Minum dari Qirbah/Siqaa’/Botol



Kemarin saya sempat dikirimi gambar pesan dakwah dari seseorang via WA dengan judul : ‘Hukum Minum dari Mulut Botol’. Gambarnya ada di samping. Alhamdulillah, bagus. Bentuk partisipasi dakwah dengan menyebarkan pesan-pesan yang bermanfaat. Allah berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” [QS. Aali ‘Imraan : 110].
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” [QS. Luqman: 17].
Gambar itu pula yang mendorong saya hari ini untuk sedikit menulis artikel terkait tema tersebut.
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنِ الشُّرْبِ مِنْ فَمِ الْقِرْبَةِ أَوِ السِّقَاءِ، وَأَنْ يَمْنَعَ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَهُ فِي دَارِهِ
“Rasulullah melarang minum dari mulut qirbah atau siqaa’ dan melarang seseorang mencegah tetangganya menyandarkan kayu di rumahnya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5627-5628, Ibnu Maajah no. 3420, Ad-Daarimiy no. 2164, dan yang lainnya].
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنِ اخْتِنَاثِ الْأَسْقِيَةِ " يَعْنِي أَنْ تُكْسَرَ أَفْوَاهُهَا فَيُشْرَبَ مِنْهَا
“Rasulullah melarang minum dari siqaa’ – yaitu menekuk mulutnya dan meminum darinya”.
Dalam riwayat lain:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنِ اخْتِنَاثِ الْأَسْقِيَةِ أَنْ يُشْرَبَ مِنْ أَفْوَاهِهَا
“Rasulullah melarang minum dari siqaa’ - yaitu minum dari mulut qirbah tersebut”.
Dalam riwayat lain terdapat tambahan lafadh:
وَاخْتِنَاثُهَا أَنْ يُقْلَبَ رَأْسُهَا ثُمَّ يُشْرَبَ مِنْهُ
“Dan meminum langsung darinya, yaitu dengan membalikkan kepalanya (mulut siqaa’), kemudian meminum dari (mulut qirbah) tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5625-5626, Muslim no. 2023, At-Tirmidziy no. 1890, Abu Daawud no. 3720, Ibnu Maajah no. 3418, dan yang lainnya].
Catatan : Perkataan yang menjelaskan kaifiyyah ikhtinaats dalam hadits di atas adalah mudraj dari perkataan Az-Zuhriy sebagaimana dijelaskan Al-Haafidh rahimahumallah dalam Fathul-Baariy, 10/89.
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata:
نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنِ الشُّرْبِ مِنْ فِي السِّقَاءِ
“Nabi melarang minum dari mulut siqaa’
Dalam riwayat lain:
أَنّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى عَنِ الْمُجَثَّمَةِ وَلَبَنِ الْجَلَّالَةِ وَعَنِ الشُّرْبِ مِنْ فِي السِّقَاءِ
“Bahwasannya Nabi melarang al-mujatstsamah[1], susu hewan jalalah (pemakan kotoran), dan minum dari mulut siqaa’” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5629, At-Tirmidziy no. 1825, Abu Daawud no. 3719, An-Nasaa’iy no. 4448, Ibnu Maajah no. 3419 & 3421, Ad-Daarimiy no. 2163, dan yang lainnya].
Qirbah dan siqaa’ adalah kantong air yang terbuat dari kulit. Ukuran qirbah ada yang besar dan ada yang kecil, namun siqaa’ ukurannya hanya kecil saja (tidak ada yang besar) [Fathul-Baariy, 10/89]. Jika kita qiyaskan di era sekarang, itu seperti botol, poci, teko, dan semisalnya untuk tempat minum.
Beberapa ulama menjelaskan ‘illat pelarangan dalam hadits-hadits tersebut, diantaranya:
1.    Ada kemungkinan serangga atau hewan lain masuk ke dalam air yang ada pada siqaa’/qirbah, sehingga dapat masuk ke mulut orang yang meminumnya tanpa disadari (dan membahayakan dirinya) [Fathul-Baariy, 10/91, Syarh Shahiih Al-Bukhaariy li-Ibni Baththaal 11/76, dan Syarhus-Sunnah lil-Baghawiy 11/377].
Bahkan disebutkan dalam satu riwayat, seekor ular masuk ke dalam siqaa’ saat ada orang yang mau minum air di dalamnya. Setelah Ayyuub As-Sakhtiyaaniy rahimahullah meriwayatkan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu tentang larangan minum di mulut qirbah atau siqaa’, ia berkata:
فَأُنْبِئْتُ أَنَّ رَجُلًا شَرِبَ مِنْ فِي السِّقَاءِ، فَخَرَجَتْ حَيَّةٌ
