Diantara
pokok ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah yang dijelaskan para ulama kita
semenjak dahulu hingga sekarang adalah mendengar dan taat kepada penguasa
muslim, baik yang ‘adil maupun yang faajir (jahat/dhalim), tidak
melakukan pemberontakan terhadap mereka, dan senantiasa mendoakan kebaikan bagi mereka
(penguasa) agar dapat mengemban urusan umat, karena kebaikan mereka adalah
kebaikan bagi rakyatnya dan keburukan mereka pun menjadi keburukan bagi
rakyatnya. Nabi ﷺ
bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟
قَالَ: لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ،
وَعَامَّتِهِمْ
“Agama
adalah nasihat”. Kami (para sahabat) bertanya : “Untuk siapa ?”. Beliau ﷺ menjawab : “(Nasihat) kepada Allah,
kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 55, Abu Daawud no. 4944, Ahmad 4/102, An-Nasaa’iy
no. 4197-4198, Ibnu Hibbaan no. 4574, dan yang lainnya].
Diantara
bentuk nasihat kepada para pemimpin adalah mendoakan kebaikan kepada mereka.
Ibnu
Shalah rahimahullah (w. 643 H) menjelaskan :
والنصيحة لأئمة المسلمين : معاونتُهم على
الحق ، وطاعتُهم فيه ، وتذكيرهم به ، وتنبيههم في رفق ولطف ، ومجانبة الوثوب عليهم
، والدعاء لهم بالتوفيق وحث الأغيار على ذلك
“Nasihat
untuk para pemimpin kaum muslimin adalah membantu mereka di atas kebenaran,
taat kepada mereka dalam hal tersebut, mengingatkan mereka kepadanya,
menasihati/mengingatkan mereka untuk bersikap santun dan lemah lembut, tidak
menyerang/memberontak kepada mereka, mendoakan mereka agar diberikan taufiq,
serta menganjurkan manusia untuk melakukan semua hal itu” [Lihat : Shiyaanatu
Shahiih Muslim, hal. 223-224 – melalui perantaraan Jaami’ul-‘Ulum
wal-Hikam, 1/233].
Ibnu
Daqiiqil-‘Ied rahimahullah (w. 702 H) menjelaskan:
وأمَّا النصيحةُ لأئمَّةِ المسلمين:
فمُعاوَنَتُهم على الحقِّ وطاعتُهم وأَمْرُهم به، وتنبيهُهم وتذكيرُهم برِفْقٍ
ولُطْفٍ، وإعلامُهم بما غَفَلوا عنه، وتبليغُهم مِنْ حقوق المسلمين، وتركُ الخروجِ
عليهم بالسيف، وتأليفُ قلوبِ الناس لطاعتِهم، والصلاةُ خَلْفَهم، والجهادُ معهم،
وأَنْ يَدْعُوَ لهم بالصلاح
“Adapun
nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin, maka itu dilakukan dengan membantu
mereka di atas kebenaran, mentaati mereka dan memerintahkan mereka untuk
mengikuti kebenaran, memperingatkan dan mengingatkan mereka dengan santun dan
lemah-lembut, memberitahu mereka apa yang mereka lalaikan dan agar menunaikan
hak-hak kaum muslimin, meninggalkan sikap memberontak mengangkat senjata kepada
mereka, menyatukan hati manusia agar mentaati mereka, shalat di belakang
mereka, berjihad bersama mereka, serta mendoakan kebaikan untuk mereka” [Syarh
Al-Arba’iin An-Nawawiyyah, hal. 53].
Senada
dengan itu, Al-Manawiy rahimahullah berkata:
(ولأئمة المسلمين) الخلفاء ونوابهم بمعاونتهم
على الحق وإطاعتهم فيه وأمرهم به وتذكيرهم برفق وإعلامهم بما غفلوا عنه من حق
المسلمين وترك الخروج عليهم والدعاء بصلاحهم
“Dan
nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin’; yaitu para penguasa dan
pembantu mereka dengan cara menolong mereka di atas kebenaran, mematuhi mereka
di atas kebenaran, memerintahkan mereka untuk mengikuti kebenaran, mengingatkan
mereka dengan lemah lembut, memberitahukan apa yang mereka lalai darinya
tentang pemenuhan hak kaum muslimin, meninggalkan sikap memberontak terhadap
mereka, serta mendoakan kebaikan untuk mereka” [Faidlul-Qadiir,
2/415].
