Dalam
kitab Shahiih-nya, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy rahimahumallah
berkata:
سُورَةُ الْقَصَصِ
((كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ)):
إِلَّا مُلْكَهُ، وَيُقَالُ: إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ، وَقَالَ
مُجَاهِدٌ: فَعَمِيَتْ عَلَيْهِمُ الْأَنْبَاءُ: الْحُجَجُ.
“Surat Al-Qashash.
Firman
Allah : ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashsash
: 88); maksudnya : ‘kecuali kekuasaan/keagungan-Nya (mulkahu)’. Dan
dikatakan (juga maksudnya adalah) : ‘kecuali apa yang diinginkan dengannya
wajah Allah’. Mujaahid berkata : ‘Maka gelaplah bagi mereka segala macam
alasan (anbaa’)’ (QS. Al-Qashash : 66), maksudnya adalah : ‘alasan (hujaj)”
[Shahiih Al-Bukhaariy, 3/273].
Al-Haafidh
Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy menjelaskan perkataan Al-Bukhaariy rahimahumallah tersebut
sebagai berikut:
قَوْله : ( إِلَّا وَجْهه : إِلَّا مُلْكه
) فِي رِوَايَة النَّسَفِيِّ ((وَقَالَ مَعْمَر)) فَذَكَرَهُ . وَمَعْمَر هَذَا
هُوَ أَبُو عُبَيْدَة بْن الْمُثَنَّى ، وَهَذَا كَلَامه فِي كِتَابه "
مَجَاز الْقُرْآن " لَكِنْ بِلَفْظِ " إِلَّا هُوَ " وَكَذَا
نَقَلَهُ الطَّبَرِيُّ عَنْ بَعْض أَهْل الْعَرَبِيَّة ، وَكَذَا ذَكَرَهُ
الْفَرَّاء . وَقَالَ اِبْن التِّين قَالَ أَبُو عُبَيْدَة : إِلَّا وَجْهه أَيْ
جَلَاله ، وَقِيلَ : إِلَّا إِيَّاهُ ، تَقُول : أَكْرَمَ اللَّه وَجْهك أَيْ
أَكْرَمَك اللَّه .
“Perkataannya (Al-Bukhaariy) : ‘Kecuali wajah-Nya’,
maksudnya adalah : ‘kecuali kekuasaan/keagungan-Nya’; (yaitu) dalam riwayat
An-Nasafiy : ‘dan telah berkata Ma’mar’, kemudian ia menyebutkannya. Ma’mar ini
adalah Abu ‘Ubaidah bin Al-Mutsannaa. Dan ini adalah perkataannya yang terdapat
dalam kitabnya berjudul Majaazul-Qur’an, akan tetapi dengan lafadh :
‘kecuali Dia (Allah)’. Dan demikianlah yang dinukil oleh Ath-Thabariy dari
sebagian ahli bahasa Arab. Dan demikian juga yang dinukil oleh Al-Farraa’. Ibnut-Tiin
berkata : “Telah berkata Abu ‘Ubaidah : ‘Kecuali wajah-Nya’, yaitu
keagungan-Nya’. Dan dikatakan juga maksudnya : ‘Kecuali diri-Nya’. Ketika
engkau katakan : ‘Semoga Allah memuliakan wajahmu’, maka maksudnya : ‘Semoga
Allah memuliakanmu’…..” [Fathul-Baariy, 8/505].
Dari
perkataan Al-Bukhaariy ditambah dengan penjelasan Al-Haafidh rahimahumallah
didapatkan beberapa faedah:
1.
Al-Bukhaariy menukil dua
penafsiran ayat ‘kecuali wajah-Nya’, yaitu (1) kekuasaan/keagungan-Nya,
dan (2) kecuali apa yang diinginkan dengannya wajah Allah. Yang nampak, beliau
mengunggulkan penafsiran yang pertama.
2.
