HADITS
1:
At-Tirmidziy
rahimahullah meriwayatkan hadits secara marfuu':
كُلُّ طَلَاقٍ جَائِزٌ إِلَّا طَلَاقَ
الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ
"Setiap
thalaq boleh dilakukan (sah), kecuali thalaq yang dilakukan oleh orang gila
lagi kurang akalnya" [As-Sunan no. 1191].
Setelah
menjelaskan sebab kedla'ifannya, At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ
الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ وَغَيْرِهِمْ أَنَّ طَلَاقَ الْمَعْتُوهِ
الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ لَا يَجُوزُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعْتُوهًا يُفِيقُ
الْأَحْيَانَ فَيُطَلِّقُ فِي حَالِ إِفَاقَتِهِ
"Para
ulama dari kalangan shahabat Nabi ﷺ dan yang lainnya mengamalkan hadits ini,
yaitu bahwa thalaq yang dilakukan oleh orang gila lagi kurang akalnya tidak
sah, kecuali jika kegilaannya hanya terjadi kadang-kadang saja dan ia
menthalaqnya ketika sadar" [idem, 2/481].
Ibnul-Mundzir
rahimahullah berkata:
وأجمعوا على أن المجنون والمعتوه ، لا يجوز
طلاقه
"Para
ulama bersepakat bahwa orang sinting dan gila tidak sah thalaqnya" [Al-Ijmaa'
no. 451].
HADITS
2:
Diriwayatkan
dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ
رِبًا
“Setiap
pinjaman yang membawa manfaat, maka itu riba”.
Ketika
ditanya hadits tersebut, Ibnu Baaz rahimahullah menjawab:
الحديث المذكور ضعيف عن أهل العلم، ليس
بصحيح، ولكن معناه صحيح عن العلماء معناه، أن القروض التي تجر نفعاً ممنوعة
بالإجماع.....
“Hadits
tersebut dla’iif menurut para ulama[1].
Tidak shahih. Namun demikian maknanya shahih menurut para ulama. Maknanya
adalah bahwa pinjaman yang mengkonsekuensikan manfaat terlarang berdasarkan ijmaa’….”
[sumber : http://www.binbaz.org.sa/noor/2872].
HADITS
3:
Hadits
Jaabir bin 'Abdillah yang menceritakan kisahnya, yaitu ketika baru pulang dari
safar dan tiba kembali di Madinah, Nabi ﷺ bersabda kepadanya:
ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ فِيهِ
رَكْعَتَيْنِ
“Pergilah
ke masjid, lalu shalatlah dua rakaat”
Setelah
berkomentar tentang keshahihannya, Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
وظاهر الأمر يفيد وجوب صلاة القدوم من
السفر في المسجد لكني لا أعلم أحدا من العلماء ذهب إليه فإن وجد من قال به صرنا
إليه . والله أعلم
"Dhahir
perintah tersebut memberikan faedah wajibnya shalat ketika tiba dari safar di
masjid. Akan tetapi aku tidak mendapatkan seorangpun ulama yang berpendapat
seperti itu. Apabila didapatkan ulama (dahulu) yang pernah berpendapat seperti
itu kami akan berpegang terhadapnya, wallaahu a'lam" [Ats-Tsamarul-Mustathaab,
hal. 628].
HADITS
4:
Dari
Ummu Salamah, ia berkata:
بَيْنَا أَنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ
مُضْطَجِعَةٌ فِي خَمِيصَةٍ، إِذْ حِضْتُ فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ ثِيَابَ
حِيضَتِي، قَالَ: أَنُفِسْتِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، فَدَعَانِي فَاضْطَجَعْتُ مَعَهُ
فِي الْخَمِيلَةِ
“Ketika
aku berbaring bersama Nabi ﷺ dalam satu kain, tiba-tiba
aku haidl. Maka aku bangun perlahan-lahan dan mengambil baju haidlku. Beliau ﷺ bertanya : ‘Apakah engkau haidl ?’. Aku
menjawab : ‘Ya’. Beliau ﷺ memanggilku dan akupun berbaring bersama
beliau ﷺ
dalam sebuah kain” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 298].
