Atsar Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu



Al-Bukhaariy rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: خَدِرَتْ رِجْلُ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: اذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ " يَا مُحَمَّدُ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’d, ia berkata : Kaki Ibnu ‘Umar pernah mati rasa (kesemutan). Lalu seorang laki-laki berkata kepadanya : “Sebutlah orang yang paling engkau cintai”. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Wahai Muhammad” [Al-Adabul-Mufrad no. 964].
Riwayat ini adalah lemah. Dengan pertolongan Allah ta’ala, berikut penjelasannya :
Terdapat beberapa jalur yang berselisihan dalam riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa ini yang berporos pada Abu Ishaaq :
1.     Jalur Abu Ishaaq As-Sabii’iy, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’d, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa).
Jalur ini adalah sebagaimana jalur riwayat yang dibawakan oleh Al-Bukhaariy di atas.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Sa’d[1] 4/395 dari jalan Sufyaan Ats-Tsauriy dari Abu Ishaaq yang selanjutnya seperti riwayat di atas.
Keterangan para perawinya adalah sebagai berikut :
a.      Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 97 H, dan wafat tahun 161 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 394 no. 2458].
b.      Abu Ishaaq As-Sabii’iy namanya adalah : ‘Amru bin ‘Abdillah bin ‘Ubaid, Abu Ishaaq As-Sabii’iy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, mukatstsir, lagi ‘aabid, namun mengalami ikhtilaath di akhir hayatnya. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 129 H, atau dikatakan sebelum itu. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 739 no. 5100].
Ibnu Hajar rahimahullah memasukkan Abu Ishaaq As-Sabii’iy dalam tingkatan ketiga perawi mudallis, sehingga tidak diterima riwayatnya kecuali jika ia menjelaskan penyimakan riwayatnya [Ta’riifu Ahlit-Taqdiis oleh Ibnu Hajar, hal. 101 no. 91 dan Riwaayatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy oleh Dr. ‘Awwaad Al-Khalaf, hal. 454].
Catatan : Sufyaan Ats-Tsauriy mendengar hadits Abu Ishaaq sebelum masa ikhtilaath-nya.
c.      ‘Abdurrahman bin Sa’d Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy A-Kuufiy, maulaa Ibni ‘Umar; dikatakan Ibnu Hajar : “Telah ditsiqahkan oleh An-Nasaa’iy”. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad [Taqriibut-Tahdziib, hal. 580 no. 3902].
d.      ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Makkiy Al-Madaniy; salah seorang shahabat Nabi yang mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 73 H/74 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 528 no. 3514].
Sufyaan (Ats-Tsauriy) dalam periwayatan dari Abu Ishaaq mempunyai mutaba’ah dari Zuhair bin Mu’aawiyyah; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d[2] 4/395, ‘Aliy bin Ja’d[3] no. 2539, Al-Harbiy[4] dalam Ghariibul-Hadiits 2/674 dan Ibnus-Sunniy[5] dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 172, Ibnu ‘Asaakir[6] dalam At-Taariikh 131/177, dan Al-Mizziy[7] dalam Tahdziibul-Kamaal 17/143.
Zuhair bin Mu’aawiyyah bin Hudaij bin Ar-Ruhail bin Zuhair bin Khaitsamah, Abu Khaitsamah Al-Ju’fiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, kecuali riwayatnya dari Abu Ishaaq adalah dla’iif, karena ia mendengar riwayat darinya setelah ikhtilath-nya (di akhir usia Abu Ishaaq). Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 100 H, dan wafat tahun 172 H/173 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 342 no. 2062].
Riwayat dari jalur ini lemah dengan sebab ‘an’anah Abu Ishaaq As-Sabii’iy.
2.     Jalur Abu Ishaaq As-Sabii’iy, dari seseorang yang mendengar riwayat dari Ibnu ‘Umar, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan oleh Al-Harbiy[8] dalam Ghariibul-Hadiits 2/673 : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, dari orang yang mendengar riwayat dari Ibnu ‘Umar.
Keterangan para perawinya :
a.     ‘Affaan bin Muslim bin ‘Abdillah Al-Baahiliy, Abu ‘Utsmaan Ash-Shaffaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun kadang ragu. Termasuk thabaqah ke-10, wafat setelah tahun 219 H di Baghdaad. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 681 no. 4659].
b.     Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy Al-Azdi, Abu Busthaam Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, haafidh, mutqin, dan disebut Ats-Tsauriy sebagai amiirul-mukminiin fil-hadiits. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 160 H di Bashrah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2805].
Syu’bah mendengar hadits Abu Ishaaq sebelum ikhtilaath-nya.
Riwayat dari jalur ini lemah dengan sebab mubham-nya syaikh dari Abu Ishaaq As-Sabii’iy. Adapun faktor ‘an’anah-nya Abu Ishaaq pada jalur riwayat ini tidak memudlaratkan karena riwayat Abu Ishaaq ini berasal Syu’bah. Syu’bah berkata :
كفيتكم تدليس ثلاثة: الأعمش وأبو إسحاق وقتادة
“Aku cukupkan bagi kalian tadlis dari tiga orang : Al-A’masy, Abu Ishaaq, dan Qataadah” [Ma’rifatu Sunan wal-Atsar lil-Baihaqiy, no. 29].
Oleh karena itu, ‘an’anah Abu Ishaaq yang diriwayatkan oleh Syu’bah dihukumi muttashil (bersambung).
3.     Jalur Abu Ishaaq As-Sabii’iy, dari Abu Syu’bah, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy[9] dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 168 : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ibraahiim Al-Anmaathiy dan ‘Amru bin Al-Junaid bin ‘Iisaa, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khidaasy : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy : Telah menceritakan kepada kami Abu Ishaaq as-Sabii’iy, dari Abu Syu’bah, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Riwayat ini lemah dengan sebab Muhammad bin Khidaasy, seorang yang majhuul.
Abu Syu’bah Al-Kuufiy Al-Muzanniy maulaa Suwaid bin Muqarran Al-Muzanniy; seorang yang maqbuul. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1159 no. 8221].
4.     Jalur Abu Ishaaq As-Sabii’iy, dari Al-Haitsam bin Hanasy, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy[10] dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 170 : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khaalid bin Muhammad Al-Bardza’iy : Telah menceritakan kepada kami Haajib bin Sulaimaan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mush’ab : Telah menceritakan kepada kami Israaiil, dari Abu Ishaaq, dari Al-Haitsam bin Hanasy, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Riwayat dari jalur ini lemah dengan sebab Muhammad Mush’ab. Nama lengkapnya adalah : Muhammad bin Mush’ab bin Shadaqah Al-Qarqasaaniy, Abu ‘Abdillah/Abul-Hasan; seorang yang shaduuq, namun banyak kesalahannya (katsiirul-ghalath). Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 208 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 897 no. 6342].
Al-Haitsam bin Hanasy juga seorang yang majhuul.
Dapat kita lihat bahwa semua jalur di atas – yang berporos pada Abu Ishaaq – terdapat kelemahan.
Apakah riwayat Syu’bah (jalur kedua) dapat menguatkan riwayat Ats-Tsauriy dan Zuhair (jalur pertama) – sehingga dapat disimpulkan bahwa perawi mubham dalam riwayat Syu’bah adalah ‘Abdurrahmaan bin Sa’d ?.
Jawabnya : Tidak, dengan sebab :
1.     Riwayat Ats-Tsauriy tidak shahih hingga ‘Abdurrahmaan karena ‘an’anah Abu Ishaaq, sedangkan riwayat Syu’bah shahih hingga perawi mubham tersebut. Atau dengan kalimat singkat : Riwayat Syu’bah lebih shahih hingga tingkatan syaikh-nya Abu Ishaaq daripada riwayat Ats-Tsauriy.
2.     Jalur riwayat ketiga dan keempat merupakan qarinah tambahan adanya idlthiraab dalam periwayatan Abu Ishaaq.
Selain itu, matan riwayat tersebut juga mengandung nakarah dengan adanya permintaan doa kepada selain Allah ta’ala ketika tertimpa musibah. Hal ini bertentangan dengan firman Allah ta’ala :
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)” [QS. An-Nam : 62].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah melemahkan riwayat ini dalam Dla’iif Al-Adabil-Mufrad hal. 87.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perum ciper, ciomas, bogor – 10112012].



