Sebagian
orang-orang yang menyimpang dari jalan yang ditempuh salaful-ummah
mengambil dalih sebagian pendapat ushuuliyyuun bahwa khabar ahad hanya
memberikan faedah dhann, bukan ilmu (keyakinan); untuk menolak
penggunaan khabar ahad tersebut untuk masalah aqidah, karena ‘aqiidah – menurut
mereka – tidak boleh menggunakan dhann. Dalil dhann hanya wajib
diamalkan dalam masalah hukum saja.
Ini
adalah kesalahan dan sekaligus kesesatan. Telah lewat pembahasan di dalam Blog
ini artikel berjudul Hadits Ahad dan Hadits Mutawatir.
Artikel tersebut setidaknya memberikan gambaran pengertian hadits ahad dan
hadits mutawatir, kedudukannya dalam syari’at Islam, serta bantahan ringkas
kepada mereka yang menolak penggunaan hadits ahad dalam masalah ‘aqiidah. Berikut
akan sedikit disambung dengan penyebutan beberapa dalil yang menunjukkan hadits
ahad merupakan hujjah dalam masalah ‘aqiidah dan hukum, serta memberikan faedah
ilmu (yakin).
1.
Firman Allah ta’ala:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ
يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ
“Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
Sisi
pendalilan : Kata ‘amrihi (أَمْرِهِ – perintah Rasul)’
adalah umum, mencakup perkara ‘aqidah maupun hukum, baik yang diterima melalui
jalan mutawatir maupun ahad.
2.
Firman Allah ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti" [QS. Al-Hujuraat : 6].
Dalam qira'at yang
lain disebutkan dengan lafadh فَتَثَبَّتُوا . Ayat ini mempunyai mafhum bahwa khabar yang dibawa oleh orang yang terpercaya
(tsiqah) wajib untuk diterima, baik dalam masalah 'aqiidah maupun
hukum.
3.
Firman Allah ta’ala:
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
“Dan (juga karena) Allah telah
menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa
yang belum kamu ketahui” [QS. An-Nisaa’ : 113].
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي
الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي
ضَلالٍ مُبِينٍ
“Dia-lah yang
mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan
kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata” [QS. Al-Jum’ah : 2].
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ،
قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، "
وَالْحِكْمَةَ، أَيِ: السُّنَّةَ ".
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin
Mu’aadz, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah : ‘dan Al-Hikmah’, ia
berkata : “Maksudnya As-Sunnah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan,
3/87; sanadnya hasan].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
فَذَكَرَ اللَّهُ الْكِتَابَ وَهُوَ
الْقُرْآنُ وَذَكَرَ الْحِكْمَةَ فَسَمِعْتُ مَنْ أَرْضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
بِالْقُرْآنِ يَقُولُ: الْحِكْمَةُ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
“Allah menyebutkan Al-Kitaab, maksudnya Al-Qur’an; dan Allah juga
menyebutkan Al-Hikmah. Aku mendengar ulama yang diridlai lagi ahli dalam
Al-Qur’an mengatakan : ‘Al-Hikmah adalah sunnah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Ma’rifah,
no. 3; sanadnya shahih].
Ahmad bin Hanbal rahimahumallah berkata:
قَالَتْ هَذِهِ الطَّائِفَةُ
بَيَّنَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ يُعَلِّمَ النَّاسَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ، فَالْحِكْمَةُ
غَيْرُ الْكِتَابِ، وَهِيَ مَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِمَّا لَمْ يُذْكَرْ فِي الْكِتَابِ، وَكُلٌّ فَرْضٌ لا افْتِرَاقَ بَيْنَهُمَا ؛
لأَنَّ مَجِيئَهُمَا وَاحِدٌ
“Kelompok ini mengatakan : Allah tabaaraka
wa ta’ala telah menjelaskan bahwasannya Ia memerintahkan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan Al-Kitaab dan Al-Hikmah kepada manusia. Al-Hikmah
bukanlah Al-Kitab. Ia adalah segala sesuatu yang telah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam sunnahkan yang tidak disebutkan dalam Al-Kitab. Semuanya
wajib (diikuti), tidak ada perbedaan antara keduanya, karena tempat kembalinya
adalah satu” [Diriwayatkan oleh Al-Marwaziy dalam As-Sunnah hal. 209-210].
