Ikhtilaaf dalam Al-Jarh wat-Ta’diil Seperti Ikhtilaaf dalam Ilmu-Ilmu yang Lain


Apabila ikhtilaaf (perselisihan pendapat) terjadi dalam banyak hukum fiqhiyyah dimana hal itu didasarkan pada firman Allah dan sabda Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ikhtilaf itu lebih patut terjadi dalam permasalahan yang diperbincangkan padanya para ulama al-jarh wat-ta’diil sesuai dengan ilmu dan ijtihad mereka. Ini adalah permasalahan yang tidak dipungkiri, karena banyak terjadi dan diakui keberadaannya oleh para ulama.

At-Tirmidziy berkata dalam bagian akhir kitabnya Al-‘Ilal (2/809-810) :
وقد اختلف الأئمة من أهل العلم في تضعيف الرجال ، كما اختلفوا في سوى ذلك من العلم ، ذكر عن شعبة أنه ضعف أبا الزبير المكى ، وعبد الملك بن أبي سليمان ، وحكيم بن جبير ، وترك الرواية عنهم ، ثم حدث شعبة عمن دون هؤلاء في الحفظ والعدالة :
حدث عن جابر الجعفى ، وإبراهيم بن مسلم الهجرى ، ومحمد بن عبيد الله العرزمى ، وغير واحد ممن يضعفون في الحديث ... وقيل لشعبة : تدع عبد الملك ابن أبي سليمان وتحدث عن محمد بن عبيد الله العزرمى ؟ قال نعم.
وقد ثبت غير واحد من الأئمة وحدثوا عن أبي الزبير ، وعبد الملك بن أبي سليمان ، وحكيم بن جبير ، ثم ذكر عطاء وأيوب السختياني توثيقهما لأبي الزبير ، وعن سفيان الثورى توثيقه لعبد الملك بن أبي سليمان ، وعن علي هو المدينى قال يحيى ، وقد حدَّث عن حكيم بن جبير سفيان الثورى وزائدة ، قال علي : ولم ير يحيى بحديثه بأسًا
“Para imam dari kalangan ahli ilmu telah berbeda pendapat dalam pendla’iifan para perawi, sebagaimana mereka berselisih pendapat dalam permasalahan cabang ilmu yang lain. Disebutkan dari Syu’bah bahwasannya ia mendla’ifkan Abuz-Zubair Al-Makkiy, ‘Abdul-Malik bin Abi Sulaimaan, dan Hakiim bin Jubair; serta meninggalkan riwayat mereka. Kemudian ternyata Syu’bah meriwayatkan hadits dari orang-orang yang ada di bawah mereka dalam hal hapalan dan ‘adaalah :
Ia meriwayatkan hadits dari Jaabir Al-Ju’fiy, Ibraahiim bin Muslim Al-Hajuriy, Muhammad bin ‘Ubaidillah Al-‘Arzamiy dan yang lainnya dari kalangan perawi yang dilemahkan dalam hadits….. Dan dikatakan kepada Syu’bah : ‘Engkau meninggalkan ‘Abdul-Malik bin Abi Sulaimaan, namun engkau meriwayatkan hadits dari Muhammad bin ‘Ubaidillah Al-‘Arzamiy ?’. Ia menjawab : ‘Benar’.
Dan telah shahih bahwasannya lebih dari seorang dari kalangan para imam meriwayatkan hadits dari Abuz-Zubair, ‘Abdul-Malik bin Abi Sulaimaan, dan Hakiim bin Jubair”.
Kemudian ia (At-Tirmidziy) menyebutkan tautsiq ‘Athaa’ dan Ayyuub As-Sikhtiyaaniy terhadap Abuz-Zubair, dan tautsiq Sufyaan Ats-Tsauriy terhadap ‘Abdul-Malik bin Abi Sulaimaan. Dari ‘Aliy bin Al-Madiniy : Telah berkata Yahyaa : ‘Sufyaan Ats-Tsauriy dan Zaaidah telah meriwayatkan hadits dari Hakiim bin Jubair’. ‘Aliy (bin Al-Madiiniy) berkata : ‘Yahyaa tidak menganggap masalah tentang haditsnya (Hakiim bin Jubair)”.[1]
Al-Haafidh Adz-Dzahabiy berkata dalam Dzikru Man Yu’tamad Qauluhu fil-Jarh wat-Ta’diil (hal. 72), ketika berbicara tentang Ibnu Ma’iin :
وقد سأله عن الرجال عباس الدروى وعثمان الدارمي وأبو حاتم وطائفة ، فأجاب كلَّ واحد منهم حسب اجتهاده ، ومن ثم اختلفت آراؤه وعباراته في بعض الرجال ، كما اختلفت اجتهادات الفقهاء المحدثين ، وصارت لهم في المسألة أقوال
“Abbaas Ad-Duuriy, ‘Utsmaan Ad-Daarimiy, Abu Haatim dan yang lainnya pernah bertanya kepadanya tentang para perawi, maka ia menjawab setiap orang dari mereka menurut ijtihadnya. Oleh karena itu, pendapat dan perkataannya pun berbeda untuk sebagian perawi, sebagaimana perbedaan ijtihaad para fuqahaa muhadditsiin dan lalu mereka mempunyai pendapat yang berbeda dalam satu permasalahan”.[2]
Al-Mundziriy berkata :
اختلاف هؤلاء كاختلاف الفقهاء ، كل ذلك يقتضيه الإجتهاد ، فإن الحاكم إذا شهد عنده بجرح شخص ، اجتهد في أن ذلك القدر مؤثر أم لا ، وكذلك المحدث إذا أراد الإحتجاج بحديث شخص ونقل إليه فيه جرح، اجتهد فيه هل هو مؤثر أم لا " نقلاً من كتاب تحرير علوم الحديث " ص (515) 
“Perbedaan pendapat mereka adalah seperti perbedaan pendapat para fuqahaa’, yang kesemuanya berdasarkan ijtihad. Apabila ada orang yang memberikan kesaksian kepada seorang hakim tentang jarh atas individu tertentu, maka ia pun akan berijtihad atas kesaksian tersebut, apakah dapat diterima ataukah tidak. Begitu pula halnya dengan seorang muhaddits apabila ia hendak berhujjah dengan hadits seseorang, dan dinukil kepadanya adanya jarh terhadap orang tersebut, maka muhaddits itu akan berijtihad padanya, apakah diterima atau tidak” [Dinukil dari Kitaab Tahriir ‘Uluumil-Hadiits, hal. 515].
[selesai].
Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin ‘Abdillah Al-Imaam hafidhahullah dalam bukunya : Al-Ibaanah ‘an Kaifiyyaat At-Ta’aamul ma’al-Khilaaf baina Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah[3], hal. 173-174 – sumber : http://www.salafmasr.com/vb/showthread.php?t=5013.
Note : Jika demikian, saya merasa heran dengan sikap sebagian orang yang memaksakan satu pendapat ulama atas ‘jarh’-nya terhadap individu tertentu, padahal telah tsabt dari ulama lain hal yang berseberangan dengan ulama tersebut.
Al-jarh wat-ta’diil adalah perkara ijtihaadiyyah.


