Dalam
sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: اعْتَكَفَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ
فَكَشَفَ السِّتْرَ، وَقَالَ: أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا
يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا، وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي
الْقِرَاءَةِ، أَوْ قَالَ: فِي الصَّلَاةِ
Dari
Abu Sa'iid, ia berkata : "Rasulullah ﷺ
beri'tikaf di masjid, lalu beliau ﷺ mendengar
mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al-Qur'an)-nya. Kemudian beliau ﷺ
membuka tirai seraya bersabda : 'Ketahuilah, sesungguhnya kalian semua
tengah bermunajat dengan Rabbnya. Oleh karena itu janganlah sebagian yang satu
mengganggu sebagian yang lain, dan jangan pula sebagian orang mengeraskan
suaranya terhadap sebagian yang lain dalam bacaan (Al-Qur'an)’ - atau beliau ﷺ bersabda
: ‘dalam shalatnya’" [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/94, Abu
Daawud no. 1332, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 7/288-289 no. 8038, Ibnu
Khuzaimah 2/190 no. 1162, dan Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/310-311].
عَنْ الْبَيَاضِيِّ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمْ
بِالْقِرَاءَةِ، فَقَالَ: " إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ،
فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ، وَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ
بِالْقُرْآنِ "
Dari
Al-Bayaadliy : Bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah
keluar menemui orang-orang yang ketika itu mereka sedang shalat, dan suara
mereka yang sedang membaca qira’at demikian keras. Maka beliau ﷺ bersabda : “Sesungguhnya orang yang
shalat itu sedang bermunajat kepada Rabbnya. Perhatikanlah apa yang ia
munajatkan itu, dan jangan sebagian kalian mengeraskan bacaan Al-Qur’annya kepada
sebagian yang lain” [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’
1/386-387 no. 185, Ahmad 4/344, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 3/387-388
no. 3350 & 7/288 no. 8037, dan lain-lain; dishahihkan oleh Saliim Al-Hilaaliy
dalam tahqiq dan takhrij-nya terhadap Al-Muwaththa’].
Ibnu
Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah ketika menjelaskan perincian mengangkat/mengeraskan
suara di masjid, beliau berkata:
أحدهما : أن يكون بذكر الله وقراءة القرآن
والمواعظ وتعليم العلم وتعلمه ، فما كان من ذلك لحاجة عموم أهل المسجد إليه ، مثل
الأذان والإقامة وقراءة الإمام في الصلوات التي يجهر فيها بالقراءة ، فهذا كله حسن
مأمور به . وقد كان النبي ﷺ إذا خطب علا
صوته واشتد غضبه كأنه منذر جيش ، يقول : (( صبحكم ومساكم )) ، وكان إذا قرأ في
الصلاة بالناس تسمع قراءته خارج المسجد ، وكان بلال يؤذن بين يديه ويقيم في يوم
الجمعة في المسجد .
.............
وما لا حاجة إلى الجهر فيه ، فإن كان فيه
أذى لغيره ممن يشتغل بالطاعات كمن يصلي لنفسه ويجهر بقراءته ، حتى يغلط من يقرأ
إلى جانبه أن يصلي ، فإنه منهي عنه .
وقد خرج النبي ﷺ ليلة على أصحابه وهم يصلون
في المسجد ويجهرون بالقراءة ، فقال : (( كلكم يناجي ربه ، فلا يجهر بعضكم على بعض
بالقرآن .
وفي رواية : (( فلا يؤذ بعضكم بعضا ، ولا
يرفع بعضكم على بعض في القراءة .
خرجه الإمام أحمد وأبو داود والنسائي من
حديث أبي سعيد .
وكذلك رفع الصوت بالعلم زائدا على الحاجة
مكروه عند أكثر العلماء .......
“Jenis Pertama, (mengeraskan suara) dengan dzikir kepada
Allah, membaca Al-Qur’an, nasihat-nasihat, pengajaran ilmu, dan mempelajarinya.