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ
وَمِثْلَهُ مَعَهُ،
Dari
Al-Miqadaad bin Ma’diy Karib, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
bahwasannya beliau pernah bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan
kepadaku Al-Kitaab dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya...”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4604, Ibnu
Hibbaan no. 12, Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 257, dan yang lainnya;
shahih].
Sisi
pendalilan : Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan dua sumber hukum yang berasal
dari Allah ta’ala. Seandainya Al-Qur’an merupakan hujjah dalam
permasalahan hukum dan ‘aqiidah, begitu juga dengan As-Sunnah, karena As-Sunnah
semisal dengan Al-Qur’an.
4.
Firman Allah ta’ala:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ
بِهِ عِلْمٌ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu
(pengetahuan) tentangnya” [QS. Al-Israa’ :
36].
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ
رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ
بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ
سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" [QS. Al-A’raaf : 33].
قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ
عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلا
تَخْرُصُونَ
“Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan
sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti
kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta” [QS.
Al-An’aam : 148].
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ
فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ
وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi
ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti dhann (persangkaan) belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah)” [QS. Al-An’aam : 116].
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا
الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dhann (persangkaan), dan
apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang
petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka” [QS. An-Najm : 23].
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ
عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ
الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang
itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dhann (persangkaan) sedang
sesungguhnya dhann itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” [QS.
An-Najm : 28].
وَمَا يَتَّبِعُ
أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan
saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai
kebenaran” [QS. Yuunus : 36].
Ayat-ayat di atas berisi celaan orang yang mengikuti dhann dan
melakukan sesuatu tanpa ilmu. Celaan Allah ta’ala ini tidak membedakan
antara perkara ‘aqidah (keyakinan) dan hukum. Seandainya orang-orang itu
mengatakan hadits ahad hanya menghasilkan dhann (bukan ilmu/keyakinan) dan hanya wajib diamalkan dalam
masalah hukum, itu mengkonsekuensikan perkataan bahwa Allah ta’ala memerintahkan
sesuatu yang Ia larang, dan ini mustahil.
Oleh karena itu, baik masalah ‘aqidah dan hukum, keduanya harus
ditetapkan berdasarkan ilmu, bukan sekedar dhann; dan itu tercukupi dengan As-Sunnah baik yang diperoleh dari jalan ahad maupun mutawatir.
5.
Firman
Allah ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui” [QS. An-Nahl : 43].
Sisi pendalilan : Melalui ayat ini Allah ta’ala memerintahkan
kita untuk bertanya kepada ulama terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui dalam
permasalahan agama, baik hukum maupun ‘aqidah. Allah ta’ala tidak
mempersyaratkan agar kita bertanya kepada banyak ahli ilmu sehingga memenuhi
persyaratan mutawatir sehingga jawaban atas pertanyaan kita diterima dan
diamalkan. Cukup bagi kita bertanya kepada seorang ahli ilmu yang kita percayai
atas keilmuannya, maka jawabannya (yang disertai dalil) dapat kita terima dan
amalkan. Dan pada kenyataannya, memang seperti itulah yang diamalkan oleh kaum
muslimin sepanjang masa.
Mereka yang mempersyaratkan ‘aqidah hanya dapat diterima melalui
riwayat yang mutawatir saja, pada prakteknya mayoritas mereka hanyalah
bertaqlid kepada penghukuman satu atau dua orang ahli ilmu (atau bahkan hanya
level pengajar biasa atau buku bacaan) apakah hadits itu ahad atau mutawatir,
karena mereka tidak menguasai ilmu riwayat dan takhrij hadits. Meskipun
dikatakan sebuah hadits mutawatir, maka sampainya khabar tersebut kepada
pendengar atau si peminta fatwa adalah ahad. Mensyaratkan kemutawatiran khabar
adalah kesulitan tersendiri bagi mereka dan pengikut mereka untuk
mempraktekkannya.
6.
Firman
Allah ta’ala:
فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ
فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” [QS. At-Taubah : 122].
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa dikatakan ‘thaaifah’
itu jika jumlahnya minimal 3 orang, karena itu adalah jumlah minimal bilangan
jamak. Namun yang benar, ‘thaaifah’ juga dimutlakkan untuk 1 orang
berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang
maka damaikanlah antara keduanya” [QS. Al-Hujuraat : 9].
Yang berpendapat jumlah minimal dari ‘thaaifah’ adalah 1
orang adalah Mujaahid[1], Qataadah[2], Abu Maalik[3], Al-Bukhaariy[4], Ibnul-Mandhuur[5], Ibnul-Atsiir[6], Ibnu Hajar[7], dan yang lainnya.
