Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah
Allah
ﷻ berfirman :
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُواْ فَأَصْلِحُواْ
بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَىَ الاُخْرَىَ فَقَاتِلُواْ الّتِي
تَبْغِي حَتّىَ تَفِيَءَ إِلَىَ أَمْرِ اللّهِ فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُواْ
بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوَاْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ * إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُواْ
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتّقُواْ اللّهَ لَعَلّكُمْ تُرْحَمُونَ
”Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya
terhadap golongan lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah
kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil
dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin
itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah
kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat” (QS. Al-Hujuraat : 9-10).
Allah
ﷻ berfirman seraya memerintahkan agar
mendamaikan antara dua kelompok yang bertikai sesama mereka :
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
اقْتَتَلُواْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا
”Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah
antara keduanya”.
Allah
ﷻ masih tetap menyebut mereka sebagai
orang-orang mukmin meskipun mereka tengah berperang. Dan dengan itu pula, Imam
Al-Bukhari dan yang lainnya mengambil kesimpulan bahwa seseorang tidak keluar
dari keimanan hanya karena berbuat maksiat meskipun dalam wujud yang besar,
tidak seperti apa yang dikemukakan oleh kaum Khawarij dan yang sejalan dengan
mereka dari kalangan Mu’tazilah dan yang semisalnya. Demikianlah yang
ditetapkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dari hadits Al-Hasan, dari Abu
Bakrah radliyallaahu ‘anhu, ia
bercerita :
إن رسول الله ﷺ خطب يوماً, ومعه على المنبر الحسن بن علي radliyallaahu
‘anhuما, فجعل ينظر إليه مرة, وإلى الناس أخرى ويقول: إن
ابني هذا سيد ولعل الله ﷻ أن يصلح به بين فئتين عظيمتين من المسلمين
”Sesungguhnya
Rasulullah ﷺ pernah berkhutbah pada suatu hari di atas
mimbar, sedang bersama beliau terdapat Al-Hasan bin ‘Ali radliyallaahu ‘anhumaa ,
lalu sesekali beliau melihat kepadanya dan pada orang-orang pada kali lainnya
seraya bersabda : “Sesungguhnya puteraku ini adalah seorang sayyid.
Mudah-mudahan Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin (yang
tengah bertikai)”
Dan
kenyataan yang ada sama seperti yang beliau sabdakan, dimana Allah telah
mendamaikan antara penduduk Syam dan penduduk Iraq dengan perantaraan Al-Hasan
setelah mengalami masa peperangan yang panjang dan berbagai peristiwa yang
mengerikan.
Dan
firman Allah ﷻ :
فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَىَ
الاُخْرَىَ فَقَاتِلُواْ الّتِي تَبْغِي حَتّىَ تَفِيَءَ إِلَىَ أَمْرِ اللّهِ
”Jika
salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan lain, maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah”.
Maksudnya,
kembali kepada perintah Allah dan Rasul-Nya serta mendengar kebenaran dan
mentaatinya, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits shahih, dari Anas radliyallaahu
‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
انصر أخاك ظالماً أو مظلوماً» قلت: يا رسول
الله, هذا نصرته مظلوماً, فكيف أنصره ظالماً ؟ قال ﷺ: تمنعه من الظلم فذاك نصرك
إياه
”Tolonglah
saudaramu yang berbuat dhalim maupun yang didhalimi”. Lalu kutanyakan : “Ya
Rasulullah, menolong orang yang didhalimi itu aku dapat mengerti. Lalu
bagaimana aku menolong orang yang berbuat dhalim?”. Beliau ﷺ menjawab
: “Yaitu engkau mencegahnya dari berbuat dhalim, dan itulah pertolonganmu
untuknya”
Imam
Ahmad meriwayatkan : ‘Aarim memberitahu kami, Mu’tamir memberitahu kami, ia
bercerita : Aku pernah mendengar ayahku memberitahukan bahwa Anas radliyallaahu
‘anhu bercerita :
قيل للنبي ﷺ, لو أتيت عبد الله بن أبي, فانطلق إليه النبي ﷺ, وركب حماراً
وانطلق المسلمون يمشون, وهي أرض سبخة, فلما انطلق النبي ﷺ إليه قال: «إليك عني
فوالله لقد آذاني ريح حمارك» فقال رجل من الأنصار: والله لحمار رسول الله ﷺ أطيب
ريحاً منك. قال: فغضب لعبد الله رجال من قومه, فغضب لكل واحد منهما أصحابه, قال:
فكان بينهم ضرب بالجريد والأيدي والنعال, فبلغنا أنه أنزلت فيهم {وإن طائفتان من
المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما}
Pernah
ditanyakan kepada Nabi ﷺ : “Seandanya engkau mendatangi ‘Abdullah
bin Ubay”. Maka beliau pun berangkat menemuinya dengan menaiki keledai,lalu
kaum muslimin berjalan kaki di tanah yang bersemak. Setelah Nabi ﷺ
datang menemuinya, Abdullah bin Ubay berkata : “Menjauhlah engkau dariku. Demi
Allah, bau keledaimu telah mengganggu hidungku”. Kemudian ada seseorang dari
kaum Anshar yang berkata : “Demi Allah, keledai Rasulullah ﷺ
itu lebih wangi daripada baumu”. Hingga banyak orang-orang dari kaum ‘Abdullah
bin Ubay yang marah kepadanya, lalu setiap orang dari kedua kelompok marah. Dan
diantara mereka telah terjadi pemukulan dengan menggunakan pelepah daun kurma
dan juga tangan serta terompah. Perawi hadits melanjutkan : Telah sampai kepada
kami berita bahwasannya telah turun ayat yang berkenaan dengan mereka, yaitu :
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya”.
Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dalam kitab Ash-Shulh (dalam Shahih-nya), dari Musaddad;
dan Muslim dalam bab Al-Maghazi (dalam Shahiih-nya) dari Muhammad
bin ‘Abdil A’la; keduanya dari Mu’tamir bin Sulaiman dari ayahnya.
