Pertanyaan : Apakah boleh
menyelesihi ijmaa’ ulama dalam satu permasalahan ketika diketahui
sebelumnya (yaitu sebelum terjadinya ijmaa’ tersebut) terjadi khilaaf
?. Misalnya seperti nikah mut’ah yang dikatakan sebagian salaf ada yang membolehkannya
?.
Jawab : Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin, wash-shalaatu was-salaamu
‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihi ajma’iin, wa
ba’d.
Terkait dengan nikah mut’ah, maka jenis pernikahan itu telah diharamkan
dalam syari’at Islam berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah ta’ala bersabda:
وَالَّذِينَ هُمْ
لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ * إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ * فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas” [QS. Al-Mukminuun
: 5-7].
Ayat di atas menegaskan bahwa kemaluan tidaklah halal kecuali
kepada istri melalui pernikahan yang sah, atau menggauli budak (wanita). Adapun
nikah mut’ah, maka ia adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu yang
apabila waktunya telah terlampaui (sebagaimana disebutkan dalam akad awal), ikatan
nikahnya bubar dengan sendirinya tanpa perlu thalaq. Apalagi yang
dilakukan para praktisi mut’ah jaman sekarang yang membolehkan durasi waktu
pernikahan hanya satu kali hubungan badan[1],
maka ini lebih mirip dengan zina. Tidak ada kewajiban nafkah, dan tidak pula ada
pewarisan. Nikah mut’ah bukanlah nikah syar’iy. Oleh karena itu, Nabi ﷺ melarangnya hingga
hari kiamat setelah sebelumnya pernah diperbolehkan.
عَنْ عَلِيّ بْن أَبِي طَالِبٍ، يَقُولُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: " نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ
خَيْبَرَ، وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ"
Dari ‘Aliy bin Abi Thaalib, ia berkata kepada Ibnu ‘Abbaas :
“Rasulullah ﷺ telah melarang menikahi wanita secara mut’ah dan makan daging
keledai jinak pada tahun Khaibar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1407].
عَنْ سَبْرَةَ الْجُهَنِي أَنَّهُ كَانَ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقَالَ: " يَا أَيُّهَا
النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ،
وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عَنْدَهُ
مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَه، وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
Dari Sabrah Al-Juhaniy : ia pernah bersama Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda
: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian nikah
mut’ah. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat.
Barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan
janganlah kalian ambil sesuatupun yang telah kalian berikan kepada wanita yang
kalian mut’ahi itu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1406].
Para ulama telah bersepakat (ijmaa’) tentang keharaman
nikah mut’ah.
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:
فَهَذَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدْ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ
النِّسَاءِ، بِحَضْرَةِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ
عَلَيْهِ مِنْهُمْ مُنْكِرٌ، وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى مُتَابَعَتِهِمْ لَهُ
عَلَى مَا نَهَى عَنْهُ مِنْ ذَلِكَ، وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى النَّهْيِ فِي
ذَلِكَ عَنْهَا، دَلِيلٌ عَلَى نَسْخِهَا وَحُجَّةٌ.
“Inilah ‘Umar (bin Al-Khaththaab) radliyallaahu ‘anhu
yang telah melarang nikah mut’ah dengan kehadiran para shahabat Rasulullah ﷺ tanpa adanya
pengingkaran. Dan pada riwayat ini adalah dalil atas persetujuan para shahabat
kepada ‘Umar terhadap apa yang ia larang (yaitu nikah mut’ah). Selain itu,
kesepakatan (ijma’) mereka terhadap larangan nikah adalah dalil terhadap
penghapusan hukumnya dan sekaligus merupakan hujjah” [Syarh Ma’aanil-Aatsaar,
3/27].
Ibnul-‘Arabiy rahimahullah berkata:
وقد كان ابن عباس يقول بجوازها ثم ثبت رجوعه عنا فانعقد الإجماع
على تحريمها فإذا فعلها أحد رجم في مشهور المذهب
“Ibnu ‘Abbaas dulu memang pernah membolehkannya, kemudian telah
sah sikap rujuknya atas pembolehannya tersebut. Maka, terjadilah ijmaa’
atas pengharamannya. Apabila ada seseorang yang melakukannya, maka ia dirajam
menurut pendapat masyhur dalam madzhab (Maalikiyyah)” [Al-Jaami’
li-Ahkaamil-Qur’aan oleh Al-Qurthubiy, 5/132-133].