“Maka aku diberitahu bahwa ada seorang laki-laki yang minum dari mulut siqaa’, lalu keluar darinya seekor ular” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/230; shahih].
2.    Larangan tersebut dikhususkan bagi orang yang bernafas di dalam bejana[2].
Orang yang bernafas dalam bejana/siqaa’/qirbah kemungkinan mengeluarkan air liur yang dapat merubah air yang ada di padanya (menjadi bau/bacin). Ada riwayat yang terkait dengan 'illat pelarangan ini, yaitu:
أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحُسَيْنِ الْقَاضِي، ثَنَا الْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ، ثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، ثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: " أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُشْرَبَ مِنْ فِي السِّقَاءِ، لأَنَّ ذَلِكَ يُنْتِنُهُ "
Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin Al-Husain Al-Qaadliy : Telah menceritakan kepada kami Al-Haarits bin Abi Usaamah : Telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubaadah : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam melarang minum dari mulut siqaa’, karena hal itu menyebabkannya bacin” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 4/140].
Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah 1/757-758 no. 400. Al-Haafidh rahimahullah berkata : “Sanadnya qawiy (kuat)” Fathul-Baariy, 10/91].
Namun yang benar, hadits ini ma’luul karena yang shahih adalah mursal; dan perkataan ‘karena hal itu menyebabkannya bacin’ ini bukan perkataan Nabi , akan tetapi perkataan Hisyaam bin ‘Urwah.[3]
Dalam hal ini, Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَهَذَا يَقْتَضِي أَنْ يَكُون النَّهْي خَاصًّا بِمَنْ يَشْرَب فَيَتَنَفَّس دَاخِل الْإِنَاء أَوْ بَاشَرَ بِفَمِهِ بَاطِن السِّقَاء ، أَمَّا مَنْ صَبَّ مِنْ الْقِرْبَة دَاخِل فَمه مِنْ غَيْر مُمَاسَّة فَلَا
“Dan hadits ini menghendaki bahwa pelarangan tersebut khusus bagi orang yang minum sambil bernafas di dalam bejana atau mulutnya menempel di bagian dalam bejana. Adapun orang yang menuangkan/mengalirkan air dari qirbah dan masuk ke dalam mulutnya tanpa bersentuhan (dengan qirbah), maka tidak termasuk larangan” [Fathul-Baariy, 10/91].
3.    Orang yang minum dari mulut siqaa’ kadang ketumpahan air sehingga mengalir darinya lebih banyak daripada kebutuhan. Akibatnya, ia bisa tersedak atau bajunya menjadi basah [Fathul-Baariy, 10/91].
Selain dalil-dalil yang melarang, ada dalil yang secara dhahir menunjukkan kebolehannya, yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ دَخَلَ عَلَى امْرَأَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، وَفِي الْبَيْتِ قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ فَاخْتَنَثَهَا وَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi pernah masuk ke rumah seorang wanita Anshar yang di dalamnya ada qirbah yang tergantung. Lalu beliau (mengambil dan) menekuk mulut qirbah tersebut dan meminumnya dalam keadaan berdiri” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/161; dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam Takhriij ‘alal-Musnad 42/165-166].
Menyikapi ini, para ulama berbeda pendapat.
Setelah menyebutkan hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, An-Nawawiy rahimahullah berkata:
فَهَذَا الْحَدِيث يَدُلّ عَلَى أَنَّ النَّهْي لَيْسَ لِلتَّحْرِيمِ . وَاللَّهُ أَعْلَم
“Hadits ini menunjukkan bahwa larangan tidak bermakna tahriim (pengharaman), wallaahu a’lam” [Syarh Shahiih Muslim, 13/194].
Akan tetapi makruh tanziih.
Inilah pendapat jumhur ulama. Bahkan An-Nawawiy rahimahullah mengatakan para ulama telah bersepakat tentang hukum makruh tanziih:
وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ النَّهْي عَنْ اِخْتِنَاثهَا نَهْي تَنْزِيه لَا تَحْرِيم
