Da'i Sunnah


Istilah dai sunnah, pengajian sunnah, dan radio sunnah dewasa ini memang lagi ‘ngetrend’. Istilah ini dipakai untuk entitas yang mengajak kepada sunnah, menisbatkan diri kepada sunnah, cinta kepada sunnah. ‘Ngetrend’ karena ajakan kembali kepada sunnah dan meninggalkan kebid’ahan memang mendapatkan sambutan dan antusiasme yang cukup besar dari masyarakat. Seperti lazimnya dalam ilmu statistik, ada saja data pencilan (outlier) - yang dalam hal ini diwakili himpunan orang-orang yang tidak senang dan tidak tenang terhadap dakwah sunnah dan orang-orangnya. Mereka melakukan berbagai usaha untuk menghentikan atau minimal menghambat perkembangan dakwah sunnah. Yang paling mutakhir adalah ulah sebagian orang yang mengembangbiakkan alergen terhadap istilah dai sunnah, pengajian sunnah, dan radio sunnah sebagaimana disinggung di awal.

Sebenarnya istilah ini tidak ada masalah, bahkan bagus sebagai identitas penisbatan kepada sunnah.
Contohnya istilah ‘dai sunnah’. Para ulama sudah banyak menggunakannya dari jaman dahulu untuk memuji orang-orang yang berkomitmen terhadap sunnah, seperti misal Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika berkata tentang beberapa ulama Ahlus-Sunnah:
كان ابن خزيمة رأساً في الفقه، من دعاة السنة، وغلاة المثبتة، له جلالة عظيمة بخراسان....
“Ibnu Khuzaimah adalah pemimpin dalam bidang fiqh, termasuk du’aat sunnah, dan orang yang berlebihan dalam penetapan nama-nama dan sifat-sifat Allah.  Ia memiliki kedudukan yang agung di negeri Khurasaan….” [Al-‘Ulluw, hal. 152].
وكان من دعاة السنة، وأعداء البدعة، توفي في سنة إحدى وسبعين وأربعمائة.
“Ia (Sa’d bin ‘Aliy Az-Zanjaaniy) termasuk du’aat sunnah dan musuh bid’ah. Wafat pada tahun 471 H” [idem, hal. 189].
Yang semisal dengan istilah ‘dai sunnah’ adalah ‘ulama sunnah’.
Al-Baghawiy rahimahullah (w. 516 H) pernah berkata:
اتَّفَقَتِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ، فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ عَلَى أَنَّ الأَعْمَالَ مِنَ الإِيمَانِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ، إِلَى قَوْلِهِ: وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.
“Para shahabat, taabi’iin, dan orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama sunnah telah bersepakat bahwa amal termasuk bagian dari iman berdasarkan firman Allah ta’ala : ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka ….’ hingga firman-Nya : ‘…..dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka’ (QS. Al-Anfaal : 2-3)” [Syarhus-Sunnah, 1/38].
Abul-Qaasim Ismaa’iil Al-Ashbahaaniy rahimahullah (w. 535 H) yang berkata:
فصل قال أحد علماء السنة: حرام عَلَى العقول أن تمثل الله، حرام عَلَى الخلق أن يكيفوه
“Pasal : Telah berkata seorang dari kalangan ulama sunnah  : Diharamkan bagi akal membuat perumpamaan (tamtsiil) untuk Allah, dan diharamkan bagi makhluk untuk menanyakan kaifiyyah Allah” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 2/468].
Adz-Dzahabiy rahimahullah (w. 748 H) pernah berkata tentang Abu Haatim Ar-Raaziy Al-Bazzaaz rahimahullah:
أحمد بن الحسين بن محمد المحدِّث الأمام أبو حاتم بن خاموش الرّازي البزّاز.من علماء السُّنَّة.
“Ahmad bin Al-Husain bin Muhammad, Al-Muhaddits, Al-Imaam, Abu Haatim bin Khaamuusy  Ar-Raaziy Al-Bazzaaz, termasuk ulama sunnah” [Taariikh Al-Islaam, 7/76].
Dan yang lainnya masih banyak.
Dai sunnah adalah dai yang mengajak kepada sunnah dan mengisi pengajiannya dengan materi sunnah. Dai yang cinta kepada sunnah dan mengajak orang untuk mencintai sunnah. Dai sunnah tentu bukan dai yang doyan bid’ah dan mendakwahkan bid’ah, karena sunnah dan bid’ah adalah dua hal yang berlawanan. Nabi bersabda:
