Memerangi Penguasa yang Fasiq atau Dhalim



Ada beberapa pendapat dalam masalah ini. Secara global adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Abul-Hasan Al-Asy’ary sebagai berikut :
واختلف الناس في السيف على أربعة أقاويل‏:‏ فقالت المعتزلة والزيدية والخوارج وكثير من المرجئة‏:‏ ذلك أوجب إذا أمكننا أن نزيل بالسيف أهل البغي ونقيم الحق واعتلوا بقول الله عز وجل‏:‏ ‏{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى}‏. وبقوله ‏:‏ {فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ}‏.‏ واعتلوا بقول الله عز وجل ‏:‏ {قَالَ لا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ}. وقالت الروافض بإبطال السيف ولو قتلت حتى يظهر الإمام فيأمر بذلك‏.‏ وقال أبو بكر الأصم ومن قال بقوله‏:‏ السيف إذا اجتمع على إمام عادل يخرجون معه فيزيل أهل البغي‏. وقال قائلون‏:‏ السيف باطل ولو قتلت الرجال وسبيت الذرية وأن الإمام قد يكون عادلاً ويكون غير عادل وليس لنا إزالته وإن كان فاسقاً وأنكروا الخروج على السلطان ولم يروه وهذا قول واخلفوا في إنكار المنكر والأمر بالمعروف بغير السيف‏:‏ فقال قائلون‏:‏ تغير بقلبك فإن أمكنك فبلسانك فإن أمكنك فبيدك وأما السيف فلا يجوز وقال قائلون‏:‏ يجوز تغيير ذلك باللسان والقلب فأما باليد فلا‏.