Para
ulama sangat menekankan anjuran untuk senantiasa mendoakan kebaikan bagi
mereka, dan bahkan sebagiannya menuliskannya secara khusus dalam kitab-kitab
mereka yang menjelaskan prinsip-prinsip Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah yang
membedakannya dengan ahli bid’ah.
Al-Imaam
Ahmad bin Hanbal rahimahumallah berkata:
وَإِنِّي لأَدْعُو لَهُ بِالتَّسْدِيدِ،
وَالتَّوْفِيقِ، فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَالتَّأْيِيدِ، وَأَرَى لَهُ ذَلِكَ
وَاجِبًا عَلَيَّ
“Dan
sesungguhnya aku benar-benar mendoakannya malam dan siang agar Allah ﷻ meluruskannya, memberikan taufiq kepadanya,
dan menguatkannya (di atas kebenaran). Dan aku memandang hal itu wajib bagiku”
[Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 15; shahih].
Ath-Thahawiy
rahimahullah (w. 321 H) berkata:
ولا نرى الخروجَ على أئمتنا وولاةِ أُمورنا
وإن جارُوا، ولا ندعُو عليهم، ولا ننزعُ يداً من طاعتهم، ونرى طاعَتهم من طاعة
الله عزَّ وجل فريضةً ما لم يأمروا بمعصيةٍ، وندعُو لهم بالصلاح والمعافاة
“Dan
kami tidak berpandangan bolehnya memberontak terhadap para pemimpin dan
penguasa kami meskipun mereka jahat. Kami juga tidak mendoakan keburukan atas
mereka dan tidak melepas ketaatan dari mereka. Kami juga berpendapat bahwa
ketaatan terhadap mereka termasuk ketaatan kepada Allah ﷻ yang wajib dilakukan, selama mereka
tidak memerintahkan maksiat. Dan kami mendoakan kebaikan dan ampunan untuk
mereka” [Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah hal. 24 no. 95].
Al-Barbaahaariy
rahimahullah (w. 329 H) berkata :
ومن قال الصلاة خلف كل بر وفاجر والجهاد مع
كل خليفة ولم ير الخروج على السلطان بالسيف ودعا لهم بالصلاح فقد خرج من قول
الخوارج أوله وآخره
“Barangsiapa
berkata : ‘(sah) shalat di belakang orang yang baik ataupun jahat, jihad
bersama semua khaliifah, tidak berpendapat bolehnya keluar ketaatan dari
sulthaan dengan pedang, dan mendoakan kebaikan untuk mereka; sungguh ia telah
keluar dari perkataan Khawaarij mulai awal hingga akhirnya” [Syarhus-Sunnah,
hal. 132 – tahqiq : Khaalid Ar-Raddadiy].
Muhammad
bin Al-Husain Al-Aajurriy rahimahullah (w. 360 H) berkata:
قَدْ ذَكَرْتُ مِنَ التَّحْذِيرِ مِنْ
مَذَاهِبِ الْخَوَارِجِ مَا فِيهِ بَلاغٌ لِمَنْ عَصَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ
مَذْهَبِ الْخَوَارِجِ، وَلَمْ يَرَ رَأْيَهُمْ، وَصَبَرَ عَلَى جَوْرِ
الأَئِمَّةِ، وَحَيْفِ الأُمَرَاءِ، وَلَمْ يَخْرُجْ عَلَيْهِمْ بِسَيْفِهِ،
وَسَأَلَ اللَّهَ تَعَالَى كَشْفَ الظُّلْمِ عَنْهُ، وَعَنِ الْمُسْلِمِينَ،
وَدَعَا لِلْوُلاةِ بِالصَّلاحِ
“Dan
aku telah menyebutkan tentang peringatan dari (kejelekan) madzhab Khawaarij
yang padanya berisi penjelasan bagi orang yang dilindungi Allah ﷻ dari madzhab Khawaarij tersebut, tidak
memegang pendapat mereka, sabar terhadap kejahatan para imam, kedhaliman para
penguasa, tidak keluar ketaatan terhadap mereka (memberontak) dengan senjata, memohon
kepada Allah ﷻ
untuk menghilangkan kedhaliman darinya (penguasa) dan kaum muslimin, serta
mendoakan kebaikan bagi para penguasa….” [Asy-Syarii’ah, 1/157].