Penafsiran Al-Bukhaariy
dengan ‘kekuasaan/keagungan-Nya’ sebagaimana dalam poin/nomot 1 di atas berasal
dari periwayatan An-Nasafiy[1],
dan Al-Bukhaariy menukilnya dari perkataan Ma’mar. Al-Haafidh rahimahullah mengisyaratkan
keraguannya karena perkataan Ma’mar dalam kitab Majaazul-Qur’an berbeda
dengan perkataan Al-Bukhaariy dari periwayatan An-Nasafiy tersebut.
Asy-Syaikh
Al-Albaaniy juga meragukan penisbatan itu kepada Al-Bukhaariy rahimahullah
ketika ditanya tentang permasalahan ini:
جزاك
الله خيرا أنت سمعت مني الشك في أن يقول البخاري هذه الكلمة لأنه (( ويبقى وجه ربك
ذي الجلال والإكرام )) أي ملكه يا أخي هذا ما يقوله مسلم ومؤمن وقلت أيضا إن كان
هذا موجود فقد يكون في بعض النسخ فإذا الجواب قدم سلفا وأنت جزاك الله خيرا الآن
بهذ الكلام الذي ذكرته أن ليس في البخاري مثل هذا التأويل الذي هو عين التعطيل
تفضل
“Jazaakallaahu
khairan. Engkau telah mendengar dariku keraguan dalam permasalahan bahwa
Al-Bukhaariy mengatakan kalimat ini. Karena ayat ‘Dan tetap kekal wajah
Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan’ (QS. Ar-Rahmaan : 27), yang
dimaksud wajah adalah kekuasan-Nya, maka ini tidak mungkin dikatakan oleh
seorang muslim yang beriman. Dan aku katakan juga, seandainya perkataan ini
memang ada wujudnya (dari Al-Bukhaariy), maka itu hanya ada di sebagian
naskah/manuskrip saja. Maka jawabannya adalah sebagaimana yang telah lalu. Dan engkau
– jazaakallaahu khairan – sekarang dengan perkataan yang engkau sebutkan
tadi memperjelas bahwa Al-Bukhaariy tidak memiliki ta’wiil itu yang
merupakan bentuk ta’thiil (peniadaan terhadap sifat Allah)” [sumber : http://www.alalbany.me/play.php?catsmktba=16460].
Berbeda
dengan yang disebutkan di point/nomor 1, Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah
memandang Al-Bukhaariy rahimahumallah merajihkan pendapat yang kedua
sebagaimana yang dikatakan dalam Tafsiir-nya:
وقال
مجاهد والثوري في قوله: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا ما أريد
به وجهه، وحكاه البخاري في صحيحه كالمقرر له.
“Mujaahid
dan Ats-Tsauriy berkata tentang firman-Nya : ‘Segala sesuatu akan binasa,
kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashsash : 88)’, yaitu : kecuali apa yang
diinginkan dengannya wajah-Nya. Al-Bukhaariy menghikayatkan dalam kitab Shahiih-nya
seperti yang menjadi pendapatnya dalam tafsir ayat tersebut” [Tafsiir Ibni
Katsiir, 6/261-262].
Ada
kemungkinan naskah Shahiih Al-Bukhaariy yang dimaksud oleh Ibnu Katsiir tidak
mencantumkan nukilan perkataan Ma’mar yang diriwayatkan oleh An-Nasafiy rahimahumullah,
wallaahu a’lam.
3.
Apakah Al-Bukhaariy
mengingkari sifat wajah dengan penakwilan tersebut (seandainya valid berasal
darinya rahimahullah) ?
Jawabannya
: Tidak.
Al-Bukhaariy
rahimahullah di bagian akhir kitab Shahiih-nya menulis Kitab
At-Tauhiid yang terbagi dalam beberapa bab yang isinya menetapkan
sifat-sifat Allah ta’ala, diantaranya :
Bab
firman Allah : “Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan
nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaaul-Husna (nama-nama yang
terbaik)” (QS. Al-Israa’ : 110) [Shahiih Al-Bukhaariy, 4/379] –
yaitu untuk menetapkan sifat kasih sayang terhadap makhluk-Nya.