[1]      Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، وَزُهَيْرُ بْنُ مُعَاوِيَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا لِرَجْلِكَ؟ قَالَ: " اجْتَمَعَ عَصَبُهَا مِنْ هَاهُنَا "، هَذَا فِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ وَحْدَهُ، قَالَ: قُلْتُ: ادْعُ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، قَالَ: " يَا مُحَمَّدُ، فَبَسَطَهَا "
[2]      Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، وَزُهَيْرُ بْنُ مُعَاوِيَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا لِرَجْلِكَ؟ قَالَ: " اجْتَمَعَ عَصَبُهَا مِنْ هَاهُنَا "، هَذَا فِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ وَحْدَهُ، قَالَ: قُلْتُ: ادْعُ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، قَالَ: " يَا مُحَمَّدُ، فَبَسَطَهَا "
[3]      Riwayatnya adalah :
أَنَا زُهَيْرٌ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فُخَدِّرَتْ رِجْلُهُ، فَقُلْتُ لَهُ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا لِرِجْلِكَ؟ قَالَ: " اجْتَمَعَ عَصَبُهَا مِنْ هَا هُنَا، قُلْتُ: أَدْعُو أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ؟ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَانَبْسَطَتْ "
[4]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ: جِئْتُ ابْنَ عُمَرَ فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ، فَقُلْتُ: مَا لِرِجْلِكَ؟ قَالَ: " اجْتَمَعَ عَصَبُهَا "، قُلْتُ: ادْعُ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، قَالَ: " يَا مُحَمَّدُ "، فَبَسَطَهَا قَوْلُهُ: أَتَى الْخِدْرَ.
[5]      Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنِي أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ الصُّوفِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، ثنا زُهَيْرٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ " كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ، فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا لِرِجْلِكَ؟ قَالَ: اجْتَمَعَ عَصَبُهَا مِنْ هَا هُنَا.قُلْتُ: ادْعُ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ.فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ.فَانْبَسَطَتْ "
[6]      Riwayatnya adalah :
أخبرنا أبو عبد الله محمد بن طلحة بن علي الرازي وأبو القاسم إسماعيل بن أحمد قالا أنا أبو محمد الصريفيني أنا أبو القاسم بن حبابة نا أبو القاسم البغوي نا علي بن الجعد انا زهير عن ابن إسحاق عن عبد الرحمن بن سعد قال كنت عند عبد الله بن عمر فخدرت رجله فقلت له يا أبا عبد الرحمن ما لرجلك قال اجتمع عصبها من ها هنا قال قلت ادع أحب الناس إليك فقال يا محمد فانبسطت
[7]      Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا بِهِ أَبُو الْحَسَنِ بْنُ الْبُخَارِيِّ، وزَيْنَبُ بِنْتُ مَكِّيٍّ، قَالا: أَخْبَرَنَا أَبُو حَفْصِ بْنُ طَبَرْزَدَ، قال: أَخْبَرَنَا الْحَافِظُ أَبُو الْبَرَكَاتِ الأَنْمَاطِيُّ، قال: أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الصَّرِيفِينِيُّ، قال: أَخْبَرَنَا أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ حَبَابَةَ، قال: أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ، قال: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، قال: أَخْبَرَنَا زُهَيْرٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ، قال: كُنْتُ عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، فَخُدِّرَتْ رِجْلُهُ، فَقُلْتُ لَهُ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا لِرِجْلِكَ؟ قال: اجْتَمَعَ عَصَبُهَا مِنْ هَاهُنَا، قال: قُلْتُ: ادْعُ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَانْبَسَطَتْ.
[8]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَمَّنْ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ، قَالَ: " خَدِرَتْ رِجْلُهُ "، فَقِيلَ: اذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ، قَالَ: " يَا مُحَمَّدُ "
[9]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الأَنْمَاطِيُّ، وَعَمْرُو بْنُ الْجُنَيْدِ بْنِ عِيسَى، قَالا: ثنا مُحَمَّدُ بْنُ خِدَاشٍ، ثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ، ثنا أَبُو إِسْحَاقَ السَّبِيعِيُّ، عَنْ أَبِي شُعْبَةَ، قَالَ: كُنْتُ أَمْشِي مَعَ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: اذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ.فَقَالَ " يَا مُحَمَّدَاهُ فَقَامَ فَمَشَى "
[10]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْبَرْذَعِيُّ، ثنا حَاجِبُ بْنُ سُلَيْمَانَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُصْعَبٍ، ثنا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْهَيْثَمِ بْنِ حَنَشٍ، قَالَ: كُنَّا عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: " اذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ.فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَقَامَ فَكَأَنَّمَا نَشِطَ مِنْ عِقَالٍ "

Comments

Unknown mengatakan...

عَمْرٌو بْن عَبْدِ اللهِ أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ مِنْ أَئِمَّةِ التَّابِعِيْنَ بِالْكُوْفَةِ وَأَثْبَاتِهِمْ إِلاَّ أَنَّهُ شَاخَ وَنَسِيَ وَلَمْ يَخْتَلِطْ
Amr bin Abdullah Abu Ishaq al-Sabi’i, termasuk imam kaum tabi’in di Kufah dan kuat hapalannya, hanya saja ia mengalami masa tua, lupa dan tidak pernah ikhtilath. (Al-Dzahabi, [Mizan al-I’tidal, III/270]).


أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ ثِقَةٌ إِمَامٌ لَكِنَّهُ كَبُرَ وَسَاءَ حِفْظُهُ وَمَا اخْتَلَطَ.
Abu Ishaq al-Sabi’i, perawi tsiqah dan imam, akan tetapi ia mengalami masa tua, hapalannya buruk dan hafalannya tidak berubah (ikhtilath). (Al-Hafizh al-Dzahabi, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum, [h. 203]).

al-Hafizh Shalahuddin al-‘Ala’i berkata:
وَلَمْ يَعْتَبِرْ أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ مَا ذُكِرَ مِنِ اخْتِلاَطِ أَبِيْ إِسْحَاقَ، اِحْتَجُّوْا بِهِ مُطْلَقًا، وَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَخْتَلِطْ فِيْ شَيْءٍ مِنْ حَدِيْثِهِ فَهُوَ أَيْضًا مِنَ الْقِسْمِ اْلأَوَّلِ
Tidak seorang pun dari para imam yang mempersoalkan apa yang disebutkan tentang ikhtilath-nya Abu Ishaq. Bahkan mereka berhujjah dengan Abu Ishaq secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak pernah ikhtilath dalam haditsnya. Ia juga termasuk dalam bagian bertama. (Al-Hafizh al-‘Ala’i, [al-Mukhtalithin, h. 94]).

