Ta’wiil Al-Bukhaariy



Dalam kitab Shahiih-nya, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy rahimahumallah berkata:
 سُورَةُ الْقَصَصِ
((كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ)): إِلَّا مُلْكَهُ، وَيُقَالُ: إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ، وَقَالَ مُجَاهِدٌ: فَعَمِيَتْ عَلَيْهِمُ الْأَنْبَاءُ: الْحُجَجُ.
“Surat Al-Qashash.
Firman Allah : ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashsash : 88); maksudnya : ‘kecuali kekuasaan/keagungan-Nya (mulkahu)’. Dan dikatakan (juga maksudnya adalah) : ‘kecuali apa yang diinginkan dengannya wajah Allah’. Mujaahid berkata : ‘Maka gelaplah bagi mereka segala macam alasan (anbaa’)’ (QS. Al-Qashash : 66), maksudnya adalah : ‘alasan (hujaj)” [Shahiih Al-Bukhaariy, 3/273].

Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy menjelaskan perkataan Al-Bukhaariy rahimahumallah tersebut sebagai berikut:
قَوْله : ( إِلَّا وَجْهه : إِلَّا مُلْكه ) فِي رِوَايَة النَّسَفِيِّ ((وَقَالَ مَعْمَر)) فَذَكَرَهُ . وَمَعْمَر هَذَا هُوَ أَبُو عُبَيْدَة بْن الْمُثَنَّى ، وَهَذَا كَلَامه فِي كِتَابه " مَجَاز الْقُرْآن " لَكِنْ بِلَفْظِ " إِلَّا هُوَ " وَكَذَا نَقَلَهُ الطَّبَرِيُّ عَنْ بَعْض أَهْل الْعَرَبِيَّة ، وَكَذَا ذَكَرَهُ الْفَرَّاء . وَقَالَ اِبْن التِّين قَالَ أَبُو عُبَيْدَة : إِلَّا وَجْهه أَيْ جَلَاله ، وَقِيلَ : إِلَّا إِيَّاهُ ، تَقُول : أَكْرَمَ اللَّه وَجْهك أَيْ أَكْرَمَك اللَّه .
“Perkataannya (Al-Bukhaariy) : ‘Kecuali wajah-Nya’, maksudnya adalah : ‘kecuali kekuasaan/keagungan-Nya’; (yaitu) dalam riwayat An-Nasafiy : ‘dan telah berkata Ma’mar’, kemudian ia menyebutkannya. Ma’mar ini adalah Abu ‘Ubaidah bin Al-Mutsannaa. Dan ini adalah perkataannya yang terdapat dalam kitabnya berjudul Majaazul-Qur’an, akan tetapi dengan lafadh : ‘kecuali Dia (Allah)’. Dan demikianlah yang dinukil oleh Ath-Thabariy dari sebagian ahli bahasa Arab. Dan demikian juga yang dinukil oleh Al-Farraa’. Ibnut-Tiin berkata : “Telah berkata Abu ‘Ubaidah : ‘Kecuali wajah-Nya’, yaitu keagungan-Nya’. Dan dikatakan juga maksudnya : ‘Kecuali diri-Nya’. Ketika engkau katakan : ‘Semoga Allah memuliakan wajahmu’, maka maksudnya : ‘Semoga Allah memuliakanmu’…..” [Fathul-Baariy, 8/505].
Dari perkataan Al-Bukhaariy ditambah dengan penjelasan Al-Haafidh rahimahumallah didapatkan beberapa faedah:
1.    Al-Bukhaariy menukil dua penafsiran ayat ‘kecuali wajah-Nya’, yaitu (1) kekuasaan/keagungan-Nya, dan (2) kecuali apa yang diinginkan dengannya wajah Allah. Yang nampak, beliau mengunggulkan penafsiran yang pertama.
2.    Penafsiran Al-Bukhaariy dengan ‘kekuasaan/keagungan-Nya’ sebagaimana dalam poin/nomot 1 di atas berasal dari periwayatan An-Nasafiy[1], dan Al-Bukhaariy menukilnya dari perkataan Ma’mar. Al-Haafidh rahimahullah mengisyaratkan keraguannya karena perkataan Ma’mar dalam kitab Majaazul-Qur’an berbeda dengan perkataan Al-Bukhaariy dari periwayatan An-Nasafiy tersebut.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy juga meragukan penisbatan itu kepada Al-Bukhaariy rahimahullah ketika ditanya tentang permasalahan ini:
جزاك الله خيرا أنت سمعت مني الشك في أن يقول البخاري هذه الكلمة لأنه (( ويبقى وجه ربك ذي الجلال والإكرام )) أي ملكه يا أخي هذا ما يقوله مسلم ومؤمن وقلت أيضا إن كان هذا موجود فقد يكون في بعض النسخ فإذا الجواب قدم سلفا وأنت جزاك الله خيرا الآن بهذ الكلام الذي ذكرته أن ليس في البخاري مثل هذا التأويل الذي هو عين التعطيل تفضل