”Manusia telah berselisih pendapat dalam masalah (mengangkat) pedang menjadi empat pendapat, yaitu :
Telah berkata Mu’tazillah, Zaidiyyah[1], Khawarij, dan kebanyakan dari orang-orang Murji’ah : ”Hal itu menjadi wajib apabila dengan pedang tersebut kita kita bisa menyingkirkan orang yang berbuat aniaya/lalim (ahlul-baghy) serta menegakkan kebenaran”. Mereka beralasan dengan firman Allah ’azza wa jalla : ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” [QS. Al-Maaidah : 2]. ”Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” [QS. Al-Hujuraat : 9]. Allah berfirman : "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim" [QS. Al-Baqarah : 124].
Telah berkata Rafidlah (Syi’ah) untuk menggugurkan (mengangkat) pedang sekalipun harus terbunuh hingga munculnya imam yang menyuruhnya (untuk mengangkat pedang).
Telah berkata Abu Bakr bin Al-Asham dan orang-orang yang sependapat dengannya : Bahwasannya (mengangkat) pedang diperbolehkan apabila orang-orang berkumpul bersama imam yang ’adil dan keluar bersamanya untuk menyingkirkan orang yang berbuat aniaya/lalim (ahlul-baghyi).
Telah berkata beberapa golongan yang lain : ”(Mengangkat) pedang adalah bathil meskipun ada beberapa orang yang terbunuh. Imam itu bisa jadi seorang yang adil atau tidak adil, dan tidak boleh bagi kita untuk menyingkirkannya walaupun ia seorang yang fasiq”. Mereka mengingkari tindakan keluar/memberontak kepada sulthan; dan mereka tidak berpendapat dengan pendapat tersebut (mengangkat pedang kepada sulthan/penguasa). Pendapat ini menyatakan, mengganti (cara-cara seperti itu) dalam hal mengingkari kemungkaran dan ajakan kepada yang ma’ruf adalah dengan (cara-cara) tanpa menggunakan pedang. Sebagian orang berkata : ”Ubahlah (maksudnya : ingkarilah) dengan hatimu. Jika keadaan memungkinkan, maka ubahlah dengan lisanmu. Dan jika keadaan lebih memungkinkan lagi, maka ubahlah dengan tanganmu. Adapun dengan pedang (yang dengan itu terjadi penumpahan darah), maka tidak diperbolehkan. Sebagian lain mengatakan : ”Diperbolehkan untuk mengubah hal itu dengan lisan dan hati. Namun jika dengan tangan, maka tidak diperbolehkan[2]” [selesai – Maqaalatul-Islamiyyin hal. 139; Maktabah Al-Misykah].
Al-Hafidh Ibnu Hajar menambahkan keterangan :
وقال الطبري اختلف السلف في الأمر بالمعروف فقالت طائفة يجب مطلقا واحتجوا بحديث طارق بن شهاب رفعه أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر وبعموم قوله من رأى منكم منكرا فليغيره بيده الحديث وقال بعضهم يجب إنكار المنكر لكن شرطه الا يلحق المنكر بلاء لا قبل له من قتل ونحوه وقال آخرون ينكر بقلبه لحديث أم سلمة مرفوعا يستعمل عليكم أمراء بعدي فمن كره فقد بريء ومن أنكر فقد سلم ولكن من رضي وتابع الحديث
"Telah berkata Ath-Thabari : ’Orang-orang salaf saling berbeda pendapat dalam perkara menyuruh perbuatan yang baik (al-amru bil-ma’ruf). Sebagian orang berkata : Wajib secara mutlak, dengan dasar hadits dari jalan Ibnu Syihab secara marfu’ : ”Seutama-utama jihad adalah kalimat yang haq di sisi sulthan/penguasa yang jahat”. Dan juga dari keumuman hadits : Siapa saja diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tanganmu (al-hadits). Sebagian yang lain berkata : Wajib mengingkari kemungkaran, tapi dengan syarat bahwa orang tersebut tidak menimbulkan kekacauan, seperti munculnya tindakan pembunuhan atau yang semisal. Dan berkata sebagian yang lain lagi : Ia ingkari dengan hatinya berdasarkan hadits Ummu Salamah secara marfu’ : Akan diangkat penguasa untuk kalian setelahku. Barangsiapa yang membencinya, maka ia telah berlepas diri. Dan barangsiapa yang mengingkarinya, maka ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut (al-hadits)” [selesai – lihat Fathul-Bari juz 13 penjelasan hadits no. 6685; Maktabah Sahab].
Berdasarkan paparan di atas, maka kita dapat merangkum dalam dua pendapat inti, yaitu :
1.    Pendapat yang menyatakan kebolehan memerangi pemimpin yang dhalim dan fasiq.
2.    Pendapat yang menyatakan keharaman memerangi pemimpin yang dhalim dan fasiq.
Pendapat yang Menyatakan Kebolehan Memerangi Pemimpin yang Dhalim dan Fasiq
Pendapat yang menyatakan tentang kebolehan memerangi penguasa yang dhalim dan fasiq merupakan pendapat sebagian (kecil) ulama Ahlus-Sunnah serta seluruh golongan Mu’tazillah, Khawarij, dan Zaidiyyah. Bahkan mereka mewajibkannya dalam kondisi-kondisi tertentu. Al-Imam Ibnu Hazm menisbatkan pendapat ini pada semua shahabat yang terlibat di masa fitnah pada kekhalifahan ’Ali, Mu’awiyyah, dan setelah itu seperti terjadinya peristiwa Al-Harrah [lihat Al-Fashlu fil-Milal wan-Nihaal juz 5 hal. 20]. Mereka berhujjah dengan keumuman ayat sebagaimana telah disebutkan dalam perkataan Imam Abul-Hasan Al-Asy’ary di atas. Sebagian penulis kontemporer juga turut andil dalam menguatkan pendapat ini dalam berbagai tulisannya. Dalam membangun pendapatnya, mereka juga berhujah dengan beberapa riwayat sebagai berikut :
عن هشيم وإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ما من قوم يعمل فيهم بالمعاصي ثم يقدرون على أن يغيروا ثم لا يغيروا إلا يوشك أن يعمهم الله منه بعقاب
Dari Hasyim ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : “Tidaklah suatu kaum dimana kemaksiatan-kemaksiatan dikerjakan pada mereka, kemudian mereka mampu untuk merubahnya namun mereka tidak melakukannya, niscaya Allah akan menurunkan kepada mereka hukuman” [HR. Abu Dawud no. 4338, Tirmidzi no. 2168 dan 3057, Ibnu Majah no. 4005, Ahmad no. 16; shahih].
عن أبي سعيد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
Dari Abu Sa’id Al-Khudri : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah” [HR. Muslim no. 49, Abu Dawud no. 1140, Ahmad no. 11088, dan yang lainnya].[3]
عن عبد الله بن مسعود أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما من نبي بعثه الله في أمة قبلي إلا كان له من أمته حواريون وأصحاب يأخذون بسنته ويقتدون بأمره ثم إنها تخلف من بعدهم خلوف يقولون مالا يفعلون ويفعلون مالا يؤمرون فمن جاهدهم بيده فهو مؤمن ومن جاهدهم بلسانه فهو مؤمن ومن جاهدهم بقلبه فهو مؤمن وليس وراء ذلك من الإيمان حبة خردل
Dari Abdillah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda : “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah sebelumku melainkan dia mempunyai murid-murid setia (hawariyyun) dan para shahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah mereka, muncul para penerus yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mereka mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan kepada mereka. Barangsiapa yang melawan mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang melawan mereka dengan lisannya, maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang melawan mereka dengan hatinya, maka ia pun seorang mukmin. Tidak ada sesuatu setelah hal itu dari iman, walau seberat biji sawi” [HR. Muslim no. 50][4]
عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره إلا أن يؤمر بمعصية فإن أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda : “Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’ ) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila ia menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” (HR. Bukhari no. 2796; Muslim no. 1839; Tirmidzi no. 1707; Ibnu Majah no. 2864; dan lain-lain].
عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنما أخاف على أمتي الأئمة المضلين
Dari Tsauban radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan dari umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan” [HR. Tirmidzi no. 2229 dan Ahmad no. 22447; shahih].
Pendapat yang Menyatakan Keharaman Memerangi Pemimpin yang Dhalim dan Fasiq
Para ulama yang menyatakan pendapat ini berhujjah dengan banyak dalil sebagai berikut :
1.      Dari ’Ubaidah bin Ash-Shamit radliyallaahu ’anhu ia berkata :
بايعنا رسول الله صلى الله عليه وسلم على السمع والطاعة في المنشط والمكره وأن لا ننازع الأمر أهله وأن نقوم أو نقول بالحق حيثما كنا لا نخاف في الله لومه لائم
”Kami berbai’at kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan senang ataupun benci; tidak melepaskan perkara (kekuasaan) dari ahlinya; dan agar kami selalu berbuat dan berkata dengan kebenaran dimanapun kami berada tanpa takut celaan dan hinaan dalam menjalankan perintah Allah” [HR. Bukhari no. 6774 dan Muslim no. 1709; ini adalah lafadh Bukhari].[5]
2.      Dari ‘Auf bin Malik radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
سمعت رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم يقول‏:‏ خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم وتصلون عليهم ويصلون عليكم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم قالوا قلنا يا رسول الله أفلا ننابذهم عند ذلك قال لا ما أقاموا فيكم الصلاة لا ما أقاموا فيكم الصلاة ألا من ولي عليه وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا ينزعن يدا من طاعة
Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik pemimpin kamu adalah pemimpin yang kamu cintai dan ia pun mencintaimu. Kamu mendoakannya, dan ia pun mendoakanmu. Adapun seburuk-buruk pemimpin kamu adalah pemimpin yang kamu benci dan ia pun membencimu. Kamu melaknatnya dan ia pun melaknatmu”. Kami (para shahabat) bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melawan mereka dengan pedang (memberontak) atas hal itu ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam pun menjawab : ”Jangan, selagi ia masih menegakkan shalat bersamamu” (dua kali). Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian ia melihat pemimpin tersebut melakukan kemaksiatan kepada Allah, maka bencilah kemaksiatan tersebut, dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan kepadanya” [HR. Muslim no. 1855].[6]
3.      Dari Salamah bin Yaziid Al-Ju’fi, ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
يا نبي الله أرأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم ويمنعونا حقنا فما تأمرنا فأعرض عنه ثم سأله فأعرض عنه ثم سأله في الثانية أو في الثالثة فجذبه الأشعث بن قيس وقال اسمعوا وأطيعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم
“Wahai Nabiyullah, bagaimana pendapatmu jika kami punya amir (dimana mereka) meminta haknya dari kami akan tetapi mereka menahan hak kami?”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berpaling darinya, dan kemudian ia (Salamah) bertanya kembali dan beliau berpaling, sampai hal tersebut terulang dua kali atau tiga kali. Asy’ats bin Qais pun kemudian menarik Salamah. Maka beliaupun menjawab : “(Hendaklah kalian) dengar dan taati mereka, karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat, dan atas kalian apa yang kalian perbuat” [HR. Muslim no. 1846].
4.      Dari Ummu Salamah radliyallaahu ’anhaa bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
إنه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون وتنكرون فمن كره فقد برئ ومن أنكر فقد سلم ولكن من رضي وتابع قالوا يا رسول الله ألا نقاتلهم قال لا ما صلوا أي من كره بقلبه وأنكر بقلبه
Akan diangkat para penguasa untuk kalian. Lalu engkau mengenalinya dan kemudian engkau mengingkarinya (karena ia telah berbuat maksiat). Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas tangan. Barangsiapa yang mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut”. Para shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?”. Beliau menjawab : ”Tidak, selama mereka mengerjakan shalat, yaitu barangsiapa yang membenci dan mengingkari dengan hatinya” [HR. Muslim no. 1854].[7]
5.      Dari ’Adi bin Hatim radliyallaahu ’anhu ia berkata :
قلنا يا رسول الله لا نسألك عن طاعة من اتقى ولكن من فعل وفعل فذكر الشر فقال اتقوا الله واسمعوا وأطيعوا
Kami bertanya : ”Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang (pemimpin) yang bertaqwa. Akan tetapi (kami bertanya tentang) orang yang telah berbuat begini dan begitu” – maka ia menyebutkan kejelekan. Maka beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Bertaqwalah kepada Allah, dengar dan taatlah kalian (kepadanya)” [HR. Ibnu Abi ’Ashim no. 1069; shahih].
6.      Dari Abu Dzar Al-Ghiffari radliyallaahu ’anhu ia berkata :
أتاني رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا في مسجد المدينة فضربني برجله وقال ألا أراك نائما فيه فقلت يا رسول الله غلبني عيني قال كيف تصنع إذا أخرجت منه فقلت إني أرضى الشام الأرض المقدسة المباركة قال كيف تصنع إذا أخرجت منه قال ما أصنع أضرب بسيفي يا رسول الله وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ألا أدلك على خير من ذلك وأقرب رشدا قالها مرتين تسمع وتطيع وتساق كيف ساقوك
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mendatangiku ketika aku berada di masjid Madinah. Beliau menyentuh kakiku dan bersabda : “Apakah kamu sedang tidur di tempat ini ?”. Aku menjawab : “Wahai Rasulullah, mataku mengalahkanku”. Beliau bertanya : “Bagaimana jika kamu diusir dari sini ?”. Maka aku menjawab : “Sungguh, aku akan memilih bumi Syam yang suci lagi diberkahi”. Beliau bertanya lagi : ”Bagaimana jika kamu diusir dari Syam ?”. Aku berkata : ”Apa yang seharusnya aku perbuat ? Apakah aku harus melawannya dengan pedangku wahai Rasulullah ?”. Beliau berkata : ”Maukah engkau aku tunjukkan jalan yang lebih baik daripada tindakan itu dan lebih dekat kepada petunjuk ?” – beliau mengatakannya dua kali - . yaitu kamu dengar dan kamu taati. Kamu akan digiring kemana saja mereka akan menggiringmu” [HR. Ibnu Abi ’Ashim no. 1074; shahih].
7.      Dari Hudzaifah bin Al-Yaman berkata : Telah bersabda Rasululah shallallaahu ’alaihi wasallam :
يكون بعدي أئمة لا يهتدون بهداي ولا يستنون بسنتي وسيقوم فيهم رجال قلوبهم قلوب الشياطين في جثمان إنس قال قلت كيف أصنع يا رسول الله إن أدركت ذلك قال تسمع وتطيع للأمير وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع
Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847]
8.      Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر
Memaki seorang muslim itu adalah kefasiqan, dan memeranginya adalah kekufuran"[8] [HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64].
9.      Dari Abu Musa radliyallaahu ’anhu dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda :
ان بين يدي الساعة الهرج قالوا وما الهرج قال القتل قالوا أكثر مما نقتل انا لنقتل في العام الواحد أكثر من سبعين ألفا قال انه ليس بقتلكم المشركين ولكن قتل بعضكم بعضا قالوا ومعنا عقولنا يومئذ قال انه لينزع عقول أكثر أهل ذلك الزمان ويخلف له هباء من الناس يحسب أكثرهم انه على شيء وليسوا على شيء
Sesungguhnya sebelum datangnya hari kiamat akan terjadi kerusuhan”. Para shahabat bertanya : ”Kerusuhan apakah itu wahai Rasulullah ”. Maka beliau menjawab : ”Pembunuhan”. Mereka bertanya kembali : ”Apakah lebih banyak daripada pembunuhan yang kami lakukan ? Sesungguhnya kami pernah membunuh tujuh puluh ribu orang lebih dalam setahun”. Beliau menjawab : ”Bukan kamu membunuh musyrikin, akan tetapi yang akan terjadi adalah sebagian kamu akan membunuh sebagian yang lain (sesama kaum muslimin)”. Mereka berkata : ”Bukankah kami mempunyai akal pada waktu itu ?”. Beliau berkata : ”Kebanyakan manusia pada waktu itu hilang pertimbangan akalnya dan digantikan oleh manusia-manusia debu[9] yang kebanyakan mereka menyangka berpegang pada kebenaran, padahal tidak sama sekali” [HR. Ahmad 4/414 no. 19732, Ibnu Majah no. 3949, dan yang lainnya; shahih].
10.   Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat – Abul-Jauzaa'). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl” [HR. Bukhari no. 6648 dan Muslim no. 1845].
إنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَة وأُمُوْر تُنْكِرُوْنَهَا قَالُوْا يَا رَسُْولَ الله كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
Sesungguhnya sepeninggalku akan ada “atsarah” dan banyak perkara yang kalian ingkari dari mereka”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami yang menemuinya ?”. Beliau menjawab : “Tunaikan hak (mereka) yang dibebankan/diwajibkan atas kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah” [HR. Muslim no. 1843].[10]
Dan lain-lain masih sangat banyak.
Adanya dalil-dalil yang menunjukkan larangan memerangi para penguasa fasiq dan dhalim adalah karena mempertimbangkan tujuan-tujuan syari’at. Allah telah mengutus Rasul-Nya untuk menciptakan berbagai kemaslahatan dan kesempurnaan untuk melenyapkan kerusakan dan meminimalisasinya, serta menolak dua macam kerusakan dengan memilih kerusakan yang paling sedikit di antara keduanya. Jika amar-ma’ruf merupakan kewajiban dan perintah yang paling besar, maka kemaslahatan di dalamnya harus lebih dominan daripada kerusakannya. Adapun melawan dan memberontak kepada penguasa yang dhalim, selama ia tidak kafir, berdasarkan nash dan realitas sejarah yang ada, maka kemudlaratannya lebih besar daripada maslahatnya. Rusaknya dunia dan seisinya masih lebih baik daripada harus menumpahkan darah seorang muslim akibat fitnah. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
لزوال الدنيا أهون عند الله من قتل رجل مسلم
Lenyapnya/hancurnya dunia lebih rendah kedudukannya di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim” [HR. Nasa’i dalam Ash-Shughraa no. 3987; shahih].
Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma berkata ketika ia melihat Ka’bah :
ما أعظمك وأعظم حرمتك والمؤمن أعظم حرمة عند الله منك
”Alangkah agung engkau dan alangkah agung kehormatanmu (wahai Ka’bah). Namun, kehormatan seorang muslim lebih agung di sisi Allah daripada engkau[11]” [HR. Tirmidzi no. 2032; hasan shahih].
Inilah pendapat jumhur ulama Ahlus-Sunnah menyatakan pengharaman memerangi pemimpin yang dhalim, fasiq, dan aniaya dengan menggunakan pedang, selagi kedhalimannya tersebut tidak sampai pada batas kekufuran. Ini juga merupakan pendapat segolongan shahabat seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, Usamah bin Zaid, Ibnu ‘Umar, Muhammad bin Maslamah, dan lain-lain. Inilah pendapat para ahli hadits secara umum [lihat Al-Fashlu fil-Milal wan-Nihal oleh Ibnu Hazm juz 4 no. 19; Tafsir Al-Qurthubi QS. Al-Hujurat : 9].
Bahkan segolongan ulama ada yang menyatakan ijma’ atas pendapat ini. An-Nawawi rahimahullah berkata :
وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ , وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ
”Adapun keluar dari ketaatan terhadap para pemimpin/penguasa serta memeranginya, maka hukumnya adalah haram menurut kesepakat kaum muslimin. Walaupun pemimpin tersebut adalah dhalim lagi fasiq” [Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi 1/229].
Al-Hafidh Ibnu Hajar menukil perkataan Ibnu Baththal rahimahumallah sebagai berikut :
قال بن بطال في الحديث حجة في ترك الخروج على السلطان ولو جار وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء وحجتهم هذا الخبر وغيره مما يساعده ولم يستثنوا من ذلك إلا إذا وقع من السلطان الكفر الصريح
”Telah berkata Ibnu Baththal dalam hadits yang menjadi hujjah untuk meninggalkan sikap keluar dari ketaatan kepada sulthan/penguasa walaupun ia seorang yang jahat : ’Para fuqahaa telah bersepakat atas wajibnya taat kepada sulthan yang terpilih dan jihad bersamanya. Hal itu dikarenakan ketaatan kepadanya lebih baik daripada keluar dari ketaatan (membangkang/memberontak), yang dengan itu bisa memelihara darah dan menenangkan orang banyak. Tidak ada pengecualian atas hal itu, kecuali bila sulthan melakukan kekufuran yang nyata” [Fathul-Bari juz 13 syarah hadits no. 6646. Lihat juga Syarh Ibni Baththal ’alaa Shahih Al-Bukhari juz 19 hal. 7].
Al-Kirmany berkata : ”Para fuqahaa telah bersepakat bahwa penguasa terpilih harus ditaati selagi dia menegakkan shalat berjama’ah dan jihad kecuali jika dia melakukan kekufuran yang nyata. Sehingga tidak ada lagi ketaatan kepadanya. Bahkan wajib memeranginya bagi orang yang mampu” [Syarh Shahih Al-Bukhari juz 10 hal. 169].
Asy-Syarqawi berkata : ”Pengharaman memerangi penguasa yang dhalim dan fasiq diambilkan dari ijma’ para ulama dari kalangan tabi’in” [Hasyiyah Asy-Syarqawi juz 2 hal. 398].