Abu
Bakr Al-Ismaa’iiliy rahimahullah (w. 371 H) berkata saat menjelaskan
poin-poin ‘aqidah Ahlus-Sunnah:
ويرون جهاد الكفار معهم وإن كانوا جورةً.
ويرون الدعاء لهم بالإصلاح والعطف إلى العدل. ولا يرون الخروج بالسيف عليهم
“Dan
Ahlus-Sunnah berpendapat disyari’atkannya jihad melawan orang-orang kafir
bersama mereka (penguasa) meskipun jahat. Dan Ahlus-Sunnah juga berpendapat
dianjurkannya mendoakan mereka kebaikan dan condong pada keadilan. Ahlus-Sunnah
tidak berpendapat bolehnya memberontak dengan senjata terhadap mereka…” [Al-I’tiqaad,
hal. 56].
Abu
‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah (w. 449 H) berkata:
يرى أصحاب الحديث: الجمعة، والعيدين،
وغيرهما من الصلوات، خلف كلِّ إمام مسلم، برَّاً كان أو فاجراً، ويرون جهاد الكفرة
معهم وإن كانوا جورة فجرة، ويرون الدُّعاء لهم بالإصلاح والتوفيق والصلاح
“Para
ahli hadits (ashhaabul-hadiits) berpendapat sahnya shalat Jum’at, ‘Iedain,
dan shalat-shalat yang lain di belakang semua imam muslim yang baik maupun
yang jahat. Dan ahli hadits berpendapat disyari’atkannya jihad melawan
orang-orang kafir bersama mereka meskipun mereka dhalim lagi jahat. Dan ahli
hadits berpendapat dianjurkannya mendoakan mereka agar Allah perbaiki
keadaannya, mendapatkan taufik, dan kebaikan, serta menyebarkan keadilan
terhadap rakyatnya…” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits hal. 78].
Apa
hikmah mendoakan kebaikan bagi penguasa ?
Al-Fudlail
bin ‘Iyaadl rahimahullah berkata:
لو كانت لي دعوة مستجابة ما جعلتها إلا في
السلطان. قيل له: يا أبا عليٍّ: فسِّر لنا هذا؟. قال: إذا جعلتها في نفسي لم
تَعْدُني، وإذا جعلتها في السلطان صَلُح، فصَلُحَ بصلاحه العباد والبلاد.
“Seandainya
aku mempunyai doa mustajab (dikabulkan oleh Allah), tidak akan aku tujukan
doa itu kecuali untuk penguasa/sulthaan”. Dikatakan kepadanya : “Wahai Abu
‘Aliy, jelaskankan hal ini kepada kami”. Ia (Fudlail) berkata : “Apabila aku tujukan
doa itu hanya untuk diriku, maka tidak akan melampauiku (hanya untukku – Abul-Jauzaa’).
Namun apabila aku tujukan doa itu kepada sulthan lalu ia menjadi baik, maka
manusia dan negeri akan menjadi baik dengan kebaikan yang ada padanya”
[Diriwayatkan oleh Al-Barbahaariy dalam Syarhus-Sunnah no. 136 hal.
116-117; shahih. Dibawakan juga oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh
Ushuulil-I’tiqaad, 1/176].
Ibnul-Mubaarak
(w. 181) berkata mengomentari ucapan Al-Fudlail rahimahumallah di atas:
يَا مُعَلِّمَ الْخَيْرِ، مَنْ يَجْتَرِئُ
عَلَى هَذَا غَيْرُكَ
“Wahai
orang yang mengajarkan kebaikan, tidak ada orang yang berani mengatakannya
kecuali engkau” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/176].