Jazaakallaahu khairan. Engkau telah mendengar dariku keraguan dalam permasalahan bahwa Al-Bukhaariy mengatakan kalimat ini. Karena ayat ‘Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan’ (QS. Ar-Rahmaan : 27), yang dimaksud wajah adalah kekuasan-Nya, maka ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim yang beriman. Dan aku katakan juga, seandainya perkataan ini memang ada wujudnya (dari Al-Bukhaariy), maka itu hanya ada di sebagian naskah/manuskrip saja. Maka jawabannya adalah sebagaimana yang telah lalu. Dan engkau – jazaakallaahu khairan – sekarang dengan perkataan yang engkau sebutkan tadi memperjelas bahwa Al-Bukhaariy tidak memiliki ta’wiil itu yang merupakan bentuk ta’thiil (peniadaan terhadap sifat Allah)” [sumber : http://www.alalbany.me/play.php?catsmktba=16460].
Berbeda dengan yang disebutkan di point/nomor 1, Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah memandang Al-Bukhaariy rahimahumallah merajihkan pendapat yang kedua sebagaimana yang dikatakan dalam Tafsiir-nya:
وقال مجاهد والثوري في قوله: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا ما أريد به وجهه، وحكاه البخاري في صحيحه كالمقرر له.
“Mujaahid dan Ats-Tsauriy berkata tentang firman-Nya : ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashsash : 88)’, yaitu : kecuali apa yang diinginkan dengannya wajah-Nya. Al-Bukhaariy menghikayatkan dalam kitab Shahiih-nya seperti yang menjadi pendapatnya dalam tafsir ayat tersebut” [Tafsiir Ibni Katsiir, 6/261-262].
Ada kemungkinan naskah Shahiih Al-Bukhaariy yang dimaksud oleh Ibnu Katsiir tidak mencantumkan nukilan perkataan Ma’mar yang diriwayatkan oleh An-Nasafiy rahimahumullah, wallaahu a’lam.
3.    Apakah Al-Bukhaariy mengingkari sifat wajah dengan penakwilan tersebut (seandainya valid berasal darinya rahimahullah) ?
Jawabannya : Tidak.
Al-Bukhaariy rahimahullah di bagian akhir kitab Shahiih-nya menulis Kitab At-Tauhiid yang terbagi dalam beberapa bab yang isinya menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala, diantaranya :
Bab firman Allah : “Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaaul-Husna (nama-nama yang terbaik)” (QS. Al-Israa’ : 110) [Shahiih Al-Bukhaariy, 4/379] – yaitu untuk menetapkan sifat kasih sayang terhadap makhluk-Nya.
Bab firman Allah : “Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisaa’ : 134)” [idem, 4/381] – yaitu untuk menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Allah.
Bab firman Allah ta’ala : “Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya” (QS. Aali ‘Imraan : 28) dan firman-Nya : “Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu” (QS. Al-Maaidah : 116)” [idem, 4/384] – yaitu untuk menetapkan sifat nafs bagi Allah.
Bab firman Allah ‘azza wa jalla : “Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya” (QS. Al-Qashsash : 88) [idem, 4/384] – untuk menetapkan sifat wajah bagi Allah.
Bab firman Allah ta’ala : “dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku” (QS. Thaha : 39) dan firman-Nya jalla dzikruhu : “Yang berlayar dengan pemeliharaan Kami” (QS. Al-Qamar : 14) [idem] – untuk menetapkan sifat mata bagi Allah.
Bab firman Allah ta’ala : “kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75) [idem] – untuk menetapkan sifat tangan bagi Allah.
Al-Bukhaariy rahimahullah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala tersebut sebagaimana dhahirnya.
Khusus untuk sifat wajah dalam Bab Firman Allah 'Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya' (QS. Al-Qashash : 88) di atas – sebagaimana pembahasan kita di sini - , Al-Bukhaariy setelah itu membawakan satu hadits yang menjadi dalil, yaitu:
[7406] حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: " لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: أَعُوذُ بِوَجْهِكَ، فَقَالَ: أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: أَعُوذُ بِوَجْهِكَ، قَالَ: أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: هَذَا أَيْسَرُ "
