Seandainya
kita mengaji dan mendakwahkan tauhid yang 3 (Rubuubiyyah, Uluuhiyyah, dan Asmaa
wa Shifaat), mengatakan sebagian amalan tawassul dan istighatsah termasuk
bid'ah bahkan syirik, ritual tahlilan dan perayaan maulid bid'ah,
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah adalah salah satu ulama besar Islam; apakah itu
akan membuat umumnya orang-orang Asw*j* tenang dan suka cita ? Tidak, bahkan
mereka terusik serta akan senantiasa menggembosi dan memprovokasi sebagaimana
terekam dalam sejarah bapak dan kakek-kakek kita.
Seandainya
kita mengatakan cara-cara politik praktis, demokrasi dan demonstrasi, serta
taktik oportunistik ala Al-Ikhwaanul-Muslimuun tidak disyari'atkan dalam
Islam, terlarang, dan perlu ditahdzir; apakah ini akan membuat mereka lapang
dada dalam menerima kita ?. Belum lagi jika kita katakan 'aqiidah tafwiidl-nya
Hasan Al-Bannaa dan fikrah takfiriy nya Sayyid Quthb merupakan bentuk
penyimpangan dari manhaj Ahlus-Sunnah..... tentu akan membuat mereka meradang.
Apakah
Anda mengira sebagian habaaib (include : para penganut thariqah) bersama
pengikut dan simpatisan fanatiknya itu akan gembira ria dengan dakwah tauhid
yang telah berabad-abad ingin mereka musnahkan dengan stigma dakwah Wahabi
(sesat) ?
Apakah
Anda mengira orang Hizbut-Tahriir, Jama'ah Tabligh, LDII, dan yang lainnya
menjadi tambah sehat, gemuk-gemuk, sejahtera, dan sentausa jika dakwah tauhid
atau dahwah salafiyyah menjadi bergema di semua penjuru tempat disertai
penjelasan penyelisihan mereka terhadap manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah ?
Sebaliknya,
kita pun tak akan tenang bergaul akrab dengan penggemar klenik berdalih
karamah, pelaku bid'ah, takfiri, atau oportunis politik yang gemar menggunakan
label dakwah untuk kepentingan dunia. Atau, (pasti) tidak akan tenang pula membiarkan
anak, istri, dan keluarga kita banyak memperoleh siraman rohani pencerahan dari
mereka.....
Mereka
akan 'menerima' kita dengan syarat tak mengusik/mengkritik 'aqidah dan amalan
mereka atau - sukur-sukur - kita menerima apa yang menjadi bagian dari
agama mereka. Dan itu tak mungkin,…. karena ketika kita bicara tauhid, pasti
akan menyinggung syirik dan segala macam bentuk amalannya. Ketika kita bicara
sunnah, tentu kita ikuti dengan kebalikannya, bid'ah. Ketika bicara manhaj
Ahlus-Sunnah, secara langsung atau tidak langsung akan bicara manhaj lain yang
menjadi musuhnya. Sejarah permusuhan antara tauhid dan syirik, bid’ah dan
sunnah sudah sangat tua. Lebih tua dibandingkan Prasasti Ciaruteun di Cibungbulang,
Kabupaten Bogor.
Jika
kita ingin diterima semua golongan tanpa gesekan, PASTI ada yang dikorbankan.
Sedikit atau banyak. Silakan lihat kenyataan yang dapat diindera dengan mata
dan telinga kita, bagaimana keadaan para penyeru 'pluralitas' itu ..... Mulut
mereka terpenjara. Mau bilang syirik dan bid'ah; dari semula bebas, jelas, dan
lantang dikatakan di setiap pengajian; menjadi lirih, bisik-bisik, dan akhirnya
blackout alias mati lampu. Sunyi dan sepi. Sesekali terdengar suara
jangkrik. Lidah yang semula sangat berat mengatakan yang bid'ah bukan bid'ah;
sekali, dua kali, dan tiga kali, menjadi terbiasa. Bahasa diplomatis keluar :
perkara khilafiyyah. Akhirnya malah berani mengatakan : Tak mengapa, atau
bahkan Sunnah.
Hati
orang yang seaqidah dan semanhaj akan nyaman berkumpul dengan yang sejenisnya.
Nabi ﷺ bersabda:
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا
تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Ruh-ruh
itu bagaikan tentara yang berkelompok-kelompok. Jika saling mengenal (mempunyai
kesesuaian) di antara mereka, maka akan bersatu. Namun jika saling mengingkari
(tidak ada kesesuaian), maka akan berselisih” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 3336, Muslim no. 2638, Abu Daawud no. 4834, dan yang lainnya].