Unknown mengatakan...

Fadhol simak ini sebagai bantahan note antum...

Hadits Istighatsah Yang Di Dha'ifkan Oleh Kaum Wahabi (Takhrij Hadits "Yaa Muhammad")

http://aliyfaizal.blogspot.com/2013/05/hadits-istighatsah-yang-di-dhaifkan-oleh-kaum-wahabi-takhrij-hadits-yaa-muhammad.html

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Justru kalau Anda paham - sekali lagi : kalau Anda paham - artikel di atas menjawab tulisan Muhammad Idrus Ramli dalam penilaian riwayat.

Anonim mengatakan...

ust artikel antm ini di 'sanggah' oleh kyai idrus di fan page ny.

Anonim mengatakan...

assalaamu 'alaikum
'afwaan ustaadz, bagaimana penilaian anda ttg tulisan dr ust Ramli yg baru ini (tt atsar Ibnu "umar di atas)
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=166302280211686&set=a.122857684556146.24725.117807148394533&type=1&relevant_count=1

syukron

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terima kasih atas informasinya... Alhamdulillah sudah saya baca. Dan alhamdulillah, saya semakin yakin bahwa Ustadz Muhammad Idrus Ramli (UMIR) ini memang bodoh terhadap ilmu hadits. Saya tidak akan menanggapi banyak dan detail, karena apa yang telah ditulis di atas sudah mencukupi untuk menjawab jawaban beliau ini. Hanya saja, saya akan tanggapi secara ringkas sebagai berikut :

1. Ustadz Muhammad Idrus Ramli tidak paham dengan takhrij hadits/riwayat.

UMIR menulis sebagai berikut :

WAHABI: “Riwayat tersebut lemah dengan alasan ‘an’anah Abu Ishaaq As-Sabii’iy. Memang Sufyaan al-Tsauri dalam periwayatan dari Abu Ishaaq mempunyai mutaba’ah dari Zuhair bin Mu’aawiyyah, seorang yang tsiqah lagi tsabat, kecuali riwayatnya dari Abu Ishaaq adalah dla’iif, karena ia mendengar riwayat darinya setelah ikhtilath-nya (di akhir usia Abu Ishaaq).” [selesai kutipan].

Anda ini kalau mengutip yang persis dong ya, jangan dikreasi dan ditambah-tambah. Bagi Pembaca, silakan baca di artikel.

Saya katakan bahwa : Riwayat tersebut lemah dengan alasan ‘an’anah Abu Ishaaq As-Sabii’iy adalah karena saya perinci masing-masing jalan periwayatan. Asing ya dengan metode ini ?. Riwayat Ibnu 'Umar itu ada empat jalan. Dan perkataan saya tersebut di atas adalah terkait jalan periwayatan Abu Ishaaq As-Sabii’iy, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’d, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa) [jalan periwayatan pertama]. Jadi, ini murni penilaian terhadap satu jalan saja, dan belum saya kaitkan dengan mutaba'ah lainnya. Paham ?.

Kemudian UMIR mengomentari :

“Telah saya jelaskan dalam tulisan saya, bahwa ikhtilath nya Abu Ishaq tidak berpengaruh dalam periwayatan haditsnya. Terutama berkaitan dengan atsar Ibnu Umar di atas. Terbukti riwayat Zuhair dari Abu Ishaq, setelah mengalami ikhtilath, sama dengan riwayat Sufyan al-Tsauri dari Abu Ishaq, sebelum ikhtilath. Sehingga antara riwayat Sufyan al-Tsauri dan riwayat Zuhair bin Mu’awiyah saling menguatkan. Riwayatnya Sufyan semakin kuat dengan mutaba’ah nya Zuhair. Sedangkan riwayat Zuhair, seandainya memang lemah, menjadi kuat dengan riwayat Sufyan al-Tsauri. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits??? [selesai].

Ya, itu Anda katakan karena Anda tidak paham dunia takhrij dan dunia kritik hadits. Yang saya kutip itu kelemahan atas 'an'anah Abu Ishaaq As-Sabii'iy di jalan pertama saja. Lalu apa relevansinya Anda mengomentari tentang ikhtilaath Abu Ishaaq ?. Sudah saya tegaskan ketika menyebutkan jalan pertama bahwa Sufyaan mendengar riwayat dari Abu Ishaaq sebelum masa ikhtilaath-nya. Oleh karena itu, saya tidak menganggap itu sebagai satu kelemahan di jalur pertama. Paham ?.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kemudian UMIR melanjutkan perkataannya :

"Sedangkan terkait dengan ‘an’anah nya Abu Ishaq al-Sabi’i, telah kami jawab, terselamatkan dengan riwayat Syu’bah dari Abu Ishaq yang diriwayatkan oleh al-Harbi dalam Ghariibul-Hadiits 2/673 : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, dari orang yang mendengar riwayat dari Ibnu ‘Umar. Syu’bah berkata :

كفيتكم تدليس ثلاثة: الأعمش وأبو إسحاق وقتادة

“Aku cukupkan bagi kalian tadlis dari tiga orang : al-A’masy, Abu Ishaq, dan Qatadah” [Ma’rifatu Sunan wal-Atsar lil-Baihaqiy, no. 29].”
.

[selesai kutipan].

Ini lah yang semakin memperjelas bahwa Anda tidak paham dengan dunia takhrij !!. Anda telah mencampurkan pembahasan antara jalan pertama dan jalan kedua. Perkataan saya yang Anda kritik itu adalah ketika membahas jalan pertama. Adapun ketika saya membahas jalan kedua (lihat di artikel di atas), maka saya sudah sebutkan bahwa 'an'anah Abu Ishaaq As-Sabii'iy ini tidak memudlaratkan karena ia berasal dari periwayatan Syu'bah. Paham ?.

Jadi intinya begini pak Ustadz bahwa saya memperinci masing-masing jalan. Jalan pertama itu lemah karena 'an'anah Abu Ishaaq, sedangkan jalan kedua (Abu Ishaaq As-Sabii’iy, dari seseorang yang mendengar riwayat dari Ibnu ‘Umar, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa) adalah lemah karena mubhamnya syaikh dari Abu Ishaaq. Di atas pun sudah saya sebutkan. Apakah ini terlalu sulit Anda pahami ?.

Kemudian UMIR melanjutkan :

"Dengan demikian, kelemahan riwayat Sufyan al-Tsauri karena factor ‘an’anah nya Abu Ishaq, terlematkan dan dihukumi muttashil (sambung), dengan riwayatnya Syu’bah dari Abu Ishaq berkaitan dengan atsar tersebut. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits???”

[selesai kutipan].