Maka mengeraskan suara dalam katagori ini untuk memenuhi kebutuhan umumnya ahli
masjid seperti adzan, iqamat, dan qira’at imam dalam shalat-shalat jahr;
semua ini bagus lagi diperintahkan. Dulu Nabi ﷺ apabila
berkhuthbah, maka suara beliau meninggi dan kemarahan beliau memuncak seakan-akan
keadaannya seperti panglima perang yang memperingatkan pasukannya seraya berkata
: ‘Awas kalian akan diserang pagi-pagi, awas kalian akan diserang petang
hari.[1]
Apabila beliau membaca qira’at dalam shalat mengimami manusia, maka qira’at-nya
tersebut terdengar hingga di luar masjid. Dan Bilaal dulu mengumandangkan adzan
dan iqamat di hadapan beliau ﷺ pada hari Jum’at di dalam
masjid.
……..
Adapun
sesuatu yang tidak ada kebutuhan untuk mengeraskan suara padanya : Apabila menyakiti/mengganggu
orang lain yang sedang melakukan amalan ketaatan seperti misal orang yang
shalat sendirian seraya mengeraskan qira’at-nya hingga orang yang
membaca qira’ah di sampingnya keliru dalam shalatnya; maka ini
terlarang.
Nabi
ﷺ
pernah keluar pada suatu malam menemui para shahabat yang sedang melaksanakan
shalat di masjid seraya mengeraskan qira’at-nya. Maka beliau ﷺ bersabda : ‘Kalian semua sedang
bermunajat kepada Rabbnya. Maka janganlah sebagian kalian mengeraskan qira’atnya
kepada sebagian yang lain’.
Dalam
sebagian riwayat : ‘Janganlah sebagian kalian menyakiti sebagian yang lain,
dan jangan sebagian kalian mengangkat suara qira’atnya kepada sebagian yang
lain’.
Diriwayatkan
oleh Al-Imaam Ahmad, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy dari hadits Abu Sa’iid.
Begitu
juga mengangkat suara dalam perkara ilmu lebih dari kebutuhan adalah makruh
menurut jumhur ulama…. [Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 3/397-399].
Beliau
rahimahullah melanjutkan :
الوجه الثاني : رفع الصوت بالاختصام ونحوه
من أمور الدنيا ، فهذا هو الذي نهى عنه عمر وغيره من الصحابة .
ويشبه : إنشاد الضالة في المسجد ، وفي صحيح
مسلم ، عن النبي ﷺ كراهته والزجر عنه ، من رواية أبي هريرة وبريدة .
وأشد منه كراهة : رفع الصوت بالخصام
بالباطل في أمور الدين ؛ فإن الله ذم الجدال في الله بغير علم ، والجدال بالباطل ،
فإذا وقع ذلك في المسجد ورفعت الأصوات به تضاعف قبحه وتحريمه .
وقد كره مالك رفع الصوت في المسجد بالعلم
وغيره . ورخص أبو حنيفة ومحمد بن مسلمة من أصحاب مالك في رفع الصوت في المسجد
بالعلم والخصومة وغير ذلك مما يحتاج إليه الناس ؛ لأنه مجمعهم ولا بد لهم منه .
Jenis
Kedua, mengangkat suara dengan perdebatan dan semisalnya dari perkara
dunia. Maka hal ini adalah perkara yang dilarang ‘Umar[2]
dan yang lainnya dari kalangan shahabat.
Dan
yang serupa dengannya : mencari barang yang hilang di masjid. Dalam Shahiih
Muslim, dari Nabi ﷺ tentang
penyebutan ketidaksukaan dan celaan beliau terhadap perbuatan tersebut, dari
riwayat Abu Hurairah[3]
dan Buraidah[4].