“Para ulama sepakat pelarangan ikhtinaats/minum langsung dari siqaa’ adalah pelarangan yang bersifat tanziih, bukan tahriim” [Syarh Shahiih Muslim 13/194 dan Fathul-Baariy 10/91].
Klaim ijmaa’ An-Nawawiy rahimahullah perlu ditinjau kembali, karena ternukil beberapa pendapat lain yang berbeda.
Maalik bin Anas rahimahullah membolehkannya. Al-Haafidh rahimahumallah berkata:
فَقَدْ نَقَلَ اِبْن التِّين وَغَيْره عَنْ مَالِك أَنَّهُ أَجَازَ الشُّرْب مِنْ أَفْوَاه الْقِرَب وَقَالَ : لَمْ يَبْلُغنِي فِيهِ نَهْي
“Ibnut-Tiin dan yang lainnya menukil dari Maalik bahwa ia membolehkan minum dari mulut qirbah seraya berkata : ‘Belum sampai larangan padaku dalam permasalahan itu[4]” [Fathul-Baariy, 10/91].
Ibnu Hazm[5] dan Muhammad bin Abi Hamzah rahimahumallah mengharamkannya [Al-Muhallaa 6/228 dan Fathul-Baariy 10/91].
Selain itu, ada juga yang mengatakan hukum kebolehannya telah dihapus (dengan hadits-hadits pelarangan) sebagaimana dikatakan Ibnu Hazm rahimahullah [Al-Muhallaa, 6/229] dan Abu Bakr Al-Atsram sebagaimana dinukil oleh Al-‘Ainiy [‘Umdatul-Qaariy, 31/218-219][6].
Pendapat ini lemah, karena tidak ada hadits marfuu’ yang menerangkan sebab yang menghapus hukum kebolehan. Yang ada dan shahih hanyalah perkataan Ayyuub As-Sakhtiyaaniy rahimahullah dan ini tidak mencukupi.
Ada yang menjamak, bahwa kebolehannya hanya pada kondisi tertentu saja sebagaimana dikatakan Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah :
قُلْت : لَمْ أَرَ فِي شَيْء مِنْ الْأَحَادِيث الْمَرْفُوعَة مَا يَدُلّ عَلَى الْجَوَاز إِلَّا مِنْ فِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَحَادِيث النَّهْي كُلّهَا مِنْ قَوْله . فَهِيَ أَرْجَح إِذَا نَظَرْنَا إِلَى عِلَّة النَّهْي عَنْ ذَلِكَ
..........
قُلْت : وَيُؤَيِّدهُ أَنَّ أَحَادِيث الْجَوَاز كُلّهَا فِيهَا أَنَّ الْقِرْبَة كَانَتْ مُعَلَّقَة وَالشُّرْب مِنْ الْقِرْبَة الْمُعَلَّقَة أَخَصُّ مِنْ الشُّرْب مِنْ مُطْلَق الْقِرْبَة ، وَلَا دَلَالَة فِي أَخْبَار الْجَوَاز عَلَى الرُّخْصَة مُطْلَقًا بَلْ عَلَى تِلْكَ الصُّورَة وَحْدهَا ، وَحَمْلهَا عَلَى حَال الضَّرُورَة جَمْعًا بَيْن الْخَبَرَيْنِ أَوْلَى مِنْ حَمْلهَا عَلَى النَّسْخ وَاَللَّه أَعْلَم
“Aku katakan : Aku tidak melihat satu pun hadits marfuu’ yang menunjukkan kebolehannya kecuali dari perbuatan beliau , sedangkan semua hadits pelarangan merupakan sabda beliau . Pelarangan tersebut lebih kuat apabila kita melihat kepada ‘illat-nya.
……………
Aku katakan :  Dikuatkan lagi bahwa hadits-hadits yang menyatakan kebolehannya semuanya menjelaskan qirbah yang diminum dalam posisi tergantung. Minum dari qirbah yang tergantung lebih khusus daripada minum dari qirbah secara mutlak. Oleh karenanya, tidak ada penunjukan dalam hadits-hadits pembolehannya dalam kasus rukhshah secara mutlak. Akan tetapi (diperbolehkan) hanya pada kondisi tersebut (yaitu minum dari qirbah yang tergantung). Membawa dua khabar dengan metode penjamakan lebih utama daripada membawanya dengan metode nasakh, wallaahu a’lam” [Fathul-Baariy, 10-91-92].
Al-Haafidh rahimahullah menjamak hadits-hadits tersebut, bahwa kebolehan minum dari mulut qirbah dan siqaa’ hanya jika keduanya tergantung.
Yang raajih dalam hal ini adalah pendapat jumhur ulama dengan melihat ‘illat hukum yang telah disebutkan di atas[7].
Jika seseorang minum dari qirbah, siqaa’, botol, kendi, dan tempat air semisalnya adalah diperbolehkan jika dapat menjaga dari ‘illat pelarangan tersebut. Misalnya dengan menutup rapat-rapat tempat air (supaya higienis), tidak bernafas dalam bejana ketika minum, tidak minum langsung dari mulut qirbah/siqaa’/botol (khususnya tempat minum yang digunakan bersama-sama), dan pelan-pelan dalam meminumnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – rnn – 18 Ramadlaan 1439].