Al-Maaziriy rahimahullah berkata:
وَانْعَقَدَ الْإِجْمَاع عَلَى تَحْرِيمه وَلَمْ يُخَالِف فِيهِ
إِلَّا طَائِفَة مِنْ الْمُسْتَبْدِعَة ، وَتَعَلَّقُوا بِالْأَحَادِيثِ
الْوَارِدَة فِي ذَلِكَ ، وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهَا مَنْسُوخَة فَلَا دَلَالَة
لَهُمْ فِيهَا
“Telah terjadi ijmaa’ atas keharamannya tanpa ada
perselisihan padanya, kecuali kelompok dari kelompok ahli bid’ah[2]
yang bergantung pada hadits-hadits yang dianggap membolehkannya. Telah kami
sebutkan bahwa hadits-hadits tersebut mansuukh (terhapus), sehingga
tidak ada dalil dalam hal tersebut bagi mereka” [Syarh Shahiih Muslim
oleh An-Nawawiy, 9/179].
Adapun yang ternukil dari sebagian shahabat dan taabi’iin
yang membolehkan – jika memang shahih riwayatnya dari mereka - , maka itu
tidaklah dianggap karena menyalahi nash yang shahih dan sharih.
Selain itu, para ulama sendiri telah menjelaskan ada kemungkinan
riwayat ternukil dari mereka (sebagian salaf) tidak sah, atau mereka rujuk
sebagaimana rujuknya Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa. Tidak boleh
ada seorang pun yang boleh menyelisihi ijmaa’ ini hanya karena adanya penyelisihan
sebagian salaf dan kemudian berdalil dengan perkataan mereka. Perkara ini telah
selesai (final) hukumnya. Barangsiapa yang menyelisihi ijmaa’, berarti
menyelisihi jalan yang lurus.
Ini yang pertama….. Kemudian selanjutnya, permasalahan ijmaa’
setelah sebelumnya didahului dengan khilaaf adalah permasalahan yang
boleh terjadi menurut pendapat yang kuat (raajih). Maksudnya di
sini adalah : Terjadi khilaf dalam satu permasalahan di satu masa, kemudian
masa setelahnya terjadi ijmaa’ – sebagaimana tergambar dalam pertanyaan.
Dalil tentang kebolehannya diantaranya adalah firman Allah ta’ala:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’ :
59].
Mafhum dari ayat ini, sesuatu yang
disepakati (tidak ada perselisihan pendapat) para ulama – tidak ada pembatasan masa
tertentu - merupakan kebenaran (hujjah).
Juga sabda Nabi ﷺ:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ،
ظَاهِرِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku berada di atas
kebenaran yang selalu menang hingga hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Muslim
no. 156 & 1923 dari Jaabir radliyallaahu ‘anhu].
Hadits ini menunjukkan bahwa akan senantiasa ada di setiap masa
orang yang mengatakan kebenaran dari umat ini, baik sedikit maupun banyak. Allah
ta’ala tidak akan mengumpulkan umat Islam dalam kesesatan selamanya
hingga tegak hari kiamat, sebagaimana sabda beliau ﷺ yang lain:
لا يَجْمَعُ اللَّهُ أُمَّتِي عَلَى ضَلالَةٍ أَبَدًا
“Allah tidak akan mengumpulkan umatku di atas kesesatan
selamanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no.
80, Al-Haakim 1/115-116, dan yang lainnya dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa. Hadits ini diperselisihkan para ulama, namun Asy-Syaikh
Al-Albaaniy menshahihkannya di beberapa tempat dalam kitabnya karena banyak
jalan penguatnya, diantaranya Dhilaalul-Jannah no. 80-84, tahqiq
Bidaayatus-Suul hal. 70, dan Shahiihul-Jaami’ 1/378 no. 1848].
