Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
العبد إذا فعل الذنب مع اعتقاد أن الله
حرمه عليه ، واعتقاد انقياده لله فيما حرمه وأوجبه : فهذا ليس بكافر.
فأما إن اعتقد أن الله لم يحرمه ، أو أنه
حرمه لكن امتنع من قبول هذا التحريم ، وأبى أن يذعن لله وينقاد : فهو إما جاحد ،
أو معاند.
ولهذا قالوا: من عصى مستكبرا كإبليس كفر
بالاتفاق.
ومن عصى مشتهيا لم يكفر عند أهل السنة
والجماعة، وإنما يكفره الخوارج.
فإن العاصي المستكبر وإن كان مصدقا بأن
الله ربه ، فإن معاندته له ومحادته تنافي هذا التصديق.
وبيان هذا : أن من فعل المحارم مستحلا لها
فهو كافر بالاتفاق ، فإنه ما آمن بالقرآن من استحل محارمه ، وكذلك لو استحلها بغير
فعل.
“Seorang
hamba apabila melakukan suatu dosa namun berkeyakinan Allah mengharamkannya dan
berkeyakinan untuk tunduk/patuh kepada Allah terhadap apa yang dilarang dan
diwajibkan-Nya; maka orang ini tidak kafir.
Adapun
jika hamba tersebut berkeyakinan Allah tidak mengharamkannya, atau Allah
mengharamkannya akan tetapi tidak mau menerimanya pengharaman ini, serta enggan
mentaati dan mematuhi Allah, maka bisa jadi ia adalah orang yang ingkar atau orang
menentang/membangkang.
Oleh
karena itu mereka (ulama) berkata : Barangsiapa yang melakukan maksiat dengan
kesombongan seperti Iblis, kafir menurut kesepakatan.
Barangsiapa
yang melakukan maksiat karena menginginkannya (dorongan hawa nafsu), maka tidak
dikafirkan menurut Ahlus-Sunnah. Hanya kelompok Khawaarij yang mengkafirkannya.
Sesungguhnya
orang yang bermaksiat dengan kesombongan - meskipun dirinya membenarkan Allah
adalah Rabbnya -, maka sikap pembangkangan dan penentangannya terhadap-Nya menafikkan
pembenaran ini.
Penjelasannya
: orang yang melakukan hal-hal yang diharamkan dengan menghalalkannya, maka ia
kafir menurut kesepakatan. Ia bukan seorang yang beriman kepada Al-Qur’an akibat
penghalalannya terhadap apa yang diharamkan-Nya. Begitu pula seandainya dirinya
menghalalkannya meski tanpa melakukannya.
والاستحلال : اعتقاد أنها حلال له ، وذلك
يكون تارة باعتقاد أن الله أحلها ، وتارة باعتقاد أن الله لم يحرمها ، وتارة بعدم
اعتقاد أن الله حرمها . وهذا يكون لخلل في الإيمان بالربوبية ، أو لخلل في الإيمان
بالرسالة ، ويكون جحدا محضا غير مبني على مقدمة.
وتارة يعلم أن الله حرمها ، ويعلم أن
الرسول إنما حرم ما حرمه الله ، ثم يمتنع عن التزام هذا التحريم، ويعاند المحرِّم
فهذا أشد كفرا ممن قبله.
وقد يكون هذا مع علمه أن من لم يلتزم هذا
التحريم عاقبه الله وعذبه.
Dan
penghalalan (istihlaal) itu adalah : keyakinan bahwasannya sesuatu halal
baginya. Hal tersebut kadang disertai dengan keyakinan bahwa Allah (memang)
menghalalkannya, kadang dengan keyakinan bahwa Allah tidak mengharamkannya, dan
kadang dengan ketiadaan keyakinan Allah mengharamkannya. Ini terjadi karena
kerusakan imannya terhadap Rubuubiyyah atau kerusakan imannya terhadap
risalah; sehingga terjadi pengingkaran murni yang tidak terbangun atas muqaddimah.
