Catatan Ringan : Bolehkah Menolak Kesaksian Hilal ?.


Belum lama ini saya membaca tulisan seorang penulis tentang permasalahan hilal Syawal 1432 H yang lalu di : http://abisyakir.wordpress.com/2011/08/. Saya ‘tertarik’ karena – Pertama - judulnya yang cukup ‘provokatif’ : Wahai Departemen Agama RI: Mengapa Anda Menolak Kesaksian Seseorang yang Sudah Melihat Hilal?. Apalagi diikuti himbauan agar kaum muslimin membatalkan puasanya lebih awal dari ketetapan Depag.[1] Kedua, sebagian bahasannya menampilkan analisis fiqh.

Dikarenakan artikel itu tertuju pada Depag, maka saya tidak berhak mewakili Depag untuk menjawab pertanyaan dalam judul artikel yang disampaikan. Akan tetapi, saya mengajak rekan-rekan untuk sedikit mengkajinya melalui pendekatan fiqh. Oleh karenanya, saya mengajukan pertanyaan awal : “Bolehkah Pemerintah menolak kesaksian hilal sebagian kaum muslimin ?”.
Let’s we go......
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَانْسُكُوا لَهَا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ، فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ، فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
Berpuasalah karena melihatnya (hilaal) dan berbukalah karena melihatnya (hilaal). Sembelihlah kurban karena melihatnya (hilaal) juga. Apabila hilaal tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah bulan menjadi tigapuluh hari. Apabila dua orang saksi telah menyaksikannya, maka berpuasalah dan berbukalah” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 2116; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan An-Nasaa’iy, 2/95 dan Irwaaul-Ghaliil no. 909].
أَنَّ أَمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ، ثُمّ قَالَ: عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ، فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ، نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
“Bahwasannya amir kota Makkah pernah berkhutbah, lalu berkata : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan kepada kami agar kami (mulai) menyembelih berdasarkan ru’yah. Jika kami tidak melihatnya, namun dua orang saksi ‘adil menyaksikan (hilal telah tampak), maka kami mulai menyembelih berdasarkan persaksian mereka berdua….” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2338; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/54].
أَنَّ عُثْمَانَ أَبى أَنْ يُجِيزَ شَهَادَةَ هَاشِمِ بْنِ عُتْبَةَ الأَعْوَرِ وَحْدَهُ عَلَى رُؤْيَةِ شَهْرِ رَمَضَانَ "
“Bahwasannya ‘Utsmaan (bin ‘Affaan) menolak diberlakukannya persaksian ru’yah bulan Ramadlaan Haasyim bin ‘Utbah Al-A’war seorang diri” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 1137; para perawinya tsiqaat, hanya saja ada keterputusan ‘Amru bin Diinaar dengan ‘Utsmaan bin ‘Affaan].
Sebagian ulama menjadikan riwayat-riwayat di atas sebagai dalil persyaratan adanya dua orang saksi yang ‘adil untuk menerima persaksian hilaal.[2] Ulama Ahnaaf mempersyaratkan bahwa jika langit dalam keadaan cerah/tidak berawan, maka orang yang menyaksikannya (hilaal) haruslah dalam jumlah yang banyak.[3]
Persyaratan keadilan saksi adalah untuk memastikan ia tidak sengaja berdusta dalam persaksiannya. Adapun persyaratan jumlah, pada hakekatnya untuk memastikan keakuratan penglihatan hilaal – bahwa yang disaksikannya itu benar-benar hilaal, bukan benda angkasa yang lain. Saksi yang ‘adil tidak menutup kemungkinan salah dalam persaksiannya. Hilaal di awal bulan bukanlah seperti purnama yang semua orang dapat melihatnya dengan jelas. Memang benar, asal persaksian seorang yang ‘adil adalah diterima dan tidak ditolak, kecuali jika ada indikasi-indikasi kuat yang menunjukkan persaksian tersebut keliru.
Perhatikan riwayat[4] berikut :