Bab
firman Allah : “Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS.
An-Nisaa’ : 134)” [idem, 4/381] – yaitu untuk menetapkan sifat mendengar
dan melihat bagi Allah.
Bab
firman Allah ta’ala : “Dan Allah memperingatkan kamu terhadap
diri-Nya” (QS. Aali ‘Imraan : 28) dan firman-Nya : “Engkau mengetahui
apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu”
(QS. Al-Maaidah : 116)” [idem, 4/384] – yaitu untuk menetapkan sifat nafs
bagi Allah.
Bab
firman Allah ‘azza wa jalla : “Segala sesuatu akan binasa, kecuali
wajah-Nya” (QS. Al-Qashsash : 88) [idem, 4/384] – untuk menetapkan
sifat wajah bagi Allah.
Bab
firman Allah ta’ala : “dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku”
(QS. Thaha : 39) dan firman-Nya jalla dzikruhu : “Yang berlayar
dengan pemeliharaan Kami” (QS. Al-Qamar : 14) [idem] – untuk
menetapkan sifat mata bagi Allah.
Bab
firman Allah ta’ala : “kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua
tangan-Ku” (QS. Shaad : 75) [idem] – untuk menetapkan sifat tangan
bagi Allah.
Al-Bukhaariy
rahimahullah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala tersebut
sebagaimana dhahirnya.
Khusus
untuk sifat wajah dalam Bab Firman Allah 'Segala sesuatu akan binasa kecuali
wajah-Nya' (QS. Al-Qashash : 88) di atas – sebagaimana pembahasan kita di
sini - , Al-Bukhaariy setelah itu membawakan satu hadits yang menjadi dalil,
yaitu:
[7406] حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ
بْنُ زَيْدٍ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: "
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ
عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: أَعُوذُ بِوَجْهِكَ،
فَقَالَ: أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: أَعُوذُ
بِوَجْهِكَ، قَالَ: أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: هَذَا
أَيْسَرُ "
[7406]
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada
kami Hammaad bin Zaid, dari ‘Amru, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata :
Ketika turun ayat ‘Katakanlah: Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab
kepadamu dari atas kamu’ (QS. Al-An’aam : 65), maka Nabi ﷺ bersabda : “Aku berlindung dengan
wajah-Mu”. ‘Atau dari bawah kakimu’ (QS. Al-An’aam : 65), maka Nabi ﷺ bersabda : “Aku berlindung dengan
wajah-Mu”. ‘Atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang
saling bertentangan)’ (QS. Al-An’aam : 65), maka Nabi ﷺ bersabda : “Ini lebih ringan/mudah”
[selesai].
Ibnu
Baththaal menjelaskan hadits yang dibawakan Al-Bukhaariy rahimahumallah
tersebut dengan perkataannya:
استدلاله
من هذه الآية والحديث على أن لله تعالى وجهًا هو صفة ذاته
“Istidlaal-nya
(Al-Bukhaariy) dengan ayat dan hadits ini bahwa Allah ta’ala mempunyai
wajah, hal itu merupakan sifat Dzaat-Nya” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy, 20/74].
Jika
wajah dalam ayat dan hadits di atas tidak menunjukkan sifat wajah bagi Allah ta’ala
sebagaimana dhahirnya, niscaya Al-Bukhaariy rahimahullah tidak
menyebutkannya dalam Kitaabut-Tauhiid.
Begitu
juga saat Al-Bukhaariy menyebutkan Bab Firman Allah :
قُلْ
أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً قُلِ اللَّهُ
Katakanlah:
"Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?". Katakanlah : “Allah”
(QS. Al-An’aam : 19),
kemudian
ia berkata:
فَسَمَّى
اللَّهُ تَعَالَى نَفْسَهُ شَيْئًا، وَسَمَّى النَّبِيُّ ﷺ الْقُرْآنَ شَيْئًا
وَهُوَ صِفَةٌ مِنْ صِفَاتِ اللَّهِ، وَقَالَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا
وَجْهَهُ
“Allah
ta’ala menamakan diri-Nya dengan ‘sesuatu’ (syai’ / شيء),
dan begitu pula Nabi ﷺ menamakan Al-Qur’an dengan ‘sesuatu’. Itu
adalah sifat diantara sifat-sifat Allah. Allah berfirman : ‘Segala sesuatu
akan binasa, kecuali wajah-Nya” (QS. Al-Qashsash : 88)” [Shahih
Al-Bukhaariy, 4/387].
