Mengqadla Shalat Witir


Pada asalnya, shalat witir hanyalah dikerjakan pada malam hari, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلَاةً وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ
Sesungguhnya Allah telah menambahkan bagi kalian shalat, yaitu shalat witir. Kerjakanlah shalat tersebut pada waktu antara shalat ‘Isyaa’ hingga shalat Shubuh” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/7 (39/271) no. 23851 & 6/397 (45/204-205) no. 27229, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 11/354-355 no. 4492, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 2/279 no. 2167; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk.].
بَادِرُوا الصُّبْحَ بِالْوِتْرِ
Segera lakukanlah shalat witir sebelum Shubuh” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 750, Abu Daawud no. 1436, dan At-Tirmidziy no. 467].
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
Jadikanlah akhir shalat malam kalian dengan shalat witir” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 472 & 998 dan Muslim no. 751].
Seandainya seseorang pada malam hari tidak melakukan shalat witir tanpa ‘udzur, atau ia memang tidak terbiasa melakukannya, maka tidak boleh dikerjakan pada pagi atau siang harinya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَهُ الصُّبْحُ وَلَمْ يُوتِرْ، فَلا وِتْرَ لَهُ
Barangsiapa yang menjumpai waktu Shubuh sementara ia belum melakukan witir, maka tidak ada witir baginya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy no. 2306, Ibnu Khuzaimah 2/148 no. 1092, Ibnu Hibbaan 6/168-169 no. 2408, Al-Haakim 1/301-302, dan Al-Baihaqiy 2/478 (672) no. 4514; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dalam takhriij-nya terhadap Shahiih Ibni Hibbaan].
Adapun sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَامَ عَنْ وِتْرِهِ أَوْ نَسِيَهُ فَلْيُصَلِّهِ إِذَا ذَكَرَهُ
Barangsiapa yang tertidur dari shalat witirnya atau lupa mengerjakannya, hendaknya ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia mengingatnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1431, At-Tirmidziy no. 465, Ahmad 3/31 & 44, dan Abu Ya’laa no. 1114; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 1/394].
Maka, Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah menjelaskan:
وَإِنَّمَا يُوتِرُ بَعْدَ الْفَجْرِ مَنْ نَامَ عَنِ الْوِتْرِ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يَتَعَمَّدَ ذَلِكَ حَتَّى يَضَعَ وِتْرَهُ بَعْدَ الْفَجْرِ
“Dan shalat witir setelah Shubuh hanyalah bagi orang yang tertidur dari shalat witir. Dan tidak boleh bagi seorang pun menyengaja mengerjakan shalat witirnya setelah Shubuh” [Al-Muwaththa’ 1/510].
Keberadaan ‘udzur ini juga dijelaskan hadits lain yang diriwayatkan oleh ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa:
إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ، صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً
Apabila beliau dikuasai oleh tidur atau sakit terhadap (pelaksanaan) shalat malam, maka beliau shalat di waktu siangnya sebanyak dua belas rakaat [Diriwayatkan oleh Muslim no. 746].
Dan itu sesuai dengan keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَامَ عَنْ صَلاةٍ فَلْيُصَلِّ إِذَا اسْتَيْقَظَ، وَمَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَ
Barangsiapa yang tertidur dari shalat, hendaklah ia shalat ketika ia bangun. Dan barangsiapa yang lupa shalat, hendaklah ia shalat ketika ia ingat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 597, Muslim no. 684, Abu Daawud no. 442, At-Tirmidziy no. 178, An-Nasaa’iy no. 613-614, Ibnu Maajah no. 695-696, dan Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj no. 1144 – dan ini adalah lafadh Abu ‘Awaanah].
Oleh karena itu, perbuatan sebagian salaf yang melakukan witir setelah waktu Shubuh dipahami karena ‘udzur, bukan karena sengaja dan membiasakannya.[1]
Seandainya pun seseorang yang terluput dari shalat sunnah yang biasa ia lakukan karena ‘udzur dan kemudian ia tidak sempat mengqadlanya, ia tetap mendapatkan pahala yang semisal berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ حَتَّى أَصْبَحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ "
Barangsiapa yang naik ke atas ranjangnya sedang ia telah berniat untuk bangun melakukan shalat di malam hari, namun ia tertidur hingga waktu Shubuh, maka ditulis baginya pahala apa yang ia niatkan dan tidurnya itu adalah sedekah dari Rabb-nya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1787, Ibnu Maajah no. 1344, dan Ibnu Khuzaimah no. 1172; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 1/567].
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
Barangsiapa yang jatuh sakit atau melakukan perjalanan jauh, maka dicatatkan pahala baginya pahala seperti yang biasa ia dilakukannya ketika bermukim atau sehat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2996].
Jika dapat menqadlanya, maka itu lebih baik.
Tentang waktu pelaksanaan qadlaa’, maka bisa dilakukan pada waktu kapan pun sesuai dengan dhahir hadits : ‘hendaknya ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia mengingatnya’.
Adapun kaifiyyat-nya, maka ada dua, yaitu:
1.     Ia shalat witir sebagaimana sifat shalat witir yang ia kerjakan di waktu malam, berdasarkan dhahir hadits : ‘Barangsiapa yang tertidur dari shalat witirnya atau lupa mengerjakannya, hendaknya ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia mengingatnya’.
2.     Ia shalat di waktu siang sebanyak 12 raka’at, berdasarkan hadits : ‘Apabila beliau dikuasai oleh tidur atau sakit terhadap (pelaksanaan) shalat malam, maka beliau shalat di waktu siangnya sebanyak dua belas rakaat’.
[lihat : Bughyatul-Mutathawwi’ oleh Muhammad bin ‘Umar Bazmuul, hal. 74].
Itu saja secara ringkas yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 14072014 – 01:00].
Artikel suplemen :




