Hadits yang Diamalkan dan Tidak Diamalkan


HADITS 1:
At-Tirmidziy rahimahullah meriwayatkan hadits secara marfuu':
كُلُّ طَلَاقٍ جَائِزٌ إِلَّا طَلَاقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ
"Setiap thalaq boleh dilakukan (sah), kecuali thalaq yang dilakukan oleh orang gila lagi kurang akalnya" [As-Sunan no. 1191].
Setelah menjelaskan sebab kedla'ifannya, At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ وَغَيْرِهِمْ أَنَّ طَلَاقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ لَا يَجُوزُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعْتُوهًا يُفِيقُ الْأَحْيَانَ فَيُطَلِّقُ فِي حَالِ إِفَاقَتِهِ
"Para ulama dari kalangan shahabat Nabi dan yang lainnya mengamalkan hadits ini, yaitu bahwa thalaq yang dilakukan oleh orang gila lagi kurang akalnya tidak sah, kecuali jika kegilaannya hanya terjadi kadang-kadang saja dan ia menthalaqnya ketika sadar" [idem, 2/481].

Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata:
وأجمعوا على أن المجنون والمعتوه ، لا يجوز طلاقه
"Para ulama bersepakat bahwa orang sinting dan gila tidak sah thalaqnya" [Al-Ijmaa' no. 451].
HADITS 2:
Diriwayatkan dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
Setiap pinjaman yang membawa manfaat, maka itu riba”.
Ketika ditanya hadits tersebut, Ibnu Baaz rahimahullah menjawab:
الحديث المذكور ضعيف عن أهل العلم، ليس بصحيح، ولكن معناه صحيح عن العلماء معناه، أن القروض التي تجر نفعاً ممنوعة بالإجماع.....
“Hadits tersebut dla’iif menurut para ulama[1]. Tidak shahih. Namun demikian maknanya shahih menurut para ulama. Maknanya adalah bahwa pinjaman yang mengkonsekuensikan manfaat terlarang berdasarkan ijmaa’….” [sumber : http://www.binbaz.org.sa/noor/2872].
HADITS 3:
Hadits Jaabir bin 'Abdillah yang menceritakan kisahnya, yaitu ketika baru pulang dari safar dan tiba kembali di Madinah, Nabi bersabda kepadanya:
ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ
Pergilah ke masjid, lalu shalatlah dua rakaat
Setelah berkomentar tentang keshahihannya, Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
وظاهر الأمر يفيد وجوب صلاة القدوم من السفر في المسجد لكني لا أعلم أحدا من العلماء ذهب إليه فإن وجد من قال به صرنا إليه . والله أعلم
"Dhahir perintah tersebut memberikan faedah wajibnya shalat ketika tiba dari safar di masjid. Akan tetapi aku tidak mendapatkan seorangpun ulama yang berpendapat seperti itu. Apabila didapatkan ulama (dahulu) yang pernah berpendapat seperti itu kami akan berpegang terhadapnya, wallaahu a'lam" [Ats-Tsamarul-Mustathaab, hal. 628].
HADITS 4:
Dari Ummu Salamah, ia berkata:
بَيْنَا أَنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ مُضْطَجِعَةٌ فِي خَمِيصَةٍ، إِذْ حِضْتُ فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حِيضَتِي، قَالَ: أَنُفِسْتِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، فَدَعَانِي فَاضْطَجَعْتُ مَعَهُ فِي الْخَمِيلَةِ
“Ketika aku berbaring bersama Nabi dalam satu kain, tiba-tiba aku haidl. Maka aku bangun perlahan-lahan dan mengambil baju haidlku. Beliau bertanya : ‘Apakah engkau haidl ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau memanggilku dan akupun berbaring bersama beliau dalam sebuah kain” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 298].
Ada yang mengambil dhahir hadits ini sebagai dalil penyamaan waktu maksimal haidl dan nifas pada wanita. Ibnu Rajab rahimahulah berkata:
وقد اعتمد ابن حزم على هَذا الحديث في ان الحائض والنفاس مدتهما واحدة ، وأن أكثر النفاس كأكثر الحيض ، وَهوَ قول لَم يسبق إليه ، ولو كانَ هَذا الاستنباط حقاً لما خفي علي أئمة الإسلام كلهم إلى زمنه
“Ibnu Hazm berpegang dengan hadits ini dalam perkara bahwa masa (lama) wanita haidl dan nifas adalah satu, dan bahwa masa terlama nifas seperti masa terlama haidl. Pendapat tersebut belum pernah ada pendahulunya. Seandainya istinbath hukum ini benar, mengapa perkara itu tersembunyi pada semua imam/ulama Islam hingga zamannya (dan baru diketahui olehnya)?” [Fathul-Baariy, 2/83].