وَبِهَذَا الإِسْنَادِ إِلَى مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ " هَكَذَا رَوَاهُ مَالِكٌ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عُثْمَانَ، بِضَمِّ الْعَيْنِ، وَخَالَفَهُ النَّاسُ فِي ذَلِكَ، وَقَالُوا: إِنَّمَا رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ، قَالَ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ: كُلُّ مَنْ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ مِنْ أَصْحَابِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ فِيهِ: عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ، وَحَكَمَ مُسْلِمٌ عَلَى مَالِكٍ بِالْوَهْمِ فِيهِ، وَذَكَرَ أَنَّ مَالِكًا كَانَ يُشِيرُ بِيَدِهِ إِلَى دَارِ عُمَرَ، كَأَنَّهُ عَلِمَ أَنَّهُمْ يُخَالِفُونَهُ
“Dan dengan sanad ini sampai pada Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari ‘Aliy bin Al-Husain, dari ‘Umar bin ‘Utsmaan bin ‘Affaan, dari Usaamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Orang muslim tidaklah mewarisi orang kafir”. Begitulah yang diriwayatkan Maalik dari ‘Umar bin ‘Utsmaan – dengan harakat dlammah pada huruf ‘ain - ; dan para perawi lain telah menyelisihinya dalam hal itu. Mereka berkata : ‘Yang meriwayatkan hadits ini adalah ‘Amru bin ‘Utsmaan’. Muslim bin Al-Hajjaaj berkata : ‘Semua orang dari kalangan shahabat Az-Zuhriy yang meriwayatkan hadits ini berkata : ‘Amru bin ‘Utsmaan’. Muslim menghukumi Maalik telah keliru dalam periwayatan ini. Dan ia menyebutkan bahwa Maalik berisyarat dengan tangannya ke rumah ‘Umar, seakan-akan Maalik mengetahui orang-orang telah menyelisihinya (dalam periwayatan hadits tersebut)” [Masyaikah Ibni Jamaa’ah, 1/181-182].
Maalik bin Anas adalah imam yang sangat terpercaya tanpa diragukan lagi. Namun periwayatannya tersebut (dengan menyebut ‘Umar bin ‘Utsmaan) dikelirukan oleh Muslim bin Al-Hajjaaj, karena telah menyelisihi para perawi tsiqaat lainnya dalam periwayatan dari Az-Zuhriy rahimahumullah (yang menyebut ‘Amru bin ‘Utsmaan).[5] Kedudukan seperti Maalik tidak menghalangi untuk menolak riwayatnya jika terdapat indikasi-indikasi kuat yang menunjukkan kelirunya khabar/riwayat.
Yang lain :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimuunah dalam keadaan ihram [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1837 & 4259 & 5114, Muslim no. 1410, At-Tirmidziy no. 842-844, Abu Daawud no. 1844, dan yang lainnya].
Perkataan Ibnu ‘Abbaas ini diselisihi oleh Maimuunah sendiri sebagaimana hadits :
عَنْ مَيْمُونَةَ، قَالَتْ: " تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ حَلَالَانِ بِسَرِفَ "
Dari Maimuunah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, dan kami dalam keadaan halal (selesai ihraam) di Sarif” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1411, Abu Daawud no. 1843, At-Tirmidziy no. 845, Ahmad 6/332 & 333 & 335, Ad-Daarimiy no. 1831, dan yang lainnya; ini adalah lafadh Abu Daawud].
Perkataan Maimuunah ini lebih diunggulkan daripada Ibnu ‘Abbaas, karena ia berkedudukan sebagai pelaku. Apalagi perkataan Maimuunah ini sesuai dengan ketentuan umum sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
الْمُحْرِمُ لَا يَنْكِح، ولَا يَخْطُبُ
Orang yang berihram tidak boleh menikah dan meminang/melamar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1409].
Menyikapi perbedaan riwayat di atas, Sa’iid bin Al-Musayyib rahimahullah berkata :
وَهِمَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي تَزْوِيجِ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
“Ibnu ‘Abbaas telah keliru dalam riwayat pernikahan Maimuunah dalam keadaan ihraam [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1845, Al-Baihaqiy 7/212, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 1/125, Adz-Dzahabiy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh Al-Kabiir 1/180, dan yang lainnya].