Dan
firman Allah ﷻ selanjutnya :
فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا
بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوَاْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
”Jika
golongan itu telah kembali (pada perintah Alah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil”.
Maksudnya,
bersikap adil dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di antara keduanya.
إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
”Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhumaa , ia berkata :
إن رسول الله ﷺ قال: إن المقسطين في الدنيا على منابر من لؤلؤ بين أيدي
الرحمن عز وجل بما أقسطوا في الدنيا
Sesungguhnya
Rasulullah ﷺ telah bersabda : “Sesungguhnya
orang-orang yang berbuat adil di dunia, kelak akan berada di atas mimbar yang
terbuat dari mutiara di hadapan Ar-Rahman ﷻ atas keadilan yang pernah dia lakukan di dunia”
Dan
diriwaytkan oleh An-Nasa’i, dari Muhammad bin Al-Mutsanna, dari ‘Abdul A’la
dengan lafadhnya. Dan sanad hadits ini jayyid qawiy, dan para rijalnya
berdasarkan pada syarat shahih. Dan Muhammad bin ‘Abdullah bin Zaid memberitahu
kami, dari ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu
‘anhumaa, dari Nabi ﷺ,
beliau bersabda :
المقسطون عند الله ﷻ يوم القيامة على منابر
من نور على يمين العرش, الذين يعدلون في حكمهم وأهاليهم وماولوا
”Orang-orang
yang berbuat adil di sisi Allah pada hari Kiamat kelak berada di atas
mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya di sebelah kanan ‘Arsy, yaitu mereka
yang berbuat adil dalam hukum, keluarga, dan semua yang berada di bawah
kekuasaan mereka”.
Hadits
di atas juga diriwayatkan oleh Muslim dan An-Nasa’i dari hadits Sufyan bin
‘Uyainah.
Dan
firman Allah ﷻ :
إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
”Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara”,
maksudnya
: Seluruh kaum muslimin merupakan satu saudara karena agama. Sebagaimana yang
disabdakan Rasulullah ﷺ :
المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه
”Seorang
muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh mendhalimi dan
membiarkannya (didhalimi)” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Dan
dalam hadits shahih disebutkan :
والله في عون العبد ما كان العبد في عون
أخيه
”Allah
akan terus menolong seorang hamba selama hamba itu senantiasa menolong
saudaranya”
Dan
juga dalam hadits yang lain :
إذا دعا المسلم لأخيه بظهر الغيب قال الملك
آمين ولك مثله
”Jika
seorang muslim mendoakan saudaranya darikejauhan, maka malaikat akan
mengucapkan : Amin, dan bagimu sepertinya”
Dan
hadits yang membahas masalah ini cukup banyak. Dalam hadits shahih lainnya
disebutkan :
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتواصلهم
كمثل الجسد الواحد, إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر
“Perumpamaan
orang-orang mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang mereka adalah seperti satu
tubuh. Jika salah satu bagian tubuh merasa sakit, maka seluruh anggota badan
akan merasa demam dan susah tidur”
Dalam
hadits shahih lain :
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضاً.
وشبك بين أصابعه ﷺ
”Seorang
mukmin terhadap orang mukmin lainnya adalah seperti satu bangunan yang sebagian
dengan sebagian yang lainnya saling menguatkan”. Dan pada saat itu
Rasulullah ﷺ menjalinkan jari-jemari beliau.
Imam
Ahmad meriwayatkan, Ahmad bin Al-Hajjaj memberitahu kami, ‘Abdullah memberitahu
kami, Mush’ab bin Tsabit memberitahu kami, Abu Hazim memberitahuku, ia berkata
: Aku pernah mendengar Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radliyallaahu ‘anhu
menceritakan hadits dari Rasulullah ﷺ,
beliau bersabda :
إن المؤمن من أهل الإيمان بمنزلة الرأس من
الجسد, يألم المؤمن لأهل الإيمان كما يألم الجسد في الرأس
“Sesunggunya
(hubungan) orang mukmin dengan orang-orang yang beriman adalah seperti
(hubungan) kepala dengan seluruh badan. Seorang mukmin akan merasakan sakit
karena orang mukmin lainnya sebagaimana badan akan merasa sakit karena sakit
pada kepala” (Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Imam Ahmad).
Dan
firman-Nya ﷻ
:
فَأَصْلِحُواْ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
”Karena
itu, damaikanlah antara kedua saudaramu”;
yaitu
golongan yang saling bertikai.
Firman-Nya
ﷻ
:
وَاتّقُواْ اللّهَ
”Dan
bertaqwalah kepada Allah”
yaitu,
dalam seluruh urusan kalian.
Firman-Nya
ﷻ
:
لَعَلّكُمْ تُرْحَمُون
”Supaya
engkau mendapatkan rahmat”.
Hal
tersebut merupakan penegasan dari Allah ﷻ, dimana Dia akan memberikan rahmat kepada
orang yang bertaqwa kepadanya.
Firman
Allah ﷻ :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَسْخَرْ
قَوْمٌ مّن قَوْمٍ عَسَىَ أَن يَكُونُواْ خَيْراً مّنْهُمْ وَلاَ نِسَآءٌ مّن
نّسَآءٍ عَسَىَ أَن يَكُنّ خَيْراً مّنْهُنّ وَلاَ تَلْمِزُوَاْ أَنفُسَكُمْ وَلاَ
تَنَابَزُواْ بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإَيمَانِ وَمَن
لّمْ يَتُبْ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الظّالِمُونَ
”Hai
orang-orang yang beriman, janganlah ssuatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita yang
lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik
daripada wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu
sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang
buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk sesudah beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat,
maka mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (QS. Al-Hujuraat : 11)
Allah
ﷻ melarang dari mengolok-olok orang lain,
yaitu mencela dan menghinakan mereka. Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits
shahih, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda :
الكبر بطر الحق وغمص الناس
”Kesombongan
itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia”
Dan
dalam riwayat lain disebutkan :
وغمط الناس
”Dan
meremehkan manusia”
Yang
dimaksudkan dengan hal tersebut adalah menghinakan dan merendahkan mereka. Hal
itu sudah jelas haram. Karena terkadang orang yang dihina itu lebih terhormat
di sisi Allah dan bahkan lebih dicintai-Nya daripada orang yang menghinakan.
