Syaikhul-Islaam
Abu ‘Utsmaan Ismaa’iil Ash-Shaabuuniy rahimahullah (w. 449 H) berkata:
ويشهد أهل السنة ويعتقدون : أن الخير
والشر، والنفع والضر [والحلو] والمر بقضاء الله وقدره لا مرد لها ولا محيص ولا محيد
عنها ، ولا يصيب المرء إلا ما كتب له ربه ، ولو جهد الخلق أن ينفعوا المرء بما لم
يكتب الله له لم يقدروا عليه ، ولو جهدوا أن يضروه بما لم يقضه الله [عليه] لم
يقدروا . على ما ورد به خبر عبد الله بن عباس [رضي الله عنهما] ، عن النبي ﷺ . قال
الله عز وجل : وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ
وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِهِ
“Ahlus-Sunnah
bersaksi dan meyakini bahwa kebaikan dan kejelekan, manfaat dan mudlarat, serta
manis dan pahitnya, terjadi dengan
ketetapan dan takdir (qadar) Allah. Tidak ada yang dapat mencegahnya,
menyimpangkannya, dan menjauhkannya. Seseorang tidak tertimpa sesuatu kecuali
dengan ketentuan yang telah Rabbnya tuliskan untuknya. Seandainya seluruh
makhluk berusaha keras untuk memberikan manfaat seseorang dengan sesuatu yang
tidak Allah tetapkan untuknya, maka mereka tidak mampu melakukannya. Dan seandainya
seluruh makhluk berusaha keras untuk memberikan mudlarat kepadanya dengan
sesuatu yang tidak Allah tetapkan untuknya, maka mereka pun tidak mampu
melakukannya. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa, dari Nabi ﷺ.[1]
Allah ‘azza wa jalla berfirman : “Jika Allah menimpakan suatu
kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia.
Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak
kurnia-Nya” (QS. Yuunus : 107)” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits,
hal. 70-71].
Inilah
‘aqidah Ahlus-Sunnah yang menetapkan semua kebaikan dan kejelekan yang terjadi berdasarkan
qadar/takdir Allah ta’ala yang tercatat di Lauh Mahfuudh, 50.000 tahun
sebelum penciptaan langit dan bumi. Allah ta’ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ
وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
“Tiada
suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuudh) sebelum Kami menciptakannya”
[QS. Al-Hadiid : 22].
Rasulullah
ﷺ bersabda:
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ
قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah
telah menulis seluruh takdir makhluk-makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan
langit-langit dan bumi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653].
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ
الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ
مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
“Sesungguhnya
makhluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena. Allah ta’ala berfirman
kepadanya : ‘Tulislah’. Pena bertanya : ‘Wahai Rabbku, apa yang mesti aku
tuliskan?’. Allah ta’ala berfirman : ‘Tulislah takdir segala sesuatu hingga
datang hari kiamat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2155 & 3319,
Abu Daawud no. 4700; dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih
Sunan Abi Daawud 3/148].
حَدَّثَنِي أَبِي نا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ
مَنْصُورِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْغُدَانِيِّ، قَالَ: قُلْتُ لِلْحَسَنِ
قَوْلُهُ: مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا
فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا، قَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ، وَمَنْ
يَشُكُّ فِي هَذَا، كُلُّ مُصِيبَةٍ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ فَفِي كِتَابِ
اللَّهِ قَبْلَ أَنْ يَبْرَأَ النَّسَمَةَ
Telah
menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepadaku Ismaa’iil (bin
‘Ulayyah), dari Manshuur bin ‘Abdirrahmaan Al-Ghudaaniy, ia berkata : Aku
bertanya kepada Al-Hasan (Al-Bashriy) tentang firman-Nya : ‘Tiada suatu
bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya’
(QS. Al-Hadiid : 22), ia berkata : “Subhaanallah, dan siapakah yang
meragukan ayat ini ?. Semua musibah yang terjadi antara langit dan bumi, maka
itu telah ditetapkan dalam Kitab Allah (Lauh Mahfuudh) sebelum Allah
menciptakan manusia” [Diriwayatkan ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no.
961; sanadnya hasan].
Termasuk
dalam hal ini adalah segala perbuatan baik dan jelek/jahat yang dilakukan oleh
manusia, semua itu berjalan menurut taqdir yang telah Allah ta’ala
tetapkan. Allah ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا
عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا
يَفْتَرُونَ
“Dan
demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari
orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk
membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. Dan kalau Allah
menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan
apa yang mereka ada-adakan” [QS. Al-An’aam : 137].
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ
الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ
اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Dan
kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang
datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam
keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang
beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah
menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa
yang dikehendaki-Nya” [QS. Al-Baqarah : 253].
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُدْخِلُ مَنْ يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ
“Dan
kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja),
tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya” [QS.
Asy-Syuuraa : 8].
Bahkan
Allah ta’ala telah menetapkan bahagia celaka, serta kemana tempat
kembali seseorang kelak (surga atau neraka) berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ قَتَادَةَ
السُّلَمِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: " إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَ آدَمَ، ثُمَّ أَخَذَ الْخَلْقَ مِنْ ظَهْرِهِ،
وَقَالَ: هَؤُلَاءِ فِي الْجَنَّةِ وَلَا أُبَالِي، وَهَؤُلَاءِ فِي النَّارِ
وَلَا أُبَالِي ".قَالَ: فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَعَلَى
مَاذَا نَعْمَلُ؟ قَالَ: " عَلَى مَوَاقِعِ الْقَدَرِ "
Dari
‘Abdurrahmaan bin Qataadah As-Sulamiy, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : “Sesungguhnya Allah ‘azza wa
jalla menciptakan Adam, kemudian ia menciptakan makhluk (yaitu keturunannya)
dari tulang punggungnya seraya berfirman : ‘Mereka akan berada di surga
sedangkan Aku tidak peduli; dan mereka
akan berada di neraka, sedangkan Aku tidak peduli”. Seseorang berkata :
“Wahai Rasulullah, lantas atas dasar apa kita beramal ?”. Beliau ﷺ menjawab : “Di atas dasar/pijakan qadar”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 4/186, Ibnu Hibbaan no. 338, Al-Haakim 1/31, dan yang
lainnya; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhriij Musnad Al-Imaam
Ahmad 29/206].
عَنْ مُسْلِمِ بْنِ يَسَارٍ الْجُهَنِيِّ،
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سُئِلَ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ
مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ قَالَ: قَرَأَ الْقَعْنَبِيُّ الْآيَةَ فَقَالَ
عُمَرُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ سُئِلَ عَنْهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
" إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَ آدَمَ، ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ
بِيَمِينِهِ، فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً، فَقَالَ: خَلَقْتُ هَؤُلَاءِ
لِلْجَنَّةِ وَبِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَعْمَلُونَ، ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ
فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً، فَقَالَ خَلَقْتُ هَؤُلَاءِ لِلنَّارِ،
وَبِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ يَعْمَلُونَ، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَفِيمَ الْعَمَلُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا
خَلَقَ الْعَبْدَ لِلْجَنَّةِ اسْتَعْمَلَهُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى
يَمُوتَ عَلَى عَمَلٍ مِنْ أَعْمَالِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُدْخِلَهُ بِهِ
الْجَنَّةَ، وَإِذَا خَلَقَ الْعَبْدَ لِلنَّارِ اسْتَعْمَلَهُ بِعَمَلِ أَهْلِ
النَّارِ حَتَّى يَمُوتَ عَلَى عَمَلٍ مِنْ أَعْمَالِ أَهْلِ النَّارِ،
فَيُدْخِلَهُ بِهِ النَّارَ "
Dari
Muslim bin Yasaar Al-Juhaniy : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab pernah
ditanya tentang ayat ini : ‘Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka’ (QS. Al-A’raaf : 172). -
Al-Qa’nabiy membaca ayat tersebut - . Maka ‘Umar berkata : Aku mendengar
Rasulullah ﷺ
pernah ditanya tentang ayat tersebut, lalu bersabda : “Sesungguhnya Allah
‘azza wa jalla menciptakan Adam, lalu Ia mengusap punggungnya dengan tangan
kanan-Nya, dan mengeluarkan darinya sejumlah keturunannya. Allah berfirman :
‘Aku telah menciptakan mereka untuk dimasukkan ke dalam surga dengan amalan
penduduk surga, dan mereka pun mengamalkannya.’. Kemudian Allah mengusap
punggungnya lagi, lalu mengeluarkan darinya sejumlah keturunannya, dan Allah
berfirman : ‘Aku telah menciptakan mereka untuk neraka dengan amalan penduduk
neraka, dan mereka pun mengamalkannya”. Ada seorang laki-laki bertanya : "Wahai
Rasulullah, lantas apa gunanya beramal?”. Maka Rasulullah ﷺ menjawab : “Sesungguhnya Allah ‘azza wa
jalla apabila menciptakan seorang hamba untuk surga, maka Allah menjadikannya
beramal dengan amalan penduduk surga, hingga ia mati dalam keadaan beramal
dengan amalan-amalan penduduk surga, lalu ia dimasukkan ke dalam surga dengan
amalan tersebut. Dan apabila Allah menciptakan seorang hamba untuk neraka, maka
Allah menjadikannya beramal dengan amalan penduduk neraka, hingga ia mati dalam
keadaan mengamalkan amalan penduduk neraka, lalu ia dimasukkan ke dalam neraka
dengan amalan tersebut” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3075, Abu
Daawud no. 4703, Ahmad 1/44-45, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy
dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 3/149-150 dan Al-Arna’uth dalam Takhriij
Musnad Al-Imaam Ahmad 1/399-400].