Dan
kadang, orang bersangkutan mengetahui bahwa Allah telah mengharamkannya dan
mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ hanyalah mengharamkan apa yang diharamkan
Allah, kemudian ia tidak mau ber-iltizaam (berkomitmen) terhadap
pengharaman ini dan menentang/membangkang apa yang diharamkan tersebut; maka
ini lebih kufur daripada orang sebelumnya.
Dan
kadang orang seperti ini mengetahui bahwa orang yang tidak berkomitmen terhadap
pengharaman ini akan dihukum dan diadzab oleh Allah.
ثم إن هذا الامتناع و الإباء إما لخلل في
اعتقاد حكمة الآمر و قدرته فيعود هذا إلى عدم التصديق بصفة من صفاته.
و قد يكون مع العلم بجميع ما يصدق به تمردا
أو اتباعا لغرض النفس و حقيقة كفر هذا لأنه يعترف لله و رسوله بكل ما أخبر به و
يصدق بكل ما يصدق به المؤمنون لكنه يكره ذلك و يبغضه و يسخطه لعدم موافقته لمراده
و مشتهاه و يقول : أنا لا أقر بذلك و لا ألتزمه و أبغض هذا الحق و أنفر عنه فهذا
نوع من غير النوع الأول و تكفير هذا معلوم بالاضطرار من دين الإسلام و القرآن
مملوء من تكفير مثل هذا النوع بل عقوبته أشد.
“Kemudian, sesungguhnya penolakan dan keengganan ini, mungkin
disebabkan karena kerusakan pada keyakinan hikmah dan kekuasaan Allah ta’ala.
Maka hal ini kembali pada peniadaan tashdiiq (pembenaran) terhadap sifat
dari sifat-sifat-Nya.
Kadangkala
penolakan dan keengganan dilakukan dengan pengetahuannya terhadap seluruh
perkara yang ia benarkan/imani, namun ia durhaka atau mengikuti keinginan hawa
nafsunya. Dan hakekat perbuatan ini adalah kekufuran, karena ia mengakui apa
yang dikhabarkan Allah dan Rasul-Nya, dan membenarkan semua perkara yang
dibenarkan oleh kaum mukminin, akan tetapi ia malah benci, marah, dan tidak
rela padanya karena adanya ketidaksesuaian pada keinginan dan hawa nafsunya.
Orang tersebut berkata : ‘Aku tidak mengakuinya, tidak akan menjalankannya, aku
membenci kebenaran ini dan akupun lari/menghindar darinya’. Jenis kekufuran ini
beda dengan jenis kekufuran yang disebut di awal, dan kekafirannya sudah ma’lum
lagi aksiomatik dalam agama Islam. Dan Al-Qur’an dipenuhi dengan bentuk
pengkafiran semacam ini, dan bahkan hukumannya lebih keras” [Ash-Shaarimul-Masluul,
hal. 521-522].
Dari
penjelasan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di atas diketahui,
istihlaal yang menyebabkan kekufuran adalah keyakinan (i’tiqaad) penghalalan
terhadap sesuatu yang diharamkan Allah. Istihlaal ini ada beberapa
bentuk:
1.
Menghalalkan apa yang
diharamkan dengan melakukannya.
2.
Menghalalkan apa yang
diharamkan tanpa melakukannya.
3.
Tidak mau komitmen
terhadap apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dengan penolakan dan keengganan
yang disertai rasa benci, marah, dan tidak rela.[1]
Allah ta’ala berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَهُمْ
وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ * ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan
Allah menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya
mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur'an) lalu Allah
menghapuskan amal-amal mereka” [QS. Muhammad :
8-9].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah
berkata:
من كره ما جاء به النبي صلّى الله عليه
وسلّم أو شيء منه فهو مرتد، قال تعالى: (ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ) ، ولا يحبط العمل إلاَّ بالردة
“Barangsiapa yang membenci syari’at yang dibawa oleh Nabi ﷺ, maka ia murtad. Allah ta’ala
berfirman : ‘Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci
kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan amal-amal
mereka’ (QS. Muhammad : 9). Dan tidaklah amal terhapus kecuali dengan
kemurtadan” [Asy-Syarhul-Mumti’, 15/66].