Al-Baihaqiy
menukil perkataan Abu ‘Utsmaan rahimahumallah:
فَانْصَحْ لِلسُّلْطَانِ وَأَكْثِرْ لَهُ
مِنَ الدُّعَاءِ بِالصَّلاحِ وَالرَّشَادِ بِالْقَوْلِ وَالْعَمَلِ وَالْحُكْمِ،
فَإِنَّهُمْ إِذَا صَلَحُوا صَلَحَ الْعِبَادُ بِصَلاحِهِمْ، وَإِيَّاكَ أَنْ
تَدْعُوَ عَلَيْهِمْ بِاللَّعْنَةِ فَيَزْدَادُوا شَرًّا وَيَزْدَادَ الْبَلاءُ
عَلَى الْمُسْلِمِينَ، وَلَكِنِ ادْعُ لَهُمْ بِالتَّوْبَةِ فَيَتْرُكُوا الشَّرَّ
فَيَرْتَفِعَ الْبَلاءُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ
“Nasihatilah
penguasa/sulthaan serta perbanyaklah doa kebaikan untuk mereka dan agar
senantiasa diberikan petunjuk dalam perkataan, perbuatan, dan hukum (mereka). Karena
apabila mereka baik, maka akan baik pula manusia (rakyat yang dipimpinnya)
dengan kebaikan mereka. Dan jauhilah kalian mendoakan laknat untuk mereka
sehingga (dengan itu) malah bertambah keburukan dan bencana atas kaum muslimin. Akan tetapi
berdoalah untuk mereka agar bertaubat lalu meninggalkan keburukan, sehingga
terangkat (hilang) bencana yang menimpa kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh
Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 7400].
Kembali
kepada pertanyaan dalam judul artikel : “Bolehkah mendoakan keburukan terhadap Penguasa
?”.
Tentu
yang dibahas di sini adalah doa orang yang (merasa) didhalimi terhadap penguasa
yang (dianggap) mendhalimi.
Allah
ﷻ berfirman:
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ
مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ
“Allah
tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang
yang dianiaya (didhalimi)” [QS. An-Nisaa’ : 148].
Ibnu
‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata tentang ayat di atas:
إِلا أَنْ يَكُونَ مَظْلُومًا، فَإِنَّهُ
رُخِّصَ لَهُ أَنْ يَدْعَوَا عَلَى مَنْ ظَلَمَهُ، وَذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ
تَعَالَى: إِلا مَنْ ظُلِمَ، وَإِنْ صَبَرَ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ "
“Kecuali
orang yang didhalimi, maka diberikan keringanan baginya untuk mendoakan
keburukan orang yang mendhaliminya. Itulah makna firman Allah ﷻ : ilaa man dhulima (kecuali oleh
orang yang dianiaya (didhalimi). Namun apabila ia bersabar, maka itu lebih
baik baginya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 9/344
dan Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya no. 6169; hasan[1]].
Al-Hasan
Al-Bashriy rahimahullah berkata:
فَقَدْ رُخِّصَ لَهُ أَنْ يَدْعَوَا عَلَى
مَنْ ظَلَمَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَعْتَدِي
“Dan
telah diberikan keringanan baginya untuk mendoakan keburukan terhadap orang yang
mendhaliminya tanpa berlebihan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya
no. 6171; shahih].
Asy-Syaikh
‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah berkata:
وقوله: { إِلا مَن ظُلِمَ } أي: فإنه يجوز
له أن يدعو على من ظلمه ويتشكى منه، ويجهر بالسوء لمن جهر له به، من غير أن يكذب
عليه ولا يزيد على مظلمته، ولا يتعدى بشتمه غير ظالمه، ومع ذلك فعفوه وعدم مقابلته
أولى، كما قال تعالى: { فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ } .
“Dan
firman-Nya : ‘kecuali oleh orang yang dianiaya (didhalimi)’ (QS.