Hujjah/dalil lainnya adalah seandainya taabii’iin atau
ulama setelahnya berselisih pendapat dalam perkara tertentu pada satu masa,
kemudian mereka bersepakat dalam perkara tersebut pada masa itu, maka itulah
kesepakatan yang mengikuti khilaaf (perselisihan). Kesepakatan tersebut
memutuskan perselisihan, sehingga menjadi ijmaa’. Tidak diperbolehkan
adanya penyelisihan setelah itu[3].
Secara substansi, tidak ada beda antara antara perkara yang terjadi pada satu
masa atau dua masa yang berlainan.
Ini adalah madzhab jumhur Hanafiyyah, jumhur Maalikiyyah,
sebagian Syaafi’iyyah seperti Al-Qaffaal dan Abu Ishaaq Asy-Syiiraaziy, serta
sebagian Hanaabilah seperti Abul-Khaththaab [lihat pembahasan ini dalam Al-Jaami’
li-Masaaili Ushuulil-Fiqh oleh ‘Abdul-Kariim An-Namlah hal. 325-326, Al-Muhadzdab
fii ‘Ilmi Ushuulil-Fiqh Al-Muqaaran oleh ‘Abdul-Kariim An-Namlah 2/921-923,
dan Syarh Ushuul min ‘Ilmil-Ushuul oleh Sa’d Asy-Syatsriy hal. 251-252
& 259].
Catatan : Ijmaa’ menjadi hal yang
sangat dipertimbangkan apabila dikatakan oleh para ulama tsiqah yang
dikenal teliti dan luas penelaahannya. Apalagi, jika ijmaa’ tersebut
ternukil dari masa ke masa.
Contoh selain nikah mut’ah dari perkara yang ditanyakan adalah
permasalahan berwudlu setelah makan makanan yang disentuh dengan api.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
كَانَ الْخِلَاف فِيهِ مَعْرُوفًا بَيْن الصَّحَابَة
وَالتَّابِعِينَ ، ثُمَّ اِسْتَقَرَّ الْإِجْمَاع عَلَى أَنَّهُ لَا وُضُوء مِمَّا
مَسَّتْ النَّار إِلَّا مَا تَقَدَّمَ اِسْتِثْنَاؤُهُ مِنْ لُحُوم الْإِبِل
“Perselisihan pendapat dalam permasalahan tersebut masyhuur di kalangan shahabat dan taabi’iin, namun
kemudian terjadilah ijmaa’ bahwasannya tidak wajib wudlu dengan sebab
makan makanan yang disentuh api, kecuali apa yang telah lalu pengecualiannya
dari daging onta[4]” [Fathul-Baariy, 1/311].
Dulu shahabat berselisih pendapat tentang masalah memakai emas
bagi laki-laki, namun setelah itu terjadi ijmaa’ akan keharamannya.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
ويحملُ فعلُ من لبسهُ من الصحابةِ على أنهُ لم يبلغهم الناسخ
“Perbuatan sebagian shahabat yang memakai perhiasan emas dibawa
pada kemungkinan bahwa belum sampai kepada mereka nash yang menghapuskan
(kebolehannya)” [Ahkaamul-Khawaatiim, hal. 60].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
أَجْمَع الْمُسْلِمُونَ عَلَى إِبَاحَة خَاتَم الذَّهَب
لِلنِّسَاءِ ، وَأَجْمَعُوا عَلَى تَحْرِيمه عَلَى الرِّجَال ، إِلَّا مَا حُكِيَ
عَنْ أَبِي بَكْر بْن مُحَمَّد بْن عُمَر بْن مُحَمَّد بْن حَزْم أَنَّهُ
أَبَاحَهُ ، وَعَنْ بَعْضٌ أَنَّهُ مَكْرُوه لَا حَرَام ، وَهَذَانِ النَّقْلَانِ
بَاطِلَانِ ، فَقَائِلهمَا مَحْجُوج بِهَذِهِ الْأَحَادِيث الَّتِي ذَكَرهَا
مُسْلِم مَعَ إِجْمَاع مَنْ قَبْله عَلَى تَحْرِيمه
“Kaum muslimin bersepakat diperbolehkannya cincin emas bagi
wanita, dan mereka bersepakat pula diharamkannya cincin emas bagi laki-laki.