[1]    Yaitu, hewan yang dijadikan sasaran bidikan tembahkan atau lemparan hanya untuk membunuhnya [‘Aunul-Ma’buud, 8/222].
[2]    Nabi telah melarang bernafas ketika minum dengan sabdanya:
إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الْإِنَاء
Apabila salah seorang diantara kalian minum, jangan sambil bernafas di dalam bejana” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 153 & 5630 dan Muslim no. 267].
[3]    Hammaad bin Salamah diselisihi oleh:
a.    ‘Abdurrahmaan bin Abi Zinaad, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 7/285 no. 14666
b.    Abu Mu’aawiyyah Muhammad bin Haazim, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Harawiy dalam Ghariibul-Hadiits hal. 363
c.     Ma’mar bin Raasyid, sebagaimana diriwayatkan olehnya dalam Al-Jaami’ 10/429 no. 19598 dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 8/146 no. 5620.
yang meriwayatkan secara mursal dari ‘Urwah bin Az-Zubair.
Selain itu, Rauh bin ‘Ubaadah dalam periwayatan dari Hammaad bin Salamah secara maushuul diselisihi oleh Al-Hajjaaj bin Minhaal yang meriwayatkan dari Hammaad secara mursal seperti para perawi lainnya. Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/276 no. 6869.
Dalam riwayat Ma’mar, perkataan ‘karena hal itu menyebabkannya bacin’ adalah perkataan Hisyaam bin ‘Urwah, bukan sabda Nabi . Inilah yang dishahihkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 8/147.
Adanya penyelisihan ini sebagai bukti kuat Hammaad bin Salamah salah dalam periwayatan jalur maushuul. Meskipun dirinya tsiqah, namun di akhir kehidupannya ia mengalami ikhtilaath yang mempengaruhi akurasi periwayatannya.
Wallaahu a’lam.
[4]    Perkataan Maalik bin Anas rahimahullah ini terdapat satu faedah bahwa adakalanya dalil yang masyhur di kalangan jumhur ulama tidak diketahui oleh sebagian ulama yang lain. Maalik bin Anas rahimahullah adalah imam di masanya dari kalangan penduduk Madiinah.
Sebagian ulama memang ada yang menta’wilkan perkataan Maalik ini seperti Ibnul-Munayyir rahimahumallah bahwa yang dimaksud dengannya adalah (ia mengetahui dalilnya namun) tidak membawa pelarangannya kepada makna tahriim [lihat Fathul-Baariy, 10/91]. Namun ta'wiil ini sangat jauh, wallaahu a'lam.
[5]    Ibnu Hazm rahimahullah yang berkata:
وَلَا يَحِلُّ الشُّرْبُ مِنْ فَمِ السِّقَاءِ
“Tidak halal minum dari mulut siqaa’” [Al-Muhallaa, 6/228].
[6]    Al-‘Ainiy berkata ketika memberikan sanggahan atas klaim ijmaa’ dari An-Nawawiy rahimahumallah:
قيل في دعواه الاتفاق نظر لأن أبا بكر الأثرم صاحب أحمد أطلق أن أحاديث النهي ناسخة للإباحة لأنهم كانوا أولا يفعلون ذلك حتى وقع دخول الحية في بطن الذي شرب من فم السقاء فنسخ الجواز
“Dikatakan : dalam klaim adanya kesepakatan (ijmaa’) perlu diteliti kembali, karena Abu Bakr Al-Atsram murid Ahmad (bin Hanbal) memutlakkan hadits-hadits larangan tersebut sebagai penghapus (naasikh) bagi kebolehannya. Hal itu dikarenakan dulu mereka biasa minum dari mulut siqaa’ hingga terjadi peristiwa seekor ular yang masuk ke perut orang yang minum dari siqaa’. Maka kebolehannya dihapus” [‘Umdatul-Qaariy, 31/218-219].
Catatan : Tidak ada hadits shahih dari Nabi tentang  ular yang masuk ke dalam siqaa’ sebagaimana disebutkan Al-‘Ainiy rahimahullah.
[7]    Ibnul-‘Arabiy rahimahullah berkata (tentang ketiga sebab pelarangan yang disebutkan sebelumnya):
وواحدة من الثلاثة تكفي في ثبوت الكراهة وبمجموعها تقوى الكراهة جدا
“Dan satu saja diantara tiga sebab di atas sudah cukup dalam penetapan kemakruhannya. Apalagi jika ketiga-tiganya sekaligus semakin menambah kuat kemakruhannya” [Fathul-Baariy, 10/91].

Comments

Unknown mengatakan...

Jadi, tetap boleh minum air dalam botol kemasan secara langsung jika untuk diri sendiri?

Anonim mengatakan...

مَاشَآءَاللّهُ..

جزاك الله خيرا..

بَارَكَ اللهُ فِيْك..