FAEDAH
Ketika sebagian ikhwah mengatakan : ‘apabila telah shahih satu hadits, maka itulah madzhabku’, atau perkataan ‘ulama itu bukan dalil’; maka ini benar, tapi masih ‘koma’, belum sepenuhnya ‘titik’. Butuh penjelasan lanjutan, bukan hanya berhenti di garis tersebut.
Sebagaimana Pembaca lihat di atas, ada sebagian hadits dla’if namun maknanya ternyata diterima para ulama. Bahkan, disepakati (ijmaa’). Sebaliknya, ada sebagian hadits shahih namun tidak diamalkan para ulama berdasarkan ijmaa'. Ijmaa' inilah yang kemudian menjadi dalil (akan dijelaskan secara ringkas di bawah).
Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika menjelaskan biografi Ad-Daarakiy ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Muhammad rahimahumullah berkata:
قال ابن خلكان: كان يتهم بالاعتزال، وكان ربما يختار في الفتوى، فيقال له في ذلك، فيقول: ويحكم ! [ حدث ] فلان عن فلان، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بكذا وكذا، والاخذ بالحديث أولى من الاخذ بقول الشافعي وأبي حنيفة.
قلت: هذا جيد، لكن بشرط أن يكون قد قال بذلك الحديث إمام من نظراء هذين الامامين مثل مالك، أو سفيان، أو الاوزاعي، وبأن يكون الحديث ثابتا سالما من علة، وبأن لا يكون حجة أبي حنيفة والشافعي حديثا صحيحا معارضا للآخرة.
أما من أخذ بحديث صحيح وقد تنكبه سائر أئمة الاجتهاد، فلا، كخبر: " فإن شرب في الرابعة فاقتلوه "، وكحديث " لعن الله السارق، يسرق البيضة، فتقطع يده "
“Ibnu Khalikaan berkata : ‘Ia (Ad-Daarakiy) dituduh berpemahaman i’tizaal (Mu’tazilah). Kadang ia menyeleksi dalam fatwa[2] sehingga dikatakan kepadanya tentang hal tersebut. Lalu ia berkata : ‘Celaka kalian! Telah menceritakan Fulaan, dari Fulaan, dari Rasulullah demikian dan demikian. Berpegang pada hadits lebih didahulukan daripada berpegang pada pendapat Asy-Syaafi’iy dan Abu Haniifah’.
Aku (Adz-Dzahabiy) katakan : ‘Perkataan ini baik, akan tetapi dengan syarat : (1) yang mengatakan hadits tersebut seorang imam yang selevel dengan dua imam tersebut, semisal Maalik, Sufyaan, atau Al-Auzaa’iy; (2) hadits tersebut shahih dan selamat dari ‘ilat; serta (3) hujjah yang dipakai Abu Haniifah dan Asy-Syaafi’iy bukan hadits shahih yang bertentangan dengan hadits yang lain.
Adapun orang yang mengambil hadits shahih yang dijauhi seluruh imam ahli ijtihad, maka tidak diperbolehkan. Seperti hadits : ‘Apabila ia minum khamr untuk yang keempat kalinya, maka bunuhlah ia[3], dan juga seperti hadits : ‘Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur lalu dipotong tangannya[4]” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/405-406].
Terkait hadits pertama yang disebutkan Adz-Dzahabiy rahimahullah, maka hadits membunuh orang yang mengulangi minum khamr keempat kalinya (setelah sebelumnya ia terkena hadd) tidak diamalkan para ulama. Al-Mundziriy rahimahullah menyatakan adanya ijmaa’ ulama bahwa peminum khamr tersebut tidak dibunuh. Dikatakan juga bahwa hadits tersebut mansuukh. An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan:
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ التِّرْمِذِيّ فِي حَدِيث شَارِب الْخَمْر هُوَ كَمَا قَالَ ، فَهُوَ حَدِيث مَنْسُوخ دَلَّ الْإِجْمَاع عَلَى نَسْخه
“Inilah yang dikatakan At-Tirmidziy tentang hadits peminum khamr, dan statusnya seperti yang dikatakannya. Itu adalah hadits mansuukh (terhapus hukumnya), dan ijmaa’ menunjukkan keberadaan penghapusannya” [Syarh Shahiih Muslim, 5/218].