Kecuali yang dihikayatkan dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Umar bin Muhammad bin
Hazm yang memperbolehkannya. Juga dari sebagian ulama yang menyatakan makruh
saja, tidak haram. Dua nukilan ini batil, dan yang mengatakannya dihujjahi
dengan hadits-hadits yang disebutkan Muslim bersamaan dengan adanya ijmaa’
sebelumnya yang menyatakan keharamannya” [Syarh Shahiih Muslim, 14/65].
Dulu, sebagian salaf ada yang membolehkan keluar ketaatan dari
penguasa dhalim. Namun setelah itu, terjadilah ijmaa’ akan larangannya.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
كان يرى السيف يعني كان يرى الخروج بالسيف على
أئمة الجور وهذا مذهب للسلف قديم لكن أستقر الأمر على ترك ذلك لما رأوه قد أفضى
إلى أشد منه ففي وقعة الحرة ووقعة بن الأشعث وغيرهما عظة لمن تدبر
”Pendapat mereka menyatakan
bolehnya keluar mengangkat pedang/senjata terhadap para pemimpin yang
jahat/dhalim. Maka, ini adalah madzhab (sebagian) orang-orang salaf dahulu
(sebagaian shahabat dan tabi’in). Akan tetapi kemudian menjadi sebuah ketetapan
(ijmaa’) untuk meninggalkannya, karena justru menimbulkan dampak
yang lebih fatal. Apa yang terjadi dalam peristiwa Al-Harrah dan Ibnul-Asy’ats
menjadi pelajaran yang baik bagi orang yang mau mengambil pelajaran” [Tahdziibut-Tahdziib,
2/288].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ولهذا استقر أمر أهل السنة على ترك القتال في
الفتنة للأحاديث الصحيحة الثابته عن النبي صلى الله عليه و سلم وصاروا يذكرون هذا
في عقائدهم ويأمرون بالصبر على جور الأئمة وترك قتالهم وإن كان قد قاتل في الفتنة
خلق كثير من أهل العلم والدين
“Oleh karena itu, tetaplah perkara Ahlus-Sunnah
untuk meninggalkan perang dalam masa fitnah berdasarkan hadits-hadits shahih
dari Nabi ﷺ, hingga
kemudian mereka menyebutkan masalah ini dalam ‘aqidah-‘aqidah mereka; dan
mereka (Ahlus-Sunnah) memerintahkan bersabar atas kedhaliman para imam
(pemimpin) dan tidak memeranginya, meskipun dalam masa fitnah tersebut telah
melibatkan banyak ahli ilmu dan ulama” [Minhajus-Sunnah, 4/529-530].[5]
Dulu, para ulama berselisih pendapat tentang
keimamahan Abu Haniifah An-Nu’maan bin Tsaabit rahimahumallah. Sebagian ulama ada yang mengkritik beliau dengan keras sebagaimana terdokumentasi dalam
kitab-kitab Al-Jarh wat-Ta’diil. Beliau rahimahullah tergelincir
diantaranya dalam masalah iman, sehingga muncul istilah Murji’atul-Fuqahaa’
yang dinisbatkan kepada beliau. Abu ‘Abdirrahmaan Al-Muqri’ rahimahullah pernah
berkata:
كان والله أبو حنيفة مرجئاً ودعاني إلى الإرجاء
فأبيت عليه
“Demi Allah, Abu Haniifah adalah seorang Murji’,
dan mengajakku kepada pemahaman irjaa’ namun aku menolaknya”
[Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 386].
Namun setelah berlalunya masa, para ulama sepakat
akan keimaman beliau rahimahullah sebagai salah satu ulama Ahlus-Sunnah,
satu diantara 4 imam yang dikenal. Ketergelinciranya tidak kita ikuti dan
diberikan udzur sebagai satu ijtihad yang keliru.
Dan yang permasalahan lainnya.