An-Nisaa’ : 148), yaitu dirinya diperbolehkan untuk mendoakan keburukan bagi
orang yang mendhaliminya dan mengadukannya. Serta diperbolehkan untuk
mengucapkan secara jelas perkataan buruk terhadap orang yang mengucapkan secara
jelas perkataan serupa kepadanya, tanpa disertai kedustaan terhadapnya dan
tanpa berbuat lebih dari kedhaliman yang menimpanya. Tidak boleh pula melewati batas dengan mencela/mencaci selain orang yang mendhaliminya. Namun demikian,
memaafkan dan tidak membalasnya lebih utama sebagaimana firman Allah ﷻ : ‘Barangsiapa yang memaafkan dan
mendamaikan maka pahalanya dari Allah” (QS. Asy Syuura : 40)”
[Taisiir Kariimir-Rahmaan, hal. 212].
Rasulullah
ﷺ pernah berdoa:
اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ
مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا
بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ
الدُّنْيَا، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا
أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ
ظَلَمَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا، وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي
دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا،
وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا
“Ya
Allah, jadikanlah untuk kami rasa takut kepada-Mu yang dengannya dapat
menghalangi dan mencegah kami untuk berbuat berbagai maksiat kepada-Mu. Anugerahkanlah
kepada kami ketaatan kepada-Mu yang dengannya dapat menyampaikan kami kepada
surga-Mu. Berikan pula keyakinan yang dengannya terasa ringan bagi kami segala
musibah dunia yang menimpa kami. Berilah kenikmatan dan manfaat kepada kami
dengan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau menghidupkan
kami. Jadikanlah semua itu sebagai pewaris dari kami. Jadikan pula balasan
kami kepada orang yang mendhalimi kami dengan balasan yang sesuai untuknya
(tidak melampaui batas). Tolonglah kami terhadap orang-orang yang memusuhi
kami. Jangan Engkau jadikan musibah kami menimpa agama kami. Jangan pula Engkau
jadikan dunia menjadi tujuan dan keinginan kami yang terbesar. Jangan sampai
dunia menjadi puncak dari ilmu kami. Jangan jadikan orang yang tidak menyayangi
kami dapat menguasai kami” [Diriwayatkan At-Tirmidziy no. 3502, Al-Bazzaar
dalam Al-Bahr no. 5989, Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa no. 1911, dan
yang lainnya; dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan
At-Tirmidziy, 3/442].
Doa
beliau ﷺ ini menguatkan bahwa membalas kedhaliman
dengan sesuatu yang serupa tanpa melampaui batas diperbolehkan. Allah ﷻ berfirman:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ
الظَّالِمِينَ
"Dan
balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa
memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya
Dia tidak menyukai orang-orang yang dhalim" [QS. Asy-Syuuraa : 40].
الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ
الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا
عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
“Bulan
haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum
kisas. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu” [QS. Al-Baqarah : 194].
Doa
keburukan terhadap orang lain asalnya dilarang. Menjadi diperbolehkan jika
dilakukan tanpa melampaui batas akibat didhalimi orang lain, karena termasuk lingkup
melakukan balasan dengan kedhaliman semisal. Sebagaimana mencaci/mencela asalnya
perbuatan terlarang dalam syari’at. Namun jika seseorang melakukannya karena sekedar
membalas celaan tanpa melampauai batas, maka ia tidak berdosa.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: " الْمُسْتَبَّانِ مَا
قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ "
Dari
Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah bersabda : “Dua orang yang
saling mencaci dosanya
ditanggung oleh yang memulai, selama orang yang didhalimi tidak melampaui batas”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2587].