Begitu juga dengan hadits kedua yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Tidak boleh mengamalkan dhahir hadits tersebut untuk memotong tangan pencuri sebutir telur, karena dalam Shahiihain dan yang lainnya dari hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa disebutkan pencuri tidak dipotong tangannya kecuali barang curiannya senilai seperempat dinar atau lebih[5]. Beberapa ulama menjelaskan hadits Abu Hurairah telah dihapus dengan hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhumaa. Dikatakan, telur yang dimaksudkan bukan telur ayam atau sejenisnya, namun dita’wil dengan topi besi (yang senilai nishab pencurian). Dikatakan juga, maksud hadits Abu Hurairah adalah wasilah (sarana) kepada pencurian secara bertahap, dari sedikit hingga banyak yang menyebabkan dipotong tangannya [Tafsiir Ibni Katsiir, 3/110].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy mengatakan hal yang mirip dengan Adz-Dzahabiy rahimahumallah:
فأما الأئمة وفقهاء أهل الحديث : فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان ، إذا كان معمولا به عند الصحابة ومن بعدهم ، أو عند طائفة منهم.
فأما ما اتفق على تركه : فلا يجوز العمل به ، لأنهم ما تركوه إلا على علم أنه لا يعمل به
“Para imam dan fuqahaa’ ahli hadits, maka mereka mengikuti hadits shahih dimanapun berada, yaitu jika hadits tersebut diamalkan para shahabat dan ulama setelahnya, atau (diamalkan) sekelompok dari mereka.
Adapun hadits yang mereka sepakati untuk meninggalkannya, maka tidak boleh mengamalkannya karena mereka tidaklah meninggalkan (pengamalan) suatu hadits kecuali di atas pengetahuan bahwa hadits itu memang tidak diamalkan” [Fadhlu ‘Ilmis-Salaf, hal. 83].
Jika kita mengetahui adanya kesepakatan (ijmaa’) ulama meninggalkan satu hadits shahih, maka itu menjadi faktor yang menghalangi kita untuk mengamalkannya. Ijmaa’ yang dimaksudkan adalah ijmaa’ yang qath’iy (pasti). Asy-Syinqithiy rahimahullah menjelaskan:
واعلم أن بعض الأصوليين يقولون بتقديم الاجماع على النص ، لأن النص يحتمل النسخ والاجماع لا يحتمله ، ...ومرادهم بالاجماع الذي يقدم على النص خصوص الاجماع القطعي دون الاجماع الظني ، وضابط الاجماع القطعي هو الاجماع القولي ، لا السكوتي
"Ketahuilah bahwasanya sebagian ulaam ushul berpendapat mendahulukan ijmaa’ atas nash karena nash mempunyai kemungkinan dihapus (naksh), sedangkan ijmaa’ tidak demikian….. Dan yang mereka maksud dengan ijmaa’ yang dikedepankan di atas nash, khusus ijmaa’ yang qath’iy (pasti), bukan ijmaa’ dhanniy. Dan kaedah ijmaa’ qath’iy yang dimaksud adalah ijmaa’ qauliy (perkataan), bukan sukuutiy…” [Mudzakkirah fii Ushuulil-Fiqh, hal. 445].
Seseorang yang ingin mengamalkan syari’at Islam butuh dalil; dan yang mengamalkan dalil butuh ilmu. Pertanyaannya : Adakah kita memiliki ilmu tersebut ?. Allah ta’ala memerintahkan kita bertanya kepada ulama jika kita tidak memiliki ilmu sebagaimana firman-Nya:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” [QS. Al-Anbiyaa’ : 7].
Nabi bersabda:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Sesunguhnya ulama itu pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, namun mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang sangat banyak/berlimpah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/196, At-Tirmidziy no. 2682, Abu Daawud no. 3641, Ibnu Maajah no. 223, dan yang lainnya; shahih].
Kasus penyelewengan nash karena meninggalkan para ulama sudah sangat banyak. Banyak kelompok tersesat akibat mengambil dhahir nash dengan bepaling dari penafsiran Nabi , para shahabat, dan ulama salaf setelah mereka. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
الاحتجاج بالظواهر مع الإعراض عن تفسير النبي صلى الله عليه وسلم، وأصحابه طرق أهل البدع
"Berhujjah dengan dhahir nash namun berpaling dari tafsir Nabi dan para shahabatnya adalah jalan-jalan yang ditempuh ahli bid'ah" [Majmuu' Al-Fataawaa, 7/392].
Contoh mudah adalah bagaimana tersesatnya kaum Khawaarij yang mengambil dhahir QS. Al-Maaidah ayat 44. Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وقد ضلت جماعة من أهل البدع من الخوارج والمعتزلة في هذا الباب فاحتجوا بهذه الآثار ومثلها في تكفير المذنبين واحتجوا من كتاب الله بآيات ليست على ظاهرها مثل قوله عز وجل {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}
“Dan sungguh telah tersesat sekawanan ahlul-bida’ dari kalangan Khawaarij dan Mu’tazilah dalam bab ini. Mereka berhujjah dengan atsar-atsar ini dan yang semisalnya dalam pengkafiran orang-orang yang berbuat dosa. Mereka pun berhujjah dengan Al-Qur’an berupa ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagaimana dhahir-nya, seperti firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘‘Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44)’ [At-Tamhiid, 17/16].