[1]      Untuk kitab terbitan Maktabah Ar-Rusyd, Riyaadl, Cet. 2/1421, tahqiq : Hammaam bin ‘Abdirrahmaan Sa’iid, ada pada juz 2 halaman 558-559.
Syaikh menukil perkataan dalam Al-‘Ilal dengan peringkasan.
[2]      Punya saya, buku ini tercetak bersama kitab Qaa’idatun fil-Jarh wat-Ta’diil (As-Subkiy), Qaa’idatun fil-Muarrikhiin (As-Subkiy), dan Al-Mutakallimuun fir-Rijaal (As-Sakhawiy) dalam satu kitab berjudul : Arba’u Rasaail fii ‘Uluumil-Hadiits, hal. 185 no. 167; Maktabah Al-Mathbuu’aat Al-Islaamiyyah, Cet. 5/1410 H.

Comments

Anonim mengatakan...

bismilah.ustadz ....orang yang gemar tahdzir menganggap permasalahan IT itu
seperti halnya masalah tentang sebagian ulama yang mentazkiyah hasan al banna, sayid quthb,atau qardhawi .... lalu hal tersebut dibawa ke dalam masalah IT ....bagaimaan penjelasan hal tersebut ustaz...syukron jazakalahakhairan

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Perkataan itu keluar karena hendak menutup pintu toleransi perbedaan ijtihad di kalangan ulama mengenai IT.

Anonim mengatakan...

ustadz bagaimana tanggapan ibnu yunus kali ini, apakah ini merupakan kadzab atau haq ustadz , slama ini saya pusing sekali dengan masalah masalah maslah seperti ini......bisa ditanyakan kepada masayaikh ga ustadz masalah masalah seperti ini...jazakalahakharan.bisa dibaca disini
http://www.facebook.com/notes/dzulkifli-baqir-al-farizi/bertahkim-di-depan-masyayikh-yordan-sebuah-kesaksian-ustadz-ibnu-yunus/207054832666432

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kalau antum merasa pusing, mengapa antum memperberat-berat diri menyibukkan masalah ini ?. Banyak ilmu agama yang belum kita kuasai, dan banyak pula kitab para ulama yang belum kita baca.