[1]      Diantara riwayat dari kalangan salaf yang dapat dibawakan dalam hal ini diantaranya:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ الْجَزَرِيِّ، عَنْ عَطَاءٍ، أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَوْتَرَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq, dari ‘Abdurrazzaaq, dari Ma’mar, dari ‘Abdul-Kariim Al-Jazriy, dari ‘Athaa’ : Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas melakukan shalat witir setelah terbitnya fajar [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 2677; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ، قَالَ: " قُلْتُ لَهُ: الرَّجُلُ يَنَامُ، فَيُصْبِحُ، فَيُوتِرُ بَعْدَمَا يُصْبِحُ بِرَكْعَةٍ، قَالَ: لَا أَعْلَمُ بِهِ بَأْسًا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi ‘Adiy, dari Ibnu ‘Aun, dari Muhammad (bin Siiriin); Ibnu ‘Aun berkata : Aku berkata kepadanya (Ibnu Siiriin) : “Seseorang yang tidur hingga datang waktu Shubuh. Lalu ia shalat witir satu raka’at setelah Shubuh”. Ia menjawab : “Tidak mengapa dengannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/290 (4/484) no. 6864; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ حَمَّادًا عَنْ رَجُلٍ لَمْ يُوتِرْ حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ، فَقَالَ: " أَحَبُّ إِلَيّ أَنْ يُوتِرَ "
Telah menceritakan Ghundar, dari Syu’bah, ia berkata : Aku bertanya kepada Hammaad tentang seseorang yang belum melakukan shalat witir hingga terbit matahari. Ia berkata : “Aku suka jika ia melakukan shalat witir” [idem, 2/291 (4/484) no. 6865; sanadnya shahih].
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ يَقُولُ: " إِنِّي لَأُوتِرُ وَأَنَا أَسْمَعُ الْإِقَامَةَ أَوْ بَعْدَ الْفَجْرِ " يَشُكُّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَيَّ ذَلِكَ قَالَ
Dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Aamir bin Rabii’ah berkata : “Sesungguhnya aku melakukan shalat witir sedangkan aku mendengar iqamat - atau setelah waktu Shubuh - ”. ‘Abdurrahmaan mengalami keraguan tentang mana yang dikatakan oleh ‘Abdullah. [Diriwayatkan oleh Maalik 1/509 no. 304; dishahihkan oleh Saliim Al-Hilaaliy dalam takhrij-nya atas Al-Muwaththa’].
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ، يَقُولُ: " إِنِّي لَأُوتِرُ بَعْدَ الْفَجْرِ "
Dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, bahwasannya ia mendengar ayahnya, Al-Qaasim bin Muhammad, berkata : “Sesungguhnya aku tetap melakukan shalat witir (meski) setelah waktu Shubuh” [idem 1/509-510 no. 305; shahih].
Dan yang lainnya.

Comments