Sisi pendalilan : Seandainya khabar ahad tidak mengandung ilmu dan
menjadi hujjah dalam masalah ‘aqidah/keimanan, maka tidak ada faedahnya Allah ta’ala
memerintahkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu dan kemudian kembali ke
kaumnya untuk memberikan peringatan jika ujungnya peringatan mereka boleh
ditolak hanya dengan alasan jumlah mereka tidak mencapai derajat mutawatir.
7.
Firman
Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ
بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ
رِسَالَتَهُ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya” [QS. Al-Maaidah : 67].
Telah dimaklumi bahwasannya sampainya nash merupakan persyaratan
tegaknya hujjah kepada orang yang disampaikan. Seandainya khabar ahad tidak
menghasilkan ilmu, niscaya hujjah Allah ta’ala tidak dikatakan tegak
dengan adanya tabliigh tersebut, dan ini jelas kebathilannya.
Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus
individu-individu shahabat dan mengirimkan surat ke beberapa negeri untuk
menyampaikan Islam, sehingga hujjah pun dikatakan tegak bagi orang yang telah
sampai utusan tersebut kepadanya.
8.
Hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ
مُعَاذًا، قَالَ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَادْعُهُمْ إِلَى
شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ
أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ
صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ .....
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Mu’aadz pernah berkata :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutusku seraya
bersabda : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahloi
Kitaab, maka ajaklah mereka kepada persaksian LA ILAHA ILLALLAH (tidak ada ilah
yang berhak untuk disembah melainkan Allah). Apabila mereka mentaatimu terhadap
hal tersebut, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka
shalat lima kali dalam sehari semalam.....” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 19].
Sisi pendalilan : Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam mencukupkan diri untuk mengutus Mu’’adz seorang diri
untuk berdakwah masalah ‘aqidah dan hukum sekaligus kepada penduduk Yaman yang
masih memeluk agama Ahli Kitaab. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah
ilmu dan sekaligus menjadi hujjah bagi penduduk Yaman, niscaya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak akan mengutusnya seorang diri.
9.
Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ بِكِتَابِهِ رَجُلًا
وَأَمَرَهُ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى عَظِيمِ الْبَحْرَيْنِ، فَدَفَعَهُ عَظِيمُ الْبَحْرَيْنِ
إِلَى كِسْرَى، فَلَمَّا قَرَأَهُ مَزَّقَهُ، فَحَسِبْتُ أَنَّ ابْنَ الْمُسَيَّبِ،
قَالَ: فَدَعَا عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُمَزَّقُوا
كُلَّ مُمَزَّقٍ
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah mengutus seseorang dengan membawa surat dan memerintahkannya agar memberikan surat itu
kepada penguasa Bahrain. (Setelah diterima), penguasa Bahrain tersebut
memberikannya kepada Kisraa. Ketika dibaca, surat itu dirobeknya. – (Perawi
berkata: ) Aku mengira Ibnul-Musayyib berkata : - Maka Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam berdoa agar kekuasaannya dihancurkan” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 64 & 4424 & 7264].
Sisi pendalilan : Seandainya khabar ahad tidak mengandung ilmu dan
tidak menjadi hujjah dalam masalah ‘aqiidah – dan surat Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam itu berisi tentang ‘aqiidah, yaitu ajakan kepada ketauhidan Allah
ta’ala – niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
mendoakan kehancuran bagi Kisraa atas penghinaannya terhadap surat yang
dikirimkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
10.
Hadits:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَوَصِيَّتُهُ إِلَى
أُمَّتِهِ، فَلْيُبْلِغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ، لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا
يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
Ibnu 'Abbas radliyallaahu ‘anhumaa berkata : "Maka
demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh itu suatu wasiat dari
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya”. (Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam kemudian bersabda): "Maka hendaklah yang hadir
menyampaikannya kepada yang tidak hadir, dan janganlah kalian kembali menjadi
kafir sepeninggalku. Sebagian kalian membunuh sebagian yang lain"
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1739].
Wasiat beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tersebut diucapkan pada waktu haji wada’ yang dihadiri oleh para
shahabat dari berbagai pelosok negeri. Wasiat beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tersebut dalam berbagai jalan riwayat berisi ‘aqidah dan hukum
sekaligus. Oleh karena itu, perintah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada
semua orang yang hadir menyaksikan dan mendengar wasiat beliau agar menyampaikannya
kepada orang yang tidak hadir menunjukkan apa khabar ahad yang dibawa
masing-masing shahabat saat kembali ke negerinya mengandung ilmu.
11. Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَلِّغُوا
عَنِّي وَلَوْ آيَةً
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru : Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Sampaikanlah dariku walaupun hanya
satu ayat…” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 3461].
Perintah untuk menyampaikan semua hal dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu itu umum, yaitu kepada
seorang shahabat atau lebih, meliputi perkara ‘aqidah maupun hukum. Hal ini
menunjukkan wajibnya untuk beramal bagi orang yang sampai kepadanya khabar
tersebut, sehingga khabar itu memberikan faedah ilmu, bukan sekedar dhann.
12. Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
مَسْعُودٍ ، قَالَ
: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : نَضَّرَ
اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ
Dari 'Abdullah bin Mas'uud, ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda
: "Semoga Allah mencerahkan wajah seorang yang mendengar sebuah hadits
dariku lalu dia menyampaikannya sebagaimana yang dia dengar…." [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2657;
dan ia berkata : 'Hadits hasan shahih'].
Sisi pendalilannya : Hadits ini seperti
dua hadits sebelumnya. Hanya saja dalam hadits ini, dikuatkan lagi dengan adanya pujian Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam terhadap orang yang menyampaikan
hadits kepada orang lain sebagaimana yang ia dengar dari beliau. Seandainya
khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu kepada orang yang sampai kepadanya
hadits tersebut, niscaya Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam tidak akan memberikan pujian kepada orang yang
menyampaikan hadits kepadanya.
13. Hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ بَيْنَمَا النَّاسُ فِي صَلَاةِ
الصُّبْحِ بِقُبَاءٍ إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ وَقَدْ أُمِرَ
أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبَلُوهَا وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى
الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ
Dari Ibnu 'Umar, ia berkata : "Ketika orang-orang shalat Shubuh di Qubaa', tiba-tiba ada seseorang mendatangi mereka seraya berkata : 'Sesungguhnya telah diturunkan ayat kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pada suatu
malam, dan beliau telah diperintahkan untuk menghadap Ka'bah (ketika shalat). Maka menghadaplah
ke Ka'bah'. Waktu itu mereka shalat menghadap ke
Syaam, maka mereka memutar menghadap Ka'bah" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4494 dan Muslim no. 526].
Sisi pendalilannya : Apabila khabar ahad
tidak menjadi hujjah dalam masalah 'aqiidah, niscaya para shahabat yang ketika
itu sedang shalat tidak akan langsung memutar menghadap Kiblat saat mendengar
perkataan seorang shahabat yang mengkhabarkan telah turun ayat yang
memerintahkan mereka untuk menghadap Ka'bah ketika shalat.
14. Hadits:
عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ ، أَتَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي ،
فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا ، فَلَمَّا
رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا ، قَالَ : " ارْجِعُوا فَكُونُوا
فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ
لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ "
Dari Maalik bin Al-Huwairits, ia berkata :
Aku mendatangi Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersama beberapa orang dari kaumku, kemudian kami tinggal di sisi beliau selama 20 malam/hari. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam seorang yang
dermawan dan sangat lemah
lembut. Ketika beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, maka beliau bersabda : 'Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka. Ajarilah mereka (agama Islam) serta shalatlah kalian. Apabila hadir waktu shalat, maka hendaklah salah seorang diantara kalian mengumandangkan adzan dan orang yang paling tua lah yang mengimami shalat kalian" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 628].
Sisi pendalilan : Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
Maalik bin Al-Huwairits dan rekan-rekannya untuk pulang mengajari keluarga
mereka masing-masing tentang syari'at Islam. Dan telah diketahui bahwa syari'at
Islam yang mereka pelajari dari Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam meliputi 'aqidah dan hukum. Seandainya khabar ahad tidak
memberikan faedah ilmu dan tidak dapat dipakai sebagai hujjah dalam masalah
'aqiidah, maka tidak ada faedahnya Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mengajari keluarga mereka
masing-masing.
15. Hadits:
عن عمر رضي الله عنه قال :
وَكَانَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ إِذَا غَابَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَهِدْتُهُ أَتَيْتُهُ بِمَا يَكُونُ وَإِذَا غِبْتُ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَهِدَ أَتَانِي بِمَا
يَكُونُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari 'Umar radliyallaahu
'anhu : "Dan dulu seorang shahabat dari kalangan Anshaar, apabila ia
tidak hadir dari sisi Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam sementara aku hadir, maka aku menemuinya dan memberitahukannya
sesuatu yang aku dapat dari beliau. Begitu juga sebaliknya, bila aku tidak
hadir dari sisi Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam sedangkan dia hadir, maka ia akan menemuiku dan
menyampaikan apa yang ia dapat dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam" [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 5843].