Seandainya benar bahwa IT itu adalah gerombolan mubtadi' seperti yang mereka omongkan, mari kita bertanya kepada diri kita. Apakah kita (dan guru kita) melakukan baiat-baiat hizbiy sebagaimana yang dituduhkan kepada IT ?. APakah kita bermain politik praktis sebagaimana yang dituduhkan pada IT ?. Jika tidak, mengapa kita perlu bingung ?.

Kita beragama meniti manhaj salaf bukanlah untuk mendapat pengakuan orang : "Anda Salafiy". Kita meniti manhaj salaf adalah agar selamat. Di dunia dan di akhirat.

Seandainya kita mempelajari ilmu agama dengan selalu berusaha mendapatkan bimbingan para ulama yang telah dikenal sebagai ulama Ahlus-Sunnah (Salafiy), itu sudah mencukupi bagi kita, walau mungkin itu tidak cukup membuat 'mereka' lepas dari dahaganya menuduh kita sebagai hizbiy. Kenyataannya, banyak sekali sekarang ini hizbiy yang berbaju salafiy.

Adapun permasalahan dalam link yang antum sampaikan hanyalah lagu lama, yang juga telah dibahas para ulama dengan segala perbedaan pandangannya, terutama sekali masalah IT.

rasi mengatakan...

Bener ustad , yang kita butuhkan pengakuan Allah bukan pengakuan manusia .

Yang kita pelajari dan kita ikuti manhaj salaf , bukan hizby salaf.

Semoga banyak manfaat yang bisa diambil.

Anonim mengatakan...

syukron jazakalahkhayran....ustadz!!!!!!

Anonim mengatakan...

sesungguhnya saya menahan diri dari saling membenturkan soal al-jarh wat-tadiil ini...

Anonim mengatakan...

Afwan ustadz abul Jauzaa, Bagaimana pendapat antum tentang tafshil yang seperti ini:
1. Hukum Organisasi IT jelas, hizbiyyahnya.. (seperti kaidah yang antum bawakan, jangan hanya karena ada ulama'yang berpendapat sesuatu lalu kita ikuti, akan tetapi semuanya berdasarkan nash-nash yang ada beserta bukti-bukti yang ada)..
2. Sekarang tinggal hukum mengambil dana dari mereka:
a. Jika tidak berpengaruh terhadap manhaj, maka tidaklah mengapa mengambilnya.. (pendapat syaikh rabi' dan Syaikh Muqbil---ana tahu melalui perantara seorang ustadz---)
b. Jika berpengaruh terhadap manhaj, maka jangan mengambilnya...
3. Permasalahannya (Afwan), terdapat beberapa ustadz yang bingung (Afwan), suatu saat berpendapat A ketika dekat dengan sebuah jamaah, lalu berpendapat B ketika dekat dengan jamaah lainnya... hingga akhirnya sumir sikap wala' dan bara'nya.. hingga akhirnya ada yang menggelari sebagai "setan bisu".. (Afwan).. Karena mempersaksikan mengetahui kebobokan sesuatu, akan tetapi diam saja dan bersepakat mendiamkannya...
Sekali lagi afwan ustadz, jika ada kata-kata yang kurang berkenan, semata-mata untuk memperjelas penggambaran yang ingin ana sampaikan...
Jazakumullah khoiran..

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

1. Coba antum perhatikan penjelasan Syaikh Abu Nashr di atas. Menghukumi sesuatu apakah ia hizbiy atau tidak adalah perkara ijtihadiyyah. Sama halnya menghukumi kebid'ahan sesuatu atau seseorang. Bahkan dengan fakta yang sama, penghukuman memungkinkan untuk berbeda. Antum bisa cermati perbedaan ijtihad antara Adz-Dzahabiy dalam Al-Kaasyif dengan Ibnu Hajar dalam At-Taqriib.

Contoh kongkritnya adalah sampai kepada dua orang ulama tentang kekeliruan seseorang. Maka, sangat dimungkinkan terjadi perbedaan penghukuman antara kedua ulama tersebut. Apakah kekeliruan itu menjadi sebab keluarnya seseorang dari Ahlus-Sunnah ataukah tidak. Bukankah dengan fakta yang sama terjadi perbedaan penghukuman antara Syaikh Muqbil dengan Syaikh Al-Albaaniy dan jumhur ulama lainnya tentang Syaikh Raasyid Ridlaa ?.

Maka di sini ada satu hal penting yang patut kita camkan. Bagi yang nampak pada diri seseorang bahwa sesuatu itu hizbiy berdasarkan ilmu (dan penjelasan ulama), maka penghukuman itu baginya. Kewajiban baginya adalah menyampaikan penjelasan atau nasihat bagi orang-orang yang menyelisihinya.