[7406] Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari ‘Amru, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Ketika turun ayat ‘Katakanlah: Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu dari atas kamu’ (QS. Al-An’aam : 65), maka Nabi bersabda : “Aku berlindung dengan wajah-Mu”. ‘Atau dari bawah kakimu’ (QS. Al-An’aam : 65), maka Nabi bersabda : “Aku berlindung dengan wajah-Mu”. ‘Atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan)’ (QS. Al-An’aam : 65), maka Nabi bersabda : “Ini lebih ringan/mudah” [selesai].
Ibnu Baththaal menjelaskan hadits yang dibawakan Al-Bukhaariy rahimahumallah tersebut dengan perkataannya:
استدلاله من هذه الآية والحديث على أن لله تعالى وجهًا هو صفة ذاته
Istidlaal-nya (Al-Bukhaariy) dengan ayat dan hadits ini bahwa Allah ta’ala mempunyai wajah, hal itu merupakan sifat Dzaat-Nya” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy, 20/74].
Jika wajah dalam ayat dan hadits di atas tidak menunjukkan sifat wajah bagi Allah ta’ala sebagaimana dhahirnya, niscaya Al-Bukhaariy rahimahullah tidak menyebutkannya dalam Kitaabut-Tauhiid.
Begitu juga saat Al-Bukhaariy menyebutkan Bab Firman Allah :
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً قُلِ اللَّهُ
Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?". Katakanlah : “Allah” (QS. Al-An’aam : 19),
kemudian ia berkata:
فَسَمَّى اللَّهُ تَعَالَى نَفْسَهُ شَيْئًا، وَسَمَّى النَّبِيُّ ﷺ الْقُرْآنَ شَيْئًا وَهُوَ صِفَةٌ مِنْ صِفَاتِ اللَّهِ، وَقَالَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
“Allah ta’ala menamakan diri-Nya dengan ‘sesuatu’ (syai’ / شيء), dan begitu pula Nabi menamakan Al-Qur’an dengan ‘sesuatu’. Itu adalah sifat diantara sifat-sifat Allah. Allah berfirman : ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya” (QS. Al-Qashsash : 88)” [Shahih Al-Bukhaariy, 4/387].
Al-Bukhaariy rahimahullah menamakan syai’ untuk wajah Allah, dan wajah merupakan sifat dzaatiyyah Allah yang ia perlakukan sebagaimana dhahirnya.
4.    Jika dikatakan makna ‘wajah-Nya’ adalah sebagaimana dhahirnya, bukan berarti hanya wajah Allah yang dikecualikan dari kebinasaan sementara sifat dzaatiyyah yang lain tidak – sebagaimana dipahami sebagian orang jaahil. Oleh karena itu, Ma’mar menafsirkan wajah-Nya dengan Allah ta’ala sendiri. Itulah yang dikenal dalam bahasa Arab sebagaimana dinukil oleh Ath-Thabariy dan Al-Farraa’ rahimahumallah.
Ibnu Hajar rahimahullah telah menukil:
أَكْرَمَ اللَّه وَجْهك أَيْ أَكْرَمَك اللَّه
“Semoga Allah memuliakan wajahmu, maksudnya : semoga Allah memuliakanmu”.
5.    Ta’wiil Al-Bukhaariy dengan illaa mulkahu (kecuali kekuasaan/keagungan-Nya) tidaklah bertentangan dengan riwayat ulama lain yang mena’wilkan/menafsirkannya dengan diri Allah ta’ala.
Ibnul-Mandhuur rahimahullah berkata:
ومُلْكُ الله تعالى ومَلَكُوته سلطانه وعظمته
Mulkullaahi ta’ala wa malakuutuhu maknanya : kekuasaan dan keagungan-Nya” [Lisaanul-‘Arab, 10/491].
Al-Fairuuz Abaadiy rahimahullah berkata:
والمَلَكوتُ: العِزُّ والسلطانُ
Al-malakuut maknanya kemuliaan dan kekuasaan” [Al-Qaamuus Al-Muhiith, hal. 1232].
Az-Zajjaajiy rahimahulah berkata:
فأما الملك؛ فتأويله : ذو الملك يوم الدين، ويوم الدين هو يوم الجزاء والحساب، فوصف الله نفسه جل وعز بأنه الملك يوم لا ملك سواه.....
“Adapun Al-Malik (Raja)[2], maka ta’wilnya adalah Yang memiliki kekuasaan pada hari kiamat (yaumud-diin), dan hari kiamat adalah hari pembalasan dan penghisaban. Allah mensifati diri-Nya jalla wa ‘azza bahwasannya Ia adalah Raja pada hari yang tidak ada raja selain-Nya…..” [Isytiqaaq Asmaaillaah, hal. 43].
Sifat ini serupa dengan yang ada dalam firman Allah ta’ala:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ * وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan[3]” [QS. Ar-Rahmaan : 26-27].