Kedudukan tinggi yang dimiliki Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa bukan menjadi penghalang untuk menolak riwayatnya, karena terdapat indikasi kuat bahwa ia telah keliru dalam periwayatan.
Yang lain :
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مُغِيرَةَ، عَنْ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: قَالَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ قَيْسٍ: طَلَّقَنِي زَوْجِي ثَلَاثًا، عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا سُكْنَى لَكِ، وَلَا نَفَقَةَ ". قَالَ مُغِيرَةُ: فَذَكَرْتُهُ لِإِبْرَاهِيمَ، فَقَالَ: قَالَ عُمَرُ: لَا نَدَعُ كِتَابَ اللَّهِ، وَسُنَّةَ نَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِقَوْلِ امْرَأَةٍ لَا نَدْرِي أَحَفِظَتْ أَمْ نَسِيَتْ، وَكَانَ عُمَرُ يَجْعَلُ لَهَا السُّكْنَى، وَالنَّفَقَةَ.
Telah menceritakan kepada kami Hanaad : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Mughiirah, dari Asy-Sya’biy, ia berkata : Telah berkata Faathimah bintu Qais : “Suamiku menjatuhkan thalaq tiga kepadaku di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidak ada tempat tinggal dan pemberian nafkah lagi untukmu”. Al-Mughiirah berkata : Lalu aku menyebutkan hadits itu kepada Ibraahiim, lalu ia berkata : ‘Umar berkata : “Kami tidak akan meninggalkan Kitabullah dan sunnah Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya karena perkataan seorang wanita yang kita tidak tahu apakah ia menghapalnya ataukah lupa”. ‘Umar tetap memutuskan bagi orang yang dithalaq tiga mendapatkan tempat tinggal dan nafkah [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1180; shahih].
Dalam hadits di atas dapat diketahui bahwa Khalifah ‘Umar radliyallaahu ‘anhu menolak kesaksian Faathimah bintu Qais karena ia ragu akan kebenaran berita yang disampaikan Faathimah.[6] Meskipun ijtihad ‘Umar keliru, namun riwayat ini menunjukkan bahwa imam berhak menolak kesaksian seseorang yang ia ragukan validitasnya.
Dari sini sudah mulai kelihatan arah jawaban dari pertanyaan : “Bolehkah Pemerintah menolak kesaksian hilal sebagian kaum muslimin ?”, yaitu....... : boleh, jika ada qarinah kuat yang dianggap menunjukkan kesaksian hilaal itu keliru.
Qarinah di sini ada beberapa macam, misalnya : Pemerintah meragukan kompetensi si pengamat (walau mungkin orang lain menganggapnya kompeten), tempat pengamatan yang kurang layak (faktor geografis, atau yang lainnya), peralatan yang tidak memadai, dan lain-lain – bersamaan dengan kebanyakan pengamat di tempat yang berbeda menafikkan kemunculan hilaal. Bahkan, sebagian ulama mengatakan hisab falakiy dapat menjadi qarinah pendukung untuk menolak kesaksian ru’yatul-hilaal, jika seandainya menurut perhitungan ketinggian bulan pada hari itu tidak memungkinkan untuk dilihat.[7]
Para ulama madzhab dulu dan sekarang telah menuliskan beberapa hukum terkait penolakan persaksian hilaal oleh imam (baik penolakannya itu dengan alasan yang benar atau tidak benar). Ini adalah fakta yang menunjukkan imam memang berhak menolak persaksian. Apalagi imam mempunyai wewenang memutuskan perkara untuk mengangkat khilaf yang terjadi pada kaum muslimin.
So,.... kembali ke judul provokatif : Wahai Departemen Agama RI: Mengapa Anda Menolak Kesaksian Seseorang yang Sudah Melihat Hilal?. Jika kita kembalikan pada jawaban fiqh, penolakan itu kemungkinan didasari oleh indikasi-indikasi kuat - yang menurut Pemerintah – bahwa hilaal Cakung dan Jepara keliru.[8] Kita tidak perlu mengambalikan jawaban pada hipotesis-hipotesis negatif yang justru memperkeruh keadaan.[9]
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya, terutama jika ada permasalahan ru’yat hilaal di bulan-bulan ke depan.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri, 1432 H - revisi tanggal 19 Januari 2012].