Justru inilah yang kemudian menjadi bahasan saya selanjutnya. Kritikan Anda ini gak runtut dan gak jelas, tidak membedakan pembahasan masing-masing jalan riwayat.

Terkait dengan perkataan UMIR di atas, maka saya katakan (dan sebenarnya secara eksplisit telah saya sampaikan di artikel) :

1. Abu Ishaaq As-Sabii'iy adalah seorang mudallis thabaqah ketiga yang sering melakukan tadlis dengan menggugurkan perawi dla'if antara dia dengan syaikhnya.

2. Tadlis Abu Ishaaq itu ada di jalan pertama. Artinya, 'an'anah Abu Ishaaq ini dikhawatirkan menggugurkan perawi antara di dengan 'Abdurrahmaan bin Sa'd.

3. Jalan periwayatan kedua adalah lemah mubhamnya syaikh dari Abu Ishaaq. Pertanyaannya : Siapakah syaikh dari Abu Ishaaq ini ?. Apakah sudah dapat dipastikan ia adalah 'Abdurrahmaan bin Sa'd ?. Nah,... inilah yang menjadi titik kritisnya untuk dijawab kemudian. Memastikan syaikh mubham itu adalah 'Abdurrahmaan bin Sa'd kurang kuat dengan alasan :

a. Riwayat Ats-Tsauriy tidak shahih hingga ‘Abdurrahmaan karena ‘an’anah Abu Ishaaq, sedangkan riwayat Syu’bah shahih hingga perawi mubham tersebut. Atau dengan kalimat singkat : Riwayat Syu’bah lebih shahih hingga tingkatan syaikh-nya Abu Ishaaq daripada riwayat Ats-Tsauriy.

b. Kekhawatiran bahwa perawi mubham yang ada di jalur Syu'bah adalah perawi yang digugurkan Abu Ishaaq di jalan Sufyaan Ats-Tsauriy dan Zuhair. Dan dikhawatirkan, perawi mubham itu adalah perawi lemah atau majhuul yang kemudian menggugurkan 'Abdurrahmaan bin Sa'd.

c. Jika ditarjih, maka jalur periwayatan Syu'bah lebih kuat daripada jalur periwayatan Ats-Tsauriy dan Zuhair, karena jalur periwayatan Syu'bah itu shahih hingga syaikh Abu Ishaaq. Sayangnya, ia mubham.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

2. Beberapa perkataan UMIR tentang perawi hadits.

UMIR berkata :

(1) Muhammad bin Khidasy, sepertinya beliau Mahmud bin Khidasy al-Thaliqani, hanya terkadang dalam sebagian kitab ditulis Muhammad bin Khidasy. Beliau seorang al-imam al-hafizh al-tsiqah, sebagaimana disebutkan oleh al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal. Meriwayatkan dari Husyaim, Ibnu al-Mubarak, Fudhail bin Iyadh, Sufyan bin Uyainah dan seangkatannya. Di antara murid-muridnya adalah Muhammad bin Nairuz al-Anmathi, perawi atsar Ibnu Umar dalam riwayat Ibnus-Sunniy.

[selesai].

Ya, memang hanya 'sepertinya'. Namun ingat pak ustadz, dalam sanad tersebut jelas disebutkan Muhammad bin Khidaasy, bukan Mahmuud bin Khidaasy. Al-Mizziy dan Ibnu Hajar pun tidak menyebutkan nama lainnya sebagai Muhammad. Padahal ma'ruuf - terutama Ibnu hajar - apabila seorang perawi mempunyai nama lain ia akan menyebutnya. Hanya ditemui biografi Muhammad bin Khidaasy Al-Al-Adzra'iy sebagaimana disebutkan Ibnu 'Asaakir dalam Taariikh Dimasyq (52/392-393 no. 6310) tanpa adanya jarh dan ta'dil. Dalam Taariikh Ashbahaan (2/215 & 250) juga disebutkan nama Muhammad bin Khidaasy yang meriwayatkan dari Abu Ayyuub Sulaimaan bin Daawud Al-Minqariy. Jika Muhammad bin Khidaasy ini adalah dia, maka statusnya majhuul. Wallaahu a'lam.

Seandainya UMIR menemukan data biografi Muhammad bin Khidaasy ini yang lebih valid daripada yang saya sebutkan di atas, sangat dipersilakan, karena ilmu rijaal ini memang luas, sedangkan ilmu dan referensi yang saya punya pun terbatas. Dan sekali lagi, kalau Muhammad bin Khidaasy itu diklaim sebagai Mahmuud bin Khidaasy, maaf, itu tidak benar.

UMIR berkata :

3) Al-Haitsam bin Hanasy, bukan perawi majhul, akan tetapi perawi yang tidak diragukan ke-tsiqah-annya. Beliau meriwayatkan hadits dari dua orang sahabat Ibnu Umar dan Hanzhalah bin Rabi’ah al-Usaidi al-Katib (sekretaris wahyu). Ulama yang meriwayatkan dari al-Haitsam bin Hanasy adalah Abu Ishaq al-Sabi’i dan Salamah bin Kuhail. Silahkan Anda cek dalam Ibnu Abi Hatim al-Jarh wa al-Ta’dil; al-Daraquthni, al-Mu’talif wa al-Mukhtalif; dan Abu Nu’aim al-Ashfihani, Ma’rifah al-Shahabah.

[selesai kutipan].

Ini penyakitnya karena yang bersangkutan agak kacau pemahamannya akan perawi majhuul. Hanya karena alasan Al-Haitsam mengambil riwayat dari Ibnu 'Umar dan Handhalalh, kemudian telah meriwayatkan darinya 2 perawi tsiqah (Abu Ishaaq dan Salamah bin Kuhail), maka disimpulkanlah Al-Haitsam perawi tsiqah. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Bapak ustadz, saya persilakan kembali dibuka pelajaran musthalahnya ya....

Dan seterusnya..... saya tidak akan menanggapi semua, karena memang agak kacau.

Seandainya empat jalan riwayat di atas dianggap UMIR kuat semuanya hingga Abu Ishaaq As-Sabii'iy, maka justru itu memperlemah argumennya. Kenapa ?. Karena itu menandakan adanya idlthiraab dalam sanad yang berporos pada Abu Ishaaq As-Sabii'iy. Atau, jangan-jangan UMIR gak sadar tentang hal itu karena tidak paham apa itu idlthiraab sanad ?.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

NB : Saya tidak menanggapi komentarnya tentang nakarah, karena inti pemahaman dia memang perbuatan Ibnu 'Umar radliyallaahu 'anhu itu sesuai dengan pemahamannya, yaitu dianggap sebagai pembolehan beristightasah kepada orang yang telah meninggal. Ini lebih ke arah pemahaman, sehingga memerlukan ruang khusus pembahasan. Lagi pula, riwayat Ibnu 'Umar dari segi sanad adalah dla'iif, dan itu sudah cukup bagi kita (minimalnya).

Abul Hasan mengatakan...

Jazakallahu khairan ustadz.. ana dapat banyak sekali manfaat.. Ana jadi semakin paham..

----------------------------------
----------------------------------
Adapun ustadz Idrus ramli ini memang musibah.. innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun.. akhlaknya bagaimana orang ini ??