Adanya pernyataan ijma’ ini merupakan sikap Ahlus-Sunnah setelah melihat berbagai fitnah yang timbul pada masa Al-Husain bin ’Ali, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Muthi’, Abdullah bin Handhalah, dan penduduk Madinah ketika menentang Khilafah Bani Umayyah. Inilah yang mendorong sebagian ulama untuk berkata bahwa perbedaan pendapat ini hanya muncul permulaannya, kemudian ada ijma’ mengenai larangan memerangi penguasa. Dan inilah yang lebih sesuai dengan sunnah (dengan melihat dalil-dalil yang ada – sebagaimana di atas).
Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya (Kitaabul-Imarah) menyebutkan sebuah kisah, yaitu ketika Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma datang kepada Abdullah bin Muthi’ radliyallaahu ’anhu ketika telah terjadi peristiwa Al-Harrah pada jaman Yazid bin Mu’awiyyah. Abdullah bin Muthi’ berkata : ”Berikan bantal kepada Abu ’Abdirrahman (yaitu Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma)”. Kemudian Ibnu ’Umar berkata :
إني لم آتك لأجلس أتيتك لأحدثك حديثا سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقوله سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
”Bahwasannya aku tidak datang kepadamu untuk duduk. Akan tetapi aku datang kepadamu untuk menyampaikan sebuah hadits yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, yaitu beliau bersabda : ’Barangsiapa yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada penguasa), maka dia akan menjumpai Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak mempunyai hujjah (alasan) untuk membela diri. Dan barangsiapa yang mati, sedangkan tidak ada (ikatan) baiat di lehernya, maka ia mati seperti mati dalam keadaan jahiliyyah” [HR. Muslim no. 1851].
Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma mengingkari perbuatan Abdullah bin Muthi’ (yang bergabung dengan Abdullah bin Zubair radliyallaahu 'anhuma) ketika keluar dari ketaatan Yazid bin Mu’awiyyah (karena ia adalah seorang pemimpin yang fajir).
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya sebagai berikut :
عن نافع قال : لما خلع الناس يزيد بن معاوية جمع بن عمر بنيه وأهله ثم تشهد ثم قال أما بعد فإنا قد بايعنا هذا الرجل على بيع الله ورسوله وإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إن الغادر ينصب له لواء يوم القيامة يقال هذه غدرة فلان وإن من أعظم الغدر أن لا يكون الإشراك بالله تعالى أن يبايع رجل رجلا على بيع الله ورسوله صلى الله عليه وسلم ثم ينكث بيعته فلا يخلعن أحد منكم يزيد ولا يشرفن أحد منكم في هذا الأمر فيكون صيلم بيني وبينه
Dari Nafi’ ia berkata : Ketika manusia melepaskan ketaatan kepada Yazid bin Mu’awiyyah, maka Ibnu ‘Umar mengumpulkan anak-anak dan keluarganya kemudian bertasyahud dan berkata : “Amma ba’du, sesungguhnya kita telah membai’at orang ini (yaitu Yazid bin Mu’awiyyah) di atas bai’at Allah dan Rasul-Nya. Dan sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya bagi seorang pengkhianat akan ditancapkan baginya bendera pada hari kiamat dan akan dikatakan kepadanya : ‘Inilah (bendera) pengkhianatan si Fulan’. Dan sesungguhnya pengkhianatan yang paling besar bila tidak ada pengkhianatan lain yang lebih besar dari perbuatan syirik kepada Allah, adalah : Seseorang yang berbaiat kepada orang lain dalam rangka bai’at (taat) kepada Allah dan Rasul-Nya lalu ia mengkhianati bai’atnya itu. Maka janganlah ada diantara kalian yang melepaskan bai’at kepada Yazid, dan janganlah ada di antara kalian yang berlebih-lebihan dalam perkara ini yang dengan itu dapat memisahkan hubungan antara aku dengannya” [HR. Ahmad juz 2 hal. 48 no. 5088; shahih].
Tentang Abdullah bin Muthi’, Ibnu Hibban menjelaskan :
عبد الله بن مطيع بن الأسود بن المطلب بن أسد القرشي له صحبة ولد في حياة رسول الله صلى الله عليه وسلم ومات في فتنة بن الزبير
”Abdullah bin Muthi’ bin Al-Aswad bin Al-Muthallib bin Asad Al-Qurasyi. Ia adalah seorang shahabat. Dilahirkan ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam masih hidup. Meninggal ketika masa fitnah di jaman Ibnu Zubair” [Ats-Tsiqaat juz 3 no. 721; Maktabah Sahab].
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
....وكان رأس قريش يوم الحرة وأمره بن الزبير على الكوفة ثم قتل معه سنة ثلاث وسبعين
”...Ia merupakan salah seorang pemimpin Quraisy pada peristiwa Al-Harrah. Ibnu Zubair memerintahkannya untuk memimpin Kuffah, kemudian ia terbunuh bersama Ibnu Zubair (di Makkah) pada tahun 73 Hijriyah” [Taqribut-Tahdzib no. 3626; Maktabah Sahab].
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata ketika menyebutkan kejadian tahun 63 H :
كانت وقعة الحرة، وذلك أن أهل المدينة خرجوا على يزيد لقلة دينه فجهز لحربهم جيشاً عليهم مسلم بن عقبة
”Pada tahun itulah terjadi peristiwa Al-Harrah. Yaitu peristiwa dimana penduduk Madinah keluar/memberontak kepada Yazid (bin Mu’awiyyah) karena kekurangan dalam agamanya[12]. Lalu Yazid menyiapkan pasukan untuk memerangi mereka yang dipimpin oleh Muslim bin ’Uqbah” [Al-’Ibar juz 1 hal. 67].
Al-Hafidh Ibnu Katsir menjelaskan bagaimana sikap Ahlus-Sunnah dalam mengambil ’ibrah (pelajaran) atas peristiwa fitnah Al-Harrah (di jaman Ibnu Zubair, Ibnu Muthi’, dan Ibnu Handhalah radliyallaahu ’anhum) sebagai berikut :
ولما خرج أهل المدينة عن طاعته – أي: يزيد -، وولوا عليهم بن مطيع، وابن حنظلة، لم يذكروا عنه – وهم أشد الناس عداوة له – إلا ما ذكروه عنه من شرب الخمر وإتيانه بعض القاذورات... بل قد كان فاسقاً، والفاسق لا يجوز خلعه، لأجل ما يثور بسبب ذلك من الفتنة ووقوع الهرج – كما وقع في زمن الحرة
”Ketika penduduk Madinah keluar dari ketaatan (memberontak) kepada Yazid, mereka menjadikan Ibnu Muthi’ dan Ibnu Handhalah sebagai pemimpin mereka. Mereka – sebagai orang yang paling keras memusuhinya – tidak mengadukan kepada Ibnu Muthi’ dan Ibnu Handhalah tentang Yazid selain perbuatan-perbuatannya yang menyimpang seperti meminum khamr dan mendatangi sebagian perkara yang kotor…… Memang ia (Yazid) adalah seorang yang fasiq, akan tetapi orang yang fasiq tetap tidak diperbolehkan untuk diberontak/dicopot kedudukannya. Karena hal itu hanya akan menimbulkan fitnah dan banyak pembunuhan (darah yang tertumpah), sebagaimana telah terjadi pada peristiwa Al-Harrah” [Al-Bidayah wan-Nihayah juz 8 hal. 232; cet. As-Sa’adah].[13]
Imam Ibnul-‘Araby Al-Maliki rahimahullah berkata :
وقد قال ابن الخياط إن بيعة عبد الله لزيد كانت كرها، وأين يزيد من ابن عمر ؟ ولكن رأى بدينه وعلمه التسليم لأمر الله، والفرار من التعرض لفتنة فيها من ذهاب الأموال والأنفس ما لا يفي بخلع يزيد، لو تحقق أن الأمر يعود في نصابه، فكيف ولا يعلم ذلك ؟
”Ibnu Khayyath telah berkata bahwasannya bai’atnya Abdullah bin ’Umar kepada Yazid adalah karena terpaksa. Dimana kedudukan Yazid bisa diperbandingkan dengan kedudukan Ibnu ‘Umar (sehingga ia membai’at Yazid karena terpaksa) ? (Perkataan Ibnu Khayyath tidaklah benar). Akan tetapi karena kedudukan agama dan ilmunya, maka Ibnu ‘Umar tunduk (taslim) terhadap perintah Allah (untuk tidak membatalkan bai’at) dan menghindarkan diri dari timbulnya fitnah. Yaitu fitnah (bencana) yang terjadi pada harta dan jiwa. Maka melepaskan kekuasaan dari tangan Yazid, walau seandainya bisa dipastikan bahwa kekuasan itu akan kembali kepada asalnya yang lebih berhak (yaitu kembali kepada penguasa yang ’adil), itupun tetap menimbulkan fitnah/kekacauan yang dahsyat. Lantas bagaimana halnya jika kepastian itu tidak bisa diketahui ?” [lihat Al-I’tisham oleh Imam Asy-Syathibi juz 2 hal. 107; Maktabah Al-Misykah].
Telah masyhur pengingkaran Muhammad bin Al-Hanafiyyah (salah satu anak dari ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu) ketika ia diajak bergabung oleh Ibnul-Muthi’ untuk memberontak kepada Yazid bin Mu’awiyyah.[14]
Itulah sedikit di antara banyak perkataan ulama ketika mengomentari peristiwa Al-Harrah. Maka sungguh aneh jika ada sebagian orang yang menjadikan dalil peristiwa Al-Harrah dan rentetan peristiwa fitnah setelahnya ini sebagai kebolehan untuk memberontak/melawan penguasa yang dhalim[15]. Apa yang dilakukan oleh Ibnu Zubair, Ibnu Muthi’, Ibnu Handhalah, dan yang lainnya dalam peristiwa fitnah itu adalah satu kesalahan dari ijtihad mereka yang tidak boleh ditiru oleh generasi selanjutnya. Sama halnya dengan berperangnya ’Aisyah bersama para shahabat lain dalam Perang Jamal. Padahal tidak syakk bahwa kebenaran berada di pihak ’Ali bin Abi Thalib.[16]
Adapun yang menguatkan pernyataan kesepakatan haramnya mengangkat pedang terhadap penguasa dhalim setelah terjadinya berbagai macam fitnah dan pembunuhan di awal Islam, maka jika kita lihat dalam kitab-kitab biografi, rijal, atau al-jarh wat-ta’dil niscaya kita akan temui celaan para ulama Ahlus-Sunnah pada orang-orang yang membolehkan mengangkat pedang terhadap penguasa. Saya ambil contoh : Al-Hasan bin Shalih bin Shalih bin Hay. Ibnu Hajar dalam At-Taqrib (no. 1250) mengatakan tentang status dirinya : tsiqatun, faqihun, ’aabidun (seorang yang tsiqah, faqih, dan ahli ibadah). Namun Al-Hasan bin Shalih menjadi sangat tercela di mata ulama karena ia berpandangan membolehkan mengangkat pedang/senjata. Ibnu Hajar mengisahkan lebih lanjut tentang Al-Hasan ini di kitab beliau yang lain (At-Tahdzib) :
وقال أبو نعيم دخل الثوري يوم الجمعة فإذا الحسن بن صالح يصلي فقال نعوذ بالله من خشوع النفاق وأخذ نعليه فتحول وقال أيضا عن الثوري ذاك رجل يرى السيف على الأمة ......... وقال بشر بن الحارث كان زائدة يجلس في المسجد يحذر الناس من بن حي وأصحابه قال وكانوا يرون ........وقال خلف بن تميم كان زائدة يستتيب من الحسن بن حي وقال علي بن الجعد حدثت رائدة بحديث عن الحسن فغضب وقال لا حدثتك أبدا
”Berkata Abu Nu’aim : Ats-Tsauri (yaitu Sufyan Ats-Tsauri – seorang dimana umat bersepakat tentang keimaman beliau) masuk (ke masjid) pada hari Jum’at, ternyata Al-Hasan bin Shalih sedang shalat di dalamnya. Maka ia berkata : “Na’uudzubillah min khusyuu’in-nifaaq (aku berlindung kepada Allah dari khusyu’ nifaq) !!”. Kemudian ia bergegas mengambil sandalnya dan pindah (ke masjid lain). Abu Nu’aim meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri bahwa ia berkata : ”Ia (Al-Hasan bin Shalih) adalah seorang laki-laki yang berpendapat bolehnya mengangkat pedang terhadap umat”......................... Bisyr bin Al-Harits berkata : ”Zaidah bin Qudamah[17] duduk di masjid untuk memperingatkan manusia dari Ibnu Hay (Al-Hasan bin Shalih) dan teman-temannya. Zaidah berkata : ’Mereka adalah orang yang mempunyai pendapat tentang bolehnya mengangkat pedang (atas umat)”. Khalaf bin Tamim berkata : ”Dulu Zaidah meminta siapa saja yang pernah datang menemui Al-Hasan bin Shalih bin Hay untuk bertaubat. Pernah satu ketika ’Ali bin Ja’d menyampaikan hadits kepada Zaidah dari Al-Hasan (bin Shalih bin Hay), maka ia pun marah dan berkata : ”Aku tidak akan memberimu hadits selamanya” [Tahdzibut-Tahdzib juz 2 no. 516].
Dan akhirnya Al-Hafidh memberikan sebuah kesimpulan mengenai pandangan Al-Hasan bin Shalih dan orang-orang yang sependapat dengannya dalam sebuah perkataan yang sangat bagus :
كان يرى السيف يعني كان يرى الخروج بالسيف على أئمة الجور وهذا مذهب للسلف قديم لكن أستقر الأمر على ترك ذلك لما رأوه قد أفضى إلى أشد منه ففي وقعة الحرة ووقعة بن الأشعث وغيرهما عظة لمن تدبر
”Pendapat mereka menyatakan bolehnya keluar mengangkat pedang/senjata terhadap para pemimpin yang jahat/dhalim. Maka, ini adalah madzhab (sebagian) orang-orang salaf dahulu (sebagaian shahabat dan tabi’in). Akan tetapi kemudian ada sebuah ketetapan untuk meninggalkan hal itu, karena justru menimbulkan dampak yang lebih fatal. Apa yang terjadi dalam peristiwa Al-Harrah dan Ibnul-Asy’ats menjadi pelajaran yang baik bagi orang yang mau mengambil pelajaran”.[18]
Perhatikanlah perkataan indah dari ahlust-tsughuur wal-mujahid Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berikut :
ففي الجملة أهل السنة يجتهدون في طاعة الله ورسوله بحسب الإمكان كما قال تعالى فاتقوا الله ما استطعتم وقال النبي صلى الله عليه وسلم إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم ويعلمون أن الله تعالى بعث محمدا صلى الله عليه وسلم بصلاح العباد في المعاش والمعاد وأنه أمر بالصلاح ونهى عن الفساد فإذا كان الفعل فيه صلاح وفساد رجحوا الراجح منهما فإذا كان صلاحه أكثر من فساده رجحوا فعله وإن كان فساده أكثر من صلاحه رجحوا تركه فإن الله تعالى بعث رسوله صلى الله عليه وسلم بتحصيل المصالح وتكميلها وتعطيل المفاسد وتقليلها فإذا تولى خليفة من الخلفاء كيزيد وعبد الملك والمنصور وغيرهم فإما أن يقال يجب منعه من الولاية وقتاله حتى يولى غيره كما يفعله من يرى السيف فهذا رأى فاسد فإن مفسدة هذا أعظم من مصلحته وقل من خرج على إمام ذي سلطان إلا كانما تولد على فعله من الشر أعظم مما تولد من الخير كالذين خرجوا على يزيد بالمدينة وكابن الأشعث الذي خرج على عبد الملك بالعراق وكابن المهلب الذي خرج على ابنه بخراسان وكأبي مسلم صاحب الدعوة الذي خرد عليهم بخراسان أيضا وكالذين خرجوا على المنصور بالمدينة والبصرة وأمثال هؤلاء وغاية هؤلاء إما أن يغلبوا وإما أن يغلبوا ثم يزول ملكهم فلا يكون لهم عاقبة فإن عبد الله بن علي وأبا مسلم هما اللذان قتلا خلقا كثيرا وكلاهما قتله أبو دعفر المنصور وأما أهل الحرة وابن الأشعث واب المهلب وغيرهم فهزموا وهزم أصحابهم فلا أقاموا دينا ولا أبقوا دنيا والله تعالى لا يأمر بأمر لا يحصل به صلاح الدين ولا صلاح الدنيا وإن كان فاعل ذلك من أولياء الله المتقين ومن أهل الجنة فليسوا أفضل من علي وعائشة وطلحة والزبير وغيرهم ومع هذا لم يحمدوا ما فعلوه من القتال وهم أعظم قدرا عند الله وأحسن نية من غيرهم وكذلك أهل الحرة كان فيهم من أهل العلم والدين خلق وكذلك أصحاب ابن الأشعث كان فيهم خلق من أهلالعلم والدين والله يغفر لهم كلهم وقد قيل للشعبي في فتنة ابن الأشعث أين كنت يا عامر قال كنت حيث يقول الشاعر فاستأنست بالذئب إذ عوى وصوت إنسان فكدت أطير أصابتنا فتنة لم نكن فيها بررة أتقياءولا فجرة أقوياء وكان الحسن البصري يقول إن الحجاج عذاب الله فلا تدفعوا عذاب الله بأيديكم ولكن عليكم بالاستكانة والتضرع فإن الله تعالى يقول ولقد أخذناهم بالعذاب فما استكانوا لربهم وما يتضرعون وكان طلق بن حبيب يقول اتقوا الفتنة بالتقوى فقيل له أجمل لنا التقوى فقال أن تعمل بطاعة الله على نور من الله ترجو رحمة الله وأن تترك معصية الله على نور من الله تخاف عذاب الله رواه أحمد وابن أبي الدنيا وكان أفاضل المسلمين ينهون عن الخروج والقتال في الفتنة كما كان عبد الله بن عمر وسعيد بن المسيب وعلي بن الحسين وغيرهم ينهون عام الحرة عن الخروج على يزيد وكما كان الحسن البصري ومجاهد وغيرهما ينهون عن الخروج في فتنة ابن الأشعث ولهذا استقر أمر أهل السنة على ترك القتال في الفتنة للأحاديث الصحيحة الثابته عن النبي صلى الله عليه وسلم وصاروا يذكرون هذا فيعقائدهم ويأمرون بالصبر على جورالأئمة وترك قتالهم وإن كان قد قاتل في الفتنة خلق كثير من أهل العلم والدين وباب قتال أهل البغي والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر يشتبه بالقتال في الفتنة وليس هذا موضع بسطه ومن تأمل الأحاديث الصحيحة الثابته عن النبي صلى الله عليه وسلم في هذا الباب واعتبر أيضا اعتبار أولى الأبصار علم أن الذي جاءت به النصوص النبوية خير الأمور ولهذا لما أراد الحسين رضي الله عنه أن يخرج إلى أهل العراق لما كاتبوه كتبا كثيرة أشار عليه أفاضل أهل العلم والدين كابن عمر وابن عباس وأبي بكر بن عبد الرحمن بن الحارث بن هشام أن لا يخرج وغلب على ظنهم أنه يقتل حتى إن بعضهم قال أستودعك الله من قتيل وقال بعضهم لولا الشفاعة لأمسكتك ومصلحة المسلمين والله ورسوله إنما يأمر بالصلاح لا بالفساد لكن الرأي يصيب تارة ويخطيء أخرى فتبين أن الأمر على ما قاله أولئك ولم يكن في الخروج لا مصلحة دين ولا مصلحة دنيا بل تمكن أولئك الظلمة الطغاة من سبط رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى قتلوه مظلوما شهيدا وكان في خروجه وقتله من الفساد ما لم يكن حصل لو قعد في بلده فإن ما قصده من تحصيل الخير ودفع الشر لم يحصل منه شيء بل زاد الشر بخروجه وقتله ونقص الخير بذلك وصار ذلك سببا لشر عظيم وكان قتل الحسين مما أوجب الفتن كما كان قتل عثمان مما أوجب الفتن وهذا كله مما يبين أن ما أمر به النبي صلى الله عليه وسلم من الصبر على جور الأئمة وترك قتلاهم والخروج عليهم هو أصلح الأمور للعباد في المعاش والمعاد وأن من خالف ذلك متعمدا أو مخطئا لم يحصل بفعله صلاح بل فساد ولهذا أثنى النبي صلى الله عليه وسلم على الحسن بقوله إن ابني هذا سيد وسيصلح الله به بين فئتين عظيمتين من المسلمين ولم يثن على أحد لا بقتال في فتنة ولا بخروج على الأئمة ولا نزع يد من طاعة ولا مفارقة للجماعة
“Secara global Ahlus sunnah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan kemampuan mereka, sebagaimana firman Allah : {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ} ‘Bertakwalah kepada Allah semampu kalian’ (QS. At Taghabun : 16). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : (إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ} ‘Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah maka kerjakanlah semampu kalian’ (Muttafaqun ‘alaih). Dan mereka (Ahlus Sunnah) meyakini bahwa Allah Ta’ala mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa kebaikan bagi para hamba baik dalam kehidupan mereka di dunia ataupun di akhirat, dan beliau memerintahkan kebaikan dan melarang kerusakan. Jika ada suatu perbuatan yang padanya terdapat kebaikan dan kerusakan, maka mereka (Ahlus Sunnah) lebih mendahulukan yang lebih besar kadarnya. Jika kebaikannya lebih banyak daripada kerusakannya, maka mereka mendahulukan untuk mengerjakan perbuatan tersebut. Dan jika kerusakan (mafsadahnya) lebih besar daripada kebaikannya maka mereka mendahulukan untuk meninggalkan perbuatan tersebut. Karena sesungguhnya Allah ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mewujudkan segala kebaikan serta menyempurnakannya dan menghilangkan segala mafsadah serta menguranginya.
Sehingga jika seorang khalifah telah berkuasa, misalnya Yaziid (bin Mu’awiyah), Abdul Malik (bin Marwan), (Abu Ja’far) Al-Manshur, dan yang lainnya; maka kalau tidak dikatakan bahwasanya wajib untuk menghalanginya dari tampuk kepemimpinan dan memeranginya hingga dikuasai oleh selain dia –sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang membolehkan angkat pedang (melawan penguasa -pen)-, maka ini adalah pemikiran (pendapat) yang rusak karena mafsadahnya lebih besar daripada kemaslahatannya. Dan hampir seluruh orang yang memberontak kepada seorang penguasa yang telah berkuasa melainkan perbuatannya tersebut akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar daripada kebaikan yang berhasil ia peroleh. Sebagaimana orang-orang di kota Madinah yang memberontak kepada Yaziid, seperti Ibnul-Asy’ats di Irak memberontak terhadap Abdul Malik, Ibnul-Muhallab di Khurasan yang memberontak terhadap putra (Abdul Malik), Abu Muslim – penggalang kekuatan dinasti ‘Abbasiyyah - di Khurasaan yang memberontak terhadap mereka (khilafah Umawiyyah), dan orang-orang yang memberontak terhadap Al-Manshur di Madinah dan di Bashrah, serta yang semisal dengan mereka.
Hasil terakhir yang dapat diraih adalah : Mereka kalah perang atau mereka menang kemudian (tak berapa lama) lenyap kekuasaan mereka, maka tidak ada hasil (yang baik) bagi mereka. Abdullah bin Ali dan Abu Muslim, mereka berdualah yang telah membunuh banyak orang namun keduanya (akhirnya) dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Manshur.
Adapun Ahlul-Harrah, Ibnul-Asy’ats, Ibnul-Muhallab, dan yang lainnya maka mereka kalah dan teman-teman mereka pun juga kalah. Mereka tidak bisa menegakkan agama; dan dunia mereka pun tidak tersisa. Padahal Allah ta’ala tidaklah memerintah dengan suatu perintah yang tidak menghasilkan kemaslahatan baik kemaslahatan agama maupun dunia, meskipun pelaku pemberontakan tersebut termasuk wali-wali Allah yang bertakwa dan termasuk penduduk surga. Maka tidaklah mereka lebih baik dari ’Ali, ’Aisyah, Thalhah, Az-Zubair, dan yang lainnya. Meskipun demikian, Ahlus-Sunnah tidak memuji peperangan yang telah mereka lakukan, padahal kedudukan mereka lebih mulia di sisi Allah dan niat mereka lebih baik daripada selain mereka. Demikian juga Ahlul-Harrah, diantara mereka banyak ahli ilmu dan ahlud-diin (orang-orang yang bertakwa), demikian juga teman-teman (pengikut) Ibnul-Asy’ats diantara mereka banyak ulama’ dan ahli ibadah. Semoga Allah mengampuni mereka semua.
Sungguh telah dikatakan kepada Asy-Sya’bi tatkala fitnah Ibnul-Asy’ats, “Dimanakah engkau wahai ‘Aamir (Asy-Sya’bi)?”. Maka beliau (Asy-Sya’bi) berkata, “Sebagaimana perkataan seorang penyair :