Ath-Thabariy rahimahullah berkata:
القول في الإبانة عن فناء الزمان والليل والنهار وأن لا شيء يبقى غير الله تعالى ذكره الدلالة على صحة ذلك قول الله تعالى ذكره: كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ { 26 } وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ { 27 }، وقوله تعالى: لا إِلَهَ إِلا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ
“Perkataan terkait penjelasan tentang kefanaan zaman, malam, dan siang, serta bahwasannya tidak ada sesuatupun yang kekal selain Allah ta’ala. Dan petunjuk yang membenarkan pernyataan itu adalah firman Allah ta’ala : ‘Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan’ (QS. Ar-Rahmaan : 26-27). Dan juga firman-Nya ta’ala : ‘Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashash : 88)” [Taariikh Ath-Thabariy, 1/17].
Ath-Thabariy rahimahullah memahami wajah-Nya yang mempunyai keagungan dan kemuliaan serta kekal tidak akan binasa dalam dua ayat tersebut adalah Allah ta’ala.
Nabi  ketika selesai shalat fardlu biasa mengucapkan:
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ
Ya Allah, Engkaulah As-Salaam (Keselamatan) dan darimulah keselamatan, Maha Suci Engkau wahai Sang Pemilik Keagungan dan Kemuliaan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 591].
Yang memiliki keagungan dan kemuliaan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah Allah ta’ala, dan sifat tersebut sama dengan yang disandarkan pada wajah-Nya dalam QS. Ar-Rahmaan ayat 27.
Sebagaimana diketahui bahwa petunjuk nama dan sifat Allah bisa didapatkan melalui muthaabaqah, tadlammun, dan iltizaam. Ketika Al-Bukhaariy rahimahullah menyebutkan mulkahu, maka itu muthaabaqah menunjukkan Allah ta’ala yang memiliki kekuasaan/keagungan.
Tersisa pertanyaan, mengapa Al-Bukhaariy rahimahullah mengkhususkan sifat kekuasaan/keagungan Allah bukan selainnya. Kemungkinan jawabannya adalah bahwa dalam QS. Al-Qashash sebagian besarnya menceritakan tentang kesombongan dan kekufuran dua sosok manusia yang disebabkan oleh kekuasaan/keagungannya, yaitu Fir’aun dan Qaaruun – sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Munjid hafidhahullah [https://islamqa.info/ar/226876].
6.    Penetapan sifat wajah bagi Allah ta’ala merupakan madzhab salaf dari kalangan shahabat, taabi’iin, dan atbaa’ut-taabi’iin.
حَدَّثَنِي أَبِي، ثنا وَكِيعٌ، ثنا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ الْبَجَلِيِّ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: " لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ، قَالَ: الزِّيَادَةُ النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ تَعَالَى
Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Israaiil, dari Abu Ishaaq, dari ‘Aamir bin Sa’d Al-Bajaliy, dari Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu tentang firman Allah ta’alaBagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’ (QS. Yunus : 26); ia berkata : “Tambahannya (az-ziyaadah) maknanya adalah melihat wajah Allah ta’ala” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 471].
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَلْمَانَ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْمَعْمَرِيُّ، حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: قَرَأَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ، أَوْ قُرِئَتْ عِنْدَهُ "لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ " قَالُوا: وَمَا الزِّيَادَةُ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ؟ قَالَ: " النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sulaimaan : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Ma’mariy : Telah menceritakan kepada kami Suraij : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Zakariyyaa, dari ayahnya, dari Abu Ishaaq, dari ‘Aamir bin Sa’d, ia berkata : Abu Bakr Ash-Shiddiiq membaca, atau aku membaca di sampingnya ayat : ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’ (QS. Yunus : 26); orang-orang bertanya : “Apakah maksud tambahan (dalam ayat tersebut) wahai khalifah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Melihat wajah Allah ‘azza wa jalla” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaraquthniy dalam Ar-Ru’yah hal. 289 no. 192; shahih].