Oleh karena itu Allah ﷻ berfirman :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَسْخَرْ
قَوْمٌ مّن قَوْمٍ عَسَىَ أَن يَكُونُواْ خَيْراً مّنْهُمْ وَلاَ نِسَآءٌ مّن
نّسَآءٍ عَسَىَ أَن يَكُنّ خَيْراً مّنْهُنّ
”Hai
orang-orang yang beriman, janganlah ssuatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita yang
lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik
daripada wanita (yang mengolok-olokkan)”.
Dengan
demikian, ayat di atas memberikan larangan terhadap kaum laki-laki yang
kemudian disusul dengan larangan terhadap kaum wanita.
Dan
firman Allah ﷻ selanjutnya :
وَلاَ تَلْمِزُوَاْ أَنفُسَكُم
”Dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri”.
Artinya
, dan janganlah kalian mencela orang lain. Orang yang mengolok dan mencela
orang lain, baik orang laki-laki dan perempuan, maka mereka itu sangat tercela dan
terlaknat, sebagaimana firman Allah :
ويل لكل همزة لمزة
”Kecelakaanlah
bagi setiap pengumpat lagi pencela” (QS. Al-Humazah : 1).
Kata
al-hamz (الهمز) berarti celaan dalam bentuk perbuatan,
sedangkan kata al-lamz (اللمز)
berarti celaan dalam bentuk ucapan. Sebagaimana yang difirmankan Allah ﷻ :
هماز مشاء بنميم
”Yang
banyak mencela, yang kian kemari menghamburkan fitnah” (QS. Al-Qalam : 11).
Artinya,
mencela orang-orang dan menghinakan mereka dengan sewenang-wenang dan berjalan
kesana kemari untuk melakukan namimah (mengadu domba), dan adu domba ini
berarti celaan dalam bentuk ucapan. Oleh
karena itu, di sini Allah ﷻ berfirman :
وَلاَ تَلْمِزُوَاْ أَنفُسَكُمْ
”Dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri”,
sebagaimana
firman-Nya ﷻ
:
ولا تقتلوا أنفسكم
”Dan
janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” (QS. An-Nisaa’ : 29).
Maksudnya,
janganlah sebagian kalian membunuh sebagian yang lain.
Mengenai
firman Allah ﷻ : { وَلاَ
تَلْمِزُوَاْ أَنفُسَكُمْ }, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair,
Qatadah, dan Muqatil bin Hayyan mengemukakan : “Artinya, janganlah sebagian
kalian menikam sebagian yang lain”.
Dan
firman Allah ﷻ selanjutnya :
وَلاَ تَنَابَزُواْ بِالألْقَابِ
”Dan
janganlah kamu pangil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk”.
Maksudnya,
janganlah kalian memanggil dengan menggunakan gelar-gelar buruk yang tidak enak
didengar.
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Asy-Sya’bi, ia bercerita bahwa Abu Jubairah bin
Adl-Dlahhak memberitahunya, ia bercerita : “Ayat ini : ‘Dan janganlah kamu
pangil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk’, turun berkenaan dengan
Bani Salamah”. Ia mengatakan : Rasulullah ﷺ
pernah tiba di Madinah dan di antara kami tidak seorang pun melainkan mempunyai
dua atau tiga nama. Dan jika beliau ﷺ
memanggil salah seorang dari mereka dengan nama-nama tersebut, maka mereka
berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia marah dengan pangilan nama tersebut”.
Maka turunlah ayat : ‘Dan janganlah kamu pangil-memanggil dengan gelar-gelar
yang buruk’.
Hadits
tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Musa bin Isma’il, dari Wahb,
dari Dawud.
Dan
firman Allah ﷻ :
بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ
الإَيمَانِ
”Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah beriman”.
Maksudnya,
seburuk-buruk sebutan dan nama panggilan adalah pemberian gelar dengan
gelar-gelar yang buruk. Sebagaimana orang-orang Jahiliyyah dahulu pernah
bertengkar setelah kalian masuk Islam dan kalian memahami keburukan itu.
وَمَن لّمْ يَتُبْ
”Dan
barangsiapa yang tidak bertaubat” - dari perbuatan tersebut.
فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الظّالِمُون
”Maka
mereka itulah orang-orang yang dhalim”
Allah
ﷻ telah berfirman :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اجْتَنِبُواْ
كَثِيراً مّنَ الظّنّ إِنّ بَعْضَ الظّنّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسّسُواْ وَلاَ يَغْتَب
بّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتّقُواْ اللّهَ إِنّ اللّهَ تَوّابٌ رّحِيمٌ
”Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah
salah seorang di antara kalian memakan memakan bangkai saudaranya yang sudah
mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Mahapenerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS.
Al-Hujuraat : 12).
Allah
ﷻ
melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari banyak prasangka, yaitu melakukan
tuduhan dan pengkhianatan terhadap keluarga dan kaum kerabat serta keseluruhan
yang tidak pada tempatnya, karena sebagian prasangka itu murni menjadi
perbuatan dosa. Maka, jauhilah banyak berprasangka sebagai suatu kewaspadaan.