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ سُرَاقَةُ بْنُ
مَالِكِ بْنِ جُعْشُمٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، بَيِّنْ لَنَا دِينَنَا كَأَنَّا
خُلِقْنَا الْآنَ، فِيمَا الْعَمَلُ الْيَوْمَ؟ أَفِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ
وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ؟ أَمْ فِيمَا نَسْتَقْبِلُ؟ قَالَ: لَا، بَلْ فِيمَا جَفَّتْ
بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ، قَالَ: فَفِيمَ الْعَمَلُ، فَقَالَ:
اعْمَلُوا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ "
Dari
Jaabir, ia berkata : Suraaqah bin Maalik bin Ju’syum datang dan berkata : “Wahai
Rasulullah, berikanlah penjelasan kepada kami tentang agama kami, seakan-akan kami
baru diciptakan sekarang. Untuk apakah kita beramal hari ini?. Apakah itu
terjadi pada hal-hal yang pena telah kering dan takdir yang berjalan, ataukah
untuk yang akan datang?”. Beliau ﷺ menjawab
: “Bahkan pada hal-hal yang dengannya pena telah kering dan takdir yang
berjalan”. Ia bertanya : “Lalu apa gunanya beramal?”. Beliau ﷺ bersabda
: “Beramallah kalian, karena masing-masing dimudahkan (untuk melakukan
sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no.
2648].
عَنْ عِمْرَانَ، قَالَ: قُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، فِيمَا يَعْمَلُ الْعَامِلُونَ؟، قَالَ: كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا
خُلِقَ لَهُ
Dari
‘Imraan, ia berkata : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, lantas untuk apa
orang-orang yang beramal melakukan amalan mereka ?”. Beliau ﷺ : “Setiap orang akan dimudahkan (menuju
jalan) penciptaannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7551].
Dan
inilah yang dipahami para shahabat dan taabi’iin sebagaimana riwayat:
عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ، قَالَ:
قَالَ لِي عِمْرَانُ بْنُ الْحُصَيْنِ: " أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ
وَيَكْدَحُونَ فِيهِ أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ، وَمَضَى عَلَيْهِمْ مِنْ قَدَرِ مَا
سَبَقَ؟ أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتِ
الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ؟ فَقُلْتُ: بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى عَلَيْهِمْ،
قَالَ: فَقَالَ: أَفَلَا يَكُونُ ظُلْمًا؟ قَالَ: فَفَزِعْتُ مِنْ ذَلِكَ فَزَعًا شَدِيدًا،
وَقُلْتُ: كُلُّ شَيْءٍ خَلْقُ اللَّهِ وَمِلْكُ يَدِهِ فَ-لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ
وَهُمْ يُسْأَلُونَ، فَقَالَ لِي: يَرْحَمُكَ اللَّهُ، إِنِّي لَمْ أُرِدْ بِمَا سَأَلْتُكَ
إِلَّا لِأَحْزِرَ عَقْلَكَ، إِنَّ رَجُلَيْنِ مِنْ مُزَيْنَةَ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ
ﷺ فَقَالَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ وَيَكْدَحُونَ
فِيهِ أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ مِنْ قَدَرٍ قَدْ سَبَقَ؟ أَوْ فِيمَا
يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتِ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ؟
فَقَالَ: لَا، بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي
كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا { 7 } فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا
وَتَقْوَاهَا { 8 } "
Dari
Abul-Aswad Ad-Dua’liy, ia berkata : ‘Imraan bin Hushain pernah berkata kepadaku
: “Apa pendapatmu tentang amalan yang dikerjakan orang hari ini dan jerih payah
mereka ? Apakah itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan untuk mereka dan
sesuatu yang telah ditentukan takdirnya sebelumnya? Ataukah itu pada sesuatu
yang akan mereka hadapi dari ajaran yang dibawa oleh Nabi mereka dan hujjah tegak
untuk mereka?”. Aku menjawab : “Bahkan
sesuatu yang telah ditetapkan dan diputuskan untuk mereka”. Ia berkata :
“Bukankah itu satu kedhaliman?”. Abul-Aswad berkata : Aku pun sangat terkejut
karenanya, lalu aku berkata : “Segala sesuatu adalah ciptaan Allah, kekuasaan berada
di tangan-Nya. ‘Dia tidak ditanya tentang perbuatan-Nya, akan tetapi
merekalah yang akan ditanya tentang perbuatan mereka’ (QS. Al-Anbiyaa’ : 23).
Ia (’Imraan bin Hushain) berkata kepadaku : “Semoga Allah merahmatimu,
sesungguhnya aku tidak bermaksud dengan pertanyaanku kepadamu itu kecuali
memahamkan akalmu. Sesungguhnya ada dua orang laki-laki dari Muzainah datang
kepada Rasulullah ﷺ. Mereka berkata : ‘Wahai Rasulullah, apa
pendapatmu tentang amalan yang dikerjakan orang hari ini dan jerih payah mereka
? Apakah itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan untuk mereka dan sesuatu
yang telah ditentukan takdirnya sebelumnya? Ataukah itu pada sesuatu yang akan
mereka hadapi dari ajaran yang dibawa oleh Nabi mereka dan hujjah tegak untuk
mereka?’. Beliau ﷺ bersabda : ‘Tidak, bahkan yang telah
ditetapkan dan diputuskan untuk mereka. Pembenaran hal itu ada dalam Kitabullah
‘azza wa jalla : ‘Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya’ (QS.
Asy-Syams : 7-8)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2650].
Abul-Aswad
Ad-Dualiy termasuk kibaarut-taabi’iin yang wafat tahun 69 H, sedangkan
‘Imraan bin Hushain adalah salah seorang shahabat yang mulia yang wafat tahun 52
H.
Kehendak
dan Ikhtiyaar Makhluk
Lantas
bagaimana dengan ayat:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ
شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
“Dan
katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir" [QS. Al-Kahfi : 29].
Apakah
ayat ini menunjukkan adanya kehendak manusia yang lepas dari kehendak dan
taqdir Allah (yang telah ditetapkan sebelumnya) ?. Atau dikatakan : “Manusia berkehendak
dan berikhtiyar, baru ketetapan Allah menyusul kemudian ?” Atau dikatakan : “Taqdir
Allah tidak mutlak karena sebagiannya bergantung pada kehendak dan ikhtiyaar
manusia ?”.
Tentu
tidak ! Jika dipahami demikian, tentu akan menabrak sekian sekian banyak dalil
yang diantaranya telah disebutkan di atas. Untuk memahami ayat tersebut, tentu
kita butuh penjelasan ulama yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang ada.
Al-Baihaqiy
rahimahullah membuat satu Bab dalam kitabnya sebagai berikut:
بَابٌ الْقَوْلُ فِي وُقُوعِ أَفْعَالِ
الْعَبْدِ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
قال الله تبارك وتعالى: وَمَا تَشَاءُونَ
إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ. فأخبر أنا لا نشاء شيئا، إلا أن يكون الله قد شاء. وقال:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَنْ فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا. وقال: وَلَوْ
شِئْنَا لآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا. وقال: مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلا
أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ. وقال: فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ
صَدْرَهُ لِلإِسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا
حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ. وقال وَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ
فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَئِكَ الَّذِينَ لَمْ
يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ.
وآيات القرآن في معنى هذه الآيات كثيرة، قد
كتبناها في كتاب الأسماء والصفات وفي كتاب القدر.
Bab
: Perkataan tentang terjadinya perbuatan-perbuatan hamba dengan kehendak Allah ‘azza
wa jalla.
