Syarat-Syarat Laa Ilaha Illallaah


Pernah ditanyakan kepada Wahb bin Munabbih : “Bukankah (ucapan syahadat) Tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah kecuali Allah sebagi kunci surga?“. Dia (Wahb) menjawab :
بَلَى وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلَّا لَهُ أَسْنَانٌ فَإِنْ جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ وَإِلَّا لَمْ يُفْتَحْ لَكَ
“Betul, akan tetapi tidaklah ada kunci melainkan padanya ada gigi-gigi. Maka jika engkau mendatangkan kunci yang mempunyai gigi-gigi, kamu dapat membuka. Dan jika tidak, maka engkau tidak dapat membuka“ [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu‘allaq, di atas hadits no. 1237].
Adapun gigi-gigi kunci yang dimaksud adalah syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam syahadat Laa ilaha illallaah". Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1.     Al-Ilmu, yang meniadakan kebodohan, yaitu mengetahui maknanya baik secara peniadaan maupun penetapannya.
Allah ta’ala berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ
Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sembahan/ilah yang berhak diibadahi selain Allah” [QS. Muhammad ayat 19].
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. Aali ‘Imraan : 18].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa yang meninggal sedangkan ia dalam keadaan mengetahui bahwasannya tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah, melainkan ia akan masuk surga’ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 26].
Maksudnya, pengetahuan untuk meniadakan peribadahan selain Allah, dan menetapkannya hanya kepada Allah Yang Maha Esa. Oleh karena, pengertian kalimat Laa ilaha illallaah adalah pengesaan Allah dalam peribadahan kepada-Nya.
Kalimat yang agung ini mempunyai dua rukun:
a.      An-nafyu (peniadaan), yaitu pada kalimat ‘laa ilaha (لَا إِلَهَ) : meniadakan semua tuhan/sesembahan yang diibadahi selain Allah.
b.      Al-itsbat (penetapan), yaitu pada kalimat ‘illallaah’ (إِلَّا اللهُ) : menetapkan semua jenis peribadahan hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Peniadaan saja bukanlah tauhid. Begitu pula dengan penetapan saja bukanlah tauhid. Akan tetapi tauhid adalah penggabungan antara peniadaan dan penetapan sekaligus.
2.     Al-Yaqiin, adalah kesempurnaan ilmu tentangnya (kalimat Laa ilaha illallaah) yang meniadakan keraguan.
Keimanan seseorang membutuhkan ilmu yakin, bukan sekedar ilmu dhann (persangkaan). Maka, orang yang mengucapkan kalimat laa ilaha illallaah harus benar-benar yakin terhadap makna yang terkandung di dalamnya dengan keyakinan yang pasti. Keyakinan menjadikan hati istiqamah bertauhid dengan tanpa keraguan. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” [QS. Al-Hujuraat : 15].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، لَا يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا، إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan (Rasul) Allah. Tidaklah seorang hamba yang berjumpa Allah dengan keduanya tanpa keraguan (syak), melainkan ia akan masuk surga” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 27].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu:
فَمَنْ لَقِيتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ، يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ، فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ
Orang yang engkau temui di balik tembok ini, ia bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah dengan keyakinan di hatinya, maka berikanlah kabar gembira kepadanya akan surga” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 31].
Orang yang ragu, maka ia termasuk orang munafik, sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya” [QS. At-Taubah : 45].