Kami
telah meriwayatkan dari Amirul-Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu
‘anhu, bahwasannya ia pernah berkata :
ولا تظنن بكلمة خرجت من أخيك المؤمن إلا
خيراً, وأنت تجد لها في الخير محملاً
”Janganlah
kalian berprasangka terhadap ucapan yang keluar dari saydara mukminmu kecuali
dengan prasangka yang baik. Sedangkan engkau sendiri mendapati adanya
kemungkinan ucapan itu mengandung kebaikan”
Abu
Abdillah bin Majah meriwayatkan, Abul-Qasim bin Abi Dlamrah Nadlr bin Muhammad
bin Sulaiman Al-Hamshi memberitahu kami, ayahku memberi tahu kami, ayahku
memberi tahu kami, ‘Abdullah bin Abi Qais An-Nadlari memberi tahu kami, dari
Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia bercerita :
رأيت النبي ﷺ يطوف بالكعبة ويقول: ما أطيبك
وأطيب ريحك ما أعظمك وأعظم حرمتك, والذي نفس محمد بيده لحرمة المؤمن أعظم عند الله
ﷻ حرمة منك, ماله ودمه وأن يظن به إلا خيراً
Aku
pernah melihat Rasulullah ﷺ melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah
seraya berucap : “Sungguh indah dirimu, sangat harum aromamu, dan sungguh
agung dirimu, dan agung pula kehormatanmu. Demi Rabb yang jiwa Muhammad berada
di tangan-Nya, sesungguhnya kemuliaan seorang mukmin sangat agung di sisi Allah
ﷻ harta dan darahnya daripada dirimu (wahai Ka’bah). Dan ia tidak
berprasangka melainkan melainkan prasangka yang baik”
Hadits
di atas diriwayatkan sendiri oleh Ibnu Majah di sisi ini.
Malik
meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia bercerita :
“Rasulullah ﷺ pernah bersabda :
إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث, ولا
تجسسوا ولاتحسسوا ولا تنافسوا ولاتحاسدوا, ولا تباغضوا ولا تدابروا, وكونوا عباد
الله إخواناً
”Jauhilah
prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah
kalian meneliti rahasia orang lain, mencuri dengar, bersaing yang tidak baik,
saling dengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian ini
sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara”
Hadits
di atas diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, dari Abdullah bin Yusuf, dan Imam
Muslim, dari Yahya bin Yahya. Juga Abu Dawud dari Al-‘Atabi, dari Malik dengan
lafadhnya.
Sufyan
bin ‘Uyainah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Anas radliyallaahu ‘anhu,
ia bercerita : Telah bersabda Rasulullah ﷺ :
لا تقاطعوا ولا تدابروا ولا تباغضوا ولا
تحاسدوا, وكونوا عباد الله إخواناً, ولا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة أيام
”Janganlah
kalian saling memutuskan hubungan, jangan pula saling membelakangi, saling
membenci dan saling mendengki. Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang
bersaudara. Dan tidak dibolehkan seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih
dari tiga hari”
Hadits
di atas diriwayatkan oleh Muslim dan At-Tirmidzi serta dishahihkannya dari
hadits Sufyan bin ‘Uyainah.
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Dajin, juru tulis ‘Uqbah, ia bercerita : “Aku pernah
mengatakan kepada ‘Uqbah : ‘Sesungguhnya kami mempunyai beberapa orang tetangga
yang meminum khamr, dan aku memberi syarat kepada mereka dan mereka pun
menerimanya’. Maka ‘Uqbah berkata : ‘Jangan lakukan itu, tetapi nasihati dan
kecamlah mereka’. Lalu ia pun melakukan hal tersebut, namun mereka tidak juga
menghentikan perbuatan itu”. Kemudian
Dajin mendatanginya dan berkata : “Sesungguhnya aku telah melarang mereka,
tetapi mereka tidak juga menghentikannya. Dan sesungguhnya aku telah memberikan
persyaratan kepada mereka, lalu mereka menerimanya”. Maka ‘Uqbah berkata
kepadanya : “Celaka engkau, jangan lakukan itu, karena sesungguhnya aku pernah
mendengar Rasulullah ﷺ
bersabda :
من ستر عورة مؤمن فكأنما استحيا موؤدة من
قبرها
”Barangsiapa
menutupi aurat orang mukmin, maka seakan-akan ia telah menghidupkan seorang
mayat anak kecil yang dibunuh dari dalam kuburnya”
Hadits
senada juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’I dari hadits Laits bin
Sa’ad dengan lafadhnya.
Sufyan
Ats-Tsauri meriwayatkan dari Mu’awiyyah, ia bercerita : Aku pernah mendengar
Rasulullah ﷺ bersabda :
إنك إن اتبعت عورات الناس أفسدتهم أو كدت
أن تفسدهم
”Sesungguhnya
jika kamu mengintai aurat orang lain, berarti kamu telah merusak mereka atau
hampir merusak mereka”
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud sendiri, dari hadits Ats-Tsauri.
Firman-Nya
ﷻ
:
وَلاَ تَجَسّسُواْ
”Dan
janganlahkamu mencari-cari kesalahan orang lain”.
Maksudnya,
atas sebagian kalian. Kata at-tajassas (التجسس)
lebih sering digunakan untuk kejahatan. Dan dari kata itu muncul kata al-jaasuus
(الجاسوس) (mata-mata). Sedangkan kata at-tahassasu (التحسس)
seringkali digunakan untuk hal yang baik. Sebagaimana yang difirmankan Allah ﷻ yang menceritakan tentang Ya’qub, dimana
ia berkata :
يا بني اذهبوا فتحسسوا من يوسف وأخيه ولا
تيأسوا من روح الله
”Wahai
anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentangYusuf dan saudaranya dan
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah” (QS. Yusuf : 87).
Terkadang,
kedua istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan hal yang buruk, sebagaimana
yang ditegaskan dalam hadits shahih, bahwasannya Rasulullah ﷺ
bersabda :
لا تجسسوا ولا تحسسوا ولا تباغضوا ولا
تدابروا, وكونوا عباد الله إخواناً
”Janganlah
kalian mencari-cari keburukan dan mengintai kesalahan orang lain. Janganlah
saling membenci dan juga saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah
yang bersaudara”
Al-Auza’i
mengatakan : “Kata التجسس berarti mencari-cari sesuatu, sedangkan التحسس berarti mencuri dengar
terhadap pembicaraan suatu kaum padahal mereka tidak menyukai hal tersebut,
atau mendengarkan dari balik pintu-pintu mereka. Adapun at-tadaabaru (التدابر)
berarti memutuskan hubungan (الصرم)”.
Demikianlah
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.
Dan
firman Allah ﷻ :
وَلاَ يَغْتَب بّعْضُكُم بَعْضاً
”Dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”.