Allah
tabaaraka wa ta’ala berfirman : ‘Dan kamu
tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah’ (QS. Al-Insaan : 30). (Dalam ayat ini) Allah mengkhabarkan
bahwa kita tidak dapat menghendaki sesuatu kecuali apabila Allah menghendakinya.
Allah ta’ala berfirman : ‘Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya’ (QS. Yuunus : 99). ‘Dan
kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk
(bagi)-nya’ (QS. As-Sajdah : 13). ‘Niscaya mereka tidak (juga) akan
beriman, kecuali jika Allah menghendaki’ (QS. Al-An’aam : 111). ‘Barangsiapa
yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia
melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi
sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit’ (QS. Al-An’aam : 125). ‘Barangsiapa
yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu
menolak sesuatu pun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang
yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka’ (QS. Al-Maaidah : 41).
Ayat-ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat ini banyak. Kami
telah menulisnya dalam kitab Al-Asmaa’ wash-Shifaat dan Al-Qadr”
[Al-I’tiqaad wal-Hidaayah ilaa Sabiilir-Rasyaad, hal. 179].
عَنْ حُذَيْفَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ:
" لَا تَقُولُوا: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلَانٌ، وَلَكِنْ قُولُوا: مَا
شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شَاءَ فُلَانٌ "
Dari Hudzaifah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda : “Jangan
kalian mengatakan : ‘Atas kehendak Allah dan kehendak Fulan’, akan tetapi
katakanlah : ‘Atas kehendak Allah, lalu kehendak Fulan” [Diriwayatkan oleh
Abu Daawud no. 4980, Ibnu Maajah no. 2118, dan yang lainnya; dishahihkan oleh
Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 137].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَجُلا أَتَى
النَّبِيَّ ﷺ فَكَلَّمَهُ فِي بَعْضِ الأَمْرِ، فَقَالَ: مَا شَاءَ اللَّهُ
وَشِئْتَ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " أَجَعَلْتَنِي لِلَّهِ عَدْلا؟ قُلْ: مَا
شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ "
Dari
Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ada seorang laki-laki mendatangi Nabi ﷺ lalu ia berbicara dengan beliau pada
sebagian urusan. Ia berkata : “Atas kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka
Nabi ﷺ
bersabda : “Apakah engkau menjadikan aku sama dengan Allah ?. Katakan : Atas
kehendak Allah semata” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 2117, Ahmad 1/214
& 224 & 283 & 347, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 9/362-363 no.
10759, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy
dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 139].
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ : الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ
إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا
يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا
تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللَّهِ
وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah ﷺ : “Mukmin yang kuat
lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah; dan pada
keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang
bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu)
serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa
musibah, janganlah engkau berkata : ‘Seandainya aku berbuat demikian dan
demikian, tentu tidak akan demikian dan demikian’. Akan tetapi katakanlah : Ini
telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena
ucapan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 2664, Ahmad 2/366 & 370, Ibnu Maajah no. 79 & 4168,
Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad hal. 185, dan yang lainnya].
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa manusia diberikan kehendak
sehingga ia dapat berikhtiyaar, namun kehendak manusia tersebut mengikuti
kehendak Allah ta’ala dan takdir yang telah ditetapkan sebelumnya.
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
الْمَشِيئَةُ إِرَادَةُ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ
اللَّهُ، فَأَعْلَمَ اللَّهُ خَلْقَهُ أَنَّ الْمَشِيئَةَ لَهُ دُونَ خَلْقِهِ،
وَأَنَّ مَشِيئَتَهُمْ لا تَكُونُ إِلا أَنْ يَشَاءَ
“Al-Masyii’ah
adalah iraadah (keinginan) Allah ‘azza wa jalla : ‘Dan
kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam’ (QS. At-Takwir : 29). Maka Allah memberitahukan
makhluknya bahwa masyi’ah itu murni milik-Nya, bukan milik makhluk-Nya, dan
bahwasannya masyi’ah mereka tidak terjadi kecuali jika dikehendaki-Nya”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad hal. 182; shahih].
Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu ketika menjelaskan QS. Al-Kahfi
ayat 29 berkata:
مَنْ شَاءَ اللَّهُ لَهُ الإِيمَانَ آمَنَ
وَمَنْ شَاءَ لَهُ الْكُفْرَ كَفَرَ، وَهُوَ قوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَمَا
تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Barangsiapa
yang Allah kehendaki baginya iman, maka ia beriman; dan barangsiapa yang Allah
kehendaki baginya kekafiran, maka ia kafir. Dan itu adalah sebagaimana
firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh
jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam’ (QS.
At-Takwir : 29)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad hal.
190].
Setelah
memberikan dalil dan pemaparan tentang permasalahan ini[2],
Al-Baihaqiy rahimahullah menutup dengan perkataan:
وَقَدْ رُوِّينَا فِي حَدِيثِ زَيْدِ بْنِ
ثَابِتٍ، وَفِي حَدِيثِ أَبِي الدَّرْدَاءِ وَغَيْرِهِمَا، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ
قَالَ: مَا شَاءَ اللَّهُ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ، وَهَذَا كَلامٌ
أَخَذَتْهُ الصَّحَابَةُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَخَذَهُ التَّابِعُونَ
عَنْهُمْ وَلَمْ يَزَلْ يَأْخُذُهُ الْخَلَفُ عَنِ السَّلَفِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ
وَصَارَ ذَلِكَ إِجْمَاعًا مِنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ. وَفِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ: مَا شَاءَ اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ، فَنَفَى أَنْ يَمْلِكَ
الْعَبْدُ كَسْبًا يَنْفَعُهُ أَوْ يَضُرُّهُ إِلا بِمَشِيئَةِ اللَّهِ
وَقُدْرَتِهِ وَفِي مَعْنَى ذَلِكَ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
مَا.
“Dan
sungguh telah diriwayatkan kepada kami hadits Zaid bin Tsaabit, hadits
Abud-Dardaa’, dan yang lainnya, bahwasannya Nabi ﷺ bersabda : “Apa saja yang Allah
kehendaki akan terjadi, dana pa saja yang tidak Ia kehendaki tidak akan terjadi”.
Perkataan ini diambil oleh para shahabat dari Rasulullh ﷺ, serta diambil oleh para taabi’iin
dari mereka, dan senantiasa (terus-menerus) orang-orang belakangan (khalaf)
mengambilnya dari salaf tanpa ada pengingkaran, sehingga hal itu menjadi
ijmaa’ dari
mereka dalam permasalahan tersebut. Dalam Kitabullah ‘azza wa jalla
Allah berfirman : ‘Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada
kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah’ (QS. Al-Kahfi : 39). Di sini
Allah menafikkan bahwa hamba memiliki usaha yang dapat memberikan manfaat atau
mudlarat kepadanya kecuali berdasarkan kehendak Allah dan kekuasaan-Nya” [idem,
hal. 192].
Kemudian
Al-Baihaqiy menukil bait syi’ir Asy-Syaafi’iy rahimahumallah :
مَا شِئْتَ كَانَ وَإِنْ لَمْ أَشَأْ وَمَا شِئْتُ إِنْ لَمْ تَشَأْ لَمْ يَكُنْ
خَلَقْتَ الْعِبَادَ عَلَى مَا عَلِمْتَ فَفِي الْعِلْمِ يَجْرِي الْفَتَى
وَالْمُسِنُّ
عَلَى ذَا مَنَنْتَ وَهَذَا خَذَلْتَ وَهَذَا أَعَنْتَ وَذَا لَمْ تُعِنْ
فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَمِنْهُمْ سَعِيدٌ وَمِنْهُمْ قَبِيحٌ وَمِنْهُمْ حَسَنٌ
“Apa
yang Engkau kehendaki pasti terjadi, meskipun tidak menghendakinya
apa
saja yang aku kehendaki apabila tidak engkau kehendaki, maka tidak terjadi
Engkau
ciptakan hamba-hamba sesuai dengan apa yang Engkau ketahui
di
dalam ilmu berlangsung kehidupan pemuda dan orang tua
Kepada
ini Engkau anugerahkan, sedangkan yang itu Engkau terlantarkan
dan
yang ini Engkau tolong, sedangkan yang itu tidak Engkau tolong
Di
antara mereka ada celaka dan diantara mereka ada yang bahagia
di
antara mereka ada yang buruk dan diantara mereka pula ada yang baik”
[Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad hal. 192, Al-Kubraa
10/206-207, Ma’rifatus-Sunan wal-Atsar no. 72, Al-Asmaa’ wash-Shifaat
1/450 no. 376; Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no.
1303, dan yang lainnya; shahih].