Dan
kemakruhan yang paling keras : mengangkat suara dengan perdebatan kebathilan dalam
perkara agama, karena Allah ﷻ mencela perdebatan tentang
Allah tanpa ilmu dan perdebatan kebathilan. Apabila terjadi perdebatan di
masjid dan terangkat (mengeras) suaranya, maka keburukan dan keharamannya
menjadi berlipat ganda.
Maalik
memakruhkan mengangkat suara dalam urusan ilmu dan yang lainnya. Abu Haniifah dan
Muhammad bin Maslamah dari kalangan Maalikiyyah memberikan rukhshah mengangkat
suara di masjid untuk urusan ilmu dan perdebatan dalam perkara yang dibutuhkan
manusia, karena masjid adalah tempat berkumpul mereka dan hal tersebut tidak
dapat dihindari” [idem, 3/399].
Oleh
karena itu, bukan termasuk adab dalam membaca Al-Qur’an berlomba-lomba
mengeraskan bacaannyanya.
Jika
dulu suara qira’at para shahabat yang dilarang Rasulullah ﷺ adalah suara asli mereka yang hanya
terdengar di dalam masjid atau sekitar masjid; lantas bagaimana keadaannya
dengan zaman kita sekarang yang suara-suara itu sudah disambung dengan
peralatan speaker lengkap dengan amplifier-nya hingga terdengar seantero
kampung/desa/kompleks ?.
Banyak
orang melakukannya karena niat baik dan semangat menyebarkan syiar-syiar Islam.
‘Tadarusan’, qashidahan, atau bahkan ada yang latihan menjadi penyiar radio
dengan alasan membangunkan sahur. Mereka tidak sadar (atau : sadar ?) bahwa apa
yang mereka lakukan justru menganggu kaum muslimin yang lain. Dapat Anda
bayangkan, betapa meriahnya suara di dalam masjid, sementara mungkin saja ada
orang yang sedang membaca dan menghapal Al-Qur’an atau shalat. Atau di luar
masjid, banyak orang yang sedang membutuhkan ketenangan di rumahnya karena
sedang sakit, belajar, atau aktivitas lainnya.
Ketika
qira’at Al-Qur’an diperdengarkan melalui speaker/toa masjid, itu artinya
kaum muslimin yang berada di sekitar kompleks masjid tersebut ‘diharuskan’
mendengarkannya karena Allah ta’ala berfirman:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ
لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Apabila
dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat”
[QS Al-A’raaf : 204].
Asy-Syaikh
As-Sa’diy rahimahullah menjelaskan:
هذا الأمر عام في كل من سمع كتاب الله
يتلى، فإنه مأمور بالاستماع له والإنصات، والفرق بين الاستماع والإنصات، أن
الإنصات في الظاهر بترك التحدث أو الاشتغال بما يشغل عن استماعه.
وأما الاستماع له، فهو أن يلقي سمعه، ويحضر
قلبه ويتدبر ما يستمع، فإن من لازم على هذين الأمرين حين يتلى كتاب الله، فإنه
ينال خيرا كثيرا وعلما غزيرا، وإيمانا مستمرا متجددا، وهدى متزايدا، وبصيرة في
دينه، ولهذا رتب الله حصول الرحمة عليهما، فدل ذلك على أن من تُلِيَ عليه الكتاب،
فلم يستمع له وينصت، أنه محروم الحظ من الرحمة، قد فاته خير كثير.