[1]      Depag menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh tanggal 31 Agustus 2011.
[2]      Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai persyaratan jumlah saksi, yang masing-masing membawakan dalil yang menguatkan pendapatnya :
a.     Maalikiyyah berpendapat : tidak diterima persaksian kecuali persaksian dua orang laki-laki yang ‘adil untuk seluruh hilaal bulan.
b.    Abu Tsaur, Ibnul-Mundzir, Ibnu Hazm, dan dikuatkan oleh Ibnu Rusyd berpendapat : diterima persaksian seorang yang ‘adil untuk seluruh hilaal bulan.
c.     Syaafi’iyyah dan Hanaabilah berpendapat : tidak diterima persaksian kecuali dari dua orang yang ‘adil; kecuali hilaal bulan Ramadlaan, maka mencukupi persaksian satu orang yang ‘adil.
d.    Hanaafiyyah berpendapat : jika langit cerah, maka hilaal harus disaksikan oleh sejumlah besar manusia. Adapun jika langit mendung, maka persaksian dua orang ‘adil mencukupi.
Saya tidak akan membahasnya lebih lanjut tentang pentarjihannya, karena bukan ini fokus pembicaraan artikel ini.
[3]      Alasannya : Jika memang langit cerah, maka tidak mungkin hilaal hanya terlihat oleh satu orang atau dua orang saja. Beda halnya jika langit tidak cerah, maka sangat mungkin hilaal hanya terlihat oleh satu atau dua orang saja.
[4]      Beberapa ulama menjelaskan bahwa riwayat dan persaksian itu termasuk bagian dari khabar. Ada persamaan dan perbedaannya. Akan tetapi di sini, saya menekankan bahwa khabar (baik riwayat maupun persaksian) dapat ditolak jika ada indikasi kuat untuk menolak khabar.
[5]      Di antaranya : Ibnu Juraij, Muhammad bin Abi Hafsh, Ma’mar bin Raasyid, Sufyaan bin ‘Uyainah, Husyaim bin Basyiir, Yuunus bin Yaziid Al-Ailiy, ‘Uqail bin Khaalid Al-Ailiy, Al-Auza’iy, Yaziid bin Al-Haad Al-Laitsiy, Zam’ah bin Khaalid Al-Yamaaniy,’Abdullah bin Budail, dan lain-lain.
[6]      Walau dalam hal ini, hadits Faathimah adalah benar lagi shahih (dan ‘Umar telah keliru), sehingga wanita yang telah dithalaq tiga tidak lagi berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah dari mantan suaminya.
[7]      Di sini saya tidak mengatakan bahwa puasa atau berbuka ditentukan melalui hisaab. Hanya saja maksudnya adalah : Jika menurut hisaab falakiy hilaal memungkinkan untuk dilihat di suatu malam, jika ada orang yang mengaku melihat hilaal, maka kesaksiannya itu diterima dan dimulailah ibadah puasa atau berbuka (‘Ied). Jika tidak terlihat, maka bulan digenapkan tigapuluh hari. Kebalikannya, jika menurut hisaab falakiy yang shahih hilaal tidak memungkinkan untuk dilihat dan kemudian ada seseorang yang mengaku telah melihat, maka kesaksiannya itu ditolak.
Hisaab digunakan untuk menafikkan, bukan untuk menetapkan; karena penetapan waktu ibadah berdasarkan ruyatul-hilaal sebagaimana telah diketahui bersama.
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Al-Imaam As-Subkiy, Asy-Syaikh Al-Maraghiy (ulama Al-Azhar), Asy-Syaikh ‘Aliy Ath-Thanthawiy (ulama Mesir), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Sulaimaan bin Manii’, dan Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Ubaikaan.
Ibnu Hajar Al-Haitamiy (Tuhfatul-Muhtaaj, 3/383) berpendapat bahwa ru’yah dapat ditolak berdasarkan hisaab jika hisaab tersebut disepakati oleh ahli hisaab secara mutawaatir.
Pendapat ini sangat kuat.
Penelitian modern telah membuktikan bahwa tingkat akurasi perhitungan astronomi sudah mencapai orde detik. Oleh karena itu, perkiraan para astronom untuk waktu terjadinya gerhana matahari dan bulan jarang yang meleset.