Tidak boleh bagi seorang pun berhujjah dengan
khilaf yang disebutkan di atas. Begitu juga mentoleransi orang-orang yang
menyelisihi ijmaa’. Bahkan, wajib untuk mengingarinya.[6] Apalagi
jika penyelisihan itu dikenal menjadi syiar kelompok/golongan yang menyimpang
dari Ahlus-Sunnah, seperti misal nikah mut’ah yang menjadi syiar kelompok
Syi’ah, keluar ketaatan dari penguasa muslim dhalim yang menjadi syiar kelompok
Khawaarij, amalan tidak masuk bagian dari iman yang menjadi syiar kelompok
Murjiah (Fuqahaa), dan memakai cincin emas bagi laki-laki menjadi syiar
orang-orang fasiq; maka pengingkarannya lebih keras dan harus ditahdzir. Akan
selalu ada orang yang mencari-cari ketergelinciran para ulama dan menebarkan syubuhaat.
Adz-Dzahabiy rahimahullah memperingatkan:
ومن تتبع رخص المذاهب، وزلات المجتهدين، فقد رق
دينه
“Barangsiapa yang mencari-cari keringanan
madzhab-madzhab dan ketergelinciran para mujtahid, sungguh buruk agamanya” [Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 8/90].[7]
Semoga dapat menjawab serta ada manfaatnya
bagi yang menulis dan membaca, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Somewhere, 12 Dzulqa’dah 1437.
[1] Dalilnya adalah riwayat palsu berikut:
عَنْ
زُرَارَةَ قَالَ قُلْتُ لَهُ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَمَتَّعَ الرَّجُلُ
بِالْمَرْأَةِ سَاعَةً أَوْ سَاعَتَيْنِ فَقَالَ السَّاعَةُ وَ السَّاعَتَانِ لَا
يُوقَفُ عَلَى حَدِّهِمَا وَ لَكِنَّ الْعَرْدَ وَ الْعَرْدَيْنِ وَ الْيَوْمَ وَ
الْيَوْمَيْنِ وَ اللَّيْلَةَ وَ أَشْبَاهَ ذَلِكَ
Dari
Zuraarah, ia berkata : Aku berkata kepadanya (imam, yaitu : Abu ‘Abdillah) :
“Apakah boleh seorang laki-laki melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita
selama satu atau dua jam ?”. Ia menjawab : “Satu atau dua jam itu tidak
diketahui batas (akhirnya). Akan tetapi nikahlah sekali atau dua kali senggama,
sehari atau dua hari, semalam, dan yang seperti itu” [Al-Kaafiy, 5/459].
Silakan
baca artikel : Ada
Beda Antara Nikah Mut'ah dengan Zina !!.
[2] Yaitu kelompok Syi’ah.
[3] Dalilnya diantaranya adalah perselisihan para
shahabat dalam perkara memerangi orang-orang yang menahan pembayaran zakat. Setelah
itu, mereka menyepakati Abu Bakr dalam perkara tersebut, sehingga tercapailah ijmaa’.
[4] Silakan baca artikel suplemen : Pembatal
Wudlu : Makan Daging Onta.
[5] Silakan baca buku berjudul : Fatwa
Ulama Seputar Penguasa di Era Kontemporer tulisan Abul-Fatih Ristiyan,
semoga Allah membalas kebaikannya dengan jannah.
[6] Bagi yang mampu. Allah ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”
[QS. At-Taghaabuun : 16].
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa
di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya.
Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan
hatinya, dan itulah selemah-lemah iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 49,
Abu Daawud no. 1140, dan yang lainnya].
[7] Muncul retorika apologi orang-orang
belakangan untuk membela kebatilan dilakukan seperti perkataan “apakah
kalian juga akan menuduh sebagian salaf yang membolehkan nikah mut’ah sebagai
Raafidlah ?, apakah kalian juga akan menuduh sebagian salaf yang melakukan pemberontakan
sebagai Khawaarij ?, apakah kalian juga akan menuduh Abu Haniifah sebagai
gembong Murji’ah yang mengatakan amalan tidak masuk bagian dari iman ? apakah
kalian juga akan mengecap Abu Bakr bin Muhammad bin Hazm sebagai orang fasiq
karena membolehkan memakai cincin emas ?.
Comments
jadi kesimpulanya gimana tadz? bolehkan menerjang ijma atau kita hrs taklid kpd ijma'.. terkait contoh diatas..
Tidak boleh
Assalamu alaikum ustad
wa'alaikumus-salaam
Posting Komentar