Ini
adalah realitas, sunnah kauniyyah. Bukan kampanye pendikotomian antar kelompok,
tapi memang wujud riil dikotomi itu sendiri. Bukankah Allah ta'ala
berfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ
أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ * إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
"Jika
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, akan tetapi
mereka senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Rabbmu" [QS. Huud : 118-119].
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Dan
kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi
Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa
yang dikehendaki-Nya” [QS. An-Nahl : 93].
???
Dalam
sebuah hadits:
عَنْ أَبِي عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ، عَنْ
مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ، أَنَّهُ قَامَ فِينَا، فَقَالَ: أَلَا إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَامَ فِينَا، فَقَالَ: " أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ
مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً،
وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ
وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Dari
Abu ‘Aamir Al-Hauzaniy, dari Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan bahwasannya ia (Mu’aawiyyah)
pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata : “Ketahuilah, sesungguhnya
Rasulullah ﷺ pernah berdiri di hadapan kami, kemudian
beliau bersabda : ‘Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari
ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua)
golongan, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga)
golongan. (Adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan satu golongan
akan masuk surga, yaitu Al-Jama’ah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no.
4597].
Tujuhpuluh
dua golongan tersebut adalah sekte-sekte yang menyimpang dari Ahlus-Sunnah dari
kalangan ahlul-bid’ah. Sekte-sekte tersebut ada yang masih tetap dalam
keislamannya, ada yang telah keluar dari wilayah Islam (kafir).
Ketika
menafsirkan ayat ‘akan tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’ (QS. Huud : 118-119), beberapa
ulama menjelaskan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: وَلا يَزَالُونَ
مُخْتَلِفِينَ، قَالَ: أَهْلُ الْبَاطِلِ، إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ:
أَهْلُ الْحَقِّ
Dari
Ibnu ‘Abbaas tentang ayat ‘akan tetapi mereka senantiasa berselisih’, ia
berkata : “Yaitu Ahlul-Baathil”; dan ayat ‘kecuali orang-orang yang diberi
rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : “Ahlul-Haq”.
عَنْ عِكْرِمَةَ، فِي قَوْلِهِ: "وَلا
يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ: لا يَزَالُونَ
مُخْتَلِفِينَ فِي الْهَوَى
Dari
‘Ikrimah tentang firman-Nya ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih.
Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : “Mereka
senantiasa berselisih dalam hawa nafsu”.
عَنْ قَتَادَةَ، قَوْلَهُ: "وَلا
يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، فَأَهْلُ رَحْمَةِ اللَّهِ
أَهْلُ جَمَاعَةٍ، وَإِنْ تَفَرَّقَتْ دُورُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ، وَأَهْلُ
مَعْصِيَةِ اللَّهِ أَهْلُ فُرْقَةٍ، وَإِنْ اجْتَمَعَتْ دُورُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ
Dari
Qataadah tentang firman-Nya ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih.
Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : ‘Orang
yang diberikan rahmat Allah adalah Ahlul-Jamaa’ah, meskipun tempat tinggal dan
badan-badan mereka (secara fisik) terpisah. Sedangkan orang yang bermaksiat
kepada Allah adalah Ahlul-Furqah (orang-orang yang berpecah-belah), meskipun
tempat tinggal dan badan-badan mereka (secara fisik) berkumpul”.
[Tafsiir
Ath-Thabariy, 15/533].
Menilik
ayat, hadits, dan atsar di atas dapat diambil beberapa faedah:
1.
Merupakan sunnah
kauniyyah umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dimana hanya ada satu
yang masuk surga, yaitu Al-Jama’ah.
2.
Al-Jama’ah atau
disebut Ahlur-Rahmah adalah orang-orang yang tidak berselisih dan terpecah.
Mereka adalah orang yang menetapi kebenaran meskipun terpisah badan dan tempat
tinggalnya.
3.
Tidak disebut
Al-Jama’ah dengan berkumpulnya fisik selama mereka berada di atas kemaksiatan,
hawa nafsu, dan kebid’ahan.
Ketika
ada perintah Allah untuk mengikat persatuan di antara kaum muslimin, maksudnya
adalah persatuan di atas asas kebenaran (al-haq). Seandainya orang yang
beridentitas Islam dan mengaku muslim dengan segala ragam ‘aqidah dan manhaj
semuanya disatukan – atau bahkan dipaksa satu – tetap saja tidak dinamakan al-jama’ah,
karena al-jama’ah itu satu, yaitu orang-orang yang mengikatkan diri pada
manhaj Nabi ﷺ dan para shahabatnya, sebagaimana tafsiran
Al-Jama’ah itu sendiri dalam riwayat yang lain:
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“Apa
yang aku dan para shahabatku ada di atasnya pada hari ini” [Diriwayatkan
oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/218-219].
Kenyataannya
memang tidak bisa (disatukan), sebagaimana realitas disebutkan di awal.