Ada
yang mengambil dhahir hadits ini sebagai dalil penyamaan waktu maksimal haidl
dan nifas pada wanita. Ibnu Rajab rahimahulah berkata:
وقد اعتمد ابن حزم على هَذا الحديث في ان
الحائض والنفاس مدتهما واحدة ، وأن أكثر النفاس كأكثر الحيض ، وَهوَ قول لَم يسبق
إليه ، ولو كانَ هَذا الاستنباط حقاً لما خفي علي أئمة الإسلام كلهم إلى زمنه
“Ibnu
Hazm berpegang dengan hadits ini dalam perkara bahwa masa (lama) wanita haidl dan
nifas adalah satu, dan bahwa masa terlama nifas seperti masa terlama haidl. Pendapat
tersebut belum pernah ada pendahulunya. Seandainya istinbath hukum ini benar,
mengapa perkara itu tersembunyi pada semua imam/ulama Islam hingga zamannya
(dan baru diketahui olehnya)?” [Fathul-Baariy, 2/83].
FAEDAH
Ketika
sebagian ikhwah mengatakan : ‘apabila telah shahih satu hadits, maka
itulah madzhabku’, atau perkataan ‘ulama itu bukan dalil’; maka ini
benar, tapi masih ‘koma’, belum sepenuhnya ‘titik’. Butuh penjelasan lanjutan, bukan
hanya berhenti di garis tersebut.
Sebagaimana
Pembaca lihat di atas, ada sebagian hadits dla’if namun maknanya ternyata
diterima para ulama. Bahkan, disepakati (ijmaa’). Sebaliknya, ada
sebagian hadits shahih namun tidak diamalkan para ulama berdasarkan ijmaa'. Ijmaa' inilah yang kemudian menjadi dalil (akan dijelaskan secara ringkas di bawah).
Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika menjelaskan
biografi Ad-Daarakiy ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Muhammad rahimahumullah berkata:
قال ابن خلكان: كان يتهم بالاعتزال، وكان
ربما يختار في الفتوى، فيقال له في ذلك، فيقول: ويحكم ! [ حدث ] فلان عن فلان، عن
رسول الله صلى الله عليه وسلم بكذا وكذا، والاخذ بالحديث أولى من الاخذ بقول
الشافعي وأبي حنيفة.
قلت: هذا جيد، لكن بشرط أن يكون قد قال
بذلك الحديث إمام من نظراء هذين الامامين مثل مالك، أو سفيان، أو الاوزاعي، وبأن
يكون الحديث ثابتا سالما من علة، وبأن لا يكون حجة أبي حنيفة والشافعي حديثا صحيحا
معارضا للآخرة.
أما من أخذ بحديث صحيح وقد تنكبه سائر أئمة
الاجتهاد، فلا، كخبر: " فإن شرب في الرابعة فاقتلوه "، وكحديث "
لعن الله السارق، يسرق البيضة، فتقطع يده "
“Ibnu
Khalikaan berkata : ‘Ia (Ad-Daarakiy) dituduh berpemahaman i’tizaal (Mu’tazilah).
Kadang ia menyeleksi dalam fatwa[2]
sehingga dikatakan kepadanya tentang hal tersebut. Lalu ia berkata : ‘Celaka
kalian! Telah menceritakan Fulaan, dari Fulaan, dari Rasulullah ﷺ demikian dan demikian. Berpegang pada
hadits lebih didahulukan daripada berpegang pada pendapat Asy-Syaafi’iy dan Abu
Haniifah’.
Aku
(Adz-Dzahabiy) katakan : ‘Perkataan ini baik, akan tetapi dengan syarat : (1) yang
mengatakan hadits tersebut seorang imam yang selevel dengan dua imam tersebut,
semisal Maalik, Sufyaan, atau Al-Auzaa’iy; (2) hadits tersebut shahih dan
selamat dari ‘ilat; serta (3) hujjah yang dipakai Abu Haniifah dan
Asy-Syaafi’iy bukan hadits shahih yang bertentangan dengan hadits yang lain.