Tentu tidak bisa kita memalingkan perkataan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu dalam penafsirannya itu dengan melihat kekuasaan/keagungan-Nya.
Hudzaifah bin Al-Yamaan, ‘Abdullah bin Mas’uud, ‘Abdullah bin ‘Abbaas, dan Abu Muusaa Al-Asy’ariy mengatakan hal semisal Abu Bakr radliyallaahu ‘anhum dalam menafsirkan ayat tersebut.[4]
‘Ammaar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu pernah berdoa:
وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ
“Dan aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1305-1306, Ahmad 4/264, dan yang lainnya; shahih].
Fadlaalah bin ‘Ubaid radliyallaahu ‘anhu juga pernah berdoa hal serupa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ الْقَضَاءِ، وَبَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَلَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ مِنْ غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ، وَلا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu keridlaan setelah qadla-Mu, dinginnya kehidupan setelah kematian, kelezatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaraquthniy dalam Ar-Ru’yah hal. 296 no. 207; shahih].
Tentang firman Allah ta’ala :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat” [QS. Al-Qiyaamah : 22-23]
maka Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaaq bin Mandah rahimahullah (w. 395 H) berkata:
أَجْمَعَ أَهْلُ التَّأْوِيلِ كَابْنِ عَبَّاسٍ وَغَيْرِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمِنَ التَّابِعِينَ مُحَمَّدُ بْنُ كَعْبٍ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَابِطٍ، وَالْحَسَنُ بْنُ أَبِي الْحَسَنِ، وَعِكْرِمَةُ، وأَبُو صَالِحٍ، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، وَغَيْرُهُمْ أَنَّ مَعْنَاهُ إلَى وَجْهِ رَبِّهَا نَاظِرَهٌ
“Para ulama ahli ta’wiil seperti Ibnu ‘Abbaas dan lainnya dari kalangan shahabat, dari kalangan taabi’iin diantaranya Muhammad bin Ka’b, ‘Abdurrahmaan bin Saaqith, Al-Hasan bin Abil-Hasan, ‘Ikrimah, Abu Shaalih, Sa’iid bin Jubair, dan yang lainnya telah bersepakat (ijmaa’) bahwa maknanya adalah hanya kepada wajah Tuhannya lah mereka melihat” [Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah, hal. 101-102].
Salaf bersepakat tentang ‘aqidah bahwa orang-orang mukmin kelak akan melihat wajah Allah kelak di akhirat. Kesepakatan ini mengkonsekuensikan kesepakatan dalam penetapan sifat wajah bagi Allah ta’ala.
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah (w.324 H) menghikayatkan pokok ‘aqidah ahli hadits dan Ahlus-Sunnah:
جملة ما عليه أهل الحديث والسنة والاقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وما جاء من عند الله وما رواه الثقات عن رسول الله ﷺ............ وأن له وجها
“Pokok ‘aqidah yang diyakini ahli hadits dan Ahlus-Sunnah adalah : pengakuan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari Allah, serta apa saja yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah ; tanpa menolak sedikitpun dari semua hal itu…… dan bahwasannya Allah mempunyai wajah” [Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 290].
Tidak mungkin bagi Al-Bukhaariy menyelisihi mereka semua rahimahumullah.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 03032018].



