6]    Yaitu hadits:
عَنْ عَلِيٍّ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَ
Dari ‘Aliy, dari Nabi , beliau bersabda : “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/131; shahih].
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi , beliau bersabda : “Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila ia diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1839].
Al-Mubaarakfuriy rahimahullah berkata :
وَفِيهِ أَنَّ الْإِمَامَ إِذَا أَمَرَ بِمَنْدُوبٍ أَوْ مُبَاحٍ وَجَبَ . قَالَ الْمُظْهِرُ : يَعْنِي سَمَاعُ كَلَامِ الْحَاكِمِ وَطَاعَتُهُ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَوَاءٌ أَمَرَهُ بِمَا يُوَافِقُ طَبْعَهُ أَوْ لَمْ يُوَافِقْهُ بِشَرْطِ أَنْ لَا يَأْمُرَهُ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِنْ أَمَرَهُ بِهَا فَلَا تَجُوزُ طَاعَتُهُ ، وَلَكِنْ لَا يَجُوزُ لَهُ مُحَارَبَةُ الْإِمَامِ
“Dalam hadits ini terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya. Al-Muthahhar berkata : ‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi penguasa tersebut” [Tuhfatul-Ahwadziy, 5/298].
[7]    Al-Khallaal rahimahullah berkata:
وَأَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ عِيسَى، قَالَ: سَمِعْتُ حَنْبَلا، يَقُولُ فِي وِلايَةِ الْوَاثِقِ: " اجتمع فقهاء بغداد إلى أبي عبد الله، أبو بكر بن عبيد، وإبراهيم بن علي المطبخي، وفضل بن عاصم، فجاءوا إلى أبي عبد الله، فاستأذنت لهم، فقالوا يا أبا عبد الله، هذا الأمر قد تفاقم وفشا، يعنون إظهاره لخلق القرآن وغير ذلك، فقال لهم أبو عبد الله: فَمَا تُرِيدُونَ؟ قَالُوا: أَنْ نُشَاوِرَكَ فِي أَنَّا لَسْنَا نَرْضَى بِإِمْرَتِهِ، وَلا سُلْطَانِهِ، فَنَاظَرَهُمْ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ سَاعَةً، وَقَالَ لَهُمْ: عَلَيْكُمْ بِالنَّكِرَةِ بِقُلُوبِكُمْ، وَلا تَخْلَعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، وَلا تَشُقُّوا عَصَا الْمُسْلِمِينَ، وَلا تَسْفِكُوا دِمَاءَكُمْ وَدِمَاءَ الْمُسْلِمِينَ مَعَكُمُ، انْظُرُوا فِي عَاقِبَةِ أَمْرِكُمْ، وَاصْبِرُوا حَتَّى يَسْتَرِيحَ بَرٌّ، أَوْ يُسْتَرَاحَ مِنْ فَاجِرٍ، وَدَارَ فِي ذَلِكَ كَلامٌ كَثِيرٌ لَمْ أَحْفَظْهُ وَمَضَوْا، وَدَخَلْتُ أَنَا وَأَبِي عَلَى أَبِي عَبْدِ اللَّهِ بَعْدَمَا مَضَوْا، فَقَالَ أَبِي لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ: نَسْأَلُ اللَّهَ السَّلامَةَ لَنَا وَلأُمَّةِ مُحَمَّدٍ، وَمَا أُحِبُّ لأَحَدٍ أَنْ يَفْعَلَ هَذَا، وَقَالَ أَبِي: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، هَذَا عِنْدَكَ صَوَابٌ، قَالَ: لا، هَذَا خِلافُ الآثَارِ الَّتِي أُمِرْنَا فِيهَا بِالصَّبِرِ، ثُمَّ ذَكَرَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: إِنْ ضَرَبَكَ فَاصْبِرْ "، وَإِنْ. . .، وَإِنْ فَاصْبِرْ، فَأَمَرَ بِالصَّبِرِ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ: وَذَكَرَ كَلامًا لَمْ أَحْفَظُهْ
Dan telah mengkhabarkanku ‘Aliy bin ‘Iisaa, ia berkata : Aku mendengar Hanbal berkata saat pemerintahan Al-Waatsiq : Para fuqahaa Baghdaad berkumpul untuk menemui Abu ‘Abdillah, (diantaranya) : Abu Bakr bin ‘Ubaid, Ibraahim bin ‘Aliy Al-Mathbajiy, dan Fadhl bin ‘Aashim. Maka pergilah mereka menemui Abu ‘Abdillah, dan aku memintakan izin kepadanya (Abu ‘Abdillah) untuk mereka (agar dapat bertemu). Mereka berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, sesungguhnya perkara ini menjadi gawat dan menyebar” – maksudnya fitnah Khalqul-Qur’an dan yang lainnya - . Abu ‘Abdillah berkata kepada mereka : “Lantas apa yang engkau inginkan ?”