عَوَى الذِّئْبُ فَاسْتَأْنَسْتُ بِالذِّئْبِ إِذْ عَوَى وَصَوَّتَ إِنْسَانٌ فَكِدْتُ أَطِيْرُ
“Serigala menggonggong maka aku pun merasa senang dengan serigala tatkala ia menggonggong
Dan tatkala aku mendengar suara seseorang maka hampir-hampir saja aku terbang (karena kegirangan)”[19]
Kami ditimpa fitnah, sedangkan kami bukanlah orang-orang yang baik lagi bertakwa (sehingga ikut tenggelam bersama fitnah tersebut) dan bukan pula orang-orang fajir yang kuat (yang membabi buta menuruti fitnah tersebut).
Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Sesungguhnya Al-Hajjaj adalah wujud dari adzab Allah, maka janganlah kalian melawan adzab Allah dengan tangan-tangan kalian akan tetapi wajib bagi kalian untuk tunduk dan memohon dengan merendah diri karena sesungguhnya Allah telah berfirman : {وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُم بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ} ‘Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri’ (QS. Al Mukminun : 76).
Thalq bin Habiib berkata, “Lindungilah dirimu dari fitnah dengan ketakwaan”. Maka dikatakan kepadanya, “Simpulkanlah untuk kami apa itu ketakwaan?” Beliau berkata, “Yaitu engkau beramal dengan ketaatan kepada Allah dengan cahaya dari Allah dengan berharap rahmat Allah. Dan engkau meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan cahaya dari Allah karena takut akan adzab Allah.” [Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abid-Dunya].
Dahulu pemuka/tokoh-tokoh kaum muslimin tatkala terjadi fitnah melarang pemberontakan kepada penguasa dan melarang dari peperangan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar, Sa’iid bin Al-Musayyib, Ali bin Al-Husain, dan yang lainnya. Mereka melarang pemberontakan kepada Yaziid tatkala peristiwa Al-Harrah; sebagaimana juga Al-Hasan Al-Bashri, Mujahid, dan selain mereka berdua melarang pemberontakan tatkala peristiwa fitnah Ibnul Asy’ats. Oleh karena itu pendapat Ahlus-Sunnah telah bulat/tetap untuk meninggalkan peperangan tatkala terjadi fitnah berdasarkan hadits-hadits yang shahih lagi tetap dari Nabi. Dan kemudian mereka menyebutkan hal ini dalam aqidah-aqidah mereka serta mereka memerintahkan untuk bersabar atas kedhaliman para penguasa dan untuk meninggalkan sikap memerangi mereka meskipun banyak dari kalangan ulama’ dan ahli ibadah yang telah berperang disaat terjadi fitnah.[20] Dan hukum memerangi para bughat (pemberontak), dan amar ma’ruf nahi mungkar serupa dengan hukum berperang tatkala terjadi fitnah, akan tetapi bukan di sini tempat penjelasannya secara panjang lebar.
Barangsiapa yang mengamati hadits-hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pembahasan ini dan sekalian juga mengambil pelajaran sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu, niscaya dia akan mengetahui bahwasanya apa (perintah) yang datang dalam hadits-hadits Nabi merupakan perkara yang terbaik. Oleh karena itu tatkala Al-Husain ingin keluar bergabung dengan penduduk Irak tatkala mereka (penduduk Irak) mengirim banyak surat kepada beliau, maka para ulama’ dan ahli ibadah seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Bakar bin Abdirrahman bin Al-Harits bin Hisyaam mengisyaratkan kepada Al-Husain agar tidak berangkat (mengurungkan keberangkatannya) dan mereka berpraduga kuat bahwasanya ia akan terbunuh. Sampai-sampai sebagian mereka berkata (kepada Al-Husain) : {أَسْتَوْدِعُكَ اللهَ مِنْ قَتِيْلٍ } “Aku titipkan engkau kepada Allah, wahai orang yang terbunuh”, dan yang lainnya juga berkata: {لَوْلاَ الشَّفَاعَةُ لأَمْسَكْتُكَ ومنعتك من الخروج} “Seandainya kalau bukan karena (aku beriman akan adanya) As Syafa’at, niscaya aku akan memegangmu dan menahanmu agar tidak berangkat.”
Mereka semua melakukan hal ini dengan tujuan menasehati beliau dan mengupayakan kemaslahatannya dan juga kemaslahatan umat islam secara umum. Allah dan Rasul-Nya hanyalah memerintahkan dengan kemaslahatan dan tidak memerintahkan dengan kemafsadahan (kerusakan), akan tetapi pendapat seseorang terkadang benar dan terkadang keliru. Kemudian terbukti bahwa urusannya seperti yang dikatakan oleh mereka (yaitu akhirnya Al-Husain terbunuh), dan tidak ada kemaslahatan yang diperoleh dari pemberontakan Al Husain, baik maslahat agama maupun dunia. Bahkan orang-orang yang dhalim lagi melampaui batas tersebut berhasil mengalahkan cucu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam hingga akhirnya mereka pun membunuhnya dalam keadaan terdzolimi dan mati syahid. Dan akibat pemberontakan Al-Husain dan terbunuhnya dia timbullah kerusakan yang tidak akan terjadi bila seandainya ia tetap berdiam diri di negerinya. Cita-cita yang hendak beliau capai dari pemberontakan yaitu untuk mewujudkan kebaikan dan menumpas keburukan akhirnya sama sekali tidak tercapai. Bahkan akibat pemberontakan dan terbunuhnya beliau, keburukan semakin bertambah dan sebaliknya kebaikan semakin berkurang. Dan tragedi ini menjadi penyebab timbulnya petaka yang amat besar. Peristiwa terbunuhnya Al-Husain menimbulkan fitnah sebagaimana terbunuhnya Utsmaan menjadi penyebab timbulnya fitnah.
Ini semua menjelaskan bahwa syari’at yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersabar atas kedhaliman para penguasa dan meninggalkan sikap memerangi dan memberontak kepada mereka adalah perkara yang terbaik bagi para hamba dalam kehidupan mereka (di dunia) dan di akhirat. dan barangsiapa yang menyelisihi hal ini baik secara sengaja atau tidak sengaja maka perbuatannya tersebut tidak akan mendatangkan kebaikan, bahkan mengakibatkan kerusakan. Oleh karena itu Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memuji Al-Hasan (cucu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan sabdanya : {إنَّ ابني هذا سيد وسيصلح الله به بين فئتين عظيمتين من المسلمين} “Sesungguhnya cucuku ini adalah pemimpin dan dengan perantaranya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum muslimin.” [HR. Bukhari]. Dan Nabi tidak memuji seorang pun dengan keikutsertaannya dalam peperangan di saat terjadi fitnah atau pemberontakan terhadap para penguasa atau perlawanan terhadap penguasa atau pemisahan diri dari jama’ah (kesatuan kaum muslimin)… [selesai – lihat Minhajus-Sunnah juz 4 hal. 527-530].
Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata :
والله لا يستقيم الدين إلا بهم، وإن جاروا وظلموا والله لما يصلح الله بهم أكثر مما يفسدون، مع أن طاعتهم – والله – لغبطة وأن فرقتهم لكفر
”Demi Allah, agama tidak akan tegak kecuali dengan mendengar dan taat kepada mereka (penguasa), walaupun mereka memerintah dengan bengis dan kejam (dhalim). Demi Allah, kebaikan yang Allah limpahkan dengan adanya mereka lebih besar daripada kerusakan yang mereka lakukan. Bahkan dengan ketaatan kepada mereka – demi Allah – adalah kebahagiaan dan memisahkan diri dari mereka (memberontak) merupakan kekufuran” [Adabul-Hasan Al-Bashri oleh Ibnul-Jauzi hal. 121. Perkataan ini juga bisa dilihat dalam Al-Adabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195-196 dan As-Sunnah oleh Abu Bakr Al-Khallal hal. 133. Perkataan beliau : “merupakan kekufuran” maknanya adalah kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari Islam].
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah berkata :
عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكمو انظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار
“Hendaknya kalian mengingkari kemungkaran tersebut dengan menggunakan hati kalian. Dan jangan sekali-kali kalian mencabut tangan kalian dari ketaatan, jangan kalian mematahkan tongkat persatuan kaum muslimin, dan jangan pula kalian menumpahkan darah-darah kalian sendiri dan darah-darah kaum muslimin. Pertimbangkan akibat dari tindakan kalian tersebut dan sabarlah kalian sampai orang-orang yang baik meninggal dunia atau sebaliknya pimpinan yang dhalim itulah yang meninggal dunia.” [Al-Adabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195,196].
Mari kita cermati sejarah yang telah lewat dengan benar. Bagaimana sikap tokoh tabi’in seperti Ibnul-Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirrin, Ibrahim At-Taimi, dan yang lainnya ketika menemui jaman Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (yang khalifahnya kala itu adalah Abdul-Malik bin Marwan) ? Apakah mereka memerintahkan untuk melawan dan mengangkat senjata ? Mereka tetap memerintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad bersama pemerintah (penguasa) yang ’adil maupun yang fajir dan tidak menganjurkan umat untuk memberontak kepada mereka. Demikian pula setelah era Bani Umayyah berlalu yang digantikan oleh Bani ’Abbas. Mereka mengatur negara-negara kaum muslimin dengan menggunakan pedang. Tidak ada seorang pun ahli ilmu dan agama yang ada di sisi mereka. Mereka membunuh sejumlah besar Bani Umayyah, para penguasa, dan pejabat-pejabat mereka. Mereka membunuh Ibnu Hubairah yang menjabat Gubernur ’Iraq dan membunuh Khalifah Marwan. Sampai diceritakan bahwa para algojo mereka membunuh delapan puluh orang Bani Umayyah setiap harinya, membentangkan permadani di atas mayat-mayat mereka, serta duduk di atasnya sambil makan-makan dan minum-minum. Meskipun demikian, sejarah para imam seperti Al-Auza’i, Az-Zuhri, Al-Laits bin Sa’d, dan ’Atha’ bin Abi Rabbah dalam menyikapi para penguasa Bani ’Abbasiyyah ini tidaklah samar bagi kalangan yang melakukan kajian keilmuan dan penelaahan (kitab-kitab)[21]. Kemudian generasi Ahli Ilmu yang kedua seperti Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Isma’il, Muhammad bin Idris, Ahmad bin Nuh, Ishaq bin Rahawaih, dan saudara-saudara mereka dari kalangan ahli ilmu yang lain......dimana pada jaman mereka muncul pemerintahan yang tenggelam dalam bid’ah-bid’ah besar, pengingkaran sifat-sifat Allah, dan para imam tersebut diajak untuk mengakuinya, disiksa agar mengikuti penyimpangan tersebut, bahkan sampai dibunuh; seperti Muhammad bin Nashr. Meskipun demikian, sebagaimana diketahui tidak ada seorang pun dari para imam (ulama) tersebut yang mencabut ketaatan dari pemerintah itu. Tidak pula ada yang berpendapat bolehnya memberontak pada mereka... [Ad-Durarus-Saniyyah fii Ajwibatin-Najdiyyah juz 8 hal. 177-178 oleh Abdul-Latif bin ’Abdirrahman Ali Syaikh – dengan sedikit perubahan].
Dari sini nampaklah bahwa apa yang menjadi pendirian/'aqidah Ahlus-Sunnah sangat jelas. Nash-nashnya pun juga sedemikian jelas. Adapun pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa nash-nash larangan memerangi penguasa yang dhalim adalah mansukh[22], maka ini tertolak. Sudah tetap dalam ushul bahwa anggapan adanya mansukh tidak dapat diterima kecuali jika sudah tidak memungkinkan dilakukan pengkompromian (al-jam’u) di antara beberapa dalil[23]. Sementara itu, pengkompromian dalam nash-nash ini adalah terlalu mudah di sini. Alasannya, antara dalil-dalil pengharaman memerangi pemimpin yang dhalim dengan perintah amar ma’ruf nahi munkar merupakan dalil-dalil yang bersifat khusus dan umum. Ditambah lagi, nash-nash tentang amar ma’ruf nahi munkar tersebut sangat terkait dengan istitha’ah (kemampuan). Dan kaidah istitha’ah sangat terkait dengan pertimbangan kemaslahatan (dan juga kemudlaratan). Pendapat yang mengharamkan melawan penguasa yang fasiq dan dhalim adalah pendapat yang sangat kuat.
Sanggahan terhadap Dalil-Dalil yang Digunakan oleh Pihak yang Membolehkan
Sanggahan umum terhadap dalil tersebut adalah sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalil-dalil pengharaman memerangi pemimpin yang dhalim dengan perintah amar ma’ruf nahi munkar merupakan dalil-dalil yang bersifat khusus dan umum yang memungkinkan untuk dikompromikan. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut :
1.    Tentang firman Allah : ”Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” [QS. Al-Hujuraat : 9]
Jawabannya adalah :
Pertama, perintah dalam ayat adalah untuk memerangi golongan yang aniaya. Sementara itu, di sisi lain, terdapat dalil yang menegaskan larangan memerangi pemimpin yang dhalim. Artinya, larangan memerangi pemimpin yang dhalim merupakan takhshish dari keumuman ayat, sehingga memerangi pemimpin yang dhalim itu sendiri merupakan klasifikasi perbuatan aniaya. Pembatasan perbuatan aniaya harus didasarkan pada nash syari’at, bukan sekedar dugaan semata.
Kedua, di dalam ayat ini tidak ada petunjuk bahwa sekedar keberadaan perbuatan aniaya mengharuskan adanya penyerangan. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan :
ومن أصول هذا الموضع أن مجرد وجود البغى من إمام أو طائفة لا يوجب قتالهم بل لا يبيحه بل من الأصول التي دلت عليها النصوص أن الإمام الجائر الظالم يؤمر الناس بالصبر على جوره وظلمه وبغيه ولا يقاتلونه كما أمر النبي ص بذلك في غير حديث فلم يأذن في دفع البغي مطلقا بالقتال بل إذا كانت فيه فتنة نهى عن دفع البغي به وأمر بالصبر
”Dan yang merupakan asas dari permasalahan ini, yaitu bahwa sekedar keberadaan perbuatan aniaya yang dilakukan pemimpin atau golongan tertentu, tidak mengharuskan penyerangan terhadap mereka. Bahkan berdasarkan dasar-dasar yang dikuatkan berbagai nash menunjukkan orang-orang diperintahkan untuk bersabar ketika menghadapi pemimpin yang dhalim dan berbuat aniaya, tidak harus memeranginya, sebagaimana perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang tidak hanya disebutkan dalam satu hadits. Beliau tidak mengijinkan penolakan perbuatan aniaya secara mutlak dengan peperangan. Jika kemudian muncul fitnah, maka beliau melarang menolak perbuatan aniaya dengan cara peperangan dan memerintahkan untuk bersabar” [Al-Istiqamah hal. 15-16; Maktabah Al-Misykah].
2.    Tentang firman Allah : "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim" [QS. Al-Baqarah : 124].
Jawabannya adalah :
Di dalamnya juga tidak ada bukti tentang diperbolehkannya memerangi pemimpin/penguasa. Pembuktian ayat ini hanya berupa penetapan bahwa dari keturunan Ibrahim tidak akan muncul seorang pemimpin dhalim yang diikuti.[24] Al-Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
واختار ابن جرير أن هذه الاَية وإِن كانت ظاهرة في الخبر, أنه لا ينال عهد الله بالإِمامة ظالماً, ففيها إِعلام من الله لإِبراهيم الخليل عليه السلام, أنه سيوجد من ذريتك من هو ظالم لنفسه كما تقدم عن مجاهد وغيره.
”Ibnu Jarir (Ath-Thabari) memilih pendapat bahwasannya ayat ini meskipun secara lahiriyah merupakan berita bahwa janji Allah untuk mengangkat pemimpin, tidak akan mencakup orang dhalim. Namun ayat ini juga mengandung pemberitahuan dari Allah ta’ala bagi Ibrahim Al-Khalil ’alaihis-salam bahwasannya akan ada di antara keturunannya itu orang yang dhalim kepada dirinya sendiri, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya dari Mujahid dan lain-lain” [Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Baqarah : 124].
3.    Tentang firman Allah : ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” [QS. Al-Maaidah : 2].
Jawabannya adalah :
Sasaran yang hendak dituju oleh ayat ini adalah pengharaman tolong-menolong dalam berbuat dosa dan maksiat bersama pemimpin/penguasa atau orang yang lainnya. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini terkandung kewajiban tolong-menolong untuk memerangi pemimpin – dengan pertimbangan bahwa perbuatan itu termasuk kebajikan – maka sama sekali tidak dapat dibenarkan. Hal itu disebabkan bahwa telah tetap nash-nash larangan dan keharaman memerangi pemimpin yang dhalim. Dan telah disebutkan sebelumnya bahwa memerangi pemimpin dhalim itu merupakan tindakan aniaya (karena melanggar nash). Justru ayat ini menjadi hujjah bagi kami, bukan hujjah atas kami (hujjatun lanaa walaa ’alainaa).
4.    Tentang hadits-hadits amar ma’ruf nahi munkar (riwayat Hasyim, Abu Sa’id, dan Abdullah bin Mas’ud di atas), maka dalil-dalil ini bersifat umum, yang kemudian dikhususkan dengan hadits-hadits larangan. Asy-Syaukani berkata :
وقد استدل القائلون بوجوب الخروج على الظلمة ومنابذتهم السيف ومكافحتهم بالقتال بعمومات من الكتاب والسنة في وجوب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ولا شك ولا ريب أن الأحاديث التي ذكرها المصنف في هذا الباب وذكرناها أخص من تلك العمومات مطلقاً وهي متواترة المعنى كما يعرف ذلك من له أنسة بعلم السنة
”Sebagian orang telah beristidlal tentang wajibnya keluar dan melawannya dengan pedang serta menghadapinya dengan peperangan berdasarkan keumuman nash dalam Al-Kitab dan As-Sunnah tentang wajibnya melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Tidak diragukan lagi bahwasannya hadits-hadits yang disebutkan Mushannif dalam bab ini – dan juga telah kami sebutkan – lebih khusus dibandingkan dengan dalil yang bersifat umum dan muthlaq tersebut, yang maknanya bercabang-cabang. Hal itu tentu diketahui oleh siapapun yang mendalami ilmu As-Sunnah” [Nailul-Authaar juz 1 hal. 199].
5.    Tentang hadits : “Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’ ) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila ia menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat”.
Jawabannya adalah :
Sudah menjadi pengetahuan yang jamak di kalangan ulama dan penuntut ilmu bahwa yang gugur itu hanyalah pada hal perintah maksiat saja. Adapun ketaatan secara umum kepadanya (dalam hal yang sifatnya mubah dan ma’ruf) masih tetap ada dan wajib dilakukan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ألا من ولي عليه وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا ينزعن يدا من طاعة
Ketahuilah, barangsiapa dipimpin atasnya (oleh) seorang wali (imam/pemimpin), kemudian dia melihat (imam/pemimpin tersebut melakukan) kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya dia membenci kemaksiatan kepada Allah (yang dilakukan imam/pemimpin tersebut). Dan tidak boleh baginya melepaskan tangan (keluar) dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855].
Perhatikanlah hadits di atas ! Pensifatan adanya kemaksiatan yang ada pada pemimpin/penguasa tidak menyebabkan gugurnya ketaatan secara umum. Al-Harb berkata dalam kitabnya Al-‘Aqidah dengan menukil perkataan dari sejumlah ulama salaf :
وإن أمرك السلطان بأمر فيه لله معصية فليس لك أن تطعه البتة وليس لك أن تخرج عليه ولا تمنعه حقه
“Jika sulthan (penguasa) memerintahkanmu tentang satu perkara kemaksiatan di sisi Allah, maka tidak ada ketaatan bagimu kepadanya. Akan tetapi, engkau juga tidak boleh keluar dari ketaatannya dan menahan haknya” [Lihat Haadil-Arwaah oleh Ibnul-Qayyim hal. 401].
Hal yang sama juga dipraktekkan dalam sendi-sendi kehidupan yang lain. Misalnya, jika ada seorang ayah atau suami memerintahkan satu maksiat, apakah dengan itu kita atau para istri boleh melakukan kedurhakaan pada perintah-perintahnya yang lain ? Tentu tidak bukan ? Ketidaktaatan terhadap perintah ayah atau suami itu sebatas pada hal yang maksiat saja. Adapun yang lain, maka tetap wajib taat dan dilarang untuk melakukan kedurhakaan.
6.    Tentang hadits : “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan dari umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan”; maka jawabannya tidaklah berbeda dengan jawaban sebelumnya. Hadits ini semakna dengan : “Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”.
Tidak diragukan lagi bahwa pemipin yang tidak mengambil petunjuk dan sunnah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam adalah pemimpin yang menyesatkan. Tapi apa yang beliau perintahkan ? Melawannya ? Ternyata tidak. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat”.
Akhirnya dalam paparan ini harus dikatakan : HARAM hukumnya keluar dari ketaatan atau memberontak dari penguasa yang dhalim. Inilah ’aqidah yang telah tetap dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Wallaahu a’lam bish-shawwab.