Adapun
orang yang mengambil hadits shahih yang dijauhi seluruh imam ahli ijtihad, maka
tidak diperbolehkan. Seperti hadits : ‘Apabila ia minum khamr untuk yang
keempat kalinya, maka bunuhlah ia’[3],
dan juga seperti hadits : ‘Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur
lalu dipotong tangannya’[4]”
[Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/405-406].
Terkait
hadits pertama yang disebutkan Adz-Dzahabiy rahimahullah, maka hadits
membunuh orang yang mengulangi minum khamr keempat kalinya (setelah sebelumnya
ia terkena hadd) tidak diamalkan para ulama. Al-Mundziriy rahimahullah
menyatakan adanya ijmaa’ ulama bahwa peminum khamr tersebut tidak
dibunuh. Dikatakan juga bahwa hadits tersebut mansuukh. An-Nawawiy rahimahullah
menjelaskan:
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ التِّرْمِذِيّ فِي
حَدِيث شَارِب الْخَمْر هُوَ كَمَا قَالَ ، فَهُوَ حَدِيث مَنْسُوخ دَلَّ
الْإِجْمَاع عَلَى نَسْخه
“Inilah
yang dikatakan At-Tirmidziy tentang hadits peminum khamr, dan statusnya
seperti yang dikatakannya. Itu adalah hadits mansuukh (terhapus hukumnya),
dan ijmaa’ menunjukkan keberadaan penghapusannya” [Syarh Shahiih
Muslim, 5/218].
Begitu
juga dengan hadits kedua yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
Tidak boleh mengamalkan dhahir hadits tersebut untuk memotong tangan pencuri
sebutir telur, karena dalam Shahiihain dan yang lainnya dari hadits ‘Aaisyah
radliyallaahu ‘anhaa disebutkan pencuri tidak dipotong tangannya kecuali
barang curiannya senilai seperempat dinar atau lebih[5].
Beberapa ulama menjelaskan hadits Abu Hurairah telah dihapus dengan hadits ‘Aaisyah
radliyallaahu ‘anhumaa. Dikatakan, telur yang dimaksudkan bukan telur
ayam atau sejenisnya, namun dita’wil dengan topi besi (yang senilai nishab
pencurian). Dikatakan juga, maksud hadits Abu Hurairah adalah wasilah (sarana)
kepada pencurian secara bertahap, dari sedikit hingga banyak yang menyebabkan
dipotong tangannya [Tafsiir Ibni Katsiir, 3/110].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy mengatakan hal yang mirip dengan Adz-Dzahabiy rahimahumallah:
فأما الأئمة وفقهاء أهل الحديث : فإنهم
يتبعون الحديث الصحيح حيث كان ، إذا كان معمولا به عند الصحابة ومن بعدهم ، أو عند
طائفة منهم.
فأما ما اتفق على تركه : فلا يجوز العمل به
، لأنهم ما تركوه إلا على علم أنه لا يعمل به
“Para
imam dan fuqahaa’ ahli hadits, maka mereka mengikuti hadits shahih
dimanapun berada, yaitu jika hadits tersebut diamalkan para shahabat dan ulama
setelahnya, atau (diamalkan) sekelompok dari mereka.
Adapun
hadits yang mereka sepakati untuk meninggalkannya, maka tidak boleh
mengamalkannya karena mereka tidaklah meninggalkan (pengamalan) suatu hadits
kecuali di atas pengetahuan bahwa hadits itu memang tidak diamalkan” [Fadhlu
‘Ilmis-Salaf, hal. 83].