Ibnu
Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah berkata:
وَمُجْمِعُونَ عَلَى أَنَّ مَا شَاءَ اللَّهُ
كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لا يَكُونُ، وَعَلَى أَنَّ اللَّهَ خَالِقُ الْخَيْرِ
وَالشَّرِّ وَمُقَدِّرُهُمَا
“(Ahlus-Sunnah)
sepakat bahwa semua yang dikehendaki Allah akan terjadi, dan yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Mereka juga bersepakat bahwa Allah adalah Pencipta
kebaikan dan keburukan serta Yang menetapkan/menakdirkan keduanya…” [Al-Ibaanah,
1/206].
Ibnu
Qutaibah rahimahullah berkata:
لأَنَّ أَصْحَابَ الْحَدِيثِ كُلَّهُمْ
مُجْمِعُونَ عَلَى أَنَّ مَا شَاءَ اللَّهُ كَانَ، وَمَا لَمْ يَشَأْ لا يَكُونُ،
وَعَلَى أَنَّهُ خَالِقُ الْخَيْرِ، وَالشَّرِّ
“Hal
itu dikarenakan ashhaabul-hadiits (Ahlus-Sunnah) semuanya sepakat
bahwa semua yang dikehendaki Allah akan terjadi, dan yang tidak dikehendaki-Nya
tidak akan terjadi. Mereka juga sepakat bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan
dan kejelekan….” [Ta’wiil Mukhtalafil-Hadiits, hal. 64].
Berikut
beberapa nukilan dari salaf:
أَخْبَرَنِي يُوسُفُ بْنُ مُوسَى، أَنَّ
أَبَا عَبْدَ اللَّهِ، " سُئِلَ عَنْ أَعْمَالِ الْخَلْقِ، مُقَدَّرَةٌ
عَلَيْهِمْ مِنَ الطَّاعَةِ وَالْمَعْصِيَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قِيلَ: وَالشَّقَاءُ
وَالسَّعَادَةُ مُقَدَّرَانِ عَلَى الْعِبَادِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قِيلَ لَهُ:
وَالنَّاسُ يَصِيرُونَ إِلَى مَشِيئَةِ اللَّهِ فِيهِمْ مِنْ حَسَنٍ أَوْ سَيِّئٍ؟
قَالَ: نَعَمْ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Yuusuf bin Muusaa : Bahwasannya Abu ‘Abdillah pernah
ditanya tentang perbuatan-perbuatan hamba, apakah sudah ditakdirkan atas mereka
berupa ketaatan dan maksiat ?”. Ia menjawab : “Ya”. Dikatakan : “Sengsara dan
bahagia juga telah ditakdirkan atas hamba-hamba ?”. Ia menjawab : “Ya”.
Dikatakan kepadanya : “Orang-orang berjalan menuju kehendak Allah pada mereka
berupa kebaikan dan keburukan ?”. Ia menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh
Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 932].
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ الْمَرُّوذِيُّ،
قَالَ: سُئِلَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الزِّنَا، بِقَدَرٍ؟ فَقَالَ: الْخَيْرُ
وَالشَّرُّ بِقَدَرٍ، ثُمَّ قَالَ: الزِّنَا وَالسَّرِقَةُ، وَذَكَرَ عَنْ
سَالِمٍ، وَابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُمْ قَالُوا: " الزِّنَا وَالسَّرِقَةُ
بِقَدَرٍ "، ثُمَّ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: كَانَ ابْنُ مَهْدِيٍّ قَدْ
سَأَلُوهُ عَنْ ذَا؟ فَقَالَ: الْخَيْرُ وَالشَّرُّ بِقَدَرٍ، فَفَحَصُوا
عَلَيْهِ، فَقَالُوا لَهُ: الزِّنَا وَالسِّحَاقُ بِقَدَرٍ؟ فَكَأَنَّهُ أَنْكَرَ
هَذَا، وَقَالَ: قَدْ أَجَابَهُمْ إِلَى أَنَّ الْخَيْرَ وَالشَّرَّ بِقَدَرٍ
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Marruudziy, ia berkata : Abu 'Abdillah
(Ahmad bin Hanbal) pernah ditanya tentang zina, (apakah ia terjadi) berdasarkan
qadar (takdir) ?. Maka beliau rahimahullah menjawab : "Kebaikan
maupun kejelekan terjadi dengan qadar". Kemudian beliau melanjutkan : Zina
dan pencurian (terjadi berdasarkan qadar)". Beliau menyebutkan riwayat dari
Saalim dan Ibnu 'Abbaas, bahwasannya mereka berkata : "Zina dan pencurian
(terjadi) berdasarkan qadar. Kemudian Abu 'Abdillah berkata : "Orang-orang
pernah bertanya kepada Ibnu Mahdiy tentang hal tersebut. Ibnu Mahdiy berkata :
'Kebaikan dan kejelekan (terjadi) berdasarkan qadar'. Lantas mereka mengujinya
dengan pertanyaan : 'Zina dan sihaaq (lesbianisme) (terjadi) berdasarkan qadar ?'
- sekan-akan ia mengingkarinya. Maka ia menjawab mereka bahwasannya kebaikan
dan kejelekan (terjadi) berdasarkan qadar[3]...."
[idem no. 889].
أَخْبَرَنِي عِصْمَةُ بْنُ عِصَامٍ، قَالَ:
ثَنَا حَنْبَلٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: أَفَاعِيلُ
الْعِبَادُ مَخْلُوقَةٌ، وَأَفَاعِيلُ الْعِبَادِ مَقْضِيَّةٌ بِقَضَاءٍ وَقَدَرٍ،
قُلْتُ: الْخَيْرُ وَالشَّرُّ مَكْتُوبَانِ عَلَى الْعِبَادِ، قَالَ: الْمَعَاصِي
بِقَدَرٍ ، قَالَ: وَسَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ مَهْدِيٍّ يَقُولُ:
الْمَعَاصِي بِقَدَرٍ، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: وَالْخَيْرُ وَالشَّرُّ
بِقَدَرٍ، وَالطَّاعَةُ وَالْمَعْصِيَةُ بِقَدَرٍ، وَأَفَاعِيلُ الْعِبَادِ
كُلُّهَا بِقَدَرٍ
Telah
mengkhabarkan kepadaku 'Ishmah bin 'Ishaam, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Hanbal, ia berkata : Aku mendengar Abu 'Abdillah berkata :
"Perbuatan-perbuatan hamba adalah makhluk, dan perbuatan-perbuatan hamba
ditetapkan dengan qadlaa' dan qadar". Aku (Hanbal) berkata : "Apakah
kebaikan dan kejelakan hamba telah dituliskan ?". Ia (Abu 'Abdillah)
berkata : "Perbuatan maksiat terjadi berdasarkan qadar". Ia (Abu
'Abdillah) berkata : "Aku mendengar 'Abdurrahmaan bin Mahdiy berkata :
"Perbuatan maksiat (terjadi) berdasarkan qadar". Abu 'Abdillah
berkata : "Kebaikan dan kejelekan (terjadi) berdasarkan qadar. Ketaatan
dan kemaksiatan (terjadi) berdasarkan qadar. Perbuatan para hamba semuanya
berdasarkan qadar" [idem, no. 897].
أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي
هَارُونَ، أَنَّ إِسْحَاقَ حَدَّثَهُمْ، أَنَّ أَبَا عَبْدَ اللَّهِ، سُئِلَ عَنِ
الْقَدَرِ، فَقَالَ: الْقَدَرُ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْعِبَادِ،
فَقَالَ رَجُلٌ: إِنْ زَنَى فَبِقَدَرٍ، وَإِنْ سَرَقَ فَبِقَدَرٍ؟ قَالَ: نَعَمْ،
اللَّهُ قَدَّرَهُ عَلَيْهِ
Telah
mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin Abi Haaruun : Bahwasannya Ishaaq
menceritakan kepada mereka, bahwasannya Abu 'Abdillah pernah ditanya tentang
qadar. Ia menjelaskan : "Al-qadar telah Allah tetapkan atas para
hamba". Seseorang berkata : "Apabila ada orang yang berzina, apakah
itu berdasarkan qadar ? Apabila mencuri juga berdasarkan qadar ?". Abu
'Abdillah menjawab : "Ya, Allah telah mentakdirkan hal itu padanya" [idem,
no. 899].
أَخْبَرَنِي عِصْمَةُ بْنُ عِصَامٍ، قَالَ:
ثَنَا حَنْبَلٌ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ: إِنَّ قَوْمًا يَحْتَجُّونَ
بِهَذِهِ الآيَةِ مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ، وَمَا أَصَابَكَ
مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: مَا أَصَابَكَ مِنْ
حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ، وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ،
وَاللَّهُ قَضَاهَا
Telah
mengkhabarkan kepadaku 'Ishmah bin 'Ishaam, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Hanbal : Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah : "Sesungguhnya ada
satu kaum yang berhujjah dengan ayat ini : 'Apa saja nikmat yang kamu
peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri’ (QS. An-Nisa’ : 79)". Maka Abu 'Abdillah
berkata : "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa
saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri, dan Allah telah
menetapkannya" [idem, no. 904].