“Perintah
ini umum terhadap semua orang yang mendengar Kitabullah dibacakan. Maka, ia
diperintahkan untuk istimaa’ (mendengarkan/memperhatikan) dan inshaat
(diam). Perbedaan antara istimaa’ dengan inshaat adalah : inshaat
(diam) secara dhaahir dilakukan dengan meninggalkan pembicaraan dan
kesibukan yang dapat menganggu aktivitasnya dalam mendengarkan/memperhatikan
(Al-Qur’an). Adapun istimaa’ (mendengarkan/memperhatikan) Al-Qur’an
adalah memasang telinganya, menghadirkan hatinya, dan mentadaburi apa yang
didengarkannya. Karena termasuk kelaziman dua perkara ini, ketika Al-Qur’an dibacakan,
maka ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, ilmu yang berlimpah, keimanan
yang senantiasa diperbaharui, petunjuk yang terus bertambah, dan bashiirah
dalam agamanya. Oleh karena itu, Allah ﷻ menetapkan diperolehnya rahmat pada
keduanya (istimaa’ dan inshaat). Hal itu juga menunjukkan bahwa barangsiapa
yang dibacakan kepadanya Al-Qur’an namun ia tidak mendengarkan/memperhatikannya
dan diam, maka dirinya tidak mendapatkan kebaikan sehingga luput baginya
kebaikan yang banyak” [Tafsiir As-Sa’diy, 1/314 – via Syaamilah].
Ketika
suara tadarusan menggema via speaker/toa masjid, kaum muslimin yang ada
di rumah-rumah mereka sedang melakukan aktivitas atau hajatnya yang tidak
mungkin dirinya multitasking sambil mendengarkan dan diam terhadap
qira’at yang terdengar di speaker/toa masjid.
Tadarusan
yang banyak dilakukan kaum muslimin di masjid-masjid pada bulan Ramadlan adalah
perbuatan yang baik. Baik pembaca atau yang menyimaknya akan mendapatkan
limpahan pahala yang banyak.
Allah
ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ
وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً
يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ
مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)
“Sesungguhnya
orang-orang yang selalu membaca Kitabullah dan mendirikan salat dan
menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan
diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak
akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan
menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Mensyukuri” [QS. Faathir : 29-30].
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ: " الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ
الْبَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ
شَاقٌّ، لَهُ أَجْرَانِ
Dari
‘Aaisyah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Orang yang pandai membaca Al-Qur’an
bersama para malaikat yang mulia lagi patuh; sedangkan orang yang membaca
Al-Qur’an dengan terbata-bata dan mendapatkan kesulitan padanya, baginya dua
pahala” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 798].
Allah
ta’ala berfirman:
فَبَشِّرْ عِبَادِ (17) الَّذِينَ
يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ
اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ (18)
“Maka
sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Ayat
ini menjelaskan bahwa mendengarkan kalaamullah menjadi sebab
diberikannya petunjuk.
Oleh
karena itu, aktivitas tadarusan hendaknya cukup didengarkan di kalangan
mereka (pembaca) saja tanpa perlu dikeraskan suaranya dengan speaker/toa hingga
keluar masjid. Jika tujuannya adalah untuk memperbaiki bacaan, maka cukup
terdengar dalam halaqah tersebut. Atau jika tujuannya hanya sekedar target mengkhatamkannya
saja, maka cukup di dengar oleh Pembacanya saja atau orang di dekatnya yang
ingin mendengarkan bacannya.
Bagusnya
bacaan Al-Qur'an seseorang, bukan berarti semua orang harus diperdengarkan
suaranya. Ada adab di sana yang telah diajarkan Nabi kita. Insyaallah,
itu lebih baik dan lebih sempurna.
Apalagi
jika sampai dendang qashidahan dan latihan menjadi penyiar, ini malah lebih
jelas kemunkaran dab keharamannya.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’
– rnn – 15 Ramadlaan 1439].