Pada
potongan ayat tersebut terdapat larangan berbuat ghibah. Rasulullah ﷺ
telah menafsirkannya sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, ia berkata :
قيل يا رسول الله ما الغيبة ؟ قال ﷺ: ذكرك
أخاك بما يكره
قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول ؟ قال ﷺ:
إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته, وإن لم يكن فيه ما تقول فقد بهته
Ditanyakan
: “Ya Rasulullah, apakah ghibah itu ?”. Beliau menjawab : “Engkau menceritakan
perihal saudaramu yang tidak disukainya”. Ditanyakan lagi : “Bagaimanakah
bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang kukatakan ?”. Rasulullah ﷺ
menjawab : “Bila keadaan saudaramu sesuai dengan yang kau katakan, maka
itulah ghibah terhadapnya. Dan jika padanya tidak terdapat apa yang engkau
katakan, maka engkau telah berbuat bohong”
Hadits
di atas juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Qutaibah, dari Ad-Darawurdi.
At-Tirmidzi berkata : “Hadits tersebut hasan shahih”. Demikianlah apa yang
dikemukakan oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa, Masruq, Qatadah, Abu Ishaq, dan Mu’awiyyah bin Qurrah.
Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa, ia bercerita :
قلت للنبي ﷺ حسبك من صفية كذا وكذا. قال
غير مسدد: تعني قصيرة, فقال ﷺ: لقد قلت كلمة لو مزجت بماء البحر لمزجته قالت:
وحكيت له إنساناً فقال ﷺ: ما أحب أني حكيت إنساناً وإن لي كذا وكذا
Pernah
kukatakan kepada Nabi ﷺ : “Cukuplah bagimu Shafiyyah seperti
demikian”. Yang dimaksud oleh ‘Aisyah di sini adalah bahwa Shafiyyah itu
seorang wanita yang pendek. Maka Nabi ﷺ
bersabda : “Sungguh engkau telahmengatakan suatukalimat (yang buruk) yang
seandainya dicampurkan dengan air laut, niscaya akan tercampur semuanya
(menjadi busuk)”. Lebih lanjut ‘Aisyah berkata : “Lalu kuceritakan tentang
seseorang kepada beliau ﷺ, maka beliau pun bersabda : “Aku tidak
suka menceritakan seseorang, sedangkan aku sendiri begini dan begitu”
Hadits
tersebut juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari hadits Yahya Al-Qaththan,
‘Abdurrahman bin Mahdi, dan Waki’, yang ketiganya meriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.
Dan At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shahih.
Menurut
kesepakatan, ghibah merupakan perbuatan yang diharamkan, dan tidak ada
pengecualian dalam hal itu kecuali jika terdapat kemaslahatan yang lebih kuat,
seperti misalnya dalam hal jarh (menilai cacat dalam masalah hadits), ta’dil
(menilai baik/peninjauan kembali dalam masalah hadits), dan nasihat. Hal itu
sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ ketika ada seorang jahat yang meminta ijin
kepada beliau ﷺ :
ائذنوا له بئس أخو العشيرة!
”Berikanlah oleh kalian ijin kepadanya, ia adalah
seburuk-buruk teman kabilah” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Dan
seperti sabda Rasulullah ﷺ kepada Fathimah bintu Qais radliyallaahu ‘anhaa,
ketika dilamar oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm : ”Adapun Mu’awiyyah adalah orang
yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abul-Jahm adalah orang yang tidak pernah
meletakkan tongkat dari pundaknya ( = ringan tangan)”. (HR. Muslim,
At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Abu Dawud).
Demikianlah
yang memang terjadi dan berlangsung. Kemudian selain dari hal di atas, maka
haram hukumnya, yang karenanya pelakunya diberikan ancaman keras. Oleh karena
itu Allah ﷻ menyerupakannya dengan memakan daging
manusia yang telah mati. Sebagaimana yang difirmankan-Nya ﷻ :
أَيُحِبّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ
أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ
”Sukakah
salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik padanya”.
Artinya,
sebagaimana kalian membenci hal ini secara naluriah, maka kalian pun harus
membencinya berdasarkan syari’at. Karena hukumnya lebih keras dari hanya
sekedar melakukannya (memakan daging). Dan hal itu merupakan upaya menjauhkan
diri dari perbuatan tersebut dan bersikap waspada terhadapnya. Sebagaimana yang
disabdakan Rasulullah ﷺ tentang orang yang mengambil kembali apa
yang telah diberikan :
كالكلب يقيء ثم يرجع في قيئه
”Seperti
anjing yang muntah, lalu ia memakan kembali muntahannya tersebut”
Dan
beliau ﷺ juga telah bersabda :
ليس لنا مثل السوء
”Kita
tidak boleh mempunyai teladan dalam hal keburukan” (HR. Bukhari).
Dan
dalam kitab Shahiih, Hasan, dan Musnad telah ditegaskan, bahwa
Rasulullah ﷺ telah bersabda dalam khutbahnya pada haji
Wada’ :
إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام
كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا
”Sesungguhnya
darah, harta benda, dan kehormatan kalian adalah haram bagi kalian seperti
haramnya hari ini, bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini”
‘Utsman
bin Abi Syaibah memberitahu kami, dari Abu Burdah Al-Balawi, ia berkata :
Rasulullah ﷺ bersabda :
يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان في
قلبه, لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم, فإنه من يتبع عوراتهم يتبع الله
عورته, ومن يتبع الله عورته يفضحه في بيته
”Wahai
sekalian orang-orang yang beriman dengan lisannya dan yang imannya tidak masuk
dalam hatinya, janganlah kalian berbuat ghibah terhadap orang-orang muslim dan
jangan pula kalian mencari aib-aib mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa
mencari aib-aib mereka, maka Allah akan mencari aibnya. Dan barangsiapa yang
dicari-cari aibnya oleh Allah, maka Dia akan mempermalukan di rumahnya”
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Al-Barra’ bin ‘Azib.