أَخْبَرَنَا بَكْرُ بْنُ سَهْلٍ
الدِّمْيَاطِيُّ بِدِمْيَاطٍ، قَالَ: ثَنَا شُعَيْبُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: ثَنَا
اللَّيْثُ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ
عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: كُلُّ شَيْءٍ
بِقَدَرٍ، حَتَّى وَضْعِكَ يَدَكَ عَلَى خَدِّكَ
Telah
mengkhabarkan kepada kami Bakr bin Sahl Ad-Dimyaathiy di negeri Dimyaath, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu'aib bin Yahyaa, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Al-Laits (bin Sa'd), dari Hisyaam, dari Ibraahiim bin
Muhammad bin 'Aliy, dari 'Aliy bin 'Abdillah bin 'Abbaas, ia berkata :
"Semua hal terjadi berdasarkan qadar, hingga engkau meletakkan tanganmu di
atas pipimu" [idem, no. 912].
Aliy
bin 'Abdillah bin 'Abbaas adalah anak dari Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhu.
Seorang imam yang tsiqah.
حَدَّثَنِي أَبِي، نا عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ مَهْدِيٍّ، نا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُحَمَّدٍ، قَالَ: " كُنْتُ
عِنْدَ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، فَجَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: الزِّنَا
بِقَدَرٍ ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، قَالَ: كَتَبَهُ عَلَيَّ وَيُعَذِّبُنِي عَلَيْهِ؟
قَالَ: فَأَخَذَ لَهُ الْحَصَا "
Telah
menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin
Mahdiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru bin Muhamad[4],
ia berkata : Aku pernah berada di sisi Saalim bin ‘Abdillah. Maka datanglah
seorang laki-laki lalu berkata : “Apakah zina terjadi berdasarkan qadar ?”. Ia
menjawab : “Ya”. Laki-laki itu kembali bertanya : “Hal itu telah ditetapkan
untukku dan kemudian aku diadzab atasnya ?”. Maka Saalim mengambil kerikil
untuknya (untuk dilemparkan kepadanya)” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad
dalam As-Sunnah no. 933].
Saalim
bin ‘Abdillah bin ‘Umar adalah salah satu pembesar ulama kalangan taabi’iin (termasuk
fuqahaa’ yang tujuh).
Bahkan
ketika ternukil dari Qaatadah bin Di’aamah rahimahullah perkataannya:
الأَشْيَاءُ كُلُّهَا بِقَدَرٍ إِلا
الْمَعَاصِي
“Segala
sesuatu semuanya terjadi berdasarkan qadar kecuali kemaksiatan” [Diriwayatkan
oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 1295]
maka
para ulama mengecam keras dirinya dan melemparkan tuduhan terimbas pemahaman qadariyyah
– sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Thaahir, Al-‘Ijliy, Adz-Dzahabiy, dan
yang lainnya.[5]
Bahkan
Abu Tsaur rahimahullah berkata:
وَمَنْ قَالَ: الأَشْيَاءُ كُلُّهَا
بِقَدَرٍ إِلا الْمَعَاصِيَ، فَلا يُصَلَّى خَلْفَهُ
“Dan
barangsiapa yang mengatakan : Segala sesuatu semuanya terjadi berdasarkan qadar
kecuali kemaksiatan, maka jangan shalat di belakangnya” [idem no. 1363].
Penutup
Segala
sesuatu yang telah, sedang, maupun yang akan terjadi/ada di alam ini telah
ditakdirkan Allah ta'ala. Ini merupakan taqdir kauniy yang menjadi rahasia
Allah, tersimpan di Lauh Mahfuudh. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah
ta’ala. Meskipun Allah menakdirkan adanya kemaksiatan, namun Ia menghendaki
(iraadah syar’iyyah) hamba-Nya untuk menjauhinya dan semangat untuk beramal
(kebajikan). Hal itu sebagaimana sabda Nabi ﷺ :
اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ، ثُمَّ قَرَأَ
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى إِلَى قَوْلِهِ
لِلْعُسْرَى
“Beramallah
kalian, karena masing-masing dimudahkan (untuk melakukan sesuatu yang telah
ditakdirkan untuknya)”. Kemudian beliau ﷺ membaca ayat : ‘Adapun orang yang
memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya
pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang
mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta
mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya
(jalan) yang sukar” (QS. Al-Lail : 5-10)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2647].
Dengan
dasar itulah seorang hamba kelak akan dihisab pada hari kiamat:
الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا
كَسَبَتْ لا ظُلْمَ الْيَوْمَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Pada
hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada
yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya”
[QS. Al-Ghaafir : 17].
Allah
ta’ala telah mengkaruniai manusia akal, kehendak, dan kemampuan yang
dengannya ia dapat berikhtiyaar memilih jalan petunjuk dengannya. Allah ta’ala
juga telah menurunkan Al-Qur’an dan para Nabi/Rasul untuk menjelaskan semua
yang menjadi perintah dan larangan dari Allah ta’ala.
Tidak
boleh kita beralasan dengan takdir terhadap kemaksiatan yang dilakukan.
Seandainya seseorang mencuri, maka ia tetap akan dihukum atas perbuatan yang
dilakukannya[6].
Itu
saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
Abul-Jauzaa’
– di bumi Allah, 07071438/04042017.
[1] Yaitu hadits:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَوْمًا، فَقَالَ: يَا
غُلَامُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ
اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ
فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ
يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ
لَكَ، وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا
بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
"
Dari
Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Pada suatu hari aku pernah berada di belakang Nabi ﷺ (membonceng kendaraan beliau). Beliau ﷺ bersabda : “Wahai anak, aku akan mengajarimu beberapa
kalimat : ‘Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya
engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah
kepada Allah, dan jika Dan jika engkau
memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Dan ketahuilah, seandainya umat ini
bersatu untuk memberikan manfaat untukmu, maka mereka tidak akan dapat
memberikan manfaat kepadamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan
seandainya mereka bersatu untuk memberikan mudlarat kepadamu, maka mereka tidak
akan dapat memberikan mudlarat kepadamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan
untukmu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2516, dan ia mengatakan : “Hadits ini hasan
shahih”].
[2] Yaitu permasalahan terjadinya
perbuatan-perbuatan hamba dengan kehendak Allah ‘azza wa jalla
sebagaimana judul bab.
[3] Orang-orang waktu itu curiga, ‘Abdurrahmaan
bin Mahdiy rahimahullah berpaham Qadariyyah yang mengatakan bahwa
perbuatan maksiat hamba terjadi bukan karena qadar/takdir Allah. Oleh karenanya
ia dibela para ulama di jamannya. Yahyaa bin Ma'iin rahimahullah
berkata:
كَانَ
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ مِنْ أَبْعَدِ النَّاسِ فِي الْقَدَرِ
"'Abdurrahmaan
bin Mahdiy termasuk orang yang paling jauh dari paham Qadariyyah"
[Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 890].
Abu Qudaamah
As-Sarkhaasiy berkata:
جَاءُوا
إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ، فَقَالُوا: قُلِ الزِّنَا بِقَدَرٍ، قُلِ اللِّوَاطُ
بِقَدَرٍ، فَقَالَ لَهُمُ ابْنُ مَهْدِيٍّ: نُهِينَا عَنْ مُجَالَسَةِ
السُّفَهَاءِ
"Orang-orang
mendatangi 'Abdurrahmaan bin Mahdiy. Mereka berkata : "Katakanlah, zina
(terjadi) berdasarkan qadar. Katakanlah, liwath (terjadi) berdasarkan
qadar". Maka Ibnu Mahdiy berkata : "Kami dilarang bermajelis dengan
orang-orang pandir" [idem, no. 891].
Maksud perkataan Ibnu
Mahdiy tersebut - wallaahu a'lam - , adalah bahwa pertanyaan seperti itu
hanyalah dilontarkan oleh orang-orang pandir, dan bermajelis dengan orang-orang
pandir terlarang. Perkara zina, liwaath, dan perbuatan maksiat sejenis terjadi
karena qadar/takdir Allah sudah menjadi pengetahuan aksiomatik bagi
Ahlus-Sunnah jaman itu, sehinga tidak perlu ditanyakan lagi.
[4] Kemungkinan di sini ada kekeliruan, karena
syaikh dari Sufyaan (Ats-Tsauriy) yang mengambil riwayat dari Saalim bin
‘Abdillah adalah ‘Umar bin Muhammad bin Zaid bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin
Al-Khaththaab. Bukan ‘Amru bin Muhammad.