Al-Bukhaariy
rahimahullah menamakan syai’ untuk wajah Allah, dan wajah merupakan
sifat dzaatiyyah Allah yang ia perlakukan sebagaimana dhahirnya.
4.
Jika dikatakan makna
‘wajah-Nya’ adalah sebagaimana dhahirnya, bukan berarti hanya wajah
Allah yang dikecualikan dari kebinasaan sementara sifat dzaatiyyah yang lain
tidak – sebagaimana dipahami sebagian orang jaahil. Oleh karena itu,
Ma’mar menafsirkan wajah-Nya dengan Allah ta’ala sendiri. Itulah yang
dikenal dalam bahasa Arab sebagaimana dinukil oleh Ath-Thabariy dan Al-Farraa’ rahimahumallah.
Ibnu
Hajar rahimahullah telah menukil:
أَكْرَمَ اللَّه وَجْهك أَيْ أَكْرَمَك
اللَّه
“Semoga
Allah memuliakan wajahmu, maksudnya : semoga Allah memuliakanmu”.
5.
Ta’wiil Al-Bukhaariy dengan
illaa mulkahu (kecuali kekuasaan/keagungan-Nya) tidaklah bertentangan
dengan riwayat ulama lain yang mena’wilkan/menafsirkannya dengan diri Allah ta’ala.
Ibnul-Mandhuur
rahimahullah berkata:
ومُلْكُ
الله تعالى ومَلَكُوته سلطانه وعظمته
“Mulkullaahi
ta’ala wa malakuutuhu maknanya : kekuasaan dan keagungan-Nya” [Lisaanul-‘Arab,
10/491].
Al-Fairuuz
Abaadiy rahimahullah berkata:
والمَلَكوتُ:
العِزُّ والسلطانُ
“Al-malakuut
maknanya kemuliaan dan kekuasaan” [Al-Qaamuus Al-Muhiith, hal. 1232].
Az-Zajjaajiy
rahimahulah berkata:
فأما
الملك؛ فتأويله : ذو الملك يوم الدين، ويوم الدين هو يوم الجزاء والحساب، فوصف
الله نفسه جل وعز بأنه الملك يوم لا ملك سواه.....
“Adapun
Al-Malik (Raja)[2],
maka ta’wilnya adalah Yang memiliki kekuasaan pada hari kiamat (yaumud-diin),
dan hari kiamat adalah hari pembalasan dan penghisaban. Allah mensifati
diri-Nya jalla wa ‘azza bahwasannya Ia adalah Raja pada hari yang tidak
ada raja selain-Nya…..” [Isytiqaaq Asmaaillaah, hal. 43].
Sifat ini serupa dengan yang ada dalam firman Allah ta’ala:
كُلُّ
مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ * وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ
“Semua
yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai keagungan
dan kemuliaan[3]” [QS.
Ar-Rahmaan : 26-27].
Ath-Thabariy
rahimahullah berkata:
القول
في الإبانة عن فناء الزمان والليل والنهار وأن لا شيء يبقى غير الله تعالى ذكره
الدلالة على صحة ذلك قول الله تعالى ذكره: كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ { 26 }
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ { 27 }، وقوله تعالى: لا
إِلَهَ إِلا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ
“Perkataan
terkait penjelasan tentang kefanaan zaman, malam, dan siang, serta bahwasannya
tidak ada sesuatupun yang kekal selain Allah ta’ala. Dan petunjuk yang
membenarkan pernyataan itu adalah firman Allah ta’ala : ‘Semua yang
ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai keagungan
dan kemuliaan’ (QS. Ar-Rahmaan : 26-27). Dan juga firman-Nya ta’ala
: ‘Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Segala sesuatu akan
binasa, kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashash : 88)” [Taariikh Ath-Thabariy,
1/17].