Comments

Abu-Harits mengatakan...

Dimana (kitab apa) saya bisa mendapatkan keterangan Syaikh Ibnu 'Utsaimin ttg bolehnya menolak persaksian hilal dengan hisab falakiy yg shahih ?

tambahan faidah buat saya..
jazakumullah khairan jawabanny ustadz..

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang pendapat Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimiin, silakan antum baca : http://www.al-aqidah.com/?aid=show&uid=q8re0y20 (tanya-jawab).

Tentang pendapat Asy-Syaikh Ibnu Manii', silakan antum baca : http://www.startimes.com/f.aspx?t=29064968, http://www.hareqnews.com/news.php?action=show&id=1162 dan http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=1963 (tanya-jawab).

Tentang pendapat Asy-Syaikh Al-'Ubaikaan, silakan antum baca : http://al-obeikan.com/tazkeya/73 dan http://www.aleqt.com/2010/02/26/article_355372.html.

Abu Hanif mengatakan...

Perhitungan peredaran bulan memang dapat dihitung dengan keakuratan yg tinggi. Tp masalah kriteria "hilal tdk dapat dilihat" bukan merupakan hal yg mudah untuk didefinisikan krn menyangkut bbrp faktor, spt kondisi atmosfer pada saat itu. Dan para ilmuwan astronomi (kelihatannya) tidak memperhitungkan hal tsb (ingat para saintis biasa meneliti pd kondisi yg 'di-ideal-kan'). Ada pembahasan menarik ttg hilal di majalah Qiblati 3 edisi terakhir...

Barakallahu fiik, ya Ustadz...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terima kasih,...

Setahu saya para astronom (sebatas yang saya baca tentunya) telah menjelaskan beberapa level visibilitas hilal. Ada level terlihat dengan mata telanjang, dengan menggunakan teleskop biasa, dan seterusnya. Jika ini ini diperhitungkan dalam keadaan langit cerah, maka tingkat visibilitas itu menjadi turun jika ada faktor penghambat x.

Dan secara teoritis pun itu dapat dilogika dengan mudah. Jika misal MUI menetapkan - berdasarkan pertimbangan ahli astronomi - bahwa hilal terlihat minimal dalam ketinggian 2 derajat; maka dilakukanlah uji (semacam riset); ada nggak orang yang bisa melihat di bawah dua derajat. Jika tidak ada, maka itu bisa dijadikan patokan. Jika ada, maka kriteria diturunkan lagi hingga ada batas minimal. Tentu saja ini harus dilakukan dengan kaedah-kaedah riset, seperti harus ada pengulangan, pembanding, dan yang lainnya; sehingga hasilnya valid.

Tidak mudah memang, tapi itu mungkin.

Archie Romadhoni mengatakan...

saya sependapat dengan abul Jauzaa soal bolehnya menolak persaksian ini. Saya pernah baca juga di Fiqih sunnah soal semacam ini.

Anonim mengatakan...

"Kalau seperti Abu Al Jauza itu, aku yakin dia tak bisa mempraktikkan metode yang dipakai di Cakung itu"

Memang metode seperti apa sih ustadz? yang dikatakan luar biasa itu...? dari link : http://abisyakir.wordpress.com/2012/03/06/pemimpin-begitu-rakyat-begitu/#comment-6305

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tanya saja pada yang bersangkutan.

NB : Saya tidak menguasai detail ilmu falak. Adapun yang saya bicarakan di artikel ini adalah dalam sisi fiqh sebagaimana tertera dalam judul.

Anonim mengatakan...

Mohon maaf ustadz, apakah anda berminat untuk diskusi terbuka dengan penulis tentang permasalahan hilal Syawal 1432 H yang lalu tersebut?

berikut kutipan ajakan beliau:

"abisyakir mengatakan:
Maret 10, 2012 pukul 12:57 am
@ Rizal…

Tapi mohon maaf, dari tulisan-tulisan anda di blog ini, terlihat jelas ilmu anda masih dibawah abul jauzaa.

Respon:

Oh ya, tentu Abul Al Jauza dan lainnya lebih tinggi ilmunya dari saya. Dari sisi dirayah dan riwayah hadits, beliau jauh lebih baik. Muthala’ah dia disana lebih luas dari apa yang saya pahami. Namun dari sisi akidah (seputar iman dan syariat), amar makruf nahi munkar, al inkaru hukmal jahiliyah, al inshafu li harakatid dakwah, as siyasah islamiyyah, dan yang semisal itu; kita bisa saling nasehat-menasehati.

Untuk masalah artikel yang dikritik oleh Abu Al Jauza itu, saya ajak dia untuk berdiskusi terbuka. Bisa lewat blog ini, atau dialog terbuka di tengah masyarakat. Intinya, dia menetapkan wajibnya mengikuti pendapat umara’ dalam soal penetapan momen Id, sedangkan saya berpendapat pentingnya menyelamatkan Sunnah Rukyatul hilal dari basa-basi politik kaum umara. Kalau Anda bersedia menjadi penengah diskusi terbuka itu, walhamdulillah. Sampaikan juga hal ini ke Abu Al Jauza, sebab kalau kita komentar di situs dia, belum tentu akan dimuat. Kalau perlu, sampaikan ajakan ini kepada ustadz-ustadz Salafi lain yang setuju dengan pendapat Abu Al Jauza.