Dimana letak "kebohongan" ustadz abul jauzaa wahai idrus ?? Kalaupun dimata anda beliau keliru menilai hadis ini karena menggunakan kaedah yang berbeda, apa ya pantas apa yang dikedua rahang anda dan jari-jemari anda itu menghina2 dan memfitnah beliau sebagai pendusta ??

Kalau keliru dalam mentakhrij hadis itu equal dengan berdusta maka anda ini pendusta yang lebih besar.. Dan musibahnya betapa banyaknya ulama yang telah "berdusta" karena keliru, bermudah2an mentsiqahkan dsb..

Berdusta itu contohnya adalah ANDA ketika anda mengatakan bahwa Ibnu taymiyyah dimaksumkan oleh salafy..

Dimata ana pribadi antum itu wahai ustadz romli sudah resmi masuk dalam jajaran provokator berkedok agama..

Ibnu Abi Irfan mengatakan...

mengikuti diskusi antara Ustadz Abul Jauzaa dengan Ustadz Muhammad Idrus Ramli memperdalam wawasan ana tentang ilmu hadits yang dangkal ini.

kalo boleh ana menyimpulkan, kekeliruan Ustadz Muhammad Idrus Ramli adalah terburu-buru mengangkat riwayat Ats Tsauriy dan Az Zuhair menjadi hasan li ghoirihi dengan alasan telah terkumpul banyak (hanya 2) jalur yang saling menguatkan, padahal jalur riwayat Ats Tsauriy dan Az Zuhair adalah 1 jalur.

apakah ini benar ustadz? mohon dikoreksi apabila salah.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Benar. Bahkan uraian keempat jalur periwayatan yang saya sebutkan di artikel itu hakekatnya satu riwayat yang berporos pada Abu Ishaaq As-Sabii'iy.

Dan seandainya dinilai rinci, satu-satunya riwayat yang selamat hingga tingkatan syaikh Abu Ishaaq hanyalah di jalan periwayatan via Syu'bah, namun di situ menyebutkan perawi mubham.

Unknown mengatakan...

ustadz ada tanggapan balik dari si idrus

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya tidak tahu arah tanggapan saudara Ustadz Muhammad Idrus Ramli ini, karena nampaknya yang bersangkutan hanya sedang memperjuangkan dirinya saja. Memang susah berbicara dengan orang yang tidak jujur. Coba perhatikan rekayasanya dalam tulisannya yang lalu tentang penta'dilan seorang perawi hanya karena penyebutan kun-yah !! Ini adalah perkataan yang sangat 'ngarang' (fabricated) dan ngawur !.

Bahasannya tentang 'an'anah Abu Ishaaq As-Sabii'iy pun tidak jelas. Sederhana sebenarnya, bahwasannya Ibnu Hajar melatakkan Abu Ishaaq As-Sabii'iy dalam thabaqah ketiga perawi mudallis. Apa artinya ?. Artinya, riwayatnya tidak diterima jika ia tidak menunjukkan tashrih penyimakan riwayatannya atau tahditsnya dari gurunya. Jadi kalau sighah 'an'anahnya tidak diterima kecuali 'an'anah yang berasal dari Syu'bah. Jika kita kembalikan pada masing-masing pembahasan jalur riwayat, maka sudah saya uraikan perinciannya di atas. Jalur mana yang 'an'anahnya diterima dan yang tidak. Tidak perlu saya ulangi.

Adapun pemutlakan penerimaan 'an'anah Abu Ishaaq As-Sabii'iy dengan dalih penukilan perkataan Al-Mizziy (dari kitab Al-Muqaddimah), maka saya sarankan yang bersangkutan agar mengkaji benar-benar kitab itu sampai selesai beserta syarahnya. Juga dibandingkan dengan perkataan ulama lain semisal Ibnu Hajar dan yang lainnya.

Dalih Anda salah alamat. Al-Bukhaariy dan Muslim memakai para mudallisiin itu berbeda-beda bung. Apakah Anda tidak mengetahui bahwa mudallisiin itu bertingkat-tingkat keadaannya ?. Mudallisiin tingkat 1 dan 2 itu diterima 'an'anahnya. Mengapa ? Karena ada di antara mereka yang sangat jarang melakukan tadlis atau tidak mentadlis kecuali dari perawi tsiqaat.

Dan memang benar, di antaranya, Al-Bukhaariy dan Muslim memakai riwayat mudallisiin tingkat tiga (yang mereka ini menggugurkan perawi dla'if antara dirinya dan syaikhnya). Tapi bukan berhenti di situ saja. Pemakaian riwayat para mudallisiin ini ada qarinahnya sehingga diterima. Riwayat ('an'anah) mereka diterima karena keberadaan jalur lain yang menjelaskan tahsrih penyimakan riwayatnya, atau qarinah lain yang mengkonsekuensikan 'an'anah mereka diterima. Misalnya ya riwayat Abu Ishaaq yang diriwayatkan oleh Syu'bah. Atau 'an'anah Al-A'masy dari Ibraahiim, dan yang lainnya.

Kalau memutlakkan diterimanya riwayat mudallis tingkat tiga, di antaranya Abu Ishaaq As-Sabii'iy, maka tidak ada faedahnya adanya pembagian tingkatan perawi mudallis.

Muhammad Idrus Ramli ini memang tidak paham apa sebenarnya maksud pembagian atau pengelompokan perawoi mudallis ini oleh para ulama, sehingga penerapan qaul ulama yang ia pakai jadi amburadul. Absurd, tidak jelas. Gak tahu apa jadinya kalau yang bersangkutan ngajar ilmu mushthalah.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Mengenai perkataan Al-Fasawiy, tentu saja ini perlu diteliti, karena Al-Fasawiy mencampurkan kedudukan tiga orang ini dalam satu maqam. Ini tidak benar. Ibnu Hajar telah meletakkan Ats-Tsauriy dalam tingkatan kedua perawi mudallis. Perawi jenis ini asalnya diterima riwayatnya kecuali ada indikasi yang jelas dan pasti ia mentadlis riwayatnya. Ini seperti perkataan Al-Fasawiy di atas. Adapun Al-A'masy, maka Ibnu Hajar memasukkannya dalam thabaqah kedua. Namun dalam kitab An-Nukat (2/640), ia memasukkan Al-A’masy dalam thabaqah ketiga, dan inilah yang benar; sebab ia sering melakukan tadlis dengan menggugurkan perawi dla’if [lihat Miizaanul-I’tidaal, 2/224]. Ulama mutaqaddimiin tidak menerima tadlis-nya kecuali jika ia menjelaskan tashrih penyimakannya dari gurunya.Saya telah menuliskan penjelasan riwayat Al-A'masy di sini.

Begitu juga dengan Abu Ishaaq, ia merupakan perawi yang menduduki tingkatan ketiga, sama seperti Al-A'masy.