Ath-Thabariy
rahimahullah memahami wajah-Nya yang mempunyai keagungan dan kemuliaan serta
kekal tidak akan binasa dalam dua ayat tersebut adalah Allah ta’ala.
Nabi
ﷺ ketika selesai shalat fardlu biasa
mengucapkan:
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ،
تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ
“Ya
Allah, Engkaulah As-Salaam (Keselamatan) dan darimulah keselamatan, Maha Suci
Engkau wahai Sang Pemilik Keagungan dan Kemuliaan” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 591].
Yang
memiliki keagungan dan kemuliaan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah Allah
ta’ala, dan sifat tersebut sama dengan yang disandarkan pada wajah-Nya
dalam QS. Ar-Rahmaan ayat 27.
Sebagaimana diketahui bahwa petunjuk nama dan sifat Allah
bisa didapatkan melalui muthaabaqah, tadlammun, dan iltizaam.
Ketika Al-Bukhaariy rahimahullah menyebutkan mulkahu, maka itu muthaabaqah
menunjukkan Allah ta’ala yang memiliki kekuasaan/keagungan.
Tersisa pertanyaan, mengapa Al-Bukhaariy rahimahullah mengkhususkan
sifat kekuasaan/keagungan Allah bukan selainnya. Kemungkinan jawabannya adalah
bahwa dalam QS. Al-Qashash sebagian besarnya menceritakan tentang kesombongan
dan kekufuran dua sosok manusia yang disebabkan oleh kekuasaan/keagungannya,
yaitu Fir’aun dan Qaaruun – sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Munjid hafidhahullah
[https://islamqa.info/ar/226876].
6.
Penetapan sifat wajah
bagi Allah ta’ala merupakan madzhab salaf dari kalangan shahabat, taabi’iin,
dan atbaa’ut-taabi’iin.
حَدَّثَنِي
أَبِي، ثنا وَكِيعٌ، ثنا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَامِرِ بْنِ
سَعْدٍ الْبَجَلِيِّ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: " لِلَّذِينَ
أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ، قَالَ: الزِّيَادَةُ النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ
اللَّهِ تَعَالَى
Telah
menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Israaiil, dari
Abu Ishaaq, dari ‘Aamir bin Sa’d Al-Bajaliy, dari Abu Bakr radliyallaahu
‘anhu tentang firman Allah ta’ala ‘Bagi orang-orang yang berbuat
baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’ (QS. Yunus : 26); ia
berkata : “Tambahannya (az-ziyaadah) maknanya adalah melihat wajah Allah
ta’ala” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 471].
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ سَلْمَانَ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْمَعْمَرِيُّ،
حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي
إِسْحَاقَ، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: قَرَأَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ،
أَوْ قُرِئَتْ عِنْدَهُ "لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
" قَالُوا: وَمَا الزِّيَادَةُ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ؟ قَالَ: "
النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Sulaimaan : Telah menceritakan kepada kami
Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Ma’mariy : Telah menceritakan kepada kami Suraij : Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin Zakariyyaa, dari ayahnya, dari Abu Ishaaq,
dari ‘Aamir bin Sa’d, ia berkata : Abu Bakr Ash-Shiddiiq membaca, atau aku
membaca di sampingnya ayat : ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala
yang terbaik (surga) dan tambahannya’ (QS. Yunus : 26); orang-orang
bertanya : “Apakah maksud tambahan (dalam ayat tersebut) wahai khalifah
Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Melihat wajah Allah ‘azza wa jalla”
[Diriwayatkan oleh Ad-Daaraquthniy dalam Ar-Ru’yah hal. 289 no. 192;
shahih].
Tentu
tidak bisa kita memalingkan perkataan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu dalam
penafsirannya itu dengan melihat kekuasaan/keagungan-Nya.