Contoh lain adalah fatwa jenaka sekte kontemporer dalam pengharaman daging ayam karena berpegang pada hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah melarang memakan semua jenis hewan buas yang memiliki taring dan burung yang mempunyai cakar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1934].
Ini sebagai akibat meninggalkan penjelasan ulama tentang maksud burung bercakar dalam hadits tersebut, yaitu burung yang memburu mangsanya dengan menggunakan cakarnya [Al-Hayawaanaat, hal. 23]. Juga karena tidak menoleh pada hadits shahih lain yang menjelaskan permasalahan ini:
عَنْ أَبِي مُوسَى يَعْنِي الْأَشْعَرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَأْكُلُ دَجَاجًا
Dari Abu Muusaa Al-Asy’ariy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah melihat Nabi makan daging ayam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5518 & 6649 & 6721 & 7555, Muslim no. 1649].
Para ulama tidak berbeda pendapat dalam hal kehalalan daging ayam.
Dan lain-lain ….
Sungguh benar sabda Nabi :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari manusia. Namun Allah akan mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak tersisa lagi seorang berilmu (di tengah mereka), manusia mengangkat para pemimpin yang jahil. Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang lain)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 100 dan Muslim no. 2673].
Bukan berarti di sini dikatakan bahwa dalil di depan kita sama sekali tidak dapat diamalkan kecuali setelah diketahui ada ulama yang mengamalkannya. Ini sama saja mengutamakan manusia daripada Allah dan Rasul-Nya. Haram hukumnya. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Hujuuraat : 1].
Seperti misal nash tentang beberapa hal yang diharamkan Allah ta’ala dalam ayat:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan” [QS. Al-Maaidah : 3].
Ayat ini jelas menunjukkan bangkai, darah, daging babi, dan yang lainnya yang disebutkan adalah haram dilakukan. Tak perlu menunggu perkataan dan perbuatan ulama hanya untuk meninggalkan perkara-perkara tersebut.
Untuk permasalahan yang diperoleh berdasarkan penggalian hukum terhadap nash-nash, khususnya dalam permasalahan agama yang telah ada semenjak dulu; maka dalam hal ini kita mesti memperhatikan penjelasan para ulama. Mesti memiliki pendahulu (salaf). Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ
Berhati-hatilah berkata dalam satu permasalahan yang engkau tidak memiliki pendahulunya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 11/296].
Jangan buru-buru ‘berfatwa’ dan/atau mengobarkan peperangan jika persenjataan belum lengkap. Berkata dan beramal ‘ngawur’ dalam agama terlarang keras.
Kita sangat butuh bimbingan para ulama dalam memahami nash-nash syari'at.
Sebenarnya, belum lengkap jika artikel ini tidak disertai penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmuul hafidhahullah yang menjelaskan perincian perkataan Ahmad bin Hanbal rahimahullah di atas, yaitu di sini. Semoga lain waktu dapat menterjemahkannya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 27 Muharram 1439/18102017].




[1]    Lihat penjelasannya dalam Irwaaul-Ghaliil 5/235-236 no. 1398.
[2]    Ia kadang berfatwa menyelisihi madzhab Al-Imaam Asy-Syaafi’iy dan Abu Haniifah rahimahumallah.
[3]    Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1444, Abu Daawud no. 44845, An-Nasaa’iy no. 5662, dan yang lainnya.
[4]    Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6783 & 6799 dan Muslim no. 1687.
[5]    Silakan baca artikel Hukuman Bagi Pencuri.
Madzhab Dhaahiriyyah memandang tidak ada nishab dalam pencurian, dan ini adalah kekeliruan yang jelas karena menyelisihi dalil.

Comments

Anonim mengatakan...

ustadz, tentang ijma. Apakah ijma diterima sementara tidak ada dalil yang menjadi landasannya atau dalilnya lemah seperti kasus utang yang mendatangkan manfaat di atas dan kasus -kasus lainnya. Bukankah ijma itu harus memiliki landasan quran atau hadits sebagaimana dikatakan syaikh utsaimin -rahimahullaah- dalam muqoddimah syarah bulughul marom beliau. kurang lebih beliau mangatakan:
"adapun ijma maka ia adalah dalil yang bertopang pada kitab dan sunnah. seandainya tidak ada kitab dan sunnah maka ijma tidak bisa menjadi dalil"
Mohon pencerahannya untadz. makasih.