[5] Sebagian muhaqqiq membantah bahwa
Qataadah berpemikiran qadariyyah. Silakan baca penjelasannya dalam buku:
سياق
ماروي ومافعل من الإجماع في آيات القدر
oleh
Ahmad bin Muhammad bin Al-Luhaib.
Tudingan
ini tidak benar. Seandainya benar, maka Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
ثم
إن الكبير من أئمة العلم إذا كَثُرَ صوابُهُ، وعُلِمَ تَحَرِّيه للحقِّ واتَّسع علمُهُ،
وظهر ذكاؤُهُ، وعُرِفَ صَلَاحُهُ وورعُهُ يُغْفَرُ له زَلَلُهُ، ولا نضَلِّله وطرحه
ونَنسَى مَحَاسنهُ، نعم : ولا نقتدي به في بدعته وخطئته ونرجو التَّوبة من ذلك
”Sesunguhnya para ulama besar jika telah
dimaklumi banyak kebenarannya (yang ada padanya), diketahui kecenderungannya
kepada al-haq, luas ilmunya, nampak kecerdasannya, shalih, dan wara’; maka
dimaafkan kesalahan-kesalahannya. Kita tidak menyesatkannya, mencampakkannya,
dan melupakan segala kebaikan yang ada padanya. Benar, bahwasannya kita tidak
boleh mengikuti kebid’ahan dan kesalahannya. Kita berharap agar ia mau
bertaubat atas hal tersebut” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 5/271].
Tentu
kita tidak menjadikan kekeliruan Qataadah untuk membenarkan kesalahan yang sama.
Tidak semua keadaannya dapat diqiyaskan pada diri Qataadah, apalagi orang yang
sekedar mencari-cari alasan/dalil untuk membela kerusakan pendapatnya, wallaahul-musta’aan.
Tanbih
:
Banyak
beredar rekaman ceramah yang membahas tentang qadar (takdir) yang
mengatasnamakan Ahlus-Sunnah, namun menyelisihi Ahlus-Sunnah. Diantara rekaman
ini dikatakan bahwa keimanan terhadap qadar adalah pada rizki dan ajal;
sedangkan amal baik-amal buruk, amal shalih-amal salah, iman-kafir bukan
termasuk cakupan qadar ini. Lalu ia istilahkan dengan takdir. Dikatakan
dalam satu rekaman berdurasi 2 jam 18 menit (mulai menit 01:24:30):
Terakhir,
watu’mina bil-qadari. Dan Anda yakin dengan qadar Allah. Khairihi wa syarrihi.
Baik pada hal yang menyenangkan, atau hal yang Anda duga tidak menyenangkan. Thayyib,
qadar. Bapak dan ibu sekalian, ada perbedaan antara takdir dengan qadar. Itu
beda. Dan terkait iman itu, yang dibicarakan bukan
takdir. Tapi qadar. Bahkan nanti ada
tambahan qadlaa’. Saya bahas qadar dengan takdir dulu ya. Apa perbedaan
keduanya ?. ………
Kemudian
dilanjutkan saat menjelaskan hadits Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu (menit
01:31:27 – 01:35:16):
“Bikatbi
rizqihi, ditetapkanlah rizkinya. Apa itu rizki…halo…gak usah ngarang ya, nanti
kita jelaskan. Pelajaran mengarang hanya ada dalam Bahasa Indonesia. Wa ajalihi.
Ajalnya. Tiga, wa ‘amalihi, perbuatannya. Perilakunya. Dan keempat, a sa’iidun
huwa au syaqiyyun, bahagia atau sengsaranya. Bahagia atau sengsaranya. Thayyib,
saya jabarkan dulu ini. Dua pertama, masih ingat dua pertama tadi apa ? Satu
rizki, kedua ajal. Ini yang disebut qadar. Ini qadar namanya. Dua terakhir,
perbuatan. Satu lagi apa ? bahagia atau sengsara, itu yang disebut dengan
takdir. Maka ini ditetapkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala sebelum kita
terlahir. Jadi ada qadar ada takdir. Diungkapkan keduanya dengan kata kerja :
qaddara. Di surah Al-A’laa di ayat yang ketiga. Sabbihisma rabbikal-a’laa.
Alladzii khalaqa fasawwaa. Walladzii qaddara fahadaa. Jelas sampai sini
?....... Qadar adalah ketetapan Allah pada setiap hamba yang dikukuhkan sejak
dalam masa kandungan dan tidak akan berubah sampai wafat menghadap Allah
subhaanahu wa ta’ala. Dan tidak akan berubah sampai wafat menghadap Allah
subhaanahu wa ta’ala. Itu qadar. Jadi Anda walaupun terus berdoa, untuk merubah
qadar tidak akan mungkin berubah, walaupun sampai menangis darah minta bantuan
sana sini, tidak bisa berubah. Itu qadar. Takdir adalah ketetapan Allah yang
dikukuhkan berdasarkan ikhtiyar makhluk. Jadi ada usaha dulu di sini. Itu
takdir. Jadi kalau qadar, tidak ada peran ikhtiyar. Anda berikhtiyar pun tidak
akan merubah qadar. Akan tetapi kalau takdir akan ditentukan oleh ikhtiyar
kita. Jadi begitu Allah berikan dua jalan, ini ya, kerjakan ini resikonya
begini, kerjakan ini gambarannya seperti ini. Lalu Anda memilih. Ketika Anda
memilih kemudian, Anda memilih itu, di situ Allah tetapkan takdirnya. Jelas ?.
Sekarang, kita mulai dengan qadar…. [selesai].
Dalam
rekaman lain dikatakan (mulai menit 0:12):
“Yang
ditanyakan adalah jodoh itu termasuk qadlaa’ atau takdir. Saya tidak
menerangkan masalah qadlaa’. Saya menerangkan masalah qadar dan takdir. Karena ada
qadlaa’, ada qadar, ada takdir. Ada qadlaa’, ada qadar, ada takdir. Yang
saya maksudkan kemarin yaitu qadar. Qadar itu adalah ketetapan yang telah
diberikan oleh Allah sebelum kita terlahir ke muka bumi ini dan tidak bisa
diintervensi, tidak akan berubah sampai kita wafat. Jadi ibu sampai nangis
darah, bikin status sampai jutaan kali untuk merubah itu, tidak akan pernah
berubah. Diantaranya ada dua, satu rizki, kedua ajal. Sedangkan takdir adalah
ketetapan Allah yang dikukuhkan atas ikhtiyar makhluk. Jadi ada usaha kita
dulu. Usaha, baru Allah tetapkan. Diantaranya
ada dua juga. Satu, perbuatan kita, apakah baik ataukah buruk, kembali pada
ikhtiyaar kita…..” [selesai].
Dalam
rekaman lain dikatakan saat membahas ‘takdir’ (mulai menit 02:37):
“Jadi
ada sesuatu yang kehendak Allah tidak mutlak di situ.
Kehendak Allah bergantung pada ikhtiyaar yang kita kerjakan. Dan di situlah
terletak antara pahala dengan dosa. Saking sayangnya Allah pada hamba, Allah
menginginkan hamba-Nya tidak salah pilih. Maka diberikanlah hidayah supaya
mengarahkan pada pilihan yang tepat……”
Pemahaman
ini keliru karena membatasi keimanan terhadap qadar hanya pada dua hal saja,
yaitu rizki dan ajal. Selain itu dari macam-macam amal baik atau buruk, bahagia
atau sengsara; maka ketetapan Allah menyusul kemudian. Dikatakan juga bahwa kehendak
Allah tidak mutlak, karena ada yang tergantung ikhtiyaar hamba.
Jika
kita memperhatikan riwayat-riwayat yang disebutkan di atas dari kalangan salaf,
maka keyakinan ini menyerupai keyakinan Qadariyyah.
[6] Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
menjelaskan:
وليس
لأحد أن يحتج بالقدر على الذنب باتفاق المسلمين ، وسائر أهل الملل ، وسائر العقلاء
؛ فإن هذا لو كان مقبولاً لأمكن كل أحد أن يفعل ما يخطر له من قتل النفوس وأخذ الأموال
، وسائر أنواع الفساد في الأرض ، ويحتج بالقدر. ونفس المحتج بالقدر إذا اعتدي عليه
، واحتج المعتدي بالقدر لم يقبل منه ، بل يتناقض ، وتناقض القول يدل على فساده ، فالاحتجاج
بالقدر معلوم الفساد في بدائه العقول
“Tidak boleh bagi seorang pun untuk berhujjah dengan takdir (qadar)
atas dosa yang diperbuat berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, seluruh pemeluk
agama, dan seluruh orang yang berakal. Seandainya alasan ini diterima, sangat
dimungkinkan setiap orang akan melakukan perbuatan yang membahayakan seperti membunuh
jiwa, mengambil harta (orang lain), dan seluruh perbuatan yang menimbulkan
kerusakan di muka bumi, dan kemudian berhujjah dengan takdir. Orang yang
berhujjah dengan takdir sendiri apabila
diganggu orang lain yang berhujjah dengan takdir, tentu ia tidak menerimanya. Bahkan
ia akan melawannya, sehingga hal ini menunjukkan rusaknya pendapat tersebut. Maka
berhujjah dengan takdir diketahui kerusakannya secara langsung oleh akal” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 8/179].