. Mereka berkata : “Kami hendak bermusyawarah denganmu bahwa kami tidak ridla dengan pemerintahan dan kekuasaannya”. Maka Abu ‘Abdillah mendebat mereka sesaat, lalu berkata kepada mereka : “Wajib bagi kalian untuk mengingkarinya dengan hati kalian, namun jangan menarik ketaatan, jangan memecah-belah persatuan kaum muslimin, serta jangan menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin bersama kalian. Perhatikanlah nanti akibat dari urusan kalian. Bersabarlah hingga orang yang baik dapat beristirahat atau diistirahatkan dari orang yang jahat (faajir)”. Maka berlangsunglah diskusi yang banyak/panjang dalam masalah itu yang tidak aku (Hanbal) hapal, dan kemudian mereka pergi. Aku (Hanbal) dan ayahku menemui Abu ‘Abdillah setelah mereka pergi. Ayahku berkata kepada Abu ‘Abdillah : “Kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi umat Muhammad , dan aku tidak suka seorangpun melakukan ini”. Ayahku melanjutkan : “Wahai Abu ‘Abdillah, apakah ini menurutmu benar ?”. Ia (Abu ‘Abdillah) berkata : “Tidak. Perbuatan ini menyelisihi atsar-atsar yang kita diperintahkan untuk bersabar”. Kemudian Abu ‘Abdillah menyebutkan hadits, ia berkata : “Telah bersabda Nabi : ‘Seandainya ia (pemimpin) memukulmu, maka bersabarlah, apabila….. apabila… maka bersabarlah’. Nabi memerintahkan untuk bersabar. ‘Abdullah bin Mas’uud berkata : - lalu Abu ‘Abdillah menyebutkan satu perkataan yang tidak aku hapal – “ [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah 1/133-134 no. 90].
‘Aliy bin ‘Iisaa mempunyai mutaba’ah dari ‘Utsmaan bin Ahmad, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Qaadliy Ibnu Abi Ya’laa dalam Thabaqaatul-Hanaabilah 1/387.
Hadits yang dimaksudkan oleh Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal rahimahullah di atas adalah:
قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ: " قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: كَيْفَ؟، قَالَ: يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Telah berkata Hudzaifah bin Al-Yamaan : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejelekan, lalu Allah mendatangkan kebaikan, lalu kami berada di dalamnya. Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Bagaimana itu ?”. Beliau bersabda : “Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [Shahih Muslim no. 1847 (52)].
Adapun perkataan Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu yang dinukil beliau kemungkinan adalah riwayat-riwayat yang memerintahkan untuk sabar, mendengar, dan taat sebagaimana disebutkan dalam artikel ini dari Ahmad bin Hanbal rahimahumallah.
NB : Ahmad bin Hanbal rahimahullah berhujjah dengan riwayat Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu.
[8]    Masaailu Ahmad li-Abi Daawud As-Sijistaaniy no. 1950.
[9]    Riwayatnya:
وَأَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: حَدَّثَنَا صَالِحٌ، أَنَّ أَبَاهُ، قَالَ: " التَّغْيِيرُ بِالْيَدِ لَيْسَ بِالسَّيْفِ وَالسِّلاحِ "
Dan telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin ‘Aliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Shaalih, bahwasannya ayahnya (Ahmad bin Hanbal) berkata : “Mengubah (kemunkaran) dengan tangan tidak menggunakan pedang dan senjata” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyu ‘anil-Munkar hal. 33].

Comments

rofi mengatakan...

jadi kedua hadits tersebut shahih li ghairihi, sehingga Imam Muslim memasukkannya dalam kitab As-Shahihah.
lalu bagaimana dengan fiqih Imam Muslim sendiri ustadz?