Jazakumullah khair atas masukan Anda. Saya tunggu info dari Anda atau dari Abu Al Jauza -semoga Allah selalu menjaganya dan kita semua dalam istiqamah dan manhaj Ahlus Sunnah yang lurus- amin ya Rahiim.

AMW."

dari link berikut: http://abisyakir.wordpress.com/2012/03/06/pemimpin-begitu-rakyat-begitu/#comment-6351

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tulisan di atas masih bisa terbaca oleh siapa saja. Kontent yang saya bicarakan pun jelas. Seandainya yang bersangkutan ingin mengomentari balik artikel di atas, sangat saya persilakan. Seandainya yang bersangkutan menyangka bahwa kesaksian orang yang 'adil tidak boleh ditolak dan harus diterima secara mutlak dalam cabang-cabang syari'at, saya sarankan untuk membaca buku : Radd Asy-Syahaadatil-'Adl wa Tahthbiiqaatuhaa fil-Mahaakimisy-Syar'iyyah karya Usaamah bin Ahmad 'Abdirrazzaaq, thesis Univ. Gazzaa. Bagus.

Sunnah Rasul itu bukan sekedar ru'yah saja. Tapi ia juga meliputi pengetahuan lebih dari itu. Siapa yang berhak menentukan keabsahan rukyat - atau - siapakah yang berwenang menerima kesaksian hilal ? Apa syarat saksi ?. Bolehkah menolak kesaksian ?. Dalam kondisi apa kesaksian dapat ditolak ?. Bagaimana sikap kita seandainya satu kesaksian ditolak ?. Pembicaraan dalam pendekatan fiqh semacam ini lebih memadai dan lebih dapat dinilai akurasinya. Lebih bermanfaat, karena ia adalah dasar dari tema dalam hukum-hukum seputar rukyatul-hilaal. Referensinya pun banyak dan cukup memadai. Jika memang ada faedah yang dapat saya petik dari penjelasan bersangkutan, tidak akan saya tunda untuk menerimanya, dan saya ucapkan : Syukran, wa jazaakallaahu khairan.

Adapun pembicaraan seperti yang diinginkan Penulis, saya khawatir ia hanya akan bermuara pada : debat kusir dan 'menurut pendapat saya'. Setidaknya, Anda dapat lihat contohnya dalam kontent Blognya. Hanya menimbulkan kegaduhan semata.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sebagai tambahan referensi tentang masalah hilal cakung, dapat dibaca :

MENGAPA KESAKSIAN HILAL DI CAKUNG DAN JEPARA DITOLAK ?.

abdullah mengatakan...

terkait menolak kesaksian..

Apakah boleh menlak saksi krn dia orang yg kurang menjaga muru'ah, terlebih lagi melakukan kemaksiatan ?

saya pernah dengar atsar dari imam Syafi'i, bahwa orang yg suka mendengarkan nyanyian maka kesaksiannya ditolak

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya.

herizal alwi mengatakan...

Beda sekali dengan Rasulullah ya, beliau begitu ada yang bersaksi melihat bulan, setelah disumpah langsung memutuskan untuk mulai atau mengakhiri puasa. Jaman sekarang orang Islam tidak mempercayai sesama orang Islam. Gengsi kok dibesar-besarin, dengan mengorbankan umat.

Bahkan Allah sudah memperlihatkan bulan di belahan bumi lainpun tidak dipetcaya. Lalu beriman kepada siapa kalau bukan ke Allah. Bagaimana kalau beritanya disampaikan oleh Allah secara ghaib, semakin tidak percaya lagi.

surah / surat : An-Nahl Ayat : 25
25. (ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.

Anonim mengatakan...

# To herizal alwi
Antum kayak orang yang nggak baca aja. Dibaca sekali. Kalau belum paham, baca pelan-pelan.
Kalau belum paham juga, baca lebih pelan lagi.
Masih belum paham juga? Tanya.
Males baca? Jangan komentar.
Sudah baca tapi ngaco komentarnya? Salah siapa?