Hudzaifah
bin Al-Yamaan, ‘Abdullah bin Mas’uud, ‘Abdullah bin ‘Abbaas, dan Abu Muusaa
Al-Asy’ariy mengatakan hal semisal Abu Bakr radliyallaahu ‘anhum dalam
menafsirkan ayat tersebut.[4]
‘Ammaar
bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu pernah berdoa:
وَأَسْأَلُكَ
لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ
ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ
“Dan
aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan untuk berjumpa
dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan”
[Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1305-1306, Ahmad 4/264, dan yang lainnya;
shahih].
Fadlaalah
bin ‘Ubaid radliyallaahu ‘anhu juga pernah berdoa hal serupa:
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ الْقَضَاءِ، وَبَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ
الْمَوْتِ، وَلَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ مِنْ
غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ، وَلا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ
“Ya
Allah, aku mohon kepada-Mu keridlaan setelah qadla-Mu, dinginnya kehidupan
setelah kematian, kelezatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk berjumpa
dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan”
[Diriwayatkan oleh Ad-Daaraquthniy dalam Ar-Ru’yah hal. 296 no. 207;
shahih].
Tentang
firman Allah ta’ala :
وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat” [QS. Al-Qiyaamah : 22-23]
maka
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaaq bin Mandah rahimahullah (w. 395 H)
berkata:
أَجْمَعَ
أَهْلُ التَّأْوِيلِ كَابْنِ عَبَّاسٍ وَغَيْرِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمِنَ
التَّابِعِينَ مُحَمَّدُ بْنُ كَعْبٍ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَابِطٍ،
وَالْحَسَنُ بْنُ أَبِي الْحَسَنِ، وَعِكْرِمَةُ، وأَبُو صَالِحٍ، وَسَعِيدُ بْنُ
جُبَيْرٍ، وَغَيْرُهُمْ أَنَّ مَعْنَاهُ إلَى وَجْهِ رَبِّهَا نَاظِرَهٌ
“Para
ulama ahli ta’wiil seperti Ibnu ‘Abbaas dan lainnya dari kalangan shahabat,
dari kalangan taabi’iin diantaranya Muhammad bin Ka’b, ‘Abdurrahmaan bin
Saaqith, Al-Hasan bin Abil-Hasan, ‘Ikrimah, Abu Shaalih, Sa’iid bin Jubair, dan
yang lainnya telah bersepakat (ijmaa’) bahwa maknanya adalah hanya
kepada wajah Tuhannya lah mereka melihat” [Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah, hal.
101-102].
Salaf
bersepakat tentang ‘aqidah bahwa orang-orang mukmin kelak akan melihat wajah
Allah kelak di akhirat. Kesepakatan ini mengkonsekuensikan kesepakatan dalam
penetapan sifat wajah bagi Allah ta’ala.
Abul-Hasan
Al-Asy’ariy rahimahullah (w.324 H) menghikayatkan pokok ‘aqidah ahli
hadits dan Ahlus-Sunnah:
جملة
ما عليه أهل الحديث والسنة والاقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وما جاء من عند
الله وما رواه الثقات عن رسول الله ﷺ............ وأن له وجها
“Pokok
‘aqidah yang diyakini ahli hadits dan Ahlus-Sunnah adalah : pengakuan kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa
yang datang dari Allah, serta apa saja yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah ﷺ;
tanpa menolak sedikitpun dari semua hal itu…… dan bahwasannya Allah mempunyai
wajah” [Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 290].
Tidak
mungkin bagi Al-Bukhaariy menyelisihi mereka semua rahimahumullah.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada
manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 03032018].
[1] Sebagaimana diketahui, Shahiih
Al-Bukhaariy ini dibawakan dalam beberapa riwayat. Para periwayat kitab Shahiih
Al-Bukhaariy dari Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy
diantaranya adalah:
a.
Abu ‘Abdillah Muhammad
bin Yuusuf bin Mathar bin Shaalih bin Basyar Al-Farabriy (w. 320 H).