[1] Hadits dimaksud adalah:
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا خَطَبَ
احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ
مُنْذِرُ جَيْشٍ، يَقُولُ: " صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ "، وَيَقُولُ:
" بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ
السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى "، وَيَقُولُ: " أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ
خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ
الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ "، ثُمَّ يَقُولُ:
" أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ، مَنْ تَرَكَ مَالًا
فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ
Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Rasulullah
ﷺ apabila berkhuthbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi,
dan kemarahannya memuncak hingga seakan-akan keadaannya seperti panglima perang
yang memberikan peringatan kepada pasukannya seraya berkata : ‘Awas kalian akan
diserang pagi-pagi, awas kalian akan diserang petang hari.’ Beliau ﷺ bersabda :’Aku diutus sedangkan (jarak) antara aku dengan
hari kiamat (adalah) seperti dua hal ini’. Beliau ﷺ menunjukkan dua jarinya : jari telunjuk dan
jari tengah. Beliau ﷺ
melanjutkan : ‘Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ. Seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang di ada-adakan,
dan setiap bid’ah adalah kesesatan’. Kemudian beliau bersabda
: ‘Aku lebih berhak terhadap setiap mukmin daripada dirinya sendiri. Oleh
karena itu, barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah untuk keluarganya.
Dan barangsiapa yang mati dsalam keadaan meningalkan hutang atau keluarga yang
terlantar, maka itu adalah tanggungjawabku” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 867].
[2] Yaitu riwayat:
عَنْ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: كُنْتُ قَائِمًا فِي الْمَسْجِدِ فَحَصَبَنِي
رَجُلٌ فَنَظَرْتُ، فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَأْتِنِي
بِهَذَيْنِ، فَجِئْتُهُ بِهِمَا، قَالَ: مَنْ أَنْتُمَا أَوْ مِنْ أَيْنَ
أَنْتُمَا؟ قَالَا: مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ، قَالَ: " لَوْ كُنْتُمَا مِنْ
أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ "
Dari
As-Saaib bin Yaziid, ia berkata : Ketika aku berdiri di dalam masjid, tiba-tiba
ada seseorang yang melemparku dengan kerikil, yang ternyata orang itu adalah 'Umar
bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu. Ia (‘Umar) berkata : “Pergilah dan
bawalah dua orang ini kepadaku". Maka aku pun datang dengan membawa dua
orang tersebut. ‘Umar berkata : "Siapakah kalian berdua?" – atau ‘Umar
berkata : "Dari mana kalian berdua berasal?". Keduanya menjawab : "Kami
berasal dari penduduk Thaaif". 'Umar berkata : "Sekiranya kalian dari
penduduk negeri ini (Madiinah), niscaya aku akan menghukum kalian berdua,
karena kalian berdua telah meninggikan suara di masjid Rasulullah ﷺ" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 470].
[3] Riwayatnya adalah:
عَنِ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَنْ سَمِعَ رَجُلًا يَنْشُدُ
ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ، فَلْيَقُلْ: لا رَدَّهَا اللَّهُ عَلَيْكَ، فَإِنَّ
الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا
Dari
Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Barangsiapa yang mendengar seseorang mencari-cari barang
hilang di masjid, maka katakanlah : ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barang itu
kepadamu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 568].
[4] Riwayatnya adalah:
عَنْ
بُرَيْدَةَ ، أَنَّ رَجُلًا نَشَدَ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: مَنْ دَعَا إِلَى
الْجَمَلِ الأَحْمَرِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " لَا وَجَدْتَ، إِنَّمَا
بُنِيَتِ الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ لَهُ "
Dari
Buraidah : Bahwasannya ada seseorang yang mencari-cari (barang hilang) di masjid.
Ia berkata : “Siapa yang dapat mendapati onta merah (yang hilang) ?. Maka Nabi ﷺ bersabda : “Semoga engkau tidak mendapatkannya, karena masjid-masjid
dibangun hanyalah tujuan khusus dibangunnya masjid (yaitu berdzikir kepada
Allah, shalat, ilmu, mudzakarah, dan yang lainnya – Abul-Jauzaa’)”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 569].
Comments
Baru kemaren mengalami lagi sakit gigi tapi tadarusannya ga berhenti-henti sampai pukul 11 malam, rasanya nyut2an parah.
serasa dilema marah sama orang lagi ngaji
Posting Komentar