3.     Al-Ikhlash, yang meniadakan kesyirikan, yaitu kecintaan kepada Allah, menginginkan keridlaan-Nya, memurnikan peribadahan hanya kepada-Nya semata dari semua kesyirikan. Hal itu dikarenakan hanya Allah lah yang berhak mendapatkannya (peribadahan dari makhluk-Nya), bukan selain-Nya.
Kalimat tauhid tidak akan bermanfaat tanpa keikhlashan yang meniadakan kesyirikan. Makna kesyirikan adalah menyamakan sesuatu selain Allah dengan Allah dalam semua hal yang menjadi kekhususan-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)” [QS. Az-Zumar : 3].
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” [QS. Al-Bayyinah : 5].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ، مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
Manusia yang paling bahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaha illallaah (tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah) secara ikhlash dari hatinya atau jiwanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 99].
4.     Ash-Shidq (jujur), yang meniadakan kedustaan yang menjadi penghalang kemunafikan. Seseorang yang mengucapkan laa ilaha illallaah harus jujur dari hatinya, hatinya sejalan dengan lisannya. Barangsiapa yang mengucapkannya dengan lisannya secara dhahir namun ternyata dusta secara batin (dalam hatinya), maka ia seorang munafik. Kemunafikan adalah menampakkan kebaikan secara dhahir dan menyembunyikan kejelekan secara batin.
Allah ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ * يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ * فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta” [QS. Al-Baqarah : 8-10].
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ * وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” [QS. Al-Ankabuut : 2-3].
Allah ta’ala banyak berfirman tentang orang-orang munafik dalam Al-Qur’an. Bahkan, Ia berfirman secara khusus dalam satu surat, yaitu surat Al-Munaafiquun (orang-orang munafik), karena besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh mereka. Begitu juga dengan surat At-Taubah dimana banyak sekali ayat-ayat dalam surat ini berbicara tentang mereka. Surat At-Taubah disebut juga ‘Al-Faadlihah’ karena Allah menyingkap tirai-tirai keburukan dan kejahatan mereka yang tersembunyi, serta memperingatkan kaum muslimin agar berhati-hati dari sifat-sifat mereka. Mereka adalah musuh Islam dan kaum muslimin yang tidak tampak, sedangkan orang-orang kafir adalah musuh yang tampak.
5.     Al-Mahabbah, cinta yang merupakan lawan dari kebencian. Yaitu mencintai kalimat laa ilaha illallaah, segala sesuatu yang dikandungnya, dan bergembira karenanya. Seseorang harus mencintai dan melazimi kalimat tauhid, dan membenci apa-apa yang bertentangan/menbatalkan tauhid.
Allah ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah” [QS. Al-Baqarah : 165].
وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَؤُلاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ
Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi” [QS. Al-Baqarah : 165].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ، أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah semata, dan (3) ia membenci untuk kembali kepada kekafiran (setelah Allah menyelamatkannya darinya) sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api neraka“ [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 16].
Kecintaan adalah perkara yang sangat agung, bahkan ibadah diantaranya terbangun hal ini, yaitu rasa takut/khawatir, harap, dan cinta.
Kecintaan ada dua macam, yaitu kecintaan wajib dan kecintaan sunnah. Kecintaan wajib adalah kecintaan yang seseorang tidak dihukumi muslim kecuali jika ia dapat mewujudkannya; yaitu : kecintaan kepada Allah. Kecintaan yang mengkonsekuensikan melakukan apa yang diperintahkan kepadanya, meninggalkan apa yang diharamkan kepadanya. Apabila seseorang meninggalkan semua hal tersebut atau tidak mewujudkan sesuatu yang seseorang tidak akan masuk Islam kecuali dengannya; maka ia bukan seorang muslim. Apabila ia meremehkan sebagian kewajiban, maka imannya berkurang sesuai kadar kemaksiatan yang ia lakukan tersebut. Adapun kecintaan sunnah adalah kecintaan yang mendorong seseorang mewujudkan sesuatu yang dianjurkan/disunnahkan untuk melakukannya. Maka, kecintaan ini ada jika seseorang mencintai kalimat tauhid dan segala hal yang dikandungnya berupa perintah-perintah dan yang semisalnya; bergembira serta bahagia dengannya.