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, niscaya ia melihat perselisihan yang banyak. Maka, berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang mendapat petunjuk. Berpegang-teguhlah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan waspadalah kalian terhadap hal-hal yang baru (dalam urusan agama), karena setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih. Takhrij lebih lengkap bisa dibaca di sini].
Dai sunnah bukan pula pendongeng dan tukang cerita, shaahibu ‘ndabul’ dan ‘nggedebus’. Ibnu Abi ‘Aashim rahimahullah (w. 287 H) berkata:
لذا؛ كره السلف القصص ومجالس القصاص، فحذروا منها أيما تحذير، وحاربوا أصحابها بشتى الوسائل
“Oleh karena itu, salaf telah membenci cerita-cerita dan majelis cerita-cerita. Mereka memperingatkan untuk berhati-hati darinya dengan segala macam peringatan, serta memerangi pelakunya dengan berbagai sarana yang memungkinkan” [Al-Mudzakkir wat-Tadzkiir oleh Ibnu Abi ‘Aashim, hal. 26].
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah berkata:
أكذب الناس القُصَّاص والسؤَّال ..، قيل له : أكنت تحضر مجالسهم ؟، قال : لا
“Sedusta-dusta manusia adalah para pencerita/pendongeng dan orang yang banyak bertanya (pada sesuatu hal yang tidak bermanfaat)”.  Kemudian dikatakan kepada beliau : “Apakah engkau menghadiri majelis mereka?”. Beliau menjawab : “Tidak” [Al-Hawaadits wal-Bida’ oleh Ath-Thurthuusyiy, hal. 112].
Apalagi dai yang main film …… laa haula wa laa quwwata illaa billaah…..
Seandainya ada yang salah pada perilaku dai sunnah dan simpatisannya, maka bukan menjadi alasan untuk mempermasalahkan istilah ‘dai sunnah’. Sebagaimana tingkah arogan sebagian kaum yang katanya memiliki otoritas istilah ‘Aswaja’ ( = Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah); maka itu bukan pula menjadi alasan mencari-cari dalih untuk mengeliminasi istilah Aswaja (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah) dari lisan. Yang dikritik adalah perilakunya, kesesuaiannya terhadap klaim yang diserukan.
Seandainya gugatan terhadap istilah ‘dai sunnah’ hanya sekedar kecemburuan sosial karena tidak terkenal sebagai ‘dai sunnah’, tentu itu masalah lain. Yang bersangkutan bisa ambil inisiatif request kepada para penggemarnya agar disebut dai sunnah. Tapi, ini bukan perkara yang patut saya kira. Hanya perlu diingat, sebutan orang hanyalah sekedar sebutan, baik pujian maupun celaan. Allah ta’ala hanya melihat ketaqwaan serta bagusnya niat dan amal-amal kita.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian” [QS. Al-Hujuraat : 13].
Nabi bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ، وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidaklah melihat pada rupa-rupa dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2564].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.

Somewhere, 17 Dzulqa’dah 1437

Comments

Anonim mengatakan...

saya dapat dari GROUP WA, ustad ini mengkritik kata2 ustad sunnah....
............................
Majelis Ilmu Farid Nu'man:
🍃🌺Maaf .. Dia Bukan Ustadz Sunnah🌺🍃

💦💥💦💥💦💥💦💥

Sangat menarik melihat perkembangan da’wah Islam di Indonesia. Semarak dan sangat massif. Banyak sekali perkembangan termasuk perkembangan media da’wahnya. Di antaranya penggunaaan medsos. Tapi, ada yang unik jika kita perhatikan, yaitu polarisasi dan kubu-kubuan antar harakah, jamaah, dan majelis ta’lim semakin terasa. Sehingga tipis perbedaan antara aset positif ataukah bahaya laten. Barang kali ini sisi lain dari maraknya da’wah medsos tersebut. Sangat nampak jelas dan telanjang.