Abul-Jauzaa’


[1]    Salah satu sekte dalam Syi’ah.
[2]    Karena pada hakekatnya mengubah/mengingkari dengan tangan ataupun dengan pedang adalah semakna – Abul-Jauzaa’.
[3]    Maksud dari ”dan itulah selemah-lemah iman” adalah bahwa pengingkaran dengan hati terhadap kemaksiatan adalah pengingkaran yang wajib ada bagi setiap muslim. Hal itu adalah batas akhir yang tidak ada hal lain yang berada di bawahnya. Ketika ada seseorang yang tidak mampu secara syar’i merubah kemungkaran dengan tangan dan lisan, maka tidaklah ia dikatakan sebagai muslim yang tercela karena hanya mampu mengingkari dengan hatinya. Bahkan jika ia memaksakan diri untuk merubah kemungkaran dengan tangan atau lisannya (padahal sebenarnya ia tidak mampu melakukannya – karena akan menimbulkan mudlarat yang lebih besar daripada maslahatnya), maka pada saat itu ia bagaikan orang yang menghinakan dirinya sendiri. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam telah bersabda :
لا ينبغي للمؤمن أن يذل نفسه قالوا وكيف يذل نفسه قال يتعرض من البلاء لما لا يطيق
Tidak pantas seorang mukmin menghinakan dirinya”. Para shahabat bertanya : ”Bagaimana bisa ia menghinakan dirinya sendiri ?”. Beliau menjawab : ”Ia menghadang cobaan padahal ia tidak sanggup menghadapinya” [HR. Tirmidzi no. 2254, Ibnu Majah no. 4016, Ahmad no. 23491, dan yang lainnya; hasan lighairihi].
[4]    Hadits ini merupakan penguat atas penjelasan dalam catatan kaki sebelumnya.
[5]    Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan :
فأمرهم بالطاعة ونهاهم عن منازعة الأمر أهله وأمرهم بالقيام بالحق
“Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk taat dan melarang mereka untuk melepaskan perkara dari ahlinya (mencopot) serta memerintahkannya untuk selalu bertindak dalam kebenaran” [Al-Istiqamah hal. 20; Maktabah Al-Misykah].
Al-Kirmany rahimahullah berkata : “Di dalam hadits ini menjelaskan bahwa penguasa tidak dapat dicopot karena kefasikan yang dilakukannya, karena jika ia dicopot bisa menimbulkan kekacauan, pertumpahan darah, dan perpecahan di antara manusia. Kerusakan yang diakibatkan dari pencopotannya tersebut lebih banyak daripada kerusakan jika tetap membiarkannya berkuasa” [Syarhul-Bukhari hal juz 10 . 169].
[6]    Imam Asy-Syaukani berkata tentang hadits tersebut :
فيه دليل على أنه لا يجوز منابذة الأئمة بالسيف مهما كانوا مقيمين للصلاة
”Di dalamnya terdapat dalil tentang tidak bolehnya menentang/memerangi pemimpin dengan menggunakan pedang selama mereka masih menegakkan shalat” [Nailul-Authaar juz 7 hal. 197].
Mengenai makna ”maa aqaamuu fiikumush-shalah”, insya Allah akan datang penjelasannya dalam tulisan berikutnya.
[7]    Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وهذا يبين أن الأئمة هم الأمراء ولاة الأمور وأنه يكره وينكر ما يأتونه من معصية الله ولا تنزع اليد من طاعتهم بل يطاعون في طاعة الله وأن منهم خيارا
”Hadits ini menjelaskan bahwa al-aimmah adalah al-umaraa’ dan wulaatul-amri. Ia dibenci dan diingkari apabila ia melakukan perbuatan kemaksiatan kepada Allah. Tidak boleh (bagi seorangpun) untuk melepaskan tangan dari ketaatan kepada mereka. Akan tetapi, mereka ditaati hanya dalam hal ketaatan kepada Allah, walaupun pada mereka terdapat kebaikan dan kejelekan sekaligus” [Minhajus-Sunnah juz 1 hal. 117; Muassasah Qurthubah].
[8]    Maksudnya adalah kufur ashghar, bukan kufur akbar yang mengeluarkan dari agama.
[9]    Manusia yang hanya mengandalkan kuantitas tanpa kualitas agama yang memadai. Ungkapan ”habaaun minan-nas” seperti halnya ungkapan dalam hadits Tsauban : ghutsaaun ka-ghutsaais-sail” (mereka seperti buih banjir) [HR. Abu Dawud no. 4297, Ahmad 5/278, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa 1/182; shahih lighairihi).
[10]   Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
والأثرة : الاستئثار والاختصاص بأمور الدنيا عليكم. أي : أسمعوا وأطيعوا وأن أختص الأمراء بالدنيا، ولم يوصلوكم حقكم مما عندهم
Al-Atsarah adalah monopoli dan berbuat sewenang-wenang terhadap kalian dalam urusan dunia. Jadi arti hadits itu (yaitu hadits atsarah) adalah : dengar dan taatilah pemerintah/penguasa tersebut walaupun mereka lebih mengutamakan urusan dunia dan tidak memenuhi hak kalian di sisi mereka yang wajib ditunaikan" [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi juz 12 hal. 225].
Beliau rahimahulah kemudian melanjutkan :
فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه
“Di dalam (hadits atsarah) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [idem, juz 12 hal. 232].
Catatan : Pengertian atsarah yang diterangkan oleh An-Nawawi adalah sama dan semakna sebagaimana yang diterangkan oleh ulama yang lainnya, seperti Ibnul-Atsir (An-Nihayah fii Gharibil-Hadits), As-Suyuthi (Ad-Diibaaj ‘alaa Shahih Muslim), Abul-‘Abbas Al-Qurthubi (Al-Mufhim lima Asykala min-Talkhiisi Kitaabi Muslim), Al-Qadli ‘Iyadl (Ikmaalul-Mu’lim Syarh Shahih Muslim), Ibnu Barjas (Mu’ammalatul-Hukkam), dan yang lainnya.
[11]   Hancurnya Ka’bah tidaklah lebih buruk daripada tertumpahnya darah seorang muslim tanpa hak !
[12]   As-Suyuthi menjelaskan bahwa penyebab pencabutan ketaatan penduduk Madinah adalah karena Yazid berlebih-lebihan berkecimpung dalam maksiat [lihat Tarikh Khulafaa’ hal. 209 cet. Muhyiddin ’Abdil-Hamid].
[13]   Sekilas akan saya tuliskan peristiwa Al-Harrah yang saya ambilkan dari kitab Usdul-Ghaabah fii Ma’rifatish-Shahabah karya Al-Hafidh Izzuddin Abul-Hasan ’Ali bin Muhammad bin Al-Atsir Al-Jazri – Ibnul-Atsir (w. 630 H) ketika memaparkan biografi ’Abdullah bin Handhalah radliyallaahu ’anhu (dengan terjemahan bebas) : ”Abdullah bin Handhalah terbunuh pada peristiwa Al-Harrah pada tahun 63 H oleh orang-orang Syam. Adapun penyebab peristiwa Al-Hurah adalah ia bersama beberapa penduduk Madinah datang menemui Yazid bin Mu’awiyyah di Syam. Terkejutlah mereka ketika mereka melihat beberapa hal yang tidak baik pada diri Yazid dan mereka juga tidak mendapatkan satu hal bermanfaat yang dapat diambil darinya. Maka mereka pun pulang ke Madinah. Sesampainya di Madinah, mereka (menceritakan hal yang terjadi dan kemudian) membaiat Abdulah bin Zubair radliyallaahu ’anhu. Baiat itu kemudian disepakati oleh penduduk Madinah yang lain. (Mendengar sikap penduduk Madinah yang melepaskan ketaatan), maka Yazid mengutus Muslim bin ’Uqbah Al-Murry yang dikenal setelah peristiwa Al-Harrah sebagai seorang yang sangat jahat. Maka terjadilah peristiwa penyerangan yang besar pada penduduk Madinah. Banyak orang yang terbunuh di medan pertempuran. Dan Abdullah bin Handhalah termasuk di antaranya. Saking dahsyatnya peperangan tersebut, maka anak-anak Ibnu Handhalah maju satu persatu dan terbunuh semua. Akhirnya Ibnu Handhalah memecahkan sarung pedangnya untuk maju berperang hingga ia pun terbunuh” [selesai].
[14]   Ada satu hal yang perlu diluruskan terkait dengan Yazid bin Mu’awiyyah. Banyak penulis muta’akhkhirin yang berlebih-lebihan dalam mencela Yazid bin Muawiyyah dimana tulisan-tulisan tersebut banyak terpengaruh tulisan kalangan Syi’ah. Dikatakan bahwa Yazid adalah shaahibul-ma’ashy (orang yang gemar melakukan kemaksiatan). Sebagian kalangan bahkan mengkafirkan Yazid bin Mu’awiyyah. Ada baiknya saya tuliskan kisah Muhammad bin Al-Hanafiyyah ini terkait dengan bahasan Yazid. Al-Baladziri meriwayatkan bahwa Muhammad bin ’Ali bin Abi Thalib – yang lebih dikenal dengan nama Muhammad bin Al-Hanafiyyah – menemui Yazid bin Mu’awiyyah pada suatu hari di Damaskus untuk berpamitan setelah ia memutuskan perkara untuknya pada satu waktu.
فقال له يزيد ، و كان له مكرماً : يا أبا القاسم ، إن كنت رأيت مني خُلُقاً تنكره نَزَعت عنه ، و أتيت الذي تُشير به علي ؟ فقال : والله لو رأيت منكراً ما وسعني إلاّ أن أنهاك عنه ، وأخبرك بالحق لله فيه ، لما أخذ الله على أهل العلم عن أن يبينوه للناس ولا يكتموه ، وما رأيت منك إلاّ خيراً . أنساب الأشراف للبلاذري ١/١٥
”Yazid berkata pada Muhammad bin Al-Hanafiyyah – dimana padanya terdapat kemuliaan - : “Wahai Abul-Qasim, apabila engkau melihatku satu akhlaq/perbuatan yang engkau ingkari, apakah engkau sudi mendatangiku untuk memberitahukanku (menasihatiku) ?”. Muhammad bin Al-Hanafiyyah menjawab : “Demi Allah, apabila aku melihat satu kemunkaran padamu, niscaya aku akan mencegahmu darinya. Aku akan memberitahumu tentang kebenaran karena Allah, karena Allah menjadikan para ahli ilmu untuk menjelaskan satu perkara pada manusia dan tidak menyembunyikannya. Tidaklah aku melihatmu sesuatu (sampai saat ini) melainkan kebaikan” [selesai – lihat Ansaabul-Asyraaf oleh Al-Baladziri juz 5 hal. 17].
Ibnu Katsir meriwayatkan bahwasanya ketika penduduk Madinah kembali dari tempat Yazid, Abdullah bin Muthi’ dan teman-temannya berangkat menemui Muhammad bin Al-Hanafiyyah. Mereka menginginkan agar ia memberi dukungan untuk mencopot Yazid dari kekhalifahan :
فقال ابن مطيع : أن يزيد يشرب الخمر، ويترك الصلاة ويتعدى حكم الكتاب. فقال لهم: ما رأيت منه ما تذكرون، وقد حضرته وأقمت عنده، فرأيته مواظباً على الصلاة متحرياً للخير، يسأل عن الفقه، ملازماً للسنة. فقال: فإن ذلك كان منه تصنعاً لك. فقال : وما الذي خاف مني أو رجا حتى يظهر إلي الخشوع ؟ ! أفأطلعكم على ما تذكرون من شرب الخمر ؟ فلئن كان أطلعكم على ذلك: إنكم لشركائه، وإن لم يكن أطلعكم فما يحل لكم أن تشهدوا بما لا تعلموا. قالوا: إن عندنا لحق، وإن لم يكن رأيناه. فقال لهم: أبى الله ذلك على أهل الشهادة فقال: ( إِلاَّ مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ )، ولست من أمركم في شيء
Maka berkata Ibnu Muthi’ : ”Sesungguhnya Yazid minum khamr, meninggalkan shalat, dan melanggar hukum-hukum Al-Kitab (Al-Qur’an)”. Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata kepada mereka : ”Aku tidak melihat apa yang kalian katakan tadi . Sungguh aku telah pernah menemuinya dan tinggal bersamanya. Maka aku melihatnya adalah seorang yang tekun dalam shalat, semangat dalam melakukan kebaikan, bertanya tentang fiqh, dan ber-iltizam terhadap sunnah”. Ibnu Muthi’ berkata : ”Sesungguhnya (yang engkau ketahui) itu adalah sikap kepura-puraan yang dia lakukan di hadapanmu”. Ibnul-Hanafiyyah berkata : ”Apakah gerangan yang membuatnya ia takut kepadaku atau perasaan khawatir sehingga ia menampakkan kekhusyukan ?Apakah kalian melihat apa-apa yang kalian sebutkan tadi dari perkara meminum khamr ? Apabila engkau melihat melihat hal itu, sungguh kalian adalah sekutunya. Jika kalian tidak melihat, maka sesungguhnya tidak halal bagi kalian untuk bersaksi terhadap apa-apa yang kalian tidak mengetahuinya”. Mereka berkata : ”Bahwasannya apa yang kami sebutkan tadi adalah benar walaupun kami tidak melihatnya !”. Ibnul-Hanafiyyah berkata pada mereka : ”Allah telah menolak hal itu terhadap orang-orang yang bersaksi. Allah telah berfirman : Kecuali orang-orang yang bersaksi dengan hak (benar) sedangkan mereka mengetahuinya” [QS. Az-Zukhruf : 86]. Aku tidak mau campur tangan terhadap urusan kalian ini !!” [selesai – lihat Al-Bidayah wan-Nihayah juz 8 hal. 233; sanad riwayat ini hasan].
Inti dari apa yang ingin disampaikan adalah bahwa khabar yang beredar tentang Yazid tidak seluruhnya benar. Ia bukanlah seorang yang perlu disanjung dalam masa kepemerintahannya, sebab tertumpahnya darah kaum muslimin banyak terjadi di masa pemerintahannya. Dan itu sungguh satu hal yang sangat diingkari oleh para ulama kala itu. Namun ia juga bukan merupakan orang yang perlu mendapat laknat karena kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Banyak yang berlebih-lebihan dalam menyebutkan kefasiqan Yazid. Dan itulah salah satu penyebab yang membuat Ahlul-Madinah keluar dari ketaatan terhadap Yazid. Adalah tidak benar penisbatan terhadap Yazid bahwa ia membunuh atau menyuruh untuk melakukan pembunuhan terhadap Husain bin ’Ali radliyallaahu ’anhu di Karbala. Semua riwayat tentang hal ini adalah tidak shahih. Ia menjadi khalifah setelah ayahnya (Mu’awiyyah bin Abi Sufyan radliyallaahu ’anhu) dengan keridlaan sebagian kaum muslimin dan tidak disukai oleh sebagian yang lain. Jadi tidak benar perkataan bahwa kaum muslimin ber-ijma’ tidak meridlai status kekhalifahannya.
Diriwayatkan oleh Yahya bin Bukair dari Imam Al-Laits bin Sa’ad (w. 147 H) bahwa ia berkata :
توفي أمير المؤمنين يزيد في تاريخ كذ
”Amiirul-Mukminin Yazid meninggal pada tarikh sekian dan sekian.....”[selesai - Al-’Awwashim minal-Qawaashim oleh Imam Abu Bakr bin Al-’Araby (w. 468 H); juz 2 hal. 58; tahqiq : Muhibbudin Al-Khathib; Maktabah Al-Misykah].
Perhatikan, Imam Laits menamakan Yazid dengan ”Amirul-Mukminin” setelah berakhir masa kekuasannya. Apabila kekhalifahannya tidak sah atau bathil, tentu Imam Laits tidak akan mengatakan : ”Amirul-Mukminin”.
[15]   Untuk lebih detailnya, bisa merujuk dalam kitab-kitab ulama Ahlus-Sunnah yang mu'tabar.
[16]   Peristiwa Perang Jamal tidaklah seperti yang dikatakan oleh banyak orang bahwa ’Aisyah dan para shahabat lainnya keluar dan berniat memerangi ’Ali bin Abi Thalib. Perang Jamal pada hakekatnya merupakan kesalahpahaman antara dua pasukan yang ingin mengadakan ishlah (dalam perkara kematian ’Utsman bin ’Affan secara dhalim di tangan para pemberontak/Khawarij). Saat para pembunuh ’Utsman mengetahui bahwa pasukan ’Aisyah dan pasukan ’Ali bertemu dalam rangka mencari mereka, maka mereka kemudian membuat kekacauan dengan menyerang kedua pasukan. Dengan adanya serangan tersebut kedua pihak (pihak ’Aisyah dan pihak ’Ali) merasa telah dikhianati oleh pihak lainnya. Akhirnya terjadilah perang Jamal yang masyhur kita dengar itu. Sebagai referensi, bisa dibuka Tarikh At-Thabary juz 3 hal. 31, Al-Kamil oleh Ibnul Atsir juz 3 hal. 123 dst, dan Al-Bidayah wan-Nihayah oleh Ibnu Katsir juz 7 hal. 251 dst.
Selain itu, setelah peristiwa perang Jamal, Ummul-Mukminin ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa merasa sangat menyesal atas kejadian tersebut. Imam Adz-Dzahabi menuturkan :
وكانت تحدث نفسها أن تدفن في بيتها فقالت إني أحدثت بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم حدثا ادفنوني مع أزواجه فدفنت بالبقيع رضي الله عنها قلت تعني بالحدث مسيرها يوم الجمل فإنها ندمت ندامة كلية وتابت من ذلك على أنها ما فعلت ذلك إلا متأولة قاصدة للخير كما اجتهد طلحة بن عبيد الله والزبير بن العوام وجماعة من الكبار رضي الله عن الجميع .......قالت عائشة إذا مر ابن عمر فأرونيه فلما مر بها قيل لها هذا ابن عمر فقالت يا أبا عبد الرحمن ما منعك أن تنهاني عن مسيري قال رأيت رجلا قد غلب عليك يعني ابن الزبير
”Dahulu ‘Aisyah berkeinginan untuk dikuburkan di dalam rumahnya, kemudian beliau berkata : ‘Sesungguhnya aku telah berbuat kesalahan sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kuburkanlah aku bersama istri-istri beliau lainnya di kuburan Baqi’’. Imam Adz-Dzahabi berkata : “Yang beliau maksud dengan kesalahan ialah kepergiannya pada tragedi perang Jamal, karena sesungguhnya beliau amat menyesali kepergiannya itu, dan beliau bertaubat darinya. Padahal beliau melakukannya atas dasar ijtihad dan bertujuan baik, sebagaimana Thalhah dan Az-Zubair bersama beberapa pembesar sahabat juga telah berijtihad, semoga Allah senantiasa meridhai mereka semua.” (Kemudian Imam Adz-Dzahabi menukilkan dari sebuah kisah, yaitu) pada suatu saat ‘Aisyah berpesan : Bila Ibnu Umar lewat, hendaknya kalian tunjukkanlah dia kepada aku. Dan ketika Ibnu Umar telah melintas, maka dikatakan kepada ’Aisyah : Inilah Ibnu Umar, maka ia pun berkata kepadanya: “Wahai Abu Abdirrahman, apa yang menghalangimu untuk mencegahku dari kepergianku (pada tragedi perang Jamal)?” Beliau menjawab: “Aku melihat bersamamu seorang lelaki yang telah mempengaruhimu, yaitu Ibnu Zubair” [Siyaru A’alamin- Nubalaa’ juz 2 hal. 324 no. 193; Maktabah Al-Misykah].
[17]   Zaidah bin Qudamah Ats-Tsaqafi dari negeri Kuffah. Ia adalah seorang tsiqah, tsabt, shaahibus-sunnah.
[18]   Peristiwa fitnah ini sedemikian rumitnya bagi sebagian orang. Para ahli tarikh telah menjelaskan bahwa Abdullah bin Zubair tidak membaiat Yazid bin Mu’awiyyah setelah wafatnya Mu’awiyyah. Padahal Ahlus-Sunnah mengatakan tentang sah-nya kekhalifahan Yazid. Maka dengan itu, Yazid memerintahkan pasukan untuk mengepung Madinah setelah ia mendengar penduduk Madinah memberontak dan berbaiat kepada Ibnu Zubair. Setelah Madinah dapat ditundukkan (dalam peristiwa Al-Harrah), maka pasukan Yazid melanjutkan penyerangan ke Makkah pada tahun 64 H yang pada peristiwa itu Ka’bah sempat terbakar, yaitu pada bulan Muharram. Pengepungan Makkah tersebut terus berlangsung hingga meninggalnya Yazid bin Mu’awiyyah pada bulan Rabi’ul-Awwal di tahun yang sama. Setelah meninggalnya Yazid, maka Ibnu Zubair dibaiat oleh penduduk Hijaz, Yaman, ’Iraq, dan Khurasan. Dan jadilah ia khalifah. Namun di samping itu, yaitu di Syam (tepatnya di Palestina), Marwan diangkat oleh Bani Umayyah (yang berkuasa di sana) sebagai khalifah. Setelah Marwan meninggal, ia digantikan anaknya, Abdul-Malik. Selain di Syam, Abdul-Malik Marwan juga punya wilayah dan kekuatan di Mesir. «Dari sini sebenarnya dapat kita pahami bahwa terjadi dua kepemimpinan yang berbeda yang masing-masing mempunyai kekuatan dan wilayah. Ibnu Zubair menjadi khalifah hingga Abdul-Malik bin Marwan menggantikan ayahnya sebagai khalifah di Syam – Abul-Jauzaa’». Setelah itu, Abdul-Malik menyiapkan beberapa kelompok pasukan. Satu pasukan ia utus ke ’Iraq dan berhasil membunuh Mush’ab bin Zubair (gubernur yang ditunjuk oleh Ibnu Zubair). Pasukan lain yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (seorang yang sangat kejam) ia utus menyerang Hijaz. Maka pasukan Al-Hajjaj pun mengepung Makkah (tempat Ibnu Zubair berada) pada bulan Dzulhijjah tahun 72 H. Pasukan Al-Hajjaj menyerang penduduk Makkah dengan menggunakan manjaniq (semacam ketapel besar) yang dengan itu ia melemparkan batu ke Masjidil-Haram. Pertempuran itu berakhir pada pertengahan bulan Jumadi-Akhir tahun 73 H yang mengakibatkan terbunuhnya Ibnu Zubair, Ibnu Muthi’, dan beberapa orang shahabat yang lain [disadur dari Usdul-Ghabah biografi Abdullah bin Zubair bin Al-Awwam radliyallaahu ’anhuma].
Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (juz 13 hadits no. 6779) membuat sedikit perincian atas uraian Ibnul-Atsir tersebut. Yaitu, setelah Yazid bin Mu’awiyyah meninggal, maka Ibnu Zubair dibai’at oleh penduduk Hijaz. Sementara itu, Mu’awiyyah bin Yazid bin Mu’awiyyah bin Abi Sufyan menggantikan ayahnya dan ia dibaiat oleh hampir seluruh wilayah (kecuali Hijaz). Namun ia hanya berkuasa selama kurang lebih 40 hari, kemudian ia meninggal. Setelah Mu’awiyyah bin Yazid meninggal, Ibnu Zubair dibaiat oleh penduduk sebagian besar wilayah seperti Hijaz, Yaman, Mesir, ’Iraq, seluruh wilayah Timur, seluruh wilayah Syam hingga Dimasyqa (Damaskus).
Ibnu Hajar dalam Tahdzibut-Tahdzib juz 10 biografi no. 167 (biografi Marwan bin Al-Hakam) menjelaskan bahwa ketika Mu’awiyyah bin Yazid bin Mu’awiyyah meninggal (yang kekuasaannya hanya berumur 40 hari), maka bersamaan dengan itu Adl-Dlahhak bin Qais menguasai Damaskus (yang sebelumnya dikuasai oleh Bani Umayyah). Setelah itu, Adl-Dlahhak menyeru kepada Abdullah bin Az-Zubair dan berbaiat kepadanya. Setelah Marwan bin Al-Hakam dibaiat oleh Bani Umayyah, maka ia bersama pasukannya menyerang Damaskus dan berhasil menguasainya dengan membunuh Adl-Dlahhak bin Qais. Kemudian ia melanjutkan ekspansinya dan berhasil menguasai Mesir. Marwan meninggal pada bulan Ramadlan tahun 65 H dimana ia berkuasa selama 9 bulan. [selesai].
Dengan melihat kenyataan sejarah seperti itu, sungguh sulit untuk mengatakan siapa yang memberontak. Telah lewat perkataan Ibnu Katsir bahwa beliau menegaskan Ahlul-Madinah-lah yang keluar dari ketaatan Yazid bin Mu’awiyyah atas ketidakpuasannya terhadap kepemimpinan Yazid. Tidak bisa dipungkiri bahwa inilah awal fitnah Al-Harrah dan fitnah Ahlul-Makkah (terbunuhnya Ibnu Zubair) --- walaupun bibit-bibitnya sudah muncul semenjak kejadian Karbala. Hal tersebut berkembang dan berlanjut hingga kemudian beberapa daerah ”lepas” dan membaiat Ibnu Zubair. Tapi harus dicatat bahwa, pada masa Mu’awiyyah bin Yazid bin Abi Sufyan, hampir semua wilayah Islam masih membaiatnya kecuali wilayah Hijaz (sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar di atas). Dan ”lepasnya” beberapa wilayah yang dikuasai Bani Umayyah, seperti Damaskus misalnya, tidak lepas dari upaya ”keluar” dari pengaruh kekhalifahan Bani Umayyah. Bahkan, diantaranya dicapai melalui jalan ”kekerasan” (sebagaimana dilakukan oleh Adl-Dlahhak bin Qais).
Kita tidak mengatakan bahwa Ibnu Zubair sebagai pemberontak (karena ia pernah dibaiat mayoritas wilayah Islam). Sebagian ulama bahkan memasukkannya dalam jajaran khalifah-khalifah kaum muslimin. Ia dan juga para shahabat yang lain (seperti Ibnu Muthi’ dan Ibnu Handhalah) telah berijtihad. Bila benar ia mendapatkan dua pahala, dan bila salah mendapatkan satu pahala. Apa yang dilakukan Ibnu Zubair bukanlah merupakan ijma’ di kalangan shahabat. Lihatlah sikap tegas Ibnu ’Umar yang tidak membatalkan bai’at kepada Yazid. Ketika terjadi fitnah, yaitu peperangan antara dua orang khalifah (Abdullah bin Zubair dan Abdul-Malik bin Marwan), maka Ibnu ’Umar tidak melakukan baiat kepada salah satu di antara mereka, hingga kemudian Abdul-Malik menang dan kekuasaan dipegang sepenuhnya olehnya; maka Ibnu ’Umar pun berbaiat kepadanya (sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari juz 13 no. 6779). Perbuatan Ibnu ’Umar yang tidak membatalkan baiat (kepada Yazid), menahan diri ketika adanya fitnah, serta berbaiat kepada khalifah yang memenangkan peperangan adalah sikap yang lebih dekat kepada kebenaran (sesuai dengan nash/dalil).
[19]   Mungkin maksudnya ibarat seseorang yang berada di tengah padang pasir di dalam gelap gulita, dan dia merasa tidak ada orang yang bersamanya. Maka tatkala ia mendengar gonggongan serigala maka ia pun senang karena ada secercah harapan karena di sekitarnya ada kehidupan. Dan tatkala ada seorang manusia yang bersuara maka ia pun seakan-akan ingin terbang karena sangat gembiranya karena berarti ada orang lain yang bersama dia di padang pasir tersebut. Wallahu A’lam.
[20]   Bisa kita lihat dalam beberapa kitab ’aqidah yang ditulis oleh para ’ulama Ahlus-Sunnah, seperti Ushulus-Sunnah oleh Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Al-Ibaanah ’an Ushuulid-Diyaanah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ary (w. 324 H), Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ath-Thahawi (w. 321 H), Ashlus-Sunnah wa I’tiqadud-Diin oleh Ibnu Abu Hatim Ar-Razi (w. 327 H), I’tiqadu Aimmatil-Hadits oleh Abu Bakr Al-Isma’ily (w. 371 H), Syarhus-Sunnah oleh Abul-Hasan bin ’Ali Al-Barbahari (w. 329 H), ’Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits oleh Abu ’Utsman Isma’il Ash-Shabuni (w. 449 H), Lum’atul-I’tiqad oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (w. 620 H), Al-Ibanah oleh Ibnu Baththah Al-’Uqbari (w. 387 H), dan yang lainnya.
[21]   Yaitu mereka tidak mengibarkan panji revolusi dan mengajak kaum muslimin untuk keluar dari ketaatan kepada penguasa.
[22]   Al-Fashlu fil-Milal wan-Nihal juz 5 hal. 25. Dari sini dapat kita pahami bahwa jika beliau (Ibnu Hazm) mengetahui bahwa nash-nash tersebut tidak mansukh, maka tentu beliau akan berpendapat sebaliknya (yaitu haramnya memberontak/memerangi penguasa yang dhalim).
[23]   Adanya nasikh-mansukh pun harus ditunjukkan qarinah-qarinah kuat yang menunjukkannya, di antaranya adalah : adanya lafadh mansukh secara manthuq dari nash (seperti hadits larangan ziarah kubur), nasikh harus datang lebih akhir (seperti hadits larangan bekam pada waktu puasa), dan yang lainnya.
[24]   Selengkapnya ayat tersebut adalah:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim" [QS. Al-Baqarah : 124].