Poros kecintaan terletak pada ittiba’ terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah ta’ala:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Aali ‘Imraan : 65].
Ayat ini dinamakan ayat mihnah (ujian), karena Allah ta’ala menguji seseorang yang mengaku mencintai Allah dengan ayat tersebut. Sebagian ulama terdahulu berkata:
تعصي الإله وأنت تزعم حبه --- هذا لعمري في القياس شنيع
لو كان حبك صادقا لأطعته --- إن المُحِبّ لمن يحب مطيع
Engkau bermaksiat kepada Allah dan engkau mengklaim mencintai-Nya
demi hidupku, qiyas ini sangatlah buruk
Seandainya cintamu benar, niscaya engkau akan mentaati-Nya
sesungguhnya orang mencintai itu orang yang mencintai Dzat yang dicintainya
6.     Al-Inqiyaad, yaitu tunduk dan patuh terhadap hak-hak kalimat laa ilaha illallaah berupa amal-amal kewajiban, secara ikhlash hanya untuk Allah  dan memohon keridlaan-Nya.
Tunduk terhadap hak-haknya (kalimat tauhid) adalah satu kriteria, karena banyak orang yang mengaku mengetahui makna kalimat ini, ikhlash, jujur, dan yakin; apabila mereka diperintahkan dengan satu perintah atau dilarang dengan satu larangan terhadap sesuatu, ia tidak mau tunduk dan patuh, sehingga batallah semua pengakuannya itu. Seandainya ia jujur, yakin, dan cinta secara hakiki; niscaya ia akan tunduk dan patuh terhadap kalimat ini baik secara dhahir maupun batin, ikhlash hanya kepada Allah, mengharap keridlaan-Nya, dan takut terhadap kemurkaan dan hukuman-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ
Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan” [QS. Luqmaan : 22].
7.     Al-Qabul, penerimaan yang menafikkan penolakan. Yaitu menerima dan menunaikan Tauhid dengan hati dan lisan. Allah telah mengisahkan kepada kita tentang kabar yang telah lampau berkenaan akibat/kesudahan orang-orang terdahulu dan menimpakan siksa sebab menolak dan enggan men-Tauhid-kan Allah.
Seseorang harus menerima kalimat laa ilaha illallaah dengan hati dan lisannya. Barangsiapa yang tidak menerimanya dan menolaknya, serta bersikap sombong; maka ia kafir sebagaimana orang-orang kafir Quraisy menolaknya dengan penentangan, kesombongan, tanpa mau menerimanya.
Allah ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur’an tentang berita-berita di masa lampau, yaitu keselamatan orang-orang yang mau menerimanya serta celakanya orang-orang yang menolak dan enggan terhadapnya. Begitu juga dengan adanya pahala yang Allah janjikan bagi orang-orang yang mau menerimanya dan adzab yang Allah ancamkan bagi orang-orang yang menolaknya.
Allah ta’ala telah berfirman:
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ * قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ * فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi Peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu” [QS. Az-Zukhruf : 23-25].
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" [QS. Ash-Shaaffaat : 35-36].
Namun demikian, perlu digarisbawahi di sini bahwa tetapnya keislaman seseorang di dunia cukup dengan pengucapan dua kalimat syahadat. Banyak ulama yang menetapkan hal ini, yang kemudian setelah itu dituntut untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan semua perkara-perkara syari’at. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ، حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، عَصَمُوا مِنِّي، دِمَاءَهُمْ، وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