Maka, tidak boleh dipahami sekedar terus-menerus
melakukan perbuatan kemaksiatan atau berhukum dengan selain hukum Allah dan
meninggalkan hukum Allah dikafirkan pelakunya karena dianggap sebagai penghalalan
(istihlaal).
Dalilnya:
عَنْ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ: " أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ، وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا، وَكَانَ
يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَلَدَهُ فِي الشَّرَابِ، فَأُتِيَ بِهِ
يَوْمًا، فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: اللَّهُمَّ
الْعَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ، مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab : Ada seorang
laki-laki di jaman Nabi ﷺ bernama ‘Abdullah, yang dijuluki keledai
(himaar). Ia suka membuat Rasulullah ﷺ tertawa. Nabi ﷺ pernah mencambuknya karena ia mabuk. Suatu
hari ia dihadapkan ke hadapan Nabi ﷺ, lalu beliau memerintahkan agar ia
dicambuk. Lalu ada seorang laki-laki dari satu kaum berkata : “Ya Allah,
laknatilah ia, betapa sering ia dihukum”. Maka Nabi ﷺ bersabda : "Janganlah kalian
melaknatnya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahuinya kecuali ia mencintai Allah
dan Rasul-Nya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6780].
Hadits ini adalah dalil yang jelas yang
menunjukkan orang yang terus-menerus melakukan kemaksiatan tidak dihukumi
dengan kekafiran[2].
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
ومن لَـقِيـَه مُصِـرّا غير تائب من الذنوب
التي استوجب بها العقوبة فأمره إلى الله ، إن شاء عذّبه ، وإن شاء غفر له ، ومن
لَـقِـيَـه وهو كافر عذّبه ولم يغفر له
“Barangsiapa yang berjumpa (dengan Allah)
dalam keadaan (sewaktu di dunia) terus-menerus melakukan dosa tanpa (sempat) bertaubat
dari dosa-dosa yang mengkonsekuensikan hukuman tersebut, maka perkaranya
diserahkan kepada Allah. Apabila Ia berkehendak, maka Ia akan mengadzabnya, dan
apabila Ia berkehendak, maka Ia akan mengampuninya. Dan barangsiapa yang
berjumpa dengan Allah dalam keadaan kafir, maka Allah akan mengadzabnya dan
tidak mengampuninya” [Ushuulus-Sunnah, hal. 110 – syarh : Ibnu Jibriin].
Ibnu Abiz-Zamaniin Al-Maalikiy rahimahullah
berkata:
ومَن مات مِن المؤمنين مُصِرًّا على ذنبه
فهو في مشيئته وخياره، وليس لأحدٍ أن يَتسَوَّر على الله في علم غَيْبه وبجحود
قضائه؛ فيقول: أَبَى ربُّك أن يَغْفِر للمُصرِّين، كما أَبَى أن يُعَذِّب التائبين
{مَا يَكُونُ لَنَا أَن نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ}
“Barangsiapa yang meninggal dari kalangan
orang-orang yang beriman yang terus-menerus melakukan dosa, maka ia berada dalam
kehendak-Nya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk mendahului Allah dalam ilmu
ghaib-Nya dan mengingkari ketetapan-Nya lalu berkata : ‘Rabbmu enggan untuk
memberikan ampunan terhadap orang-orang yang terus-menerus berbuat dosa
sebagaimana Dia enggan mengadzab orang-orang yang bertaubat’. Allah ta’ala berfirman:
‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau
(Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar’ (QS. An-Nuur : 16)” [Ushuulus-Sunnah,
hal. 257].
Al-Khathiib Asy-Syarbiiniy rahimahullah
berkata:
الْكَبِيرَة لَا تَصِيرُ بِالْمُوَاظَبَةِ
كُفْرًا
“Dosa besar tidak berubah menjadi kekufuran
dengan giat terus-menerus melakukannya” [Mughnil-Muhtaj, 6/346].
Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah
berkata:
الإصرار على الكبيرة التي هي دون الشرك لا
يصير المصر عليها كافرا ، لأنها ما دامت دون الشرك ودون الكفر : فإنه يعتبر فاسقا
ولا يخرج من الملة ، ولو أصر عليها
“Terus-menerus berbuat dosa besar di bawah kesyirikan,
maka orang yang melakukannya tersebut tidak menjadi kafir. Karena selama dosa
besar itu di bawah kesyirikan dan kekufuran (akbar), maka dirinya hanya
dihukumi sebagai orang fasiq saja dan tidak keluar dari agama (murtad) meskipun
terus-menerus melakukannya” [Dhaahiratut-Tabdii’ wat-Tafsiiq wat-Takfiir wa
Dlawaabithuhu, hal. 60-61].
Seandainya pun suatu perbuatan dihukumi
sebagai istihlaal, maka wajib iqaamatul-hujjaah sebelum
pengkafiran terhadap pelakunya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin
rahimahullah berkata:
الاستحلال إذاً: استحلال فعلي واستحلال
عقدي بقلبه.
فالاستحلال الفعلي: ينظر فيه للفعل نفسه ،
هل يكفر أم لا ؟ ومعلوم أن أكل الربا لا يكفر به الإنسان ، لكنه من كبائر الذنوب ،
أما لو سجد لصنم فهذا يكفر لماذا ؟ لأن الفعل يكفر؛ هذا هو الضابط ولكن لابد من
شرط آخر وهو: ألا يكون هذا المستحل معذوراً بجهله، فإن كان معذوراً بجهله فإنه لا
يكفر، مثل أن يكون إنسان حديث عهد بالإسلام لا يدري أن الخمر حرام، فإن هذا وإن
استحله فإنه لا يكفر، حتى يعلم أنه حرام؛ فإذا أصر بعد تعليمه صار كافراً.
“Maka istihlaal itu (ada dua) : istihlaal
fi’liy (perbuatan) dan istihlaal ‘aqdiy (keyakinan) dengan hatinya.
Istihlaal fi’liy,
perlu dilihat dulu tentang jenis dzat perbuatannya, apakah (termasuk)
dikafirkan ataukah tidak ?. Dan telah diketahui bahwasannya orang yang memakan
riba tidak dikafirkan, akan tetapi perbuatan tersebut termasuk dosa besar. Adapun
jika ia sujud kepada berhala, maka ini dikafirkan. Mengapa ? Karena (dzat)
perbuatannya sendiri memang dikafirkan. Inilah kaedahnya. Akan tetapi tetap
harus memenuhi syarat yang lain (dalam pengkafirannya), yaitu orang yang
menghalalkan ini bukan orang yang diberikan udzur karena kejahilannya. Apabila
ia adalah orang yang diberikan udzur karena kejahilannya, maka tidak dikafirkan.
Seperti misal orang yang baru masuk Islam yang tidak tahu khamr diharamkan.
Apabila orang ini menghalalkannya, tidak dikafirkan hingga ia mengetahui khamr
itu haram. Apabila ia bersikeras/terus-menerus (dalam penghalalannya) setelah
diberitahu/diajari, maka kafir” [Liqaa’ul-Baab Al-Maftuuh, 16/50].
Wallaahu a’lam bish-shawaab.
Semoga ada manfaatnya.
[1] Termasuk kufur ‘inaad dan istikbaar.
Silakan baca penjelasan macam-macam kekufuran pada artikel : Macam-Macam
Kekufuran.
[2] Meski demikian, kita tidak boleh meremehkan
karena dosa besar dapat mengantarkan kepada kekufuran. Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata:
ولا
ريب أن المعصية قد تكون سببا للكفر كما قال بعض السلف المعاصى بريد الكفر
“Dan
tidak diragukan bahwa kemaksiatan kadang menjadi sebab kekufuran sebagaimana
dikatakan sebagian salaf : ‘Kemaksiatan adalah pengantar menuju kekufuran” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 7/494].
Comments
Posting Komentar