فإن القدر ليس حجة لأحد لا على الله و لا على خلقه و لو جاز
لأحد أن يحتج بالقدر على ما يفعله من السيئات لم يعاقب ظالم و لم يقاتل مشرك و لم
يقم حد و لم يكف أحد عن ظلم أحد و هذا من الفساد في الدين و الدنيا المعلوم ضرورة
فساده
“Sesungguhnya takdir (qadar) bukanlah hujjah bagi
seorangpun terhadap Allah dan makhluk-Nya. Seandainya diperbolehkan bagi
seseorang berhujjah dengan takdir terhadap perbuatan-perbuatan jeleknya, maka
orang yang dhaalim tidak akan dihukum dan orang musyrik tidak akan diperangi. Begitu
pula hadd tidak akan ditegakkan dan seseorang tidak boleh mencegah
kedhaliman orang lain. Pendapat ini termasuk kerusakan di dalam agama dan dunia
yang diketahui secara aksiomatik….” [idem, 8/114].
Ketika membantah kelompok menyimpang, setelah
membawakan hadits yang diriwayatkan Muslim di atas Asy-Syaikh Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah
berkata:
فأمر
النبي صلى الله عليه وسلم بالعمل ونهى عن الإتكال على القدر.
الرابع:
أن الله تعالى أمر العبد ونهاه ، ولم يكلفه إلا ما يستطيع، قال الله تعالى: فاتقوا
الله ما أستطعتم سورة التغابن، الآية: 16 وقال: لا يكلف الله نفساً إلا وسعها سورة البقرة، الآية:286 ولو كان العبد مجبراً على
الفعل لكان مكلفاً بما لا يستطيع الخلاص منه، وهذا باطل ولذلك إذا وقعت منه المعصية
بجهل، أو نسيان ، أو إكراه ، فلا إثم عليه لأنه معذور ..
الخامس:
ان قدر الله تعالى سر مكتوم لا يعلم به إلا بعد وقوع المقدور، وإرادة العبد لما يفعله
سابقة على فعله فتكون إرادته الفعل غير مبنية على علم منه بقدر الله ، وحينئذ تنفى
حجته إذ لا حجة للمرء فيما لا يعلمه.
“Maka Nabi ﷺ
memerintahkan untuk beramal dan melarang pasrah terhadap qadar.
Keempat : Bahwasannya
Allah ta’ala memberikan perintah dan larangan kepada hamba-Nya, namun Ia
tidak membebankan kepadanya kecuali apa yang disanggupinya. Allah ta’ala berfirman
: ‘Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu’ (QS.
At-Taghaabun : 16). Allah ta’ala juga berfirman : ‘Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya’ (QS. Al-Baqarah
: 286). Seandainya seorang hamba dipaksa untuk melakukan sesuatu, niscaya ia
dibebani dengan sesuatu yang ia tidak sanggup yang tidak dapat terbebas
darinya. Ini batil. Oleh karena itu, apabila terjadi kemaksiatan darinya karena
kejahilan (ketidaktahuan), lupa, atau terpaksa; maka tidak berdosa karena ia
dimaafkan.
Kelima : Sesungguhnya
takdir (qadar) Allah ta’ala merupakan rahasia yang tersembunyi,
yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali setelah terjadi apa yang ditakdirkan.
Kehendak hamba terhadap apa yang akan dilakukannya adalah terdahulu daripada perbuatannya,
sehingga kehendaknya untuk melakukan perbuatan tidak didasarkan pada pengetahuan
tentang takdir Allah. Dengan demikian, hujjahnya (beralasan dengan takdir -
Abul-Jauzaa’) dinafikkan, dengan alasan tidak ada hujjah bagi seseorang
pada apa-apa yang tidak diketahuinya” [Syarh Tsalaatsatil-Ushuul].
Comments
mau tanya pak, mengenai ini: Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa manusia diberikan kehendak sehingga ia dapat berikhtiyaar, namun kehendak manusia tersebut mengikuti kehendak Allah ta’ala dan takdir yang telah ditetapkan sebelumnya.
bukannya sama saja dgn Jabbariyah , cuma bahasanya lebih halus? kalau jabbariyah bukannya manusia dipaksa melakukan semua amalan yang telah ditetapkan, sedangkan pembahasan diatas juga demikian cuma bedanya lebih halus penjelasannya , karena kehendak manusia mengikuti kehendak Allah dan takdir yang telah ditetapkan sebelumnya. bukannya pada hakikatnya sama saja? contoh jam 1 nanti fulan ditetapkan makan nasi , kehendak fulan karena kehendak Allah , jam 1 ditetapkan akan makan nasi , bukankah ini aqidah jabbariyah , sama juga dengan penjelasan artikel diatas?
syukran pak
Kalau menurut saya, ustadz AH sebaiknya mengajar bahasa arab saja atau setidaknya siroh.
Sebab kalau menyampaikan masalah aqidah dan fiqih kayaknya bukan bidang beliau.
Beberapa kali beliau menggunakan ayat Qur'an dengan pendapat beliau sendiri.
Wallaahu a'lam.
Barokallohu fiikum.. Sesungguhnya kedudukan orang yang berilmu, hanya bisa dikenali oleh orang yang berilmu. Jazakallohu khoiron, ustadz.
@aji,.... pertama, apa yang dituliskan di atas adalah perkataan para imam kita Ahlus-Sunnah. Mereka menetapkan itu bersamaan pula adanya pengingkaran mereka terhadap paham Qadariyyah di satu sisi dan Jabriyyah di sisi lain. Bahkan, dalil-dalilnya dengan jelas antum dapat baca. Kedua, Jabriyyah menafikkan adanya kehendak dan ikhtiyar manusia. Mereka berpendapat bahwa manusia dipaksa dalam perbuatan-perbuatan mereka, dan mereka tidak mempunyai pilihan. Manusia hanyalah seperti daun yang diterbangkan angin. Ahlus-Sunnah menetapkan kehendak dan ikhtiyaar hamba/manusia. Hanya saja, sebagaimana dijelaskan dalam artikel, kehendak hamba mengikuti kehendak Allah ta'ala. Dan kita tetap diwajibkan untuk beramal, karena takdir Allah adalah sesuatu yang ghaib. Kita dikaruniai akal untuk dapat memilih mana yang baik mana yang tidak baik.
Satu hal yang perlu diingat dalam masalah takdir, yaitu firman Allah ta'ala:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
"Dia tidak ditanya tentang perbuatan-Nya, akan tetapi merekalah yang akan ditanya tentang perbuatan mereka" (QS. Al-Anbiyaa’ : 23).
Beriman, dan tetap beramal.
Ahsanta. Bārakallāhu fīk
Ustad, tolong dikoreksi. Dari penjelasan Ustad, jadi manusia tetap harus beramal dan berikhtiar karena meski sudah ditetapkan takdirnya,manusia tidak tahu akan takdirnya. Betulkah? Pertanyaan saya kemudian, apa fungsi dari do'a, kita meminta pada Allah, jika semua sudah ditetapkan? Syukran. Mohon pencerahannya, Ustad.
Ketika kita diperintahkan beramal, ya beramal saja. Jangan ditanyakan mengapa kita harus beramal, karena Allah ta'ala berfirman:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
"Dia tidak ditanya tentang perbuatan-Nya, akan tetapi merekalah yang akan ditanya tentang perbuatan mereka" (QS. Al-Anbiyaa’ : 23).