[1]    Sebagaimana diketahui, Shahiih Al-Bukhaariy ini dibawakan dalam beberapa riwayat. Para periwayat kitab Shahiih Al-Bukhaariy dari Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy diantaranya adalah:
a.    Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yuusuf bin Mathar bin Shaalih bin Basyar Al-Farabriy (w. 320 H).
Para ulama yang meriwayatkan Shahiih Al-Bukhaariy darinya antara lain : Abu Ishaaq Ibraahiim bin Ahmad bin Ibraahiim Al-Balkhiy Al-Mustamiliy (w. 376 H), Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Hammuuyah bin Yuusuf Al-Hammuuyiy, khathiib negeri Sarkhas (w. 381 H), Abul-Haitsam Muhammad bin Makkiy bin Muhammad bin Makkiy Al-Kasymiihaniy (w. 389 H), dan yang lainnya.
b.    Al-Qaadliy Abu Ishaaq Ibraahiim bin Ma’qil bin Al-Hajjaaj An-Nasafiy (w. 295 H).
c.     Abu Muhammad Hammaad bin Syaakir bin Sawiyyah An-Nasafiy (w. 311 H).
d.    Abu Thalhah Manshuur bin Muhammad bin ‘Aliy bin Qariinah bin Sawiyyah Al-Bazdiy/Al-Bazdawiy An-Nasafiy (w. 319 H).
e.    Al-Qaadliy Abu ‘Abdillah Al-Husain bin Ismaa’iil Al-Mahaamiliy (w. 330 H).
f.     Dan lain-lain.
[2]    Az-Zajjaajiy rahimahullah sedang menjelaskan QS. Al-Faatihah ayat 4 yang dibaca:
مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ
 Raja di hari pembalasan”.
[3]    Ad-Daarimiy rahimahullah berkata:
وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ: كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ نَفْسُهُ الَّذِي هُوَ أَحْسَنُ الْوُجُوهِ، وَأَجْمَلُ الْوُجُوهِ، وَأَنْوَرُ الْوُجُوهِ، الْمَوْصُوفُ بِذِي الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، الَّذِي لَا يَسْتَحِقُّ هَذِهِ الصِّفَةَ غَيْرُ وَجْهِهِ
“Begitu pula dengan firman-Nya : ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashsash : 88), yaitu wajah-Nya yang merupakan wajah paling baik, paling indah, dan paling bercahaya. Yang disifati dengan memiliki keagungan dan kemuliaan, dimana tidak ada yang layak terhadap sifat ini kecuali Wajah-Nya” [Naqdu ‘Utsmaan bin Sa’iid ‘alal-Mariisiy, hal. 420].
Ibnu Khuzaimah rahimahullah juga mengatakan hal yang semisal. Ia bahkan membantah sebagian orang jahil dari kalangan Jahmiyyah yang mengatakan pensifatan dzul-jalaali wal-ikraam (yang mempunyai keagungan dan kemuliaan) adalah Allah, bukan wajah-Nya. Jika dua sifat ini kembali pada Rabb/Allah yang dalam ayat tersebut majruur, maka bacaannya juga akan mengikuti menjadi dzil-jalaali wal-ikraam (ذي الجلال والإكرام). Akan tetapi bacaan dalam QS. Ar-Rahmaan ayat 27 adalah dzul-jalaali wal-ikraam (ذُو الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ), sehingga itu kembali pada ‘wajah’ yang marfuu’ [At-Tauhiid, 1/51-52].

Comments

Anonim mengatakan...

senada dengan ust Dzul waktu membantah uas

rofi mengatakan...

Ustadz...apakah lafaz "wajah Allah" dalam Al-Qur'an itu seluruhnya dipahami dhohirnya, ataukah itu sebagian saja dan sebagian lain bisa ditakwil, seperti ayat "Dimana saja kamu menghadap, disitu wajah Allah"?

Anonim mengatakan...

Baarakallahu Fiik

Anonim mengatakan...

ustadz ada yang mengatakan "malikahu" bukan "mulkahu". bagaimana?

udahdikasihtau11347 mengatakan...

Nyimak