Yang
menguatkan hal ini adalah riwayat berikut:
عَنْ عُرْوَةَ: أَنَّ أَرْوَى بِنْتَ
أُوَيْسٍ ادَّعَتْ عَلَى سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّهُ أَخَذَ شَيْئًا مِنْ
أَرْضِهَا، فَخَاصَمَتْهُ إِلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ فَقَالَ سَعِيدٌ: أَنَا
كُنْتُ آخُذُ مِنْ أَرْضِهَا شَيْئًا بَعْدَ الَّذِي سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ قَالَ: وَمَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا، طُوِّقَهُ إِلَى
سَبْعِ أَرَضِينَ، فَقَالَ لَهُ مَرْوَانُ: لَا أَسْأَلُكَ بَيِّنَةً بَعْدَ
هَذَا، فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنْ كَانَتْ كَاذِبَةً فَعَمِّ بَصَرَهَا
وَاقْتُلْهَا فِي أَرْضِهَا، قَالَ: فَمَا مَاتَتْ حَتَّى ذَهَبَ بَصَرُهَا، ثُمَّ
بَيْنَا هِيَ تَمْشِي فِي أَرْضِهَا إِذْ وَقَعَتْ فِي حُفْرَةٍ فَمَاتَتْ
Dari
‘Urwah : Bahwasannya Arwaa bintu Uwais menuduh Sa'iid bin Zaid telah mengambil
sebagian tanahnya. Lalu ia (Arwaa) mengadukan permasalahan tersebut kepada
Marwaan bin Al-Hakam. Sa’iid berkata : "Mungkinkah aku mengambil sebagian
tanah miliknya setelah aku mendengar hadits dari Rasulullah ﷺ?". Marwaan berkata : "Apa yang engkau
dengar dari Rasulullah ﷺ?".
Sa'iid berkata : "Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : ‘Barangsiapa mengambil
sejengkal tanah secara dhalim, akan dikalungkan padanya tujuh lapis bumi (pada
hari kiamat)’. Lalu Marwaan berkata kepadanya : "Aku tidak akan meminta
bukti lagi kepadamu setelah mendengar hadits ini”. Kemudian Sa'iid berdoa : "Ya
Allah, jika wanita itu (Arwaa) berdusta, maka butakanlah matanya dan bunuhlah ia
di atas tanahnya sendiri”. ‘Urwah berkata : "Ternyata ia (Arwaa) tidak
meninggal kecuali dalam keadaan buta matanya. Kemudian ketika ia berjalan di
tanahnya, ia jatuh ke dalam lubang lalu meninggal" [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 1610].
Di
lain riwayat, Arwaa berkata dalam tuduhannya kepada Saiid bin Zaid:
إِنَّ سَعِيدَ بْنَ زَيْدٍ، قَدْ انْتَقَصَ
مِنْ أَرْضِي إِلَى أَرْضِهِ، مَا لَيْسَ لَهُ، وَقَدْ أَحْبَبْتُ أَنْ تَأْتُوهُ
فَتُكَلِّمُوهُ
“Sesungguhnya
Sa’iid bin Zaid telah mencaplok (sebagian) tanahku – yang bukan kepunyaannya –
masuk dalam tanahnya. Aku ingin kalian (beberapa orang Quraisy yang bersama
Arwaa’ – Abul-Jauzaa’) menemuinya dan berbincang-bincang dengannya”
[Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/189; sanadnya hasan].
Sa’iid
bin Zaid berdoa kepada Allah ﷻ terkait dengan tuduhan penyerobotan tanah
yang dialamatkan kepadanya, dan Allah ﷺ mengabulkan doa Sa’iid sehingga keburukan
menimpa wanita yang menuduhnya (buta dan meninggal di atas tanahnya).
Dari
peristiwa Sa’iid bin Zaid ini, dulu penduduk Madiinah apabila mendoakan keburukan orang lain:
أَعْمَاهُ اللَّهُ كَعَمَى أَرْوَى
“Semoga Allah membutakan (mata)-nya seperti kebutaan yang
menimpa Arwaa” [Fathul-Baariy, 5/105].
Begitu
pula ketika salah seorang penduduk Kuufah yang bernama Usaamah bin Qataadah
yang berkunyah Abu Sa’dah memberikan kesaksian dusta atas diri Sa’d bin
Abi Waqqaash radliyallaahu ‘anhu, maka Sa’d berdoa:
أَمَا وَاللَّهِ لَأَدْعُوَنَّ بِثَلَاثٍ
اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ عَبْدُكَ هَذَا كَاذِبًا قَامَ رِيَاءً وَسُمْعَةً فَأَطِلْ
عُمْرَهُ وَأَطِلْ فَقْرَهُ وَعَرِّضْهُ
“Maka
demi Allah, sungguh aku akan berdoa kepada Allah tiga hal. Ya Allah, apabila hambamu
ini (yaitu Usaamah) berdusta, mengatakannya karena riyaa’ dan sum’ah,
maka panjangkanlah usianya, panjangkanlah pula kefakirannya, dan campakkan ia
dalam berbagai fitnah”.