Aku diperintah untuk memerang manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah. Apabila mereka mengucapkan ‘tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah’, terpeliharalah dariku darah serta harta mereka, kecuali dengan haknya (Islam); sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 21].
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ ، قَالَ: بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ، فَصَبَّحْنَا الْحُرَقَاتِ مِنْ جُهَيْنَةَ، فَأَدْرَكْتُ رَجُلًا، فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَطَعَنْتُهُ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ، فَذَكَرْتُهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَقَتَلْتَهُ؟ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلَاحِ، قَالَ: " أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ، حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا؟ " فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ، قَالَ: فَقَالَ سَعْدٌ: وَأَنَا وَاللَّهِ لَا أَقْتُلُ مُسْلِمًا حَتَّى يَقْتُلَهُ ذُو الْبُطَيْنِ يَعْنِي أُسَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ، وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ، فَقَالَ سَعْدٌ: قَدْ قَاتَلْنَا حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ، وَأَنْتَ، وَأَصْحَابُكَ تُرِيدُونَ أَنْ تُقَاتِلُوا حَتَّى تَكُونُ فِتْنَةٌ
Dari Usaamah bin Zaid, ia berkata : Kami pernah dikirim Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu pasukan perang. Lalu kami sampai di Al-Huraqaat, daerah Juhainah pada waktu shubuh. Maka aku temukan seorang laki-laki. Ia mengucapkan Laa ilaha illallaah, lalu aku pun menikamnya. Kemudian dalam diriku aku ada ganjalan karenanya, sehingga aku sampaikan hal itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah ia telah mengucapkan Laa ilaha illallaah lantas engkau tetap membunuhnya ?”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia hanya mengucapkannya karena takut terhadap hunusan pedang”. Beliau bersabda : “Tidakkah engkau belah hati orang tersebut sehingga engkau tahu apakah hatinya mengucapkan Laa ilaha illallaah atau tidak ?”. Beliau terus-menerus mengucapkannya kepadaku hingga berangan-angan aku baru masuk Islam pada hari itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4269 dan Muslim no. 96].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وَقَدْ عُلِمَ بِاْلاِضْطِرَارِ مِنْ دِيْنِ الرَّسُولِ صلى الله عليه وسلم وَاِتَّفَقَتْ عَلَيْهِ اْلأُمّةُ أَنَّ أَصْلَ اْلإِسْلاَمِ وَأَوَّلَ مَا يُؤْمَرُ بِهِ الْخَلْقَ : شَهَادَةُ أَنَ لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله فَبِذَلِكَ يَصِيْرُ الْكَافِرُ مُسْلِمًا وَالْعَدُوُّ وَلِيًا وَالْمُبَاحُ دَمَهُ وَمَالَهُ : مَعْصُومُ الدَّمَ وَالْمَالَ
“Telah diketahui dengan pasti dari agama Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan umat telah bersepakat terhadapnya bahwa pokok Islam dan hal yang diperintahkan pertama kali kepada makhluk adalah persaksian tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasannya Muhammad adalah utusan (Rasul) Allah. Karenanya seorang kafir menjadi muslim, musuh mejadi wali, darah dan hartanya dihalalkan, menjadi darah dan hartanya dilindungi….” [Fathul-Majiid, hal. 89].
Ibnush-Shalaah rahimahullah berkata:
وَحُكْم الْإِسْلَام فِي الظَّاهِر ثَبَتَ بِالشَّهَادَتَيْنِ....
“Hukum Islam secara dhahir ditetapkan dengan ucapan dua kalimat syahadat….” [Syarh Shahiih Muslim lin-Nawawiy, 1/12].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَمِنْ حُجَج مَنْ أَجَازَ ذَلِكَ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " أُمِرْت أَنْ أُقَاتِل النَّاس حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَه إِلَّا اللَّه ، فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ " فَيُحْكَم بِإِسْلَامِ مَنْ تَلَفَّظَ بِالشَّهَادَتَيْنِ - وَلَوْ كَانَ فِي نَفْسِ الْأَمْر يَعْتَقِد خِلَاف ذَلِكَ -