Pada
suatu hari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa pernah mengarahkan pandangannya ke Ka’bah, lalu ia
berkata :
ما أعظمك وأعظم حرمتك وللمؤمن أعظم حرمة
عند الله منك
”Sungguh
besar engkau dan agung pula kehormatanmu, dan bagi orang mukmin mempunyai
kehormatan di sisi Allah yang lebih agung darimu”
Abu
Dawud meriwayatkan dari Waqqash bin Rabi’ah, dari Al-Miswar, dimana ia pernah
memberitahukan kepadanya, bahwa Nabi ﷺ
bersabda :
من أكل برجل مسلم أكلة فإن الله يطعمه
مثلها في جهنم, ومن كسا ثوباً برجل مسلم فإن الله يكسوه مثله في جهنم, ومن قام
برجل مقام سمعة ورياء فإن الله ﷻ يقوم به مقام سمعة ورياء يوم القيامة
”Barangsiapa
memakan seorang muslim, maka sesungguhnya Allah akan memberinya makan seperti
itu di Jahannam kelak. Dan barangsiapa yang memakaikan pakaian seorang muslim,
maka Allah akan memakaikan pakaian yang sama kepadanya di Jahannam. Barangsiapa
yang membantu seseorang karena sum’ah dan riya’, maka sesungguhnya pada hari
Kiamat kelak Allah akan menempatkan dirinya pada posisi sum’ah dan riya’”.
Hadits
di atas hanya diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Ibnu
Mustahafa memberitahu kami, Baqiyyah dan Mughirah memberitahu kami, dari Anas
bin Malik radliyallaahu ‘anhu, ia bercerita, Rasulullah ﷺ
bersabda :
لما عرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس
يخشمون وجوههم وصدورهم, قلت: من هؤلاء يا جبريل ؟ قال: هؤلاء الذين يأكلون لحوم
الناس ويقعون في أعراضهم
”Ketika
aku diangkat (Mi’raj) ke langit, aku melewati kaum yang berkuku tembaga yang
mencakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya : ‘Siapakah mereka itu wahai
Jibril?’. Jibril menjawab : ‘Mereka adalah orangyang selalu memakan
daging-daging orang lain dan tenggelam dalam menodai kehormatan mereka”
(HR. Abu Dawud).
Hadits
tersebut juga diriwayatkan oleh Ahmad, dari Abul-Mughiirah ‘Abdul-Quddus bin
Al-Hajjaj Asy-Syaami dengan lafadhnya.
Diriwayatkan
oleh Al-Hafidh Al-Baihaqi dari ‘Ubaid, maula Rasulullah ﷺ
, bahwasannya ada dua orang wanita yang berpuasa pada jaman Rasulullah ﷺ. Ada seseorang yang mendatangi beliau seraya
berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya di sini terdapat dua orang wanita yang
tengah berpuasa, dan sesungguhnya keduanya hampir meninggal karena kehausan”.
Aku lihat ia berucap, lalu beliau ﷺ
berpaling darinya atau mendiamkannya. Kemudian ia berkata,”Wahai Nabi Allah,
demi Allah, sesungguhnya mereka berdua sudah meninggal atau hampir saja
meninggal”. Maka beliau berkata : ”Panggillah keduanya”. Lalu kedua
wanita itu pun datang. Kemudian dibawakan gelas besar dan mangkuk besar, lalu
beliau berkata : ”Muntahkanlah”. Maka wanita itupun mengeluarkan muntah
darah dan nanah sampai mengeluarkannya setengah gelas besar. Kemudian beliau ﷺ
berkata kepada seorang wanita satunya : ”Muntahkanlah”. Maka wanita
itupun mengeluarkan muntah darah, nanah, daging, dan darah segar, juga yang
lainnya sehingga memenuhi gelas besar. Kemudian beliau ﷺ bersabda
:
إن هاتين صامتا عما أحل الله ﷻ لهما
وأفطرتا على ما حرم الله عليهما, جلست إحداهما إلى الأخرى فجعلتا تأكلان لحوم
الناس
”Sesungguhnya
wanita ini berpuasa dari apa yang dihalalkan Allah ﷻ kepada
keduanya dan tidak berpuasa dari apa yang diharamkan Alah bagi keduanya. Lalu
salah seorang dari keduanya mendatangi wanita yang lainnya, selanjutnya
keduanya memakan daging orang-orang (mengumpat/menggunjing)”
Demikianlah
yang diriwayatkan oleh Ahmad.
Al-Hafidh
Abu Ya’la meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa , ia berkata kepada Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu,
bahwa Ma’iz pernah datang kepada Rasulullah ﷺ
seraya berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina”. Maka beliau ﷺ
berpaling darinya, sehingga ia mengucapkan empat kali. Dan pada ucapannya yang
kelima beliau ﷺ bertanya : ”Tahukah engkau apa zina
itu?”. “Ya, aku telah mencampurinya secara haram sebagaimana seorang suami
mencampurinya secara halal”. Kemudian beliau ﷺ bertanya
: ”Apa yang kamu inginkan dari perkataan ini?”. Ia menjawab : “Aku ingin
engkau menyucikan diriku”. Maka Rasulullah ﷺ bersabda : ”Apakah engkau memasukkan
kemaluanmu ke dalam kemaluan wanita itu sebagaimana menghilangnya kuas celak ke
dalam botol celak atau timba ke dalam sumur?”. Ia menjawab : ”Benar ya
Rasulullah”. Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk memberlakukan rajam
terhadapnya. Lalu Nabi ﷺ mendengar dua orang yang salah seorang
dari mereka berkata kepada temannya : “Tidakkah engkau melihat orang ini
yang telah Allah tutupi kepadanya lalu ia tidak ditinggalkan oleh nyawanya
sehingga ia dirajam seperti merajam anjing?”. Kemudian Nabi ﷺ
berjalan sampai akhirnya melewati bangkai seekor keledai, maka beliau ﷺ
bertanya : ”Dimanakah si Fulan dan si Fulan? Berhenti dan makanlah keledai
ini”. Maka kedua orang itu berkata :
“Semoga Allah memberikan ampunan kepadamu ya Rasulullah. Mana mungkin bangkai
ini dimakan?”. Maka Rasulullah ﷺ
bersabda :
فما نلتما من أخيكما آنفاً أشد أكلاً منه,
والذي نفسي بيده إنه الاَن لفي أنهار الجنة ينغمس فيها
”Kalau
begitu, apa yangtelah kalian peroleh dari saudara kalian adalah lebih menjijikkan
daripada bangkai tersebut. Demi Rabb yang jiwaku berada di Tangan-Nya,
sesungguhnya ia (Ma’iz) sekarang telah berada di sungai-sungai surga dan
menyelam ke dalamnya” (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih).