Adapun bagi orang yang melihat hal itu bukan sebagai hizbiy, maka penghukuman itu adalah baginya.

Keduanya tidak perlu memaksakan kehendak seandainya perselisihan itu merupakan perselisihan yang masyhur di kalangan Ahlus-Sunnah. Keduanya boleh berdebat, asalkan dilandasi dengan ilmu, adab, dan kasih sayang.

Jika kita bisa memaklumi perselisihan itu terjadi di kalangan ulama, maka sudah menjadi hal yang lebih patut jika kita memaklumi perselisihan itu terjadi di kalangan thullabul-'ilmi.

Harap dibedakan antara sikap yang semestinya diambil ketika kita mengetahui sesuatu dan menghukumi dengannya; dengan sikap yang semestinya diambil ketika kita mengetahui ada orang lain yang menyelisihi kita dalam pandangan terhadap sesuatu itu sekaligus penghukumannya.

2. Benar.

3. Satu sikap haruslah konsisten. Adapun menyampaikan kepada seseorang, maka itu bisa dilihat dari pertimbangan maslahat dan mafsadatnya tanpa ia harus bersikap 'plintat-plintut'.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

Anonim mengatakan...

Ustadz bagaimana dengan seorang yang selalu memaksakan "jarh" ulama dan ustadz yang ia ikuti?

ia berhujjah dengan dua kaidah:

الجرح المفسر المبين مقدم على التعديل

Celaan yang rinci dan dijabarkan lebih didahulukan daripada pujian

وَالْجَرْحُ مُقَدِّمُ عَلَى التَّعْدِيْلِ إِنْ صَدَرَ مُبَيِّنًا مَنْ عَارِفُ بِأَسْبَابِهِ.

“Dan jarh (celaan) lebih didahulukan (diutamakan) daripada ta’dil (pujian) apabila disandarkan pada sebab-sebab jarh yang telah dijelaskan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya”

Kemudian mereka berkata:

"adapun ijtihad ulama atau ustadz yang kami ikut.. lebih jelas dalam menyertakan alasan dan bukti kenapa yayasan/ulamaa tersebut dicela.

kita pun mampu menjelaskan sebab-sebab tercelanya ulama/yayasan dibandingkan yang memberikan penilaian "pujian umum" oleh ulama yang kalian ikuti.."

Kalau demikian... ya mau bagaimana lagi stadz, ya mau-nggak-mau kita seperti "dipaksakan" untuk ikut dengan pendapatnya...

Bahkan baru-baru ini, salah seorang ustadz mereka memfatwakan larangan untuk mengambil ilmu di radio/tv tertentu , karena didalamnya ada orang-orang yang "manhajnya tidak benar" dan "tidak jelas"...

Akan tetapi selama kami mendengarkan radio tersebut, kami tidak ketahui "penyimpangan manhaj" yang dimaksudkan... Kira-kira "manhaj" seperti apa yang dimaksudkan? apakah karena tidak mengikuti atau menyelisihi fatwa ulama tertentu? atau karena menyiarkan ulama yang mereka sesatkan?

Mohon pencerahannya ustadz...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Jarh mufassar (yang dijelaskan sebabnya) itu bukan titik, tapi juga ditaqyid dengan kata muqni' (memuaskan/mencukupi). Artinya, jarh yang mufassar itu harus benar lagi tepat. Betapa banyak jarh mufassar itu tidak diterima karena jarhnya tidak valid.

Contoh :

Syu'bah bin Al-Hajjaj pernah ditanya kenapa ia meninggalkan hadit si Fulaan. Ia menjawab bahwa ia meninggalkan hadits si Fulaan karena ia melihatnya memacu kuda beban [lihat dalam kitab Al-Kifaayah oleh Al-Khathiib Al-Baghdaadiy].

Jarh Syu'bah ini - meskipun mufassar (dijelaskan sebabnya) - tidaklah diterima karena jenis jarh tersebut bukan merupakan jarh yang menybabkan seseorang menjadi lemah haditsnya atau haditsnya tidak diterima.

Contoh lain :

Ada orang yang menjarh Syaikh 'Aliy sebagai seorang yang membela pemahaman atau berpemahaman wihdatul-ad-yaan (paham penyatuan agama). Jarh ini - meskipun mufassar - tidaklah diterima, karena Asy-Syaikh 'Aliy telah berulang kali menyangkalnya dan menegaskan kebathilan paham wihdatul-adyaan. Jarh ini - meskipun mufassar - termasuk dusta.

Dan yang lainnya.