Tawassul dengan Sifat Allah



Dari Khaulah bintu Hakiim, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda:
لَوْ نَزَلَ أَحَدُكُمْ مَنْزِلا فَلْيَقُلْ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، فَإِنَّهُ لا يَضُرُّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْحَلَ مِنْهُ
Apabila salah seorang diantara kalian tiba di suatu tempat, hendaklah ia mengucapkan : a’uudzu bi-kalimaatillaahit-taammati min syarri maa khalaqa (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari keburukan makhluk yang Allah ciptakan), niscaya tidak ada sesuatupun yang membahayakannya hingga ia beranjak dari (tempat) tersebut”.

Ibnu Khuzaimah rahimahullah meriwayatkannya dalam Kitabut-Tauhiid juz 1 halaman 400. Setelah itu, beliau rahimahullah menjelaskan dalam rangka membantah Jahmiyyah:
أَفَلَيْسَ الْعِلْمُ مُحِيطًا يَا ذَوِي الْحِجَا؟ أَنَّهُ غَيْرُ جَائِزٍ أَنْ يَأْمُرَ النَّبِيُّ ﷺ بِالتَّعَوُّذِ بِخَلْقِ اللَّهِ مِنْ شَرِّ خَلْقِهِ؟ هَلْ سَمِعْتُمْ عَالِمًا يُجِيزُ، أَنْ يَقُولَ الدَّاعِي: أَعُوذُ بِالْكَعْبَةِ مِنْ شَرِّ خَلْقِ اللَّهِ؟ أَوْ يُجِيزُ أَنْ يَقُولَ: أَعُوذُ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، أَوْ أَعُوذُ بِعَرَفَاتٍ وَمِنًى مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ اللَّهُ، هَذَا لا يَقُولُهُ وَلا يُجِيزُ الْقَوْلَ بِهِ مُسْلِمٌ يَعْرِفُ دِينَ اللَّهِ، مُحَالٌ أَنْ يَسْتَعِيذَ مُسْلِمٌ بِخَلْقِ اللَّهِ مِنْ شَرِّ خَلْقِهِ
“Bukankah sudah diketahui – wahai orang yang berakal – bahwa tidak diperbolehkan bagi Nabi memerintahkan (umatnya) untuk berdoa memohon perlindungan (ta’awwudz) dengan makhluk Allah dari keburukan makhluk-Nya ?. Apakah kalian pernah mendengar seorang ulama yang membolehkan seseorang mengucapkan a’uudzu bil-ka’bah min syarri khalqillah (aku berlindung dengan Ka’bah dari keburukan makhluk Alah) ?. Atau membolehkan untuk mengucapkan a’uudzi bish-shafaa wal-marwah? Atau a’uudzu bi-‘arafaat wa mina min syarri maa khalaqallahu?. Tidak ada seorang pun muslim yang mengetahui/memahami agamanya mengatakannya dan membolehkan untuk mengucapkannya. Mustahil seorang muslim memohon perlindungan (berta’awwudz) dengan makhluk Allah dari keburukan makhluk-Nya” [At-Tauhiid, 1/401-402].
Para ulama memasukkan hadits Khaulah di atas dalam bahasan tawassul. Boleh bertawassul dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah, sedangkan kalimat Allah termasuk diantara sifat-Nya, bukan makhluk.
Al-Mardawiy rahimahullah ketika membahas bab tawassul berkata:
وَقَالَ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ ، فِي قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ } الِاسْتِعَاذَةُ لَا تَكُونُ : بِمَخْلُوقٍ
“Ahmad dan yang lainnya dari kalangan ulama berkata tentang sabda beliau ‘alaihis-salaam : A’uudzu bikalimaatillaahi at-taammaati min syarri maa khalaq : ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk” [Al-Inshaaf, 2/456].
Makna a’uudzu bi-kalimaatillaahit-taammah adalah aku memohon perlindungan kepada Allah dengan kalimat-kalimat-Nya yang sempurna.
Memohon atau berdoa kepada Allah dengan perantaraan sifat-sifat-Nya yang sempurna diperbolehkan, sedangkan memohon langsung kepada sifat-Nya dilarang. Bahkan termasuk kekufuran dan kesyirikan. Ini seperti ucapan :
يا رحمةَ اللهِ ارْحَمِيني
“Wahai rahmat Allah, sayangilah aku”
Ucapan (doa) ini menjadikan sifat Allah sebagai sesuatu yang terpisah dari-Nya, sehingga sifat ini menjadi tuhan yang disembah. Ini adalah kekufuran berdasarkan kesepakatan para ulama. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan:
وأمَّا دعاءُ صفاتِه وكلماتِه فكفرٌ باتِّفاق المسلمين، فهل يقول مسلمٌ: «يا كلامَ اللهِ اغفِرْ لي وارْحَمْني وأَغِثْني أو أَعِنِّي»، أو «يا عِلْمَ الله» أو «يا قدرةَ الله» أو «يا عزَّةَ الله» أو «يا عظمةَ الله» ونحوَ ذلك؟
“Adapun doa terhadap sifat-sifat-Nya dan kalimat-kalimat-Nya, maka kufur berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Maka apakah seorang muslim akan mengucapkan : Wahai kalamullah, ampunilah aku, sayangilah aku, dan berilah pertolongan kepadaku – atau mengucapkan : ‘Wahai ilmu Allah, wahai kekuasaan Allah, wahai kemuliaan Allah, wahai keagungan Allah dan semisalnya ? (tentu tidak)” [Ar-Radd ‘alal-Bakriy, 1/181].
Yang disyari’atkan adalah berdoa:
يا رحمن ارحمني
“Wahai Allah yang Maha Pengasih, sayangilah aku”
atau bertawassul dengan doa sebagaimana terdapat dalam QS. An-Naml ayat 19:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku DENGAN RAHMAT-MU ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih"
Atau
يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ
“Wahai Dzat Yang Maha Hidup, wahai Dzat Yang Maha Berdiri Sendiri, DENGAN RAHMAT-MU aku memohon pertolongan” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3524; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/447-448].
Atau dengan doa lain yang terdapat dalam nash-nash yang shahih, diantaranya seperti yang ada di awal artikel.
Wallaahu a'lam.
Baca juga artikel :
[abul-jauzaa’ – rnn – 04011440].

Comments