Jika
kita mengetahui adanya kesepakatan (ijmaa’) ulama meninggalkan satu
hadits shahih, maka itu menjadi faktor yang menghalangi kita untuk
mengamalkannya. Ijmaa’ yang dimaksudkan adalah ijmaa’ yang qath’iy
(pasti). Asy-Syinqithiy rahimahullah menjelaskan:
واعلم أن بعض الأصوليين يقولون بتقديم الاجماع
على النص ، لأن النص يحتمل النسخ والاجماع لا يحتمله ، ...ومرادهم بالاجماع الذي يقدم
على النص خصوص الاجماع القطعي دون الاجماع الظني ، وضابط الاجماع القطعي هو الاجماع
القولي ، لا السكوتي
"Ketahuilah
bahwasanya sebagian ulaam ushul berpendapat mendahulukan ijmaa’ atas
nash karena nash mempunyai kemungkinan dihapus (naksh), sedangkan ijmaa’
tidak demikian….. Dan yang mereka maksud dengan ijmaa’ yang dikedepankan
di atas nash, khusus ijmaa’ yang qath’iy (pasti), bukan ijmaa’
dhanniy. Dan kaedah ijmaa’ qath’iy yang dimaksud adalah ijmaa’
qauliy (perkataan), bukan sukuutiy…” [Mudzakkirah fii
Ushuulil-Fiqh, hal. 445].
Seseorang
yang ingin mengamalkan syari’at Islam butuh dalil; dan yang mengamalkan dalil butuh
ilmu. Pertanyaannya : Adakah kita memiliki ilmu tersebut ?. Allah ta’ala memerintahkan
kita bertanya kepada ulama jika kita tidak memiliki ilmu sebagaimana
firman-Nya:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ
لاَ تَعْلَمُونَ
”Maka
tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”
[QS. Al-Anbiyaa’ : 7].
Nabi
ﷺ
bersabda:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ،
إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا
وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesunguhnya
ulama itu pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan
dinar maupun dirham, namun mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang
mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang sangat banyak/berlimpah”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 5/196, At-Tirmidziy no. 2682, Abu Daawud no. 3641,
Ibnu Maajah no. 223, dan yang lainnya; shahih].
Kasus
penyelewengan nash karena meninggalkan para ulama sudah sangat banyak. Banyak
kelompok tersesat akibat mengambil dhahir nash dengan bepaling dari penafsiran
Nabi ﷺ,
para shahabat, dan ulama salaf setelah mereka. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata:
الاحتجاج بالظواهر مع الإعراض عن تفسير
النبي صلى الله عليه وسلم، وأصحابه طرق أهل البدع
"Berhujjah
dengan dhahir nash namun berpaling dari tafsir Nabi ﷺ dan para shahabatnya adalah jalan-jalan
yang ditempuh ahli bid'ah" [Majmuu' Al-Fataawaa, 7/392].
Contoh
mudah adalah bagaimana tersesatnya kaum Khawaarij yang mengambil dhahir QS.
Al-Maaidah ayat 44. Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وقد ضلت جماعة من أهل البدع من الخوارج والمعتزلة
في هذا الباب فاحتجوا بهذه الآثار ومثلها في تكفير المذنبين واحتجوا من كتاب الله بآيات
ليست على ظاهرها مثل قوله عز وجل {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْكَافِرُونَ}
“Dan
sungguh telah tersesat sekawanan ahlul-bida’ dari kalangan Khawaarij dan
Mu’tazilah dalam bab ini. Mereka berhujjah dengan atsar-atsar ini dan yang
semisalnya dalam pengkafiran orang-orang yang berbuat dosa. Mereka pun
berhujjah dengan Al-Qur’an berupa ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagaimana
dhahir-nya, seperti firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘‘Dan barangsiapa
yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk
orang-orang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44)’ [At-Tamhiid, 17/16].
Contoh
lain adalah fatwa jenaka sekte kontemporer dalam pengharaman daging ayam karena
berpegang pada hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: نَهَى رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ
الطَّيْرِ
Dari
Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah ﷺ melarang
memakan semua jenis hewan buas yang memiliki taring dan burung yang mempunyai
cakar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1934].