Comments

Anonim mengatakan...

Kutipan pada tulisan di atas yaitu: "....Meskipun demikian, sebagaimana diketahui tidak ada seorang pun dari para imam (ulama) tersebut yang mencabut ketaatan dari pemerintah itu... " - apabila kita kaitkan pada peristiwa yg menimpa Imam Ahmad bin Hambal terkait adanya keyakinan 'Al-Qur'an adalah mahluk' dapatkah kita simpulkan bahwa para penguasa tersebut hanya terjatuh pada perkara kufur asghor yg tidak berkonsekwensi membatalkan keislaman mereka? Mohon tanggapannya atas pendapat ini...syukron

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Pernyataan Khalqul-Qur'an (Al-Qur'an adalah makhluk) adalah pernyataan/kalimat yang bisa menyebabkan kekafiran seseorang (akfir akbar).

Ada kemungkinan masih terdapat penghalang-penghalang kekafiran sehingga para ulama tidak mengkafirkan penguasa pada waktu itu. Termasuk manhaj Ahlus-Sunnah dalam takfir adalah bahwasannya tidaklah seorang muslim menjadi kafir hanya dengan perkataan, perbuatan, dan keyakinan; kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat (kesamaran), sehingga tegak syarat-syarat pengkafiran.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وليس لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة، وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة‏.‏

“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah, 12/466].

Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Pernyataan antum bahwa : "Ada kemungkinan masih terdapat penghalang-penghalang kekafiran sehingga para ulama tidak mengkafirkan penguasa pada waktu itu. Termasuk manhaj Ahlus-Sunnah dalam takfir adalah bahwasannya tidaklah seorang muslim menjadi kafir hanya dengan perkataan, perbuatan, dan keyakinan; kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat (kesamaran), sehingga tegak syarat-syarat pengkafiran", menurut ana mengandung "kontradiksi" dgn pernyataan antum yg lain di Blog ini yaitu : "Apakah menurut pemikiran kita Imam Ahmad dan para ulama tidak pernah memberikan nasihat kepada penguasa selama bertahun-tahun ?. Tentu tidak ". Dari ungkapan yg ke-dua yg ana kutip menyiratkan bahwa:" adanya kemungkinan terdapat penghalang kekafiran " tampaknya merupakan sebuah alasan yg dicari-cari.
Justru sikap Imam Ahmad yg tidak pernah mencabut ketaatan secara "mutlak" kepada penguasa ketika itu tatkala seluruh upaya penegakan hujjah dan dihilangkannya syubhat telah dilakukan, dapat menjadi bukti bahwa para ulama pada masa itu tidak memandang bahwa "keyakinan" para penguasa tersebut telah membuat mereka terjatuh pada perkara "kufur akbar" yg berkonsekwensi membatalkan "keislaman" mereka. Sebab mencabut ketaatan secara mutlak pastilah merupakan konsekwensi logis sekiranya penguasa pada saat itu telah melakukan ke-murtadan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Itu hanyalah menurut Anda bahwa perkataan dan keyakinan Khalqul-Qur'an adalah tidak kafir. Namun menurut Ahlus-Sunnah adalah kafir. Anyway, dapatkah Anda menunjukkan kepada saya bukti dari perkataan ulama salaf yang menyatakan bahwa pendapat Khalqul-Qur'an itu tidak kafir akbar sebagaimana yang Anda katakan barusan ?

Adapaun saya, berikut sedikit buktinya :

Ash-Shaabuniy berkata :

ومن قال بخلقه واعتقده فهو كافر عندهم

"Barangsiapa yang berkata dan berkeyakinan Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia kafir menurut mereka (ashhaabul-hadits)" ['Aqiidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits].

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitabnya As-Sunnah (no. 25) dari Al-Imam Sufyan bin ’Uyainah bahwa ia berkata :

القرآن كلام الله عزوجل من قال مخلوق فهو كافر ومن شك في كفره فهو كافر

”Al-Qur’an adalah Kalamullah. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang ragu akan kekafiran orang tersebut, maka ia juga kafir” [selesai].