Dan
firman Allah ﷻ :
وَاتّقُواْ اللّهَ
”Dan
bertaqwalah kepada Allah”,
yaitu
dalam segala perintah dan larangan-Nya yang diberikan kepada kalian. Jadikanlah
ia sebagaipengawas kalian dalam hal itu dan takutlah kepada-Nya.
Firman-Nya
ﷻ
:
إِنّ اللّهَ تَوّابٌ رّحِيمٌ
”Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Jumhur
ulama mengatakan : “Jalan taubat yang harus ditempuh orang yang berbuat ghibah
adalah dengan melepaskan diri darinya dan berkemauan keras untuk tidak
mengulanginya kembali”.
Apakah
dalam taubat itu disyaratkan adanya
penyesalan atas segala yang telah berlalu dan meminta maaf kepada orang yang
digunjingkannya itu? Mengenai hal itu,
terdapat perbedaan pendapat. Ada ulama yang mensyaratkan agar meminta maaf
kepada orang yang digunjingkan. Ada pula yang berpendapat, tidak disyaratkan baginya
meminta maaf kepadanya. Karena jika ia memberitahu apa yang telah
digunjingkannya itu kepadanya, barangkali ia akan merasa lebih sakit daripada
jika ia tidak diberitahu. Dengan demikian, cara yang ditempuh adalah dengan
memberi sanjungan kepada orang yang telah digunjungkannya itu di tempat-tempat
dimana ia telah mencelanya. Selanjutnya, ia menghindari gunjingan orang lain
atas orang itu sesuai dengan kemampuannya. Sehingga gunjingan dibayar dengan
pujian. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah bin Sulaiman,
bahwa Isma’il bin Yahya Al-Mu’afiri memberitahukan kepadanya bahwa Sahl bin
Mu’adz bin Anas Al-Juhani memberitahunya dari ayahnya radliyallaahu ‘anhu,
dari Nabi ﷺ, beliau bersabda :
من حمى مؤمناً من منافق يغتابه, بعث الله ﷻ
إليه ملكاً يحمي لحمه يوم القيامة من نار جهنم, ومن رمى مؤمناً بشيء يريد سبه حبسه
الله ﷻ على جسر جهنم حتى يخرج مما قال
”Barangsiapa
melindungi orang mukmin dari orang munafik yang menggunjingnya, maka Allah ﷻ mengutus
malaikat yang akan melindungi dagingnya pada hari Kiamat kelak dari neraka
Jahannam. Sedangkan barangsiapa melemparkan suatu tuduhan yang dengannya ia
bermaksud mencelanya, maka Allah ﷻ akan
menahannya di atas Jahannam sehingga keluarlah apa yang dikatakannya itu”.
(Dla’if, didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dla’iiful-Jaami’ nomor
5564).
Demikianlah
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Firman
Allah ﷻ :
يَأَيّهَا النّاسُ إِنّا خَلَقْنَاكُم مّن
ذَكَرٍ وَأُنْثَىَ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوَاْ إِنّ
أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللّهِ أَتْقَاكُمْ إِنّ اللّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
”Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujuraat : 13)
Allah
ﷻ berfirman seraya memberitahukan kepada
umat manusia bahwa Dia telah menciptakan mereka dari satu jiwa, dan darinya Dia
menciptakan pasangannya, yaitu Adam dan Hawwa’.
Dan selanjutnya Dia menjadikan mereka berbangsa-bangsa. Kata شُعُوباً (berbangsa-bangsa) lebih umum daripada kata القَبَآئِلُ
(bersuku-suku). Dan setelah القَبَآئِلُ
ini berurutan tatanan yang lain, seperti الفصائل
والعشائر والعمائر والأفخاذ, dan lain-lain.
Ada
juga yang menyatakan : “Yang dimaksud dengan الشُعُوب adalah penduduk-penduduk negeri lain,
sedangkan القَبَآئِلُ adalah penduduk Arab, sebagaimana الأسباط
dimaksudkan sebagai penduduk Bani Isra’il”. Dan mengenai hal ini telah saya
ringkas dalam muqaddimah tersendiri yang saya kumpulkan dari kitab Al-Asybaah
karya Abu ‘Umar bin Abdil-Barr, juga kitab Al-Qashdu wal-Umam fii Ma’rifati
Ansaabil-‘Arab wal-‘Ajam. Dengan
demikian, dalam hal kemuliaan, seluruh umat manusia dipandang dari sisi
ketanahannya dengan Adam dan Hawwa’ ‘alaihimas-salaam adalah sama. Hanya
saja kemudian mereka itu bertingkat-tingkat jika dilihat dari sisi keagamaan,
yaitu ketaatan kepada Allah ﷻ dan kepatuhan mereka kepada Rasul-Nya.
Oleh karena itu, setelah melarang perbuatan ghibah dan mencaci antar sesama,
Allah mengingatkan bahwa mereka itu sama dalam hal sisi kemanusiaan.
Firman-Nya
ﷻ
:
يَأَيّهَا النّاسُ إِنّا خَلَقْنَاكُم مّن
ذَكَرٍ وَأُنْثَىَ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوَاْ
”Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal”.
Maksudnya,
agar saling kenal-mengenal sesama mereka, yang masing-masing kembali ke kabilah
mereka.