Anehnya, Ustadz Muhammad Idrus Ramli menuliskan begini :

"Bahkan dalam kitab-kitab rijal al-hadits, Abdurrahman bin Sa’ad termasuk guru Abu Ishaq al-Sabi’i. Al-Hafihz Ibnu Hajar berkata dalam Tahdzib al-Tahdzib sebagai berikut:

البخاري في الأدب المفرد عبد الرحمن بن سعد القرشي كوفي .روى عن : مولاه عبد الله بن عمر .وعنه : أبو إسحاق السبيعي ومنصور بن المعتمر وأبو شيبة عبد الرحمن بن إسحاق الكوفي وحماد بن أبي سليمان ذكره بن حبان في الثقات .قلت يعني الحافظ: وقال النسائي ثقة اهـ

“Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad. Abdurrahman bin Sa’ad al-Qurasyi, dari Kufah. Meriwayatkan dari Maulanya Abdullah bin Umar. Telah meriwayatkan darinya, Abu Ishaq as-Sabi’i, Manshur bin al-Mu’tamar, Abu Syaibah Abdurrahman bin Ishaq al-Kufi dan Hammad bin Abi Sulaiman. Ibnu Hibban telah menyebutnya dalam kitab al-Tsiqat. Aku berkata: an-Nasa’i berkata: ia perawi tsiqah"


[selesai].

Perhatikan kalimat yang saya cetak tebal. Ia mengatakan itu (yaitu 'Abdurrahmaan merupakan guru Abu Ishaaq) sebagai indikasi bahwa Abu Ishaaq tidak melakukan tadlis.

Wallaahi, ini merupakan qarinah bahwa sebenarnya ilmu mushthalah merupakan sesuatu yang asing baginya (hanya saja yang bersangkutan tidak mau mengakuinya). Tidak paham apa itu hakekat tadlis.

Maaf pak ustadz, nukilan Anda itu tidak nyambung !!

Anonim mengatakan...

Kejahilan dan kesombongan Idrus ramli ini berlapis lapis, beberapa bukunya sudah saya kaji, tidak ada faedah yang bisa saya ambil selain semakin memperjelas kejahilan Idrus Ramli ini dalam berbagai cabang ilmu terutama ilmu hadits, dia sepertinya masih sangat asing dan awam dalam ilmu ini, tetapi terlalu memaksakan diri untuk mempertontonkan kejahilannya ini kepada orang-orang awam.

Ibnu Rusyd

Ibnu Abi Irfan mengatakan...

ana kira ternyata ustadz muhammad idrus ramli memang benar2 tidak tahu apa defini MAJHUL dan MUDALLIS.

masa tulisan terbarunya dikasih judul JAWABAN ATAS KENGEYELAN ABUL JAUZAA’ (WAHABI MAJHUL dan MUDALLIS), TENTANG KESHAHIHAN ATSAR IBNU UMAR

Imron mengatakan...

Penjelasan-penjelasannya sangat menarik.

Ust. AJ, kalau boleh usul...saat menjelaskan mengenai kekeliruan Ust. Idrus Ramli mohon Tidak terlalu cepat.

Kalau boleh, anggap saja Ustadz sedang menjelaskan contoh kasus kepada para penuntut Ilmu sehingga penjelasan nya perlu dituntun pelan-pelan.

Walau memang sejatinya penjelasan anta ditujukan pada Ust. Idrus tapi mungkin seperti saya dan pemirsa lain nya yang kurang pintar ingin menikmati penjelasan anta dengan penjelasan yang tidak terlalu cepat (point to point).

karena baik Ust. AJ atau Ust. MIR sama-sama mengklaim bahwa masing-masing lawan nya Tidak menguasai Ilmu Musthalah Hadits.

Mungkin lain guru lain ilmu :)

Tapi sekiranya penjelasan yang tidak terlalu cepat itu tidak memungkinkan dituliskan, karena kesibukan Ustadz sehari-hari, maka tidak mengapa.

Buat para komentator yang mungkin mengerti mengenai Ilmu Musthalah dan agak Pro pada Ust. AJ...mohon kiranya untuk menahan tulisan dari tulisan yang merendahkan Ust. MIR seperti Bodoh, Gaya-gaya-an, Sok paham dll

Biarlah Ust. MIR saja yang mengolok-ngolok Ust. AJ dan Pendukungnya karena mungkin baginya hal itu BERPAHALA BESAR sehingga beliau sangat menikmati untuk mengulang-ulang celaan tersebut.

Semoga Allah senantiasa memperbaiki amalan kita, amin

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terlalu panjang untuk menjelaskan. Kecuali jika starting pointnya adalah membahas apa itu tadlis dan mudallis, konsekuensi 'an'anah, dan semisalnya. Dan tentu saja, ini terlalu mundur jauh ke belakang jika melihat konteks yang dibahas sekarang adalah Abu Ishaaq As-Sabii'iy.

Tidak masalah saya dipandang bodoh atau super bodoh tentang ilmu mushthalah. Silakan bersorak-sorai bagi berkehendak. Kebodohan orang yang bodoh serta kesalahan orang yang salah dapat diketahui oleh orang yang pernah bodoh dan pernah salah (baca : lalu belajar).

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum, berhubung sedang membahas Ilmu Musthalah Al-Hadits saya rasa ustadz abul jauzaa' sudah sangat memahami Ilmu musthalah Al-hadits, tentunya bagi yang mengikuti tulisan-tulisannya mereka akan menyadarinya dimana tidak jarang juga beliau mebawakan syawahid-syawahid atau mutaba'at bila diperlukan dan ini sesuai manhaj mutaqaddimin dalam penilaian suatu hadits...

Saya ingin bertanya kepada Ust.abul jauzaa', awalnya sebagai awal mempelajari ilmu hadits referensi adalah kitab taisir musthalah al-hadits DR. Mahmud At-Thahan, namun ada kritikan dari Syaikh Thariq 'Iwadullah dalam kitabnya " Ishlah Al-Isthilah " dimana cukup banyak kritikan yg beliau nukilkan dalam kitabhya, disini ( http://archive.org/download/tarislhasm/isistilah.pdf )

Jika sekiranya ust.abul jauzaa sudah membaca kitab tersebut, bagaimana pendapat antum mengenai kitab syaikh Thariq 'Iwadullah ini? mengingat saya masih dalam tahap belajar, tentu hanya sebagai perbandingan saja.....

Jazaakumullahu khayran wa baarokallahu fiikum.....

Anonim mengatakan...

ust sepertiny memang antm harus bahas secara runut n pelan2 ttg permasalahan tadlis, mudallis dan konsekuensi 'an'anah yg menjadi critical point diskusi antm dgn UMIR agar para penuntut ilmu seperti kita2 ini dapat mengambil saripati diskusi anda berdua.

contoh misalkan di komentarny terbaru, UMIR mengatakan :
Abul Jauzaa' perlu belajar ilmu mushthalah hadits yang benar, dan bedakan antara nazhariyyah dan tathbiq. Sudah saya kasih petunjuk agar membaca kitab Manhaj al-Mutaqaddimin fi al-Tadlis, masih tidak mau baca. Tapi mungkin dia hanya taklid buta saja sama al-albani, ahli hadats kaum wahabi.

dan ...