Yahyaa bin Khalaf pernah berada di sisi Maalik bin Anas. Lalu ada seorang laki-laki mendatangi beliau dan bertanya : "Apa yang engkau katakan terhadap orang yang mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk ?". Beliau (Maalik) berkata :

عندي كافر فاقتلوه

"Di sisiku ia telah kaafir, maka bunuhlah ia" [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy]

Imam Ahmad berkata :

(والقرآن كلام الله ليس بمخلوق فمن زعم أن القرآن مخلوق فهو جهمي كافر

"Dan Al-Qur'an adalah kalaamullah, bukan makhluk. Dan barangsiapa yang mengatakan/menyangka bahwasannya Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia seorang Jahmiy kafir".

Apakah Anda berpendapat bahwa Jahmiyyah yang meniadakan seluruh sifat Allah itu tidak kafir ?.

Dan masih banyak lagi yang bisa saya tuliskan tentang perkataan para imam Ahlus-Sunnah akan kekafiran penganut paham Khalql-Qur'an. Dan memang ada konsensus akan kekafiran ini.

Ini adalah fakta, bukan sekedar reka-reka tanpa bukti.

Jika demikian, ketika mereka tidak mengkafirkan para penguasa yang telah mengatakan Khalqul-Qur'an, kira-kira kemungkinan apa yang terjadi ?. Kalau mengatakan sebagaimana yang Anda katakan (ketidakkafiran orang yang berpendapat Khalqul-Qur'an), maka itu jelas ngawur bagi saya. Maka di sini kemungkinannya adalah ada penghalang-penghalang kekafiran yang masih ada pada diri khalifah yang ditolerir oleh para ulama waktu itu, walau mungkin nasihat telah sampai.

Mungkin saja menurut Anda, jika nasihat sudah sampai, sudah tegak namanya iqaamatul-hujjah.

Kebodohan khalifah atau syubhat-syubhat yang selalu berhembus dari kalangan Mu'tazillah yang menjadi penasihat-penasihatnya ketika nasihat para ulama sampai kepadanya. Al-Ma'muun (salah satu khalifah yang hidup di jaman Imam Ahmad) adalah orang yang mencintai ilmu-ilmu Islam, adab, namun kemudian terjerembab dalam filsafat.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

O iya, apa yang saya katakan di atas sebagiannya merupakan perkataan Ibnu Taimiyyah yang disampaikan oleh Syaikh 'Abdul-'Aziiz Ar-Raajihiy dalam syarhnya atas kitab Al-Barbahaariy [sumber : sini].

Anonim mengatakan...

"...dapatkah Anda menunjukkan kepada saya bukti dari perkataan ulama salaf yang menyatakan bahwa pendapat Khalqul-Qur'an itu tidak kafir akbar sebagaimana yang Anda katakan barusan ?"
Menanggapi pertanyaan tersebut maka pertama: tampaknya ana terpaksa mengingatkan salah satu dari pernyataan antum berikut ini : "Adakah Anda mempunyai hujjah dalam kekafirannya ?. Seandainya tidak, mengapa Anda menuntut orang lain untuk mengemukakan hujjah akan ketidakkafirannya, padahal hujjah itu hanya dituntut bagi orang yang mengubah status hukum asal ?. Kaedahnya jangan dibalik-balik." Agar kita tidak terjebak pada "standar ganda" dlm berhujjah maka terhadap apa yg antum tanyakan maka seperti itu pulalah kira-kira jawaban ana, mengingat ana masih tetap memandang apa yang diyakini oleh para penguasa saat itu belumlah dapat mengeluarkan status mereka dari "hukum asal" sebagai penguasa bagi kaum muslimin.
Kedua, menetapkan sesuatu perkataan, perbuatan dan keyakinan itu merupakan "perkara kekafiran" atau bukan menurut kaidah yg telah disepakati bukanlah "domain" dari "pendapat ulama" semata2 apalagi pendapat ana dan antum. Sebab sebagaimana yg kita ketahui bersama bahwa hak tersebut adalah semata-mata wewenang Allah Subhanahu wa ta'ala lewat lisan Rasul-Nya yg mulia. Karena semata-mata menyelisihi Al-Qur'an dan As-Sunnah tidaklah berkonsekwensi kekafiran terhadap orang yg bersangkutan.

Pernyataan antum selanjutnya: "Apakah Anda berpendapat bahwa Jahmiyyah yang meniadakan seluruh sifat Allah itu tidak kafir ?."
Sekiranyapun jawaban ana "ya" maka yg menetapkan kekafiran atas kaum Jahmiyyah lah yg diminta mendatangkan dalil...dan jangan dibalik-balik.

Pernyataan antum selanjutnya: " Ini adalah fakta, bukan sekedar reka-reka tanpa bukti."
Tak ada satu pun yg antum ungkapkan menyangkut perkataan ulama yg ana tampik sebagai "fakta".
Akan tetapi menjadikan sebuah "fakta" secara otomatis dapat dijadikan sebagai "bukti" menurut ana itu adalah dua hal yg berbeda. Kisah tentang kaum Khawarij yang menyandarkan "keyakinan" mereka kepada salah satu ayat di dalam Al-Qur'an yg jelas-jelas menyebutkan kata2 "kafir" sebagai sebuah "fakta" hukum atas orang yg tidak berhukum dengan hukum Allah toh tidak serta merta menjadi "bukti" akan kebenaran klaim mereka akan kafirnya para sahabat. Cara kita "memperlakukan fakta" tampaknya memegang peranan penting dalam upaya kita untuk "membuktikan sesuatu".

Pernyataan antum selanjutnya: " Mungkin saja menurut Anda, jika nasihat sudah sampai, sudah tegak namanya iqaamatul-hujjah.". Apa yg antum ungkapkan ini tampaknya akan membuka "kemungkinan" baru bahwa Imam Ahmad "tidak melakukan Iqamatul-hujjah" dan baru "sekedar menasehati"

Pernyataan antum selanjutnya: "Kebodohan khalifah atau syubhat-syubhat yang selalu berhembus dari kalangan Mu'tazillah yang menjadi penasihat-penasihatnya ketika nasihat para ulama sampai kepadanya."
Apakah "fakta" yg antum ungkap diatas telah "luput" dari perhitungan dan pengamatan Imam Ahmad tatkala beliau berhadapan dengan penguasa ketika itu, sehingga tanpa sadar beliau akhirnya hanya memandang perlu untuk "menasehati" tanpa harus melakukan " iqamatul-hujjah" berdasarkan apa yg antum fahami ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya...ya..ya.. ini namnya tidak memahami konteks pembicaraan.

Ketika ada yang mengatakan bahwa Fulan kafir secara mu'ayyan, maka yang dituntut untuk menghadirkan bukti adalah yang mengkafirkan. Bukti ini bukan hanya sekedar dhahir perkataan dan perbuatannya itu memang termasuk katagori yang mengkafirkan pelakunya. Namun termasuk bukti adanya iqaamatul-hujjah yang sesuai dengan standar syari'at.

Anda sepertinya belum memahami hukum umum dengan hukum individu. Jelas sekali ijma' ulama Ahlus-Sunnah yang mengatakan bahwa orang yang mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk kaafir. Ijma' ini saja sudah merupakan hujjah tersendiri. Adapun hukum secara individu (apakah Fulan kafir atau tidak), maka ini lain. Tidakkah Anda memahaminya ?. Atau dengan kata lain, seorang muslim tidaklah dikafirkan hanya dengan perkataan, perbuatan, atau keyakinannya kecuali setelah ditegakkan padanya hujjah dan disingkapkan segala syubuhaat sehingga tegak syarat-syarat pengkafiran.

Jika Imam Ahmad dan ulama lain sangat jelas dalam perkataannya mengkafirkan orang yang mengatakan Khalqul-Qur'aan, sementara di sisi lain beliau tidak mengkafirkan Al-Ma'muun yang telah mengatakan Khalqul-Qur'an, lantas apa kemungkinannya ?, Telah saya sebutkan setidaknya ada 2 kemungkinan :

1. Imam Ahmad dan ulama lain tidak menganggap orang yang mengatakan Khalqul-Qur'an itu kufur akbar, namun cuma kufur ashghar. Ini yang Anda katakan. Dan tentu saja ini keliru berat, namun Anda berusaha tidak mengakuinya dengan apologi2 di atas. Ini satu catatan tersendiri tentunya.

2. Imam Ahmad menganggap bahwa belum tegak padanya (Al-Ma'muun) syarat-syarat pengkafiran, walau nasihat telah sampai padanya. Mereka (ulama) tidak mengkafirkan Al-Ma'muun karena ada penghalang-penghalang kekafiran, walau ia (Al-Ma'muun) telah mengatakan kalimat kekufuran.

Nah, para ulama, semisal Ibnu Taimiyyah sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ar-Raajihiy, menjelaskan seperti itu.

Kalau antum tidak terima dengan penjelasan ini dan tetap menganggap bahwa orang yang mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk hanya melakukan kufur ashghar, ya silakan.

Hanya saja saya beritahukan kepada Anda, pendapat Anda itu salah. Semoga Anda menyadarinya dan segera rujuk darinya.

Seandainya Anda tetap menganggap apa yang saya katakan ini keliru, maka saya telah melakukan tugas yang seharusnya saya lakukan, yaitu bersandar pada perkataan/penjelasan ulama.



NB : Anda di atas telah berstatement. Tentu saja orang yang berstatement harus mampu menunjukkan kerangka pendalilan dengan bukti-bukti yang valid. Sayangnya, Anda tidak melakukan itu.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ini soal jawab yang dilakukan kepada Syaikh Ar-Raajihiy hafidhahullah :

القول في تكفير المأمون

السؤال: سمعت الشيخ عبد العزيز بن باز رحمه الله في شريط يكفر المأمون لقوله بخلق القرآن، فهل يصح هذا عن الشيخ؟

الجواب: لم أسمعه، ولكن القاعدة أن المعين لا يكفر بعينه حتى تقوم عليه الحجة، و المأمون قد لبس عليه المعتزلة، وهو الذي أمر بترجمة كتب اليونان والرومان، فدخل على المسلمين منها شر كثير، ولهذا قال شيخ الإسلام ابن تيمية : ما أظن أن الله يغفل عن المأمون هكذا، ولكنه لم يكفره، حتى إن الإمام أحمد ما كفره ودعا له، وأظنه صلى خلفه وحلله أيضاً؛ لأن له شبهة فقد لبس عليه المعتزلة، ولا أظن أن سماحة الشيخ ابن باز يكفره بعينه.

Jawaban yang beliau berikan yang menukil dari Ibnu Taimiyyah sesuai dengan apa yang saya sampaikan (ya karena saya mengambil pelajaran dari sini).

Padahal sebelumnya Syaikh Ar-Raajihiy telah membacakan nash dari Al-Barbahaariy yang mengatakan :

قال المؤلف رحمه الله تعالى: [ وقال بعض العلماء منهم أحمد بن حنبل رضي الله عنه: الجهمي كافر، ليس من أهل القبلة، حلال الدم

"Imam Ahmad mengatakan bahwa Jahmiy itu kafir, bukan termasuk ahli kiblat, halal ditumpahkan darahnya..."

Pernyataan protes Anda bisa Anda layangkan kepada Syaikh Ar-Raajihiy. Namun sebelumnya, sebaiknya Anda pun berusaha menghisab diri dulu sebelum melayangkan nota protes, apakah statement Anda di atas itu memang benar atau bagaimana ?.

Anonim mengatakan...

Dua pernyataan antum: " Jika Imam Ahmad dan ulama lain sangat jelas dalam perkataannya ......,dan.."...maka saya telah melakukan tugas yang seharusnya saya lakukan, yaitu bersandar pada perkataan/penjelasan ulama". Maka sekiranya dua pernyataan antum diatas dapat dijadikan "standar" bagi "pembuktian kebenaran" atas apa yg kita "perselisihkan" maka betapa banyaknya fenomena perselisihan yg seharusnya sudah terselesaikan dari dulu-dulu disebabkan masing-masing pihak yg berselisih telah menyandarkan pendapatnya masing2 pada "perkataan para ulama". Inilah yg saya maksud pada perkataan saya yg sebelumnya bahwa: cara kita "memperlakukan fakta" tampaknya memegang peranan penting dalam upaya kita untuk "membuktikan sesuatu", yang mungkin bagi antum apa yg ana katakan ini hanya sekedar "apologi".

Terkait saran/nasihat antum yg satu ini: " Hanya saja saya beritahukan kepada Anda, pendapat Anda itu salah. Semoga Anda menyadarinya dan segera rujuk darinya", maka mungkin akan saya per-timbangkan manakala "pendapat yg benar itu" yg di klaim berpihak pada antum saat ini diiringi dgn bukti-bukti yg meyakinkan.
Sebab sejauh yg ana amati, terkait upaya penyandaran terhadap "perkataan para ulama" yg tengah antum lakukan atas "kebenaran" yg antum yakini , barulah merupakan "upaya mengungkap fakta" dan tidak sedang "membuktikan apa-apa", melainkan sekedar "membangun kemungkinan-kemungkinan". Dan tentu saja ini bukan termasuk "bukti".
Kalau saya boleh sedikit melakukan 'analisa', maka pokok pangkal perkara yg menjadikan cara pandang antum seperti yg ada sekarang ini, maka sedikit banyaknya dipengaruhi oleh "pilihan konsepsional" menyangkut definisi atas apa yg dimaksudkan dengan istilah "iqomatul hujjah" oleh para ulama. Dimana "kefahaman" oleh orang yg ditegakkan hujjah atasnya sebagai "prasyarat" untuk menentukan apakah suatu prilaku atas obyek dakwah itu dapat dikategorikan sebagai tindakan "iqomatul hujjah" ataukah hanya sekedar penyampaian "nasehat". Atas dasar konsepsi inilah -setidaknya menurut ana- yg "memaksa" antum untuk menyatakan :" "Ada kemungkinan masih terdapat penghalang-penghalang kekafiran sehingga para ulama tidak mengkafirkan penguasa pada waktu itu..bla...bla..dst nya. Dan diatas kemungkinan-kemungkinan inilah selanjutnya antum mempertahankan "prasangka" akan status "kufur akbar"- nya orang yg mengatakan Al-Qur'an adalah mahluk.

Yang menarik dari 'analisa' yg singkat tadi, terkait dengan "pilihan konsepsional" atas apa yg termasuk dalam ruang lingkup "iqomqtul hujjah" dan apa yg tidak, maka tampaknya antum memiliki "posisi bersebrangan" dengan Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi di dalam memahami hal tersebut.
Guna menanggapi adanya "perbedaan" ini, maka ijinkan ana mengutip apa yang telah antum katakan kepada ana sebelumnya: "Pernyataan protes Anda bisa Anda layangkan kepada Syaikh Ar-Raajihiy. Namun sebelumnya, sebaiknya Anda pun berusaha menghisab diri dulu sebelum melayangkan nota protes, apakah statement Anda di atas itu memang benar atau bagaimana ?. " .Sekian....wassalam

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Daripada berputar-putar kata seperti di atas, lebih baik Anda nukilkan perkataan ulama yang menurut Anda dapat sedikit menolong hujjah Anda. Termasuk klaim Anda bahwa masalah kufur akbarnya permasalahan Khalqul-Qur'an hanyalah sekedar 'prasangka' saja, khususnya 'prasangka' saya. Maka, tolong, jika tidak keberatan, bawakan perkataan ulama - khususnya ulama di jaman Imam Ahmad - yang mengatakan itu bukan kufur akbar. Gimana ? Soalnya, dari kemarin yang saya baca hanya sekedar opini Anda saja. Bukankah di kahir perkataan, Anda menyatakan bahwa ini adalah 'perbedaan'.

Mari kita lihat, apakah perbedaan itu adalah perbedaan di kalangan ulama, perbedaan antara ulama dengan opini saya, atau perbedaan antara ulama dengan opini Anda ?. Jika memang yang terbukti adalah opsi pertama (yaitu perbedaan di kalangan ulama), okey itu kita anggap kita harus berluas-luas diri atas hal tersebut. Namun jika yang adalah opsi 2 dan 3, ya marilah kita berlapang dada. Tidak perlu kita mempertahankan pendapat yang terbangun oleh karangan kita semata. Sepakat ?.

Syarat (bukan prasyarat) iqaamatul-hujjah adalah kepahaman. Saya rasa itu bukan sesuatu hal yang asing. Ibnu Taimiyyah banyak menjelaskan hal ini dalam kitab Majmu' nya.

Di bawah akan saya nukilkan sedikit perkataan para ulama yang semasa dengan imam Ahmad yang menunjukkan bahwa masalah Khalqul-Qur'an adalah kafir akbar :

Yuusuf bin Yahyaa Al-Buwaithiy rahimahullah (w. 231/232 H).