“Di antara hujjah-hujjah ulama yang membolehkan hal tersebut adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Aku diperintah untuk memerang manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah. Apabila mereka mengucapkannya, terpeliharalah dariku darah mereka’. Maka orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dihukumi Islam (secara dhahir), meskipun sebenarnya ia berkeyakinan lain dari itu” [Fathul-Baariy, 13/174].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
ومن المعلوم بالضرورة أنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يقبل مِنْ كل منْ جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط ، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك ، ويجعله مسلماً ، فقد أنكر على أسامة بن زيد قتلَه لمن قال : لا إله إلا الله ، لما رفع عليه السيفَ ، واشتدَّ نكيرُه عليه
“Dan termasuk hal yang telah diketahui dengan pasti bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerima siapa saja yang datang kepada beliau yang ingin masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja, dan beliau melindungi darahnya dan menjadikannya seorang muslim. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingkari dengan sangat keras terhadap Usaamah bin Zaid yang membunuh orang yang mengucapkan Laa ilaha illallaah ketika ia (Usaamah) mengangkat pedang kepadanya” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 207].
وبهذا الذي قرَّرناه يظهر الجمع بين ألفاظ أحاديث هذا الباب ، ويتبين أنَّ كُلَّها حقٌّ ، فإنَّ كلمتي الشهادتين بمجردهما تَعْصِمُ من أتى بهما ، ويصير بذلك مسلماً
“Dengan penjelasan kami ini maka nampak jelas penggabungan/penjamakan lafdh-lafadh hadits  dalam bab ini, dan menjadi jelas bahwa semuanya benar. Sesungguhnya dua kalimat syahadat saja sudah dapat melindungi orang yang mengucapkannya, dan menjadikannya seorang muslim…” [idem, hal. 209].
Begitu juga keislaman ditetapkan bagi orang yang dilahirkan dari kedua orang tua muslim atau perwaliannya milik kaum muslimin sejak kecil sebelum ia mencapai baligh. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nashrani, atau Majusi” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1385].
Fithrah yang dimaksudkan di sini adalah Islam sebagaimana firman Allah ta’ala:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [QS. Ar-Ruum : 30].
Apa yang dipaparkan di sini perlu disampaikan karena sebagian orang mencampurkan hukum Islam secara duniawi dan ukhrawiy. Mereka menyangka penghukuman keislaman seseorang (di dunia) mengkonsekuensikan hukum selamatnya ia di akhirat; atau mereka menyangka bahwa keislaman seseorang tidak ditetapkan kecuali setelah memahami syarat-syarat kalimat Laa ilaha illallaah yang disebutkan di atas. Ini keliru. Sebagaimana diketahui bahwa kebanyakan dari syarat-syarat tersebut merupakan amal-amal hati, bukan amal-amal anggota badan, sehingga sangat sulit untuk menelitinya/memastikannya. Terkait dengan itu, sekedar pengucapan dua kalimat syahadat memang tidak cukup menyelamatkan seorang hamba di sisi Allah (kelak di akhirat) kecuali jika ia mewujudkan/merealisasikan syarat-syaratnya. Adapun penghukuman keislaman seseorang di dunia cukup dengan pengucapan dua kalimat syahadat, hingga datang keterangan yang jelas yang membatalkan keislamannya.
Wallaahu a’lam

[abul-jauzaa’ – banyak mengambil faedah dari buku At-Tanbiihaat Al-Mukhtasharah Syarh Al-Waajibaat Al-Mutahattimaat Al-Ma’rifah ‘alaa Kulli Muslim wa Muslimah oleh Ibraahiim bin Shaalih Al-Khurashiy, hal. 33-61, Daar Ash-Shumai’iy, Cet. 2/1415; Al-‘Udzr bil-Jahl war-Radd ‘alaa Bid’atit-Takfiir oleh Dr. Ahmad Fariid, hal. 30-33, Maktabah At-Tau’iyyah Al-Islaamiyyah, Cet. 4/1422; dan Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Wuhaibiy, 1/236-237, Daarul-Muslim, Cet. 2/1422 – perumahan ciomas permai – 20022015 – 01:21].

Comments

Luqman mengatakan...

Assalamualaikum Pak.


Izin di copy buat makaalah Kuliah, Bisa ndak ustaadz???

Gak bisa bhs arab jadi gak bisa buka kitab gundul...

Suwun ustaadz

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam. Silakan.