Abul Jauzaa tidak ngerti perkataan al-Imam Ya'qub bin Sufyan al-Fasawi. Abul Jauzaa mengharuskan kepada al-Fasawi agar mengikuti pendapat abul jauzaa'. Ini lucu.
[selesai kutipan dari FB UMIR]

monggo ust.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terima kasih. Saya sudah membaca kitab Manhaj Al-Mutaqaddimiin fit-Tadliis jauh-jauh hari sebelum Ustadz Muhammad Idrus Ramli (UMIR)tergopoh-gopoh memberikan saran kepada saya untuk membaca buku tersebut. Saya tahu, UMIR mendadak menjadi berhujjah dengan kitab tersebut, karena kebetulan penulis kitab tersebut merajihkan bahwa Abu Ishaaq As-Sabii'iy adalah perawi yang sedikit melakukan tadlis (dengan menukil pendapat Al-Fasawiy) sehingga 'an'anah-nya dihukumi muttashil seperti mudallis tingkat satu atau kedua.

Yang menjadi point penting di sini bukan bacaan kitab tersebut, akan tetapi pada pemahaman dimanakah kita letakkan martabat Abu ishaaq As-Sabii'iy ini. Satu sisi UMIR mengakui Ibnu Hajar yang mengelompokkan Abu Ishaaq ini ke thabaqah ketiga perawi mudallis, namun di sisi lain UMIR merujuk pada kitab Manhaj Al-Mutaqaddimiin yang tidak setuju pengelompokan Ibnu Hajar tersebut.

Inilah yang saya maksudkan bahwa sebenarnya UMIR ini tidak paham permasalahan yang ia omongkan. Bingung. Kebetulan saja pas cari di Maktabah Syamilah, lalu nemu pembahasan itu lalu berhujjah dengannya. Sifatnya - menurut dugaan saya - hanya kebetulan saja.

Pertanyaannya : UMIR ini setuju dengan pendapatnya Ibnu Hajar atau penulis kitab Manhaj Al-Mutaqaddimiin ?. Itu saja. Jangan plin-plan.

Kalau saya, hingga saat ini lebih menguatkan pendapat Ibnu Hajar rahimahullah.

Yang lebih menguatkan bahwa UMIR itu benar-benar tidak paham permasalahan ini - sebagaimana telah saya singgung sebelumnya - , ia menjadikan alasan 'Abdurrahmaan bin Sa'd termasuk guru Abu Ishaaq As-Sabii'iy (dengan mengutip dalam kitab At-Tahdziib) sebagai indikasi bahwa Abu Ishaaq tidak melakukan tadlis.

Ini namanya tidak bisa membedakan antara tadlis dan irsal !!. Justru karena 'Abdurrahmaan itu termasuk guru yang diambil riwayatnya oleh Abu Ishaaq lah tadlisnya Abu Ishaaq dinamakan tadlis (isnad). Tadlis isnad itu gambarannya bahwa seorang perawi meriwayatkan beberapa hadits yang ia dengar dari seorang syaikh (guru), namun hadits yang ia tadlis­-kan tidak pernah ia dengar dari gurunya itu. Hadits itu ia dengar melalui (perantara) syaikh yang lain, dari syaikh-nya yang pertama tadi. Orang tersebut (si mudallis) menggugurkan syaikh yang menjadi perantara, dan kemudian ia (si mudallis) meriwayatkan darinya (syaikh yang pertama) dengan lafadh yang mengandung kemungkinan mendengar (samaa’) atau yang semisalnya; seperti lafadh قَالَ (telah berkata) atau عَنْ (dari) – agar orang lain menyangka bahwa ia telah mendengar dari syaikh tersebut. Padahal tidak benar orang itu telah mendengar hadits ini. Ia tidak mengatakan سَمِعْتُ (aku telah mendengar) atau حَدَّةَنِيْ (telah menceritakan kepadaku), sehingga ia tidak bisa disebut sebagai pendusta atas perbuatan itu. Orang yang ia gugurkan tadi bisa satu orang atau lebih.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Contohnya adalah tadlisnya Al-A'masy dari Mujaahid. Mujaahid itu adalah salah satu guru dari Al-A'masy, dan ia meriwayatkan sedikit hadits darinya. Namun di sisi lain, ia melakukan tadlis dalam banyak riwayat yang lainnya dengan menggugurkan Abu Yahyaa Al-Qattaat. Ya’quub bin Syaibah berkata : “Tidak benar hadits Al-A’masy dari Mujaahid kecuali sedikit di antaranya. Aku bertanya kepada ‘Aliy bin Al-Madiiniy : “Berapa banyak hadits yang didengar Al-A’masy dari Mujaahid ?”. Ibnul-Madiiniy berkata : “Tidak tsabit darinya kecuali hadits yang ia berkata : ‘sami’tu (aku telah mendengar)’; yang jumlahnya sekitar sepuluh. (Selebihnya), hadits-hadits Al-A’masy dari Mujaahid hanyalah berasal dari (perantaraan) Abu Yahyaa Al-Qattaat” [Tahdziibut-Tahdziib, 4/225]. Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Abu Yahyaa Al-Qattaat adalah perawi dla’iif. Ibnu Hajar berkata : “Layyinul-hadiits” [At-Taqriib – bersama At-Tahriir 4/295 no. 8444. Lihat pula Tahdziibul-Kamaal 34/401-403 no. 7699]. Selengkapnya, silakan baca di sini. Saya sudah singgung itu sebelumnya.

Saya harap, UMIR lebih rajin membaca dan mulai saat ini, waktunya bagi dia untuk mulai belajar ilmu mushthalah hadits. Dan jangan kaitkan dengan Al-Albaaniy atau yang lainnya jika ia merasa panik. Sibuk membuat opini dan menjatuhkan pihak-pihak lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan pembicaraan. Ini adalah trik-trik kuno dari para ASWAJA.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dan sebagai tambahan saja bahwa kedudukan Abu Ishaaq As-Sabii'iy ini yang rajih ada pada tingkatan ketiga perawi mudallis yang tidak diterima riwayatnya kecuali jika ia menunjukkan tashrih penyimakan riwayatnya dari gurunya. Jika ia menggunakan sighah 'an'anah, maka tidak diterima.

Diantara ulama mutaqaddimiin yang tidak menerima 'an'anah Abu Ishaaq As-Sabii'iy diantaranya :

1. Ibnu Khuzaimah [lihat perkataannya dalam Shahiih Ibnu Khuzaimah (tahqiq : Al-A'dhamiy) 1/212 no. 408].

2. Ath-Thabariy - sebagaimana yang ia sebutkan dalam kitab Tahdziibul-Aatsaar (Musnad 'Aliy) saat menta'lil satu riwayat :

وَالرَّابِعَةُ: أَنَّ أَبَا إِسْحَاقَ عِنْدَهُمْ مُدَلِّسٌ، وَلا يُحْتَجُّ عِنْدَهُمْ مِنْ خَبَرِ الْمُدَلِّسِ بِمَا لَمْ يَقُلْ فِيهِ: حَدَّثَنَا، وَسَمِعْتُ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ

"Keempat, bahwasannya Abu Ishaaq di sisi para ulama adalah seorang mudallis, dan mereka tidak berhujjah dengan khabar mudallis yang tidak dikatakan padanya : haddatsanaa, sami'tu, dan yang serupa dengannya".

3. dan lain-lain.