أخبرنا أبو عبد الله الحافظ قال : سمعت أبا أحمد الحسين بن علي يقول : سمعت أبا بكر بن إسحاق يقول : سمعت الربيع يقول : سمعت البويطي يقول : من قال القرآن مخلوق فهو كافر، قال الله عز وجل (إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ) [النحل : ٤٠]. فأخبرنا الله عز وجل أنه يخلق الخلق بنكن، فمن زعم أن كن مخلوق فقد زعم أن الله تعالى يخلق الخلق بخلق

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ’Abdillah Al-Haafidh, ia berkata : Aku mendengar Abu Ahmad Al-Husain bin ’Aliy berkata : Aku mendengar Abu Bakr bin Ishaaq berkata : Aku mendengar Ar-Rabii’ berkata : Aku mendengar Al-Buwaithiy berkata : ”Barangsiapa yang berkata Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir. Allah ’azza wa jalla telah berfirman : ’Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia’ (QS. An-Nahl : 40). Maka Allah ’azza wa jalla telah mengkhabarkan kepada kita bahwasannya Ia menciptakan makhluk dengan (firman-Nya) : ’Kun’. Barangsiapa yang mengatakan bahwasannya (firman-Nya) ’Kun’ adalah makhluk, maka sungguh ia telah mengatakan bahwasannya Allah ta’ala menciptakan makhluk dengan makhluk” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat, 1/613-614 no. 556, tahqiq : ’Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidiy; Maktabah As-Suwaadiy - shahih].

Ishaaq bin Rahawaih rahimahullah (w. 238 H).

حدثنا أبو بكر محمد بن بكر، قال : حدثنا أبو داود السجستاني، قال : سمعت إسحاق بن راهويه يقول : من قال لا أقول القرآن مخلوق ولا غير مخلوق، فهو جهمي

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Daawud As-Sijistaaniy, ia berkata : Aku mendengar Ishaaq bin Rahawaih berkata : “Barangsiapa yang berkata : ‘Aku tidak mengatakan Al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk’, maka ia seorang Jahmiy (kafir)” [Diriwayatkan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah : Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah, 1/298-299 no. 77, tahqiq : Dr. Yuusuf bin ‘Abdillah Al-Waabil; Daarur-Raayah, Cet. 1/1415 H – shahih].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Atau ulama pada thabaqaat sedikit di atas Ahmad bin Hanbal yang merasakan dahsyatnya fitnah Khalqul-Qur'an :

’Abdullah bin Idriis rahimahullah (w. 192 H).

حدثني أحمد بن إبراهيم حدثني يحيى بن يوسف الزمي قال حضرت عبد الله بن أدريس فقال له رجل يا أبا محمد ان قبلنا ناسا يقولون ان القرآن مخلوق فقال من اليهود قال لا قال فمن النصارى قال لا قال فمن المجوس قال لا قال فممن قال من الموحدين قال كذبوا ليس هؤلاء بموحدين هؤلاء زنادقة من زعم ان القرآن مخلوق فقد زعم أن الله عزوجل مخلوق ومن زعم ان الله تعالى مخلوق فقد كفر هؤلاء زنادقة هؤلاء زنادقة

Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim : Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Yuusuf Ar-Ramziy, ia berkata : Aku menghadiri (majelis) ’Abdullah bin Idriis, lalu ada seorang laki-laki berkata kepadanya : ”Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya orang-orang sebelum kami ada yng mengatakan Al-Qur’an itu makhluk”. Ia (Ibnu Idriis) berkata : ”Dari kalangan Yahudi ?”. Orang itu menjawab : ”Bukan”. Ia berkata : ”Dari kalangan orang Nashara ?”. Orang itu menjawab : ”Bukan”. Ia berkata : ”Dari kalangan Majusi ?”. Orang itu menjawab : ”Bukan”. Ia berkata : ”Lalu dari kalangan mana ?”. Orang itu berkata : ”Dari kalangan muwahhidiin (kaum muslimin)”. Ia berkata : ”Mereka dusta. Mereka bukanlah muwahhidiin (orang yang mentauhidkan Allah). Mereka adalah kaum zindiq. Barangsiapa yang mengatakan bahwasannya Al-Qur’an adalah makhluk, maka sama saja ia telah berkata Allah ’azza wa jalla adalah makhluk. Dan barangsiapa yang mengatakan Allah ta’ala adalah makhluk, sungguh ia telah kafir. Mereka itu kaum zindiq, mereka itu kaum zindiq” [Diriwayatkan oleh ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah, 1/113-114 no. 29a, tahqiq & takhrij : Dr. Muhammad bin Sa’iid Al-Qahthaaniy; Daar ’Aalamil-Kutub, Cet. 4/1416 H - shahih].

‘Abdurrahman bin Mahdiy rahimahullah (w. 198 H).

حدثني أبي رحمه الله سمعت عبد الرحمن بن مهدي يقول من زعم أن الله تعالى لم يكلم موسى صلوات الله عليه يستتاب فان تاب والا ضربت عنقه

Telah menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Aku mendengar ‘Abdurrahman bin Mahdiy berkata : “Barangsiapa yang berkata bahwasannya Allah ta’ala tidak berbicara kepada Muusaa, maka ia diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, maka diterima, dan jika tidak, ditebas batang lehernya” [Diriwayatkan oleh ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah, 1/119-120 no. 44, tahqiq & takhrij : Dr. Muhammad bin Sa’iid Al-Qahthaaniy; Daar ’Aalamil-Kutub, Cet. 4/1416 H - shahih].

حدثني هارون بن عبد الله الحمال حدثنا إبراهيم بن زياد سبلان قال سمعت عبد الرحمن بن مهدي يقول لو كان لي من الأمر شيء لقمت على الجسر فلا يمر بي أحد من الجهمية إلا سألته عن القرآن فان قال انه مخلوق ضربت رأسه ورميت به في الماء

Telah menceritakan kepadaku Haaruun bin ‘Abdillah Al-Hammal : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Ziyaad Sablaan, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy berkata : “Seandainya aku mempunyai kekuasaan, sungguh aku akan berdiri di atas jembatan. Tidak ada seorangpun yang melewatiku dari kalangan Jahmiyyah kecuali aku akan tanya kepadanya tentang Al-Qur’an. Seandainya ia menjawab makhluk, aku penggal kepalanya, lalu aku buang ke air sungai” [Diriwayatkan oleh ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah, 1/120 no. 46, tahqiq & takhrij : Dr. Muhammad bin Sa’iid Al-Qahthaaniy; Daar ’Aalamil-Kutub, Cet. 4/1416 H - shahih].

Jika Anda bertanya hujjah kafir akbarnya orang yang mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk, maka Imam Ahmad menjawab sebagai berikut :

’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :

سمعتُ أبي رحمه الله يقول من قال القرآن مخلوق فهو عندنا كافر لأن القرآن من علم الله عز وجل وفيه أسماء الله عز وجل

Aku mendengar ayahku rahimahullah berkata : ”Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an itu makhluk, maka ia kafir di sisi kami, karena Al-Qur’an termasuk ilmu Allah ’azza wa jalla, dan di dalamnya terdapat nama-nama Allah ’azza wa jalla” [As-Sunnah, 1/102 no. 1, tahqiq & takhrij : Dr. Muhammad bin Sa’iid Al-Qahthaaniy; Daar ’Aalamil-Kutub, Cet. 4/1416 H].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

سمعتُ أبي رحمه الله يقول من قال القرآن مخلوق فهو عندنا كافر لأن القرآن من علم الله عز وجل قال الله عز وجل : ﴿فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ ...﴾. وقال عز وجل : ﴿وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ﴾. وقال عزوجل : ﴿وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَّا تَبِعُواْ قِبْلَتَكَ وَمَا أَنتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُم بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم مِّن بَعْدِ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذَاً لَّمِنَ الظَّالِمِينَ﴾. وقال عز وجل : ﴿أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ﴾. قال أبي رحمه الله : والخلق غير الأمر. وقال عز وجل : ﴿وَمَن يَكْفُرْ بِهِ مِنَ الأَحْزَابِ ...﴾. قال أبي رحمه الله قال سعيد بن جبير والاحزاب الملل كلها فالنار موعده . وقال عزوجل : ﴿وَمِنَ الأَحْزَابِ مَن يُنكِرُ بَعْضَهُ قُلْ إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ وَلا أُشْرِكَ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُو وَإِلَيْهِ مَآبِ * وَكَذَلِكَ أَنزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ وَاقٍ﴾.

Aku mendengar ayahku berkata : “Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an itu makhluk, maka ia kafir di sisi kami, karena Al-Qur’an termasuk ilmu Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu)’ (QS. Aali ‘Imraan : 61). ‘Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu’ (QS. Al-Baqarah : 120). ‘Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang lalim’ (QS. Al-Baqarah : 145). ‘Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam’ (QS. Al-A’raf : 54)”. Ayahku berkata : “Al-Khalq itu bukan Al-Amr (Al-Qur’an). Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Qur'an’ (QS. Huud : 17)”. Ayahku rahimahullah berkata : Telah berkata Sa’iid bin Jubair : ‘Dan makna al-ahzaab adalah seluruh agama (selain Islam), dan neraka adalah tempat yang diancamkan baginya’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Dan di antara golongan-golongan (Yahudi dan Nasrani) yang bersekutu, ada yang mengingkari sebahagiannya. Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali". Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah’ (QS. Ar-Ra’ : 36-37)” [As-Sunnah, 1/103 no. 3, tahqiq & takhrij : Dr. Muhammad bin Sa’iid Al-Qahthaaniy; Daar ’Aalamil-Kutub, Cet. 4/1416 H].

Semoga ada manfaatnya.

Anonim mengatakan...

"Daripada berputar-putar kata seperti di atas, lebih baik Anda nukilkan perkataan ulama yang menurut Anda dapat sedikit menolong hujjah Anda. Termasuk klaim Anda bahwa masalah kufur akbarnya permasalahan Khalqul-Qur'an hanyalah sekedar 'prasangka' saja, khususnya 'prasangka' saya. Maka, tolong, jika tidak keberatan, bawakan perkataan ulama - khususnya ulama di jaman Imam Ahmad - yang mengatakan itu bukan kufur akbar. Gimana ?..."
Ana merasa sedikit kebingungan atas "ungkapan" antum diatas, sebab secara substansi tidak ada perbedaan nya dengan "ungkapan" antum sebelum nya on 3 Juli 2011 11:49, yaitu : "...dapatkah Anda menunjukkan kepada saya bukti dari perkataan ulama salaf yang menyatakan bahwa pendapat Khalqul-Qur'an itu tidak kafir akbar sebagaimana yang Anda katakan barusan ?". Oleh kerenanya entah siapa yg "berputar-putar kata" dlm hal ini? Ana ataukah Antum?

Dan yang membuat ana tidak habis pikir adalah ungkapan antum yg mengatakan: "Seandainya Anda tetap menganggap apa yang saya katakan ini keliru, maka saya telah melakukan tugas yang seharusnya saya lakukan, yaitu bersandar pada perkataan/penjelasan ulama..." ,lantas apa gunanya antum menurunkan lagi seluruh "perkataan ulama" terkait masalah yg sama, toh hal itu hanya sekedar menambah daftar panjang "fakta" tetapi tidak menghasilkan "bukti apa-apa" selain pencerminan sikap "takalluf" dari antum.
Dan yg terakhir terkait ungkapan " berputar-putar kata" yg antum lontarkan tampaknya menjadi "sinyal" bagi ana untuk saatnya mengakhiri diskusi terkait tema yg dibahas saat ini, sekaligus ana ingin mengucapkan jazakallohu khair dan permohonan maaf sekiranya ana tidak bisa memenuhi dan mewujudkan seluruh adab-adab selama berlangsungnya diskusi ini.

Akhukum : Muhammad Saleh

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sebelumnya, terima kasih atas partisipasinya.

Sebenarnya dari kemarin saya sudah dapat menangkap esensi perkataan Anda, yaitu :

"Justru sikap Imam Ahmad yg tidak pernah mencabut ketaatan secara "mutlak" kepada penguasa ketika itu tatkala seluruh upaya penegakan hujjah dan dihilangkannya syubhat telah dilakukan, dapat menjadi bukti bahwa para ulama pada masa itu tidak memandang bahwa "keyakinan" para penguasa tersebut telah membuat mereka terjatuh pada perkara "kufur akbar" yg berkonsekwensi membatalkan "keislaman" mereka".

Ya, inilah inti perkataan Anda, yang sangat tidak saya sepakati. Permulaan perkataan Anda dengan kalimat 'justru' merupakan statement yang menunjukkan keyakinan Anda atas kalimat setelahnya. Kalimat ini mempunyai (setidaknya) 2 premis sebagai berikut :

1. Pernyataan Anda bahwa Imam Ahmad dan para ulama lain telah menegakkan hujjah kepada khalifah (Ma'muun pada khususnya) dan mengerahkan segala upayanya sehingga tidak ada ruang lagi untuk Khalifah untuk menyatakan tidak tahu atau alasan-alasan lain yang merupakan mawaani' takfir.

2. Pernyataan Anda bahwa Imam Ahmad dan ulama lain tidak mengkafirkan khalifah.

Dari dua premis di atas Anda membangun kesimpulan bahwa perkataan dan keyakinan Khalqul-Qur'an bukan kafir akbar menurut ulama, lebih khusus Imam Ahmad, sehingga mereka tidak keluar ketaatan dari penguasa.

Penarikan kesimpulan ini adalah salah berat. Pertama, premis 1 Anda bukanlah fakta, tapi dugaan semata, sehingga tidak layak dijadikan untuk membangun kesimpulan. Kedua, Anda membangun kesimpulan pada suatu hal yang sudah merupakan fakta. Tragisnya, kesimpulan tadi menyalahi fakta yang telah ada. Menurut saya wajar, karena kerangka logika di atas sudah salah sejak awal.

Apa faktanya ?. Faktanya adalah Imam Ahmad mengkafirkan (akbar) orang yang berpendapat Khalqul-Qur'an. Di atas telah saya sebutkan. Nah, bagaimana Anda bisa membangun kesimpulan yang berbeda dengan fakta ?. Maaf jika saya menulis dengan bahasa logika karena sepertinya Anda senang dengan bahasa-bahasa seperti ini (walau - maaf - seringkali tidak nyambung satu dengan yang lainnnya).

Dapatkan Anda mempertanggungjawabkan kesimpulan Anda yang menyalahi fakta bahwa Imam Ahmad mengkafirkan orang yang berpendapat Khalqul-Qur'an ?.

Tentu sangat wajar jika saya memanyakan demikan. Disamping bukti pernyataan Imam Ahmad (dan ulama lain telah saya sampaikan), permintaan klarifikasi kesimpulan yang menyalahi fakta (atau bisa dikatakan : teori umum) ini sangat biasa dalam klarifikasi scientific.

Nah,... anehnya, Anda tidak memenuhi itu malah melebarkan perkataan yang kurang ada relevansinya dengan pemecahan konklusi Anda yang menyalahi fakta, yaitu Imam Ahmad mengkafirkan orang Jahmiy yang berpendapat Khalqul-Qur'an. Apakah Anda tidak merasakan keanehan metodologi diskusi Anda ?.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kemudian,... Anda mengkritik metode penarikan kesimpulan saya yang menjustifikasi bahwa Imam Ahmad tidak mengkafirkan penguasa karena padanya masih ada penghalang-penghalang kekafiran (walau mungkin telah sampai padanya nasihat). Kesimpulan ini saya kemukakan pada tiga premis secara tersirat :

1. Kafirnya orang yang berpendapat Khalqul-Qur'an.

2. Seorang muslim tidak dikafirkan hanya dengan perkataan, perbuatan, dan keyakinannya kecuali setelah ditegakkannya hujjah dan disingkarkannya penghalang-penghalang kekafiran, sehingga tegak padanya syarat-syarat pengkafiran.

3. Al-Ma'mun yang berpendapat Khalqul-Qur'an tidak dikafirkan oleh Imam Ahmad dan ulama lainnya.

Saya rasa, kesimpulan ini ini jauh lebih logis daripada kesimpulan yang Anda ambil. Tidak ada fakta atau kaedah (atau teori dalam bahasa scientific-nya) yang terlanggar atas kesimpulan ini. Lebih khusus lagi, apa yang saya tuliskan ini berdasarkan penjelasan Syaikh Ar-Raajihiy yang menukil dari Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa Al-Ma'mun tidak dikafirkan karena dilingkupi syubhat. Dan keberadaan syubhat ini merupakan penghalang kekafiran.

Kesimpulan ini diperkuat lagi pada fakta lain bahwasannya Imam Ahmad mengkafirkan Ibnu Abi Du'ad pentolan Jahmiyyah yang berpendapat Khalqul-Qur'an - sebagaimana direport oleh Al-Khallaal.

Anyway, sekali lagi, terima kasih atas partisipasinya. Saya berharap, jika apa yang saya sampaikan kali ini belum Anda pahami, saya harap lain waktu dapat terpahami. Atau bahkan jika apa yang saya sampaikan ini memang keliru, maka tolong dikoreksi dengan bahasa yang lugas, ilmiah, dan logik; Anda atau siapa saja.

Wallaahul-musta'aan.

insidewinme mengatakan...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

Anonim mengatakan...

@~ Insidewinme:
Benar sekali, dan pada masa itu Rasulullah tidak langsung menggunakan pedang, melainkan dengan dakwah tauhid & perbaikan akhlak.