Kecuali akan timbul sekte baru yang ‘pluralis’, enjoy diam satu dengan
yang lainnya (sukutiyyun).
Eksistensi
al-jama’ah atau al-firqatun-naajiyyah dengan sekte-sekte sesat
dari kalangan pengikut kebid’ahan dan hawa nafsu saling meniadakan dan saling
bermusuhan. Dan memang tidak akan dapat disatukan antara yang haq dan yang
bathil. Al-haq akan senantiasa bermusuhan dengan al-baathil.
Allah ta’ala berfirman:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ
فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ
“Sebenarnya
Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya,
maka dengan serta merta yang batil itu lenyap” [QS. Al-Anbiyaa’ : 18].
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ
إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Dan
katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap".
Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” [QS.
Al-Israa’ : 81].
Allah
ta’ala melarang untuk mencampurk-adukkan yang haq dan yang bathil.
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ
وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan
janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu
sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 42].
Ketika
kita mengajak berjama’ah (baca : persatuan), maka jalan yang kita tempuh adalah
berdakwah mengajak orang beragama sesuai dengan pemahaman salaf. Sesuai patron
Nabi ﷺ
yang murni. Inilah jama’ah yang hakiki atau persatuan yang hakiki.
Abu
'Abdillah Al-Marwaziy rahimahullah pernah memberikan nasihat :
قَبَضَ اللَّهُ رَسُولَهُ ﷺ إِلَيْهِ
بَعْدَ أَنْ أَكْمَلَ لِلْمُسْلِمِينَ دِينَهُمْ ، فَقَالَ : الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ
دِينًا سورة المائدة آية 3 ، نَزَلَتْ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَاقِفٌ بِعَرَفَاتٍ ،
فَلَمْ يَنْزِلْ بَعْدَهَا حَلالٌ وَلا حَرَامٌ ، وَرَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
فَمَاتَ
وَأَمَرَهُمُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
بِالاجْتِمَاعِ عَلَى مَا جَاءَهُمْ عَنْهُ ، وَنَهَاهُمْ عَنِ التَّفَرُّقِ مِنْ
بَعْدِ أَنْ جَاءَهُمُ الْبَيَانُ ، فَقَالَ : وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ
جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ
أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
سورة آل عمران آية 103 ، وَقَالَ سُبْحَانَهُ : وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ
تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ سورة آل عمران
آية 105 ،
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " لا
تَقَاطَعُوا وَلا تَدَابَرُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا " ،
وَقَالَ ﷺ : " لا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ " ، وَقَالَ ﷺ
: مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ
"Allah
ta'ala mewafatkan Rasul-Nya ﷺ setelah menyempurnakan bagi kaum muslimin
agama mereka. Allah berfirman : 'Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu
jadi agama bagimu' (QS. Al-Maaidah : 3). Ayat itu turun dimana waktu itu
Rasulullah ﷺ
sedang berdiri di 'Arafah. Tidak turun perkara halal dan haram setelahnya (ayat
tersebut). Lalu Rasulullah ﷺ kembali dan kemudian wafat.
Dan
Allah tabaraka wa ta'ala memerintahkan mereka untuk BERSATU di atas
agama yang turun kepada mereka (yang telah sempurna), dan melarang PERPECAHAN
setelah datang penjelasan kepada mereka. Allah ta'ala berfirman : 'Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara' (QS. Aali
'Imraan : 103). Dan Allah juga berfirman : 'Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang
jelas kepada mereka' (QS. Aali 'Imraan : 105).
Rasulullah
ﷺ
bersabda : ‘Janganlah kalian saling memutuskan hubungan dan jangan pula
saling memalingkan muka. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara’.
Beliau ﷺ
bersabda : ‘Jangan kalian berselisih sehingga hati-hati kalian berselisih’.
Beliau ﷺ
juga bersabda : ‘Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, hendaklah
ia menetapi jama’ah” [As-Sunnah,
hal. 43-44 no. 6].[1]
Selain
itu, jama’ah juga dapat berarti : ‘berkumpul di atas pemimpin (ulil-amri) yang
satu’. Nabi ﷺ
bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ
امْرِئٍ مُسْلِمٍ: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ، وَالنُّصْحُ لِأَئِمَّةِ
الْمُسْلِمِينَ، وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ
“Ada
tiga perkara yang membuat hati seorang muslim tidak merasa dengki terhadapnya :
ikhlash beramal karena Allah, menasehati para pemimpin kaum muslimin, dan
menetapi jama’ah mereka” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2658].
Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan:
وقوله ولزوم جماعتهم هذا ايضا مما يطهر
القلب من الغل والغش فإن صاحبه للزومه جماعة المسلمين يحب لهم ما يحب لنفسه ويكره
لهم ما يكره لها ويسوؤه ما يسؤوهم ويسره ما يسرهم وهذا بخلاف من انجاز عنهم واشتغل
بالطعن عليهم والعيب والذم لهم كفعل الرافضة والخوارج والمعتزلة وغيرهم فإن قلوبهم
ممتلئة نحلا وغشا ولهذا تجد الرافضة ابعد الناس من الاخلاص اغشهم للائمة والامة واشدهم
بعدا عن جماعة المسلمين
Dan
sabda beliau ﷺ : ‘dan menetapi jama’ah mereka’;
ini juga termasuk satu hal yang bisa membersihkan hati dari sifat iri dan
dengki. Karena pelakunya, dengan menetapi jama’ah kaum muslimin, berarti dia
mencintai mereka sebagaimana cintanya kepada diri sendiri. Dan akan
menyakitkannya apa yang membuat mereka sakit. Akan membuatnya mudah (lapang)
apa yang memudahkan mereka. Hal ini berbeda jauh dengan keadaan orang yang
menentang (membelot) dari imam dan menyibukkan diri dengan celaan-celaan kepada
mereka, serta (membeberkan) aib dan menghinakan mereka, seperti tindakan Raafidlah,
Khawaarij, Mu’tazillah, dan yang sejenis dengan mereka; karena hati mereka
telah dipenuhi dengan rasa dengki. Oleh karena itu kamu akan dapati bahwa Rafidlah
adalah sejauh-jauh manusia dari rasa ikhlash dan sedengki-dengki manusia
terhadap para penguasa dan rakyat jelata, serta sejauh-jauh manusia dari
jama’ah kaum muslimin….” [Miftaah Daaris-Sa’aadah, 1/72-73].
Dalam
konteks pemahaman ini, terhadap orang yang tidak atau belum sepenuhnya menetapi
manhaj salaf, kita dapat bersatu di bawah pemimpin kaum muslimin (ulil-amri)
untuk mewujudkan kemaslahatan umum yang diakui syari’at Islam. Yaitu, tetap
mendengar dan taat kepada mereka (pemimpin/ulil-amri) dalam perkara yang
ma’ruf. Nabi ﷺ bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ
الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا
أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib
atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa
yang ia cintai dan yang ia benci, selama tidak diperintah untuk berbuat
kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh
mendengar dan tidak boleh taat (pada perintah maksiat tersebut)”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7144].
Implementasinya
banyak dalam kehidupan sehari-hari. Bersama-sama ikut menjaga stabilitas,
keamanan, dan kenyamanan umum/masyarakat……
Tapi
apa lacur, sebagian mereka pun enggan dalam prinsip ini dengan berbagai alasan.
Pemimpin jadi objek yang menyatukan mereka dalam celaan. Common enemy
(selain salafi/wahabi tentu saja he he he). Yang mengajak persatuan –
yaitu mendengar dan taat kepada ulil amri dalam perkara yang ma’ruf – mereka
cibir sebagai penjilat.
Jadi
kalau ada orang yang mengajak persatuan, kita tanyakan : “Persatuan dalam
hal apa dan atas dasar apa ? Persatuan untuk kemudian berpecah? Persatuan agitasi
? Persatuan dalam demonstrasi ? Persatuan saling memaklumi kerusakan
masing-masing ?”.
Mari
kita serukan persatuan dengan menempuh jalannya. Bukan hanya dendangan slogan
dan yel-yel fatamorgana.
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ
مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لاَ تَجْرِي عَلىَ الْيَبَسِ
"Engkau
mengharapkan keselamatan, namun tidak menempuh jalan-jalannya,....
Sesungguhnya
perahu tidaklah berlayar di atas daratan".
Mari
kita upayakan sesuatu yang hakiki, yang langgeng. Optimis, karena ini adalah
tugas kita bersama, bukan tugas sekelompok orang.
Terakhir,
seorang muslim diberikan walaa’ dan baraa’ sesuai kadar ketaatan
dan kemaksiatan mereka. Mereka kita cintai karena ketaatan mereka kepada Allah,
dan kita benci karena kemaksiatan mereka kepada Allah. Cinta dan benci karena Allah.
Kita tunaikan hak-hak mereka dan tidak boleh mendhalimi mereka, siapapun
mereka. Kita bermudarah dan tidak bermudahanah.
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’
– rnn – 17012018].
[1] Faedah dari penjelasan beliau rahimahullah:
- Agama telah sempurna.
- Perintah untuk bersatu di atas agama/syari'at yang telah sempurna tersebut.
- Persatuan yang disyari'atkan didasarkan oleh syari'at Allah, bukan didasarkan atas aneka macam maksiat dan kebid'ahan.
- Larangan perpecahan setelah datangnya penjelasan tentang syari'at yang sempurna kepada kita.
- Barangsiapa yang menginginkan keselamatan, wajib baginya menetapi jama’ah.
Comments
penjelasan yang sangat memadahi
Posting Komentar