Ini
sebagai akibat meninggalkan penjelasan ulama tentang maksud burung bercakar dalam
hadits tersebut, yaitu burung yang memburu mangsanya dengan menggunakan
cakarnya [Al-Hayawaanaat, hal. 23]. Juga karena tidak menoleh pada
hadits shahih lain yang menjelaskan permasalahan ini:
عَنْ أَبِي مُوسَى يَعْنِي الْأَشْعَرِيَّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَأْكُلُ دَجَاجًا
Dari
Abu Muusaa Al-Asy’ariy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah melihat
Nabi ﷺ
makan daging ayam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5518 & 6649 &
6721 & 7555, Muslim no. 1649].
Para
ulama tidak berbeda pendapat dalam hal kehalalan daging ayam.
Dan
lain-lain ….
Sungguh
benar sabda Nabi ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا
يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ
الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا
جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari manusia. Namun
Allah akan mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak
tersisa lagi seorang berilmu (di tengah mereka), manusia mengangkat para
pemimpin yang jahil. Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga
akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang lain)” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 100 dan Muslim no. 2673].
Bukan
berarti di sini dikatakan bahwa dalil di depan kita sama sekali tidak dapat diamalkan
kecuali setelah diketahui ada ulama yang mengamalkannya. Ini sama saja
mengutamakan manusia daripada Allah dan Rasul-Nya. Haram hukumnya. Allah ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui” [QS. Al-Hujuuraat : 1].
Seperti
misal nash tentang beberapa hal yang diharamkan Allah ta’ala dalam ayat:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ
وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا
مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ
ذَلِكُمْ فِسْقٌ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat
kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak
panah itu) adalah kefasikan” [QS. Al-Maaidah : 3].
Ayat
ini jelas menunjukkan bangkai, darah, daging babi, dan yang lainnya yang
disebutkan adalah haram dilakukan. Tak perlu menunggu perkataan dan perbuatan
ulama hanya untuk meninggalkan perkara-perkara tersebut.
Untuk
permasalahan yang diperoleh berdasarkan penggalian hukum terhadap nash-nash, khususnya
dalam permasalahan agama yang telah ada semenjak dulu; maka dalam hal ini kita mesti
memperhatikan penjelasan para ulama. Mesti memiliki pendahulu (salaf). Al-Imaam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها
إمامٌ
“Berhati-hatilah
berkata dalam satu permasalahan yang engkau tidak memiliki pendahulunya” [Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 11/296].
Jangan
buru-buru ‘berfatwa’ dan/atau mengobarkan peperangan jika persenjataan belum lengkap. Berkata dan beramal ‘ngawur’ dalam agama terlarang keras.
Kita
sangat butuh bimbingan para ulama dalam memahami nash-nash syari'at.
Sebenarnya,
belum lengkap jika artikel ini tidak disertai penjelasan Asy-Syaikh Muhammad
bin ‘Umar Bazmuul hafidhahullah yang menjelaskan perincian perkataan Ahmad
bin Hanbal rahimahullah di atas, yaitu di sini.
Semoga lain waktu dapat menterjemahkannya.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
Semoga
ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– rnn – 27 Muharram 1439/18102017].
[1] Lihat penjelasannya dalam Irwaaul-Ghaliil
5/235-236 no. 1398.
[3] Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1444, Abu
Daawud no. 44845, An-Nasaa’iy no. 5662, dan yang lainnya.
[5] Silakan baca artikel Hukuman
Bagi Pencuri.
Madzhab
Dhaahiriyyah memandang tidak ada nishab dalam pencurian, dan ini adalah
kekeliruan yang jelas karena menyelisihi dalil.
Comments
ustadz, tentang ijma. Apakah ijma diterima sementara tidak ada dalil yang menjadi landasannya atau dalilnya lemah seperti kasus utang yang mendatangkan manfaat di atas dan kasus -kasus lainnya. Bukankah ijma itu harus memiliki landasan quran atau hadits sebagaimana dikatakan syaikh utsaimin -rahimahullaah- dalam muqoddimah syarah bulughul marom beliau. kurang lebih beliau mangatakan:
"adapun ijma maka ia adalah dalil yang bertopang pada kitab dan sunnah. seandainya tidak ada kitab dan sunnah maka ijma tidak bisa menjadi dalil"
Mohon pencerahannya untadz. makasih.
Posting Komentar