Mengenai
firman Allah ﷻ : ”Supaya kamu saling
kenal-mengenal”, Mujahid berkata,”Sebagaimana yang dikatakan Fulan bin
Fulan dari anu dan anu atau dari kabilah anu dan kabilah anu”. Sufyan
Ats-Tsauri berkata : “Orang-orang Humair menasabkan diri kepada kampung halaman
mereka. Sedangkan Arab Hijaz menasabkan diri kepada kabilah mereka”. Abu ‘Isa
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ,
beliau bersabda :
تعلموا من أنسابكم ما تصلون به أرحامكم,
فإن صلة الرحم محبة في الأهل مثراة في المال منسأة في الأثر
“Pelajarilah
silsilah kalian yang dengannya kalian akan menyambung tali kekeluargaan, karena
menyambung tali kekeluargaan itu dapat menumbuhkan kecintaan dalam keluarga,
kekayaan dalam harta, dan panjang umur umur”
Kemudian
At-Tirmidzi mengemukakan : “Hadits tersebut adalah gharib yang kami tidak
mengetahuinya kecuali dari sisi ini saja”.
Dan
firman-Nya ﷻ
:
إِنّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللّهِ
أَتْقَاكُمْ
”Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu”.
Maksudnya,
yang membedakan derajat kalian di sisi Allah hanyalah ketaqwaan, bukan
keturunan. Ada beberapa hadits yang menjelaskan hal tersebut yang diriwayatkan
langsung dari Nabi ﷺ . Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia
berkata :
سئل رسول الله ﷺ أي الناس أكرم ؟ قال:
«أكرمهم عند الله أتقاهم» قالوا: ليس عن هذا نسألك. قال: فأكرم الناس يوسف نبي
الله, ابن نبي الله, ابن نبي الله ابن خليل الله» قالوا: ليس عن هذا نسألك. قال:
«فعن معادن العرب تسألوني ؟ قالوا: نعم. قال: فخياركم في الجاهلية خياركم في
الإسلام إذا فقهوا
Rasulullah
ﷺ pernah ditanya : “Siapakah orang yang
paling mulia?”. Maka beliau menjawab : “Yang paling mulia di antara mereka
di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara mereka”. Para
shahabat bertanya : “Bukan masalah ini yang kami tanyakan kepadamu”. Beliau menjawab : “Jadi, orang yang paling
mulia adalah Nabi Allah Yusuf putera Nabi Allah, putera Nabi Allah, putera
kekasih Allah”. Para shahabat berkata lagi : “Bukan ini yanghendak kami
tanyakan kepadamu”. “Kalau begitu, apakah yang kalian tanyakan kepadaku itu
tentang orang-orang Arab yang paling mulia?”, tanya beliau ﷺ.
“Ya”,jawab mereka. Beliau ﷺ bersabda
: “Yang terbaik dari mereka di masa Jahiliyyah adalah yang terbaik dari
mereka pada masa Islam, jika mereka benar-benar memahami”.
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhari di tempat yang lain melalui jalan Abdah
bin Sulaiman. Juga diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab At-Tafsiir,
dari hadits ‘Ubaidullah, dia adalah Ibnu ‘Umair Al-‘Umari.
Imam
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : Rasulullah
ﷺ bersabda:
إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم ولكن
ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
”Sesungguhnya
Allah tidak melihat rupa dan harta benda kalian. Akan tetapi Dia melihat hati
dan amal perbuatan kalian” (Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ahmad bin Sinan, dari Katsir bin
Hisyam).
Imam
Ahmad rahimahullah
meriwayatkan dari Abu Dzarr radliyallaahu
‘anhu, ia menceritakan bahwa Nabi ﷺ
pernah bersabda kepadanya :
انظر فإنك لست بخير من أحمر ولا أسود إلا
أن تفضله بتقوى الله
“Lihatlah,
sesungguhnya engkau tidaklah lebih baik dari (orang berkulit) merah dan hitam
kecuali jika engkau melebihkan diri dengan ketaqwaan kepada Allah”
Hadits
di atas diriwayatkan sendiri oleh Imam Ahmad rahimahullah.
Imam
Ahmad rahimahullah
juga meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amirah, suami Darrah binti Abi Lahab,
dari Darrah binti Abi Lahab radliyallaahu
‘anhaa, ia berkata :
قام رجل إلى النبي ﷺ وهو على المنبر فقال:
يا رسول الله أي الناس خير ؟ قال ﷺ: خير الناس أقرأهم وأتقاهم لله عز وجل, وآمرهم
بالمعروف وأنهاهم عن المنكر وأوصلهم للرحم
Ada
seorang laki-laki yang berdiri menemui Nabi ﷺ
yang ketika itu beliau tengah berada di atas mimbar, lalu ia berkata : “Ya
Rasululah, siapakah orang yang paling baik itu?”. Rasulullah ﷺ
menjawab : “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik bacaan
(Al-Qur’an)nya, paling bertaqwa kepada Allah ﷻ, paling gigih menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan paling
giat menyambung silaturahim”
Dan
firman Allah ﷻ selanjutnya :
إِنّ اللّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
”Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Maksudnya,
Maha Mengetahui (tentang) kalian semua dan Maha Mengenal semua urusan kalian,
sehingga dengan demikian Dia akan memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki, menyesatkan siapa yang Dia kehendaki pula, menyayangi siapa yang Dia
kehendaki, menimpakan siksaan kepada siapa yang Dia kehendaki, mengutamakan
siapa yang Dia kehendaki, dan juga Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, dan Maha
Mengenal tentang semuanya itu. Ayat mulia dan hadits-hadits syarif ini telah
dijadikan dalil oleh beberapa ulama’ yang berpendapat bahwa kafa-ah
(sederajat) di dalam masalah nikah itu tidak dijadikan syarat, dan tidak ada
yang dipersyaratkan kecuali agama. Hal itu didasarkan pada firman Allah ﷻ :
إِنّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللّهِ
أَتْقَاكُمْ
”Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu”.
Sedangkan
ulama lainnya mengambil dalil-dalil lain yang terdapat dalam buku-buku fiqh.
Dan kami telah menyebutkan sekilas mengenai hal itu dalam kitab Al-Ahkaam.
Segala puji dan sanjungan hanya bagi Allah semata.
[selesai
– repost tulisan lama 12 Juni 2006].
Comments
Posting Komentar