Termasuk di antaranya, penggunaan istilah-istilah untuk menunjukkan identifikasi, misalnya sebutan “ustadz sunnah, pengajian sunnah, radio sunnah,” dan semisalnya. Ini identifikasi yang bagus jika untuk menyemangati para penuntut ilmu agar mencintai, mempelajari, dan menjalankan sunnah Nabi ﷺ dan tidak salah dalam mengambil ilmu agama. Tapi, kenyataan yang berkembang istilah ini menjadi sebuah sandi atau kode hizbiyyah (fanatisme) segolongan umat Islam atas kelompoknya, dan peremehan atas yang lainnya. Ustadz mana pun yang sudah masuk lingkup “Ustadz Sunnah” -entah apa baromaternya istilah ini- maka posisinya aman; nasihatnya akan didengar, kajiannya akan dihadiri, faidah darinya akan diapresiasi, walau kapasitas ilmiyahnya biasa saja.

Ada pun yang tidak masuk dalam lingkup “Ustadz Sunnah” dalam ukuran mereka, maka dia tereliminasi, dipandang sebelah mata, ditinggalkan, padahal dulunya bisa jadi dia begitu diminati, walau dia termasuk seorang ustadz yang memiliki kafa’ah syar’iyah yang luar biasa. Kenapa bisa begitu? Ya itu tadi, dia bukan (lagi) “Ustadz Sunnah,” barang kali dia ustadz mubah, bahkan ustadz makruh ...

Semoga Allah ﷻ lindungi kita dari fanatisme tercela ini .., dan mampu memandang sesama muslim, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebagai saudara dan teman seperjuangan.

Wallahu A’lam

🍃🌾🌸🌴🌺🌷☘🌻

✏ Farid Nu'man Hasan

Anonim mengatakan...

ini ada lagi ustad tarbiyyah, kenapa pada sensitif dan pada ngomongin ustad sunnah yaa ?

http://manhajuna.com/proporsional-dengan-istilah-sunah/

Anonim mengatakan...

akhi jauzaa, mohon di jelaskan tentang tulisan ustad ahmat sarwat dibawah ini, yg tulisannya kok cenderung kasar yaa.....dalam mengkritik kelompok lain.....

http://www.fiqhmenjawab.net/2016/04/mengapa-imam-madzhab-tidak-pakai-hadits-bukhari-muslim/

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anonim 1 & 2,.... anggaplah tulisan saya di atas sebagai komentar terhadap tulisan Farid Nu'man dan temannya itu. Semoga relevan. Kadang sebagian pihak yang merasa 'meri' (iri) dengan istilah "ustadz Sunnah" ini berasal dari orang-orang yang tidak kebagian jatah sebutan sebagai 'ustadz Sunnah', sementara dirinya sudah ngebet dan pingin diakui sebagai 'ustadz Sunnah'. Cukup bisa dipahami. Sunnah atau tidaknya seseorang itu ternilai bukan sekedar sebab 'fiqh', tapi aqidah dan manhaj.

Anonim 3,.... membaca tulisan Ahmad Sarwat kok rasa-rasanya seperti merasakan taste tulisan seorang komedian, mohon maaf. Tapi bener,.... cukup menghibur meskipun secara substansi 0 nilainya. Tapi biarlah, barangkali dengan ia menulis seperti itu, libido asal kritiknya dapat tersalurkan. Semoga beliau senantiasa diberikan kesehatan....

NB : Silakan baca tulisan saya mengomentari dagelan Ahmad Sarwat berikut : Ahmad Sarwat, Al-Buuthiy, dan Al-Albaaniy. Semoga bermanfaat.

Zakir Naik tentang Tahlilan mengatakan...

Ustadz kalo Mufti Menk itu Da'i Sunnah atau bukan?

Terimakasih