Ibnu Hajar telah meletakkan Abu Ishaaq As-Sabii'iy dalam tingkatan ketiga perawi mudallis. Begitu juga dengan Al-'Alaaiy dalam Jaami'ut-Tahshiil (hal. 113). As-Suyuuthiy rahimahullah berkata tentangnya : "masyhuur bit-tadliis" [Asmaa'ul-Mudallisiin, hal. 77 no. 41]. Al-'Iraaqiy juga mengatakan hal yang sama dengan As-Suyuuthiy dalam kitab Al-Mudallisiin-nya (hal. 77 no. 47). Jika dikatakan masyhuur bit-tadliis, maka maknanya ia terkenal banyak melakukan tadlis sehingga tidak diterima riwayatnya kecuali jika ia menggunakan shighah sami'tu, haddatsanaa, atau yang semisalnya sebagaimana dikatakan Ath-Thabariy di atas.

Wallaahu a'lam.

A.JML mengatakan...

Memang sy rasa Hujatan Pak Idrus dan konco-konconya semisal syeikh palsu idahram & ust.palsu abusalasy ( yg dua orang ini lebih suka ngumpet) dalam semua bukunya & tentu statement2nya selama ini (yg diikuti oleh jamaah NU dari mulai hujatan sampai pelecehannya terhadap para ulama) harus diluruskan lewat ceramah dan buku lagi dan ini lebih efektif sy rasa disaat ini mengingat tidak semua orang membaca blognya ust.AJ dan sedikitnya orang yg menyampaikan bantahan ust.AJ.

Ini penting Ustd, sebab pak idrus ini termasuk orang berpangkat di ormasnya (NU). Sehingga apabila ia rujuk dari kesalahannya maka kemungkinan akan diikuti pula oleh jamaahnya atau setidaknya kalaupun mereka tidak rujuk ya minimal mereka sedikit mengurangi fitnah atau cuma hanya sekedar MENAHAN hujatan dan pelecehannya terhadap para ulama Islam dan tentu pada sesama umat islam.


Hidayah milik Allah Subahanau Wata'ala.

Anonim mengatakan...

Assalamu 'alaikum Ustadz,Ini dari Abu Hasan, Kalsel.Ustadz, Idrus Ramli selalu berkoar-koar dalam tulisannya bahwa tidak ada ulama yang melarang istighatsah sebelum Ibnu Taimiyah rahimahullah. Apakah benar demikian? Ataukah memang ulama-ulama sebelum Ibnu Taimiyah rahimahullah sudah ma'ruf tentang haramnya istighatsah ini dari nash-nash yang umum didalam Al-Qur'an tentang larangan menyeru kepada selain Allah sehingga istilah istighatsah ini tidak masyhur. Mohon kepada Ustadz Abul-Jauza untuk sedikit memberi penjelasan tentang masalah ini. Jazakallahu khairan katsira

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam. Ibnu Taimiyyah rahimahullah tidak melarang istighatsah secara mutlak. yang beliau larang adalah istighatsah yang tidak sesuai dengan syari'at (mengandung bid'ah dan/atau kesyirikan). Tuduhan seperti itu adalah tuduhan basi seperti tuduhan yang lain, yaitu Ibnu Taimiyyah rahimahullah melarang ziarah kubur.

Anonim mengatakan...

ust, di fan page ny UMIR ada artikel baru, entah sedang membantah siapa dia, apa tanggapan antm?

Unknown mengatakan...

Ustad Idrus Ramli kok tidak memelihara jenggot yah? Malah memelihara kumis... Eh kok mendengarkan ceramah agamanya malah harus bayar sejumlah uang dulu yah?..

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum..,
Saya sudah membaca artikel dari kedua Ustadz yang sedang berselisih ini, pada awalnya saya melihat sesuatu yang konyol, "ngapain juga agama diperdebatkan".

Tapi setelah bersungguh-sungguh & bersabar mengikuti jalan diskusi antara Ust. Idrus Ramli & Ust. Abul Jauzaa, saya jadi semakin mengerti kalau ini bukan hanya sekedar debat "konyol" seperti yang saya sangka sebelumnya.

Pada awalnya saya sangka Ust. Idrus Ramli lah yang benar karena Ust. Abul Jauzaa menggunakan kata-kata yang (menurut saya) kurang sopan (menggunakan kata "bodoh"), meskipun pada akhirnya Ust. Idrus Ramli malah lebih parah menjuluki Ust. Abul Jauzaa dengan sebutan Wahabi, Majhul, & Mudhalis.
Padahal Wahabi itu kalau dimata orang Sufiyyin Jawa itu lebih buruk daripada orang yang jelas-jelas non-Muslim.
Bahkan ada beberapa Kyai yang memperbolehkan seseorang untuk mempraktekkan ilmu Sihir atas nama Jihad untuk menjatuhkan Ust-Ust Wahabi (menghalalkan darahnya).

Namun pada akhirnya saya mengerti kalau esensi kebenarannya bukan pada kata-kata keras atau tidaknya, melainkan pada isi tulisannya. Dan Alhamdulillah kini sedikit demi sedikit mulai tertarik pada ilmu agama.

Saya yang pada awalnya menilai tulisan-tulisan seperti ini adalah kekonyolan, ternyata setelah memperdalamnya saya jadi merasa kalau justru saat saya mengatakan "konyol" itulah saya sebenarnya ada pada titik orang yang bodoh & tak mengetahui realita ummat, kalau sebenarnya berbagai macam perpecahan ini terjadi karena munculnya orang-orang yang menafsirkan agama seenaknya sendiri, untuk itulah diperlukan belajar.

Sampai disini saya sudah bisa menilai, mana pihak yang benar-benar ingin menyampaikan kebenaran & meluruskan kesalahan.
Dan mana pihak yang ingin menang dalam berdebat, membela keyakinan yang diikutinya, & membela kelompoknya saja.

Saya pun melihat Ust. Abul Jauzaa yang mengatakan "tidak tahu" pada hal-hal yang memang tak diketahuinya, dan perkataannya pun benar-benar ilmiyah serta berhati-hati.
Sedang dilain sisi Ust. Idrus Ramli kadang menjawab pernyataan yang tak diketahuinya dengan kalimat "sepertinya" dsb, ini menunjukkan kalau beliau adalah orang yang nekat & berbekal asumsi semata.

Hanya saja saat saya mengajak teman-teman saya membaca artikel ini, mereka langsung meninggalkan ajakan saya ketika membaca kata-kata vonis "bodoh" oleh Ust. Abul Jauzaa pada Ust. Idrus Ramli (walau sebenarnya Ust. Idrus Ramli memvonis Ust. Abul Jauzaa dengan gelar yang lebih buruk kalau seandainya mereka mau melanjutkan membaca). Namun darisini bisa kita lihat kenapa Masyarakat secara umum menolak Dakwah seperti Ust. Abul Jauzaa ini karena menurut mereka sangat keras & congkak, walau sebenarnya persepsi "bodoh" menurut Ust. Abul Jauzaa ini bukan berarti "idiot", melainkan "tidak/belum tahu".

Hanya ini sedikit dari saya, semoga kedepannya saya bisa bertemu dengan Ust. Abul Jauzaa.
Wassalamualaikum

Ibnu Abi Irfan mengatakan...

akhi Harrie Kurnia

masalah jenggot, husnudzon saja kalo beliau memang tidak punya jenggot sejak dari awalnya, jadi bukan beliau suka mencukur jenggot.

masalah bayar untuk denger ceramah, ya itu baru suatu masalah.