Para
ulama yang meriwayatkan Shahiih Al-Bukhaariy darinya antara lain : Abu
Ishaaq Ibraahiim bin Ahmad bin Ibraahiim Al-Balkhiy Al-Mustamiliy (w. 376 H),
Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Hammuuyah bin Yuusuf Al-Hammuuyiy,
khathiib negeri Sarkhas (w. 381 H), Abul-Haitsam Muhammad bin Makkiy bin
Muhammad bin Makkiy Al-Kasymiihaniy (w. 389 H), dan yang lainnya.
b.
Al-Qaadliy Abu Ishaaq
Ibraahiim bin Ma’qil bin Al-Hajjaaj An-Nasafiy (w. 295 H).
c.
Abu Muhammad Hammaad
bin Syaakir bin Sawiyyah An-Nasafiy (w. 311 H).
d.
Abu Thalhah Manshuur
bin Muhammad bin ‘Aliy bin Qariinah bin Sawiyyah Al-Bazdiy/Al-Bazdawiy
An-Nasafiy (w. 319 H).
e.
Al-Qaadliy Abu
‘Abdillah Al-Husain bin Ismaa’iil Al-Mahaamiliy (w. 330 H).
f.
Dan lain-lain.
[2] Az-Zajjaajiy rahimahullah sedang
menjelaskan QS. Al-Faatihah ayat 4 yang dibaca:
مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Raja di hari pembalasan”.
[3] Ad-Daarimiy rahimahullah berkata:
وَكَذَلِكَ
قَوْلُهُ: كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ نَفْسُهُ الَّذِي هُوَ أَحْسَنُ
الْوُجُوهِ، وَأَجْمَلُ الْوُجُوهِ، وَأَنْوَرُ الْوُجُوهِ، الْمَوْصُوفُ بِذِي
الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، الَّذِي لَا يَسْتَحِقُّ هَذِهِ الصِّفَةَ غَيْرُ
وَجْهِهِ
“Begitu pula dengan firman-Nya : ‘Segala
sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashsash : 88),
yaitu wajah-Nya yang merupakan wajah paling baik, paling indah, dan paling
bercahaya. Yang disifati dengan memiliki keagungan dan kemuliaan, dimana tidak
ada yang layak terhadap sifat ini kecuali Wajah-Nya” [Naqdu ‘Utsmaan bin
Sa’iid ‘alal-Mariisiy, hal. 420].
Ibnu Khuzaimah rahimahullah juga mengatakan hal yang semisal.
Ia bahkan membantah sebagian orang jahil dari kalangan Jahmiyyah yang
mengatakan pensifatan dzul-jalaali wal-ikraam (yang mempunyai keagungan
dan kemuliaan) adalah Allah, bukan wajah-Nya. Jika dua sifat ini kembali pada Rabb/Allah
yang dalam ayat tersebut majruur, maka bacaannya juga akan mengikuti
menjadi dzil-jalaali wal-ikraam (ذي الجلال والإكرام). Akan tetapi bacaan dalam QS.
Ar-Rahmaan ayat 27 adalah dzul-jalaali wal-ikraam (ذُو
الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ), sehingga itu kembali pada ‘wajah’ yang marfuu’ [At-Tauhiid,
1/51-52].
[4] Silakan baca artikel terkait : 'Aqidah
Ahlus-Sunnah : Kaum Mukminin Kelak Akan Melihat Allah di Hari Kiamat/Akhirat
(Ru'yatullah).
Comments
senada dengan ust Dzul waktu membantah uas
Ustadz...apakah lafaz "wajah Allah" dalam Al-Qur'an itu seluruhnya dipahami dhohirnya, ataukah itu sebagian saja dan sebagian lain bisa ditakwil, seperti ayat "Dimana saja kamu menghadap, disitu wajah Allah"?
Baarakallahu Fiik
ustadz ada yang mengatakan "malikahu" bukan "mulkahu". bagaimana?
Nyimak
Posting Komentar