Begitu juga dengan doa. Allah memerintahkan doa, maka kita pun berdoa. Hikmah kita berdoa adalah menetapkan harapan dan keimanan kita kepada Allah ta'ala bahwa Ia adalah satu-satunya Dzat yang Berkuasa atas segala sesuatu dan mampu memberikan semua yang diminta oleh hamba-Nya. Meskipun takdir telah ditetapkan, bukankah kita tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan untuk kita itu. Sekali lagi:
اعْمَلُوا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ
“Beramallah kalian, karena masing-masing dimudahkan (untuk melakukan sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2648].
pak, sepertinya ustad khalid basalamah juga memahami takdir seperti ustad adi hidayat ya pak? di link ini pak : https://www.youtube.com/watch?v=_VJyMrFuiPM
apakah ustad khalid bermanhaj salaf? sedangkan rekaman di youtube itu sudah dilihat diatas 100.000 kali, bisakah diberi peringatan kepada kaum muslimin agar tidak keliru memahami takdir?
jazakallaahu khairan
Sangat beda mas.... Ada kalimat yang mirip, tapi beda substansinya antara siang dan malam. Coba Anda renungi apa yang dinamakan taqdir ikhtiyariy dari mulai menit 6.30 - 7.28. Ini pokok yang membedakan. Bedanya antara malam dan siang.
Perkataan Ustadz Adi Hidayat sebagiannya sudah saya ambil di atas. Semoga Allah ta'ala memudahkan kita semua untuk belajar.
pada menit 6.30-7.28 yg ana tangkap seperti ini: allah yg tentukan di lauhul mahfuz apa yang akan dipilih dari perilaku hambanya
pada menit 9.46 - 10.03 yg ana tangkap, Allah tentukan tapi disini allah ga paksa kita, salah kalau ada orang bilang saya kan berzina karena allah sudah takdirkan betul dicatat di lauhul mahfuz sebagai ketentuan allah tapi pilihan kamu itu.
(ini bukannya bertentangan dengan artikel diatas yang menyatakan kalau hamba bermaksiat sudah takdir dia walaupun kita dilarang berhujjah dengan takdir terhadap kemaksiatan karena kita tidak tau takdir kita, yang ana bahas disini orang yang sudah berzina seperti pernyataan ustad khalid itu)
ini kan seakan akan takdir ditetapkan karena kita yang pilih takdir itu dan Allah tau sebelum kita memilihnya , dan Allah tulis 50.000 tahun sebelum makhluk diciptakan , jadi yang pilih kita dan allah tau kita akan pilih itu makanya ditulis sebagai takdir kita, begitu yg ana tangkap dari penjelasan ustad khalid pada menit menit yg ana tulis diatas beda dengan penjelasan artikel diatas.
kalau artikel diatas menyatakan pilihan kita mengikuti apa yang allah tetapkan sebelumnya kalau kita sudah berzina ya karena allah yang tetapkan kita berzina
bagaimana ya pak?
ada lagi pak di menit 10:42-10.55 Allah sudah tau sekarang siapa penghuni surga siapa penghuni neraka, dari mana? dari pilihan hamba itu sendiri bukan Allah yg paksa dia masuk surga atau masuk neraka
pada menit 18.40-18.25 kurang lebih begini: termasuk org meninggal dalam keadaan kafir, dlm keadaan beriman itu pilihan dia, ikhtiyar dia , dia bisa beriman kok dia bisa tidak kafir dia bisa juga kafir, bebas
bukankah ini bertentangan dengan artikel diatas yg menyatakan kehendak kita mengikuti kehendak Allah , jadi pilihan kita dari pilihan Allah bukan pilihan kita sendiri , yang bertentangan dgn ust. khalid di menit itu?
Ya, Anda salah. Anda masih pat gulipat memposisikan ikhtiyaar. Saya tidak akan menulis kembali apa yang telah dijelaskan Ustadz Khaalid. Silakan simak sendiri. Dan saya cukup mengenal Ustadz Khaalid dalam masalah ini.
Ikhtiyaar hamba itu sudah masuk cakupan takdir Allah. Bahagia dan dan celaka, segala pilihan manusia, sudah ditaqdirkan Allah di Lauh Mahfuudh. Allah tahu seorang manusia akan memilih A diantara dua pilihan A dan B. Manusia diberikan akal sehingga ia dapat berkehendak dan berikhtiyaar. Maka, perkataan Ustadz Khaalid yang antum kutip itu benar. Anda masih bingung ya ?. Ketika ia masuk surga atau neraka, maka itu karena perbuatan yang ia lakukan. Perbuatannya itu atas kehendak dan ikhtiyaarnya. Akan tetapi, kehendak makhluk itu mengikuti kehendak Allah ta'ala.... Paham ?.
Coba bandingkan dengan perkataan Ustadz Adi Hidayat, Lc., MA. yang saya kutip di atas.
Semoga Allah memberikan petunjuk bagi kita semua....
Assalamu'alaikum ustadz, ana ijin tanya,
Ana sedang berusaha memahami takdir secara sederhana, dan ana ingin pemahaman ana diluruskan ustadz,
ustadz sampaikan bahwa manusia masuk surga/neraka karena perbuatan mereka sendiri, dan perbuatan mereka mengikuti takdir yang telah Allah tetapkan, dengan kata lain manusia masuk surga/neraka pada hakikatnya karena ketetapan Allah ustadz, bukan begitu ustadz? Jadi seperti sebab berantai gitu ya ustadz?
Wa'alaikumus-salaam.
Jawabannya ada di hadits ini:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ قَتَادَةَ السُّلَمِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: " إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَ آدَمَ، ثُمَّ أَخَذَ الْخَلْقَ مِنْ ظَهْرِهِ، وَقَالَ: هَؤُلَاءِ فِي الْجَنَّةِ وَلَا أُبَالِي، وَهَؤُلَاءِ فِي النَّارِ وَلَا أُبَالِي ".قَالَ: فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَعَلَى مَاذَا نَعْمَلُ؟ قَالَ: " عَلَى مَوَاقِعِ الْقَدَرِ "
Dari ‘Abdurrahmaan bin Qataadah As-Sulamiy, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menciptakan Adam, kemudian ia menciptakan makhluk (yaitu keturunannya) dari tulang punggungnya seraya berfirman : ‘Mereka akan berada di surga sedangkan Aku tidak peduli; dan mereka akan berada di neraka, sedangkan Aku tidak peduli”. Seseorang berkata : “Wahai Rasulullah, lantas atas dasar apa kita beramal ?”. Beliau ﷺ menjawab : “Di atas dasar/pijakan qadar” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/186, Ibnu Hibbaan no. 338, Al-Haakim 1/31, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhriij Musnad Al-Imaam Ahmad 29/206].
Ya, memang seperti itu. Bahagia dan celaka, neraka dan surga telah ditetapkan oleh Allah ta'ala. Namun kita tidak mengetahuinya. Kewajiban kita hanyalah beramal, karena Allah akan mudahkan kita menuju takdir kita masing-masing.
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: جَاءَ سُرَاقَةُ بْنُ مَالِكِ بْنِ جُعْشُمٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، بَيِّنْ لَنَا دِينَنَا كَأَنَّا خُلِقْنَا الْآنَ، فِيمَا الْعَمَلُ الْيَوْمَ؟ أَفِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ؟ أَمْ فِيمَا نَسْتَقْبِلُ؟ قَالَ: لَا، بَلْ فِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ، قَالَ: فَفِيمَ الْعَمَلُ، فَقَالَ: اعْمَلُوا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ "
Dari Jaabir, ia berkata : Suraaqah bin Maalik bin Ju’syum datang dan berkata : “Wahai Rasulullah, berikanlah penjelasan kepada kami tentang agama kami, seakan-akan kami baru diciptakan sekarang. Untuk apakah kita beramal hari ini?. Apakah itu terjadi pada hal-hal yang pena telah kering dan takdir yang berjalan, ataukah untuk yang akan datang?”. Beliau ﷺ menjawab : “Bahkan pada hal-hal yang dengannya pena telah kering dan takdir yang berjalan”. Ia bertanya : “Lalu apa gunanya beramal?”. Beliau ﷺ bersabda : “Beramallah kalian, karena masing-masing dimudahkan (untuk melakukan sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2648].
Assalamualaykum..
Kalau saya boleh utarakan dengan bahasa simpel, maka yang saya pahami anatara AMAL dan TAQDIR adalah begini:
Bahwa setiap hamba itu beramal dan berikhtiar bukan untuk mencapai hasil. Karena hasil yang akan kita dapat sudah ditakdirkan. Akan tetapi seorang hamba beramal dengan tujuan untuk beriman terhadap TAKDIR. Karena salah satu syarat masuk surga adalah BERIMAN KEPADA TAQDIR.
Kira-kira tepatkah kesimpulan saya ini?
Maaf ustadz.. Saya masih belum faham, bisa dijelaskan lagi apa perbedaan mendasar antara paparan ustafz dg faham jabariyah? Sepertinya sama saja.
Jika dalam pandangan jabariyah manusia dipaksa melakukan kehendaknya bukankah sama saja jika dikatakan kehendak manusia mengikuti kehendak Allah?
Pada intinya tentu Allah sudah menentukan apa yg diperbuat manusia seperti pemahaman jabariyah?
Posting Komentar