Jaabir
bin Samuurah bersaksi atas kebenaran doa Sa’d radliyallaahu ‘anhumaa:
وَكَانَ بَعْدُ إِذَا سُئِلَ يَقُولُ
شَيْخٌ كَبِيرٌ مَفْتُونٌ أَصَابَتْنِي دَعْوَةُ سَعْدٍ، قَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ:
فَأَنَا رَأَيْتُهُ بَعْدُ قَدْ سَقَطَ حَاجِبَاهُ عَلَى عَيْنَيْهِ مِنَ
الْكِبَرِ، وَإِنَّهُ لَيَتَعَرَّضُ لِلْجَوَارِي فِي الطُّرُقِ يَغْمِزُهُنَّ
“Maka
beberapa masa kemudian setelah itu, orang tersebut (Usaamah) apabila ditanya tentang
keadaannya yang sengsara, ia berkata : ‘Aku seorang tua renta yang terkena
fitnah akibat doa Sa'd.
'Abdul-Malik
bin ‘Umar Al-Lakhamiy rahimahullah – perawi hadits di atas – juga bersaksi:
فَأَنَا رَأَيْتُهُ بَعْدُ قَدْ سَقَطَ
حَاجِبَاهُ عَلَى عَيْنَيْهِ مِنَ الْكِبَرِ، وَإِنَّهُ لَيَتَعَرَّضُ
لِلْجَوَارِي فِي الطُّرُقِ يَغْمِزُهُنَّ
“Dan
aku sendiri melihat setelahnya bahwa kedua alisnya panjang ke bawah menutupi
kedua matanya karena terlalu tua dan dirinya suka mengganggu wanita-wanita
muda di jalanan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 755].
Rasulullah ﷺ memperingatkan kita :
وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ
لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Waspadalah
kalian doa orang yang terdhalimi, karena tidak ada penghalang antara
dirinya dengan Allah (untuk dikabulkan doanya)” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 19].
Ini
berlaku pada siapa saja, baik penguasa maupun rakyat. Barangsiapa yang bertindak
dhalim dan orang yang didhalimi berdoa kepada Allah agar dibalas kedhalimannya,
maka doanya tersebut mustajab. Rasulullah ﷻ bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لَا
شَكَّ فِيْهِنَّ : دَعوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ
الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
“Ada
tiga doa mustajab yang tidak ada keraguan padanya : doa orang yang terdhalimi,
doa orang yang sedang bepergian (musafir), dan doa orang tua kepada anaknya”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 32 & 481,
Abu Daawud no. 1536, At-Tirmidziy no. 1905 & 3448, dan yang lainnya;
dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no.
596].
Rasulullah
ﷺ sangat mengecam penguasa yang dhalim. Beliau
ﷺ bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ
رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Tidak
ada seorang hamba yang Allah angkat untuk memimpin rakyatnya kemudian tidak
mengurus mereka dengan baik, ia pasti tidak akan mencium bau wangi surga”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7150].
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنَ
الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ
“Tidak
ada seorang penguasa pun yang memimpin rakyatnya dari kalangan muslimin, lalu ia
meninggal dalam keadaan menipu mereka (rakyat), maka Allah ﷻ pasti haramkan baginya surga”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7151].
مَا مِنْ أَمِيرِ عَشَرَةٍ، إِلَّا يُؤْتَى
بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَغْلُولًا، لَا يَفُكُّهُ إِلَّا الْعَدْلُ، أَوْ
يُوبِقُهُ الْجَوْرُ
“Tidaklah
ada seorang pun yang memimpin sepuluh orang, kecuali ia didatangkan dengannya
pada hari kiamat dalam keadaan (tangannya) terbelenggu. Tidak ada sesuatu yang
membebaskannya kecuali keadilannya, atau justru kemaksiatannya (kedhalimannya) akan melemparkanya (ke neraka)” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/431; sanadnya qawiy].
Oleh
karena itu, Rasulullah ﷺ
berdoa keburukan bagi para penguasa dhalim:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ
أُمَّتِي شَيْئًا، فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ
أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
“Ya
Allah, barangsiapa mengurusi sesuatu dari urusan umatku, lalu ia malah menyusahkan
mereka, maka susahkanlah ia. Dan barangsiapa mengurusi sesuatu dari urusan
umatku, lalu ia bersikap lembut kepada mereka, maka bersikap lembutlah
kepadanya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 182].
Maka
dalam hal ini, secara hukum syar’iy boleh hukumnya mendoakan keburukan
bagi penguasa dhalim yang mendhalimi rakyatnya.
Masalahnya
kemudian, kadang seseorang merasa didhalimi orang lain (termasuk
penguasa), padahal kenyataan tidak. Misalnya, seseorang yang memiliki mobil sering memarkirnya di pinggir jalan perumahan di depan rumahnya. Pemerintah kemudian menderek paksa mobilnya itu. Karena merasa didhalimi, ia berdoa keburukan terhadap penguasa. Ini
tidak benar. Mengapa?. Ia sendiri justru yang berbuat dhalim mengurangi hak pengguna jalan lain dengan memarkir mobil di badan jalan. Melanggar pula peraturan yang telah
dibuat Pemerintah[2]. Tindakan Pemerintah benar, karena mengedepankan kepentingan umum. Maka, seseorang yang merasa
didhalimi jika ingin mendoakan keburukan terhadap orang mendhaliminya – dan
mendoakan hidayah dan memaafkannya lebih utama sebagaimana telah lewat
penjelasanya – hendaknya ia mengucapkannya secara bersyarat seperti:
"Ya
Allah, apabila (benar) Fulaan telah mendhalimiku, maka......."
[sesuai
kadar kedhaliman yang dialaminya].
Sama
seperti doa Sa’d bin Abi Waqqaash radliyallaahu ‘anhu:
اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ عَبْدُكَ هَذَا
كَاذِبًا قَامَ رِيَاءً وَسُمْعَةً فَأَطِلْ عُمْرَهُ وَأَطِلْ فَقْرَهُ
وَعَرِّضْهُ
“Ya
Allah, apabila hambamu ini (yaitu Usaamah) berdusta, mengatakannya karena riyaa’
dan sum’ah, maka panjangkanlah usianya, panjangkanlah pula kefakirannya, dan campakkan ia dalam berbagai fitnah”.
Bisa
jadi dakwaan kedhaliman kita benar, bisa jadi keliru.
Inilah
yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah
dalam fatwanya.[3]
Berikut
adalah rekaman video penjelasan dari Asy-Syaikh Mushthafaa bin Al-‘Adawiy hafidhahullah berkaitan dengan pertanyaan 'bolehkah mendoakan keburukan terhadap penguasa yang dhalim ?':
Wallaahu
a’lam.
Semoga
ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– 12032019].
[1] Dari jalan Abu Shaalih, dari Mu’aawiyyah bin
Shaalih, dari ‘Aliy bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu.
Ada pembahasan menarik tentang Abu Shaalih ini dimana ia ditautsiq oleh
sebagian ulama, namun dijarh sebagian ulama yang lain. Kesimpulan ringkasnya,
bahwa riwayat yang dibawakannya dihukumi hasan/shahih jika diriwayatkan oleh
ulama yang terkenal teliti dan hati-hati semisal Abu Haatim, Ibnu Wahb, Al-Bukhaariy,
Yahyaa bin Ma’iin, dan semisalnya. Jika selain dari selain mereka, maka lemah
atau abstain hingga ada qarinah penguatnya, wallaahu a’lam.
[2] Seperti misalnya Pemprov. DKI Jakarta. Silakan
baca : Dasar
Hukum yang Melarang Parkir Kendaraan di Depan Rumah Sendiri.
Comments
Posting Komentar