Sisi pendalilan : Semua yang berasal dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam baik 'aqiidah dan hukum, menjadi hujjah bagi
para shahabat yang tidak hadir di sisi beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berdasarkankan khabar yang disampaikan shahabat lain yang hadir menyaksikan.
16. Hadits:
عَنْ فَاطِمَةَ بنت قَيْسٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا، أَنَّهَا سَمِعَتْ نِدَاءَ الْمُنَادِي مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَادِي الصَّلَاةَ جَامِعَةً، فَخَرَجْتُ إِلَى
الْمَسْجِدِ فَصَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَكُنْتُ فِي صَفِّ النِّسَاءِ الَّتِي تَلِي ظُهُورَ الْقَوْمِ، فَلَمَّا قَضَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ جَلَسَ عَلَى
الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَضْحَكُ، فَقَالَ: " لِيَلْزَمْ كُلُّ إِنْسَانٍ
مُصَلَّاهُ "، ثُمَّ قَالَ: " أَتَدْرُونَ لِمَ جَمَعْتُكُمْ؟ "،
قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: " إِنِّي وَاللَّهِ مَا
جَمَعْتُكُمْ لِرَغْبَةٍ وَلَا لِرَهْبَةٍ، وَلَكِنْ جَمَعْتُكُمْ لِأَنَّ
تَمِيمًا الدَّارِيَّ كَانَ رَجُلًا نَصْرَانِيًّا، فَجَاءَ فَبَايَعَ وَأَسْلَمَ،
وَحَدَّثَنِي حَدِيثًا وَافَقَ الَّذِي كُنْتُ أُحَدِّثُكُمْ عَنْ مَسِيحِ
الدَّجَّالِ، حَدَّثَنِي أَنَّهُ رَكِبَ فِي سَفِينَةٍ بَحْرِيَّةٍ مَعَ
ثَلَاثِينَ رَجُلًا مِنْ لَخْمٍ وَجُذَامَ، فَلَعِبَ بِهِمُ الْمَوْجُ شَهْرًا فِي
الْبَحْرِ....
Dari Faathimah binti Qais, bahwasannya ia pernah mendengar seruan
seorang shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; ‘Ash-shalaatu
jaami’ah’. Maka aku pergi ke
masjid dan shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Aku berada di shaff wanita yang
berada dekat dengan punggung kaum laki-laki. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menyelesaikan shalatnya, maka
beliau duduk di atas mimbar sambil tertawa. Beliau bersabda : “Hendaknya
setiap orang tetap di tempatnya”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali
bersabda : “Tahukah kalian mengapa aku mengumpulkan kalian?”. Para shahabat
menjawab : “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allah, sesungguhnya aku tidaklah
mengumpulkan kalian karena keinginan (untuk membagi ghanimah) dan tidak pula
karena takut (terhadap musuh). Akan tetapi aku kumpulkan kalian, karena Tamiim
Ad-Daariy. Ia dulu seorang yang beragama Nashrani, kemudian datang berbai’at dan
masuk Islam. Ia menceritakan kepadaku sebuah kisah yang sesuai dengan kisah
yang pernah aku ceritakan kepada kalian tentang Al-Masiih Ad-Dajjaal. Ia
menceritakan kepadaku bahwa ia telah berlayar dalam dengan sebuah kapal/perahu
besar bersama 30 orang laki-laki dari suku Lakhm dan Judzaam. Mereka
dipermainkan oleh ombak selama sebulan di lautan…..” [Diriwayatkan oleh Muslim
no. 2942].
Sisi pendalilannya : Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam mencukupkan diri dengan khabar yang dibawa oleh Tamiim
Ad-Daariy radliyallaahu ‘anhu tentang Dajjaal dan membenarkannya,
padahal bersamanya ada 30 orang lain yang menyaksikannya. Seandainya khabar
ahad tidak menjadi hujjah, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
akan membenarkan apa yang disampaikan oleh Tamiim seorang diri dan besar
kemungkinan akan mengecek apa yang disampaikannya dengan 30 orang yang
bersamanya.
17. Hadits:
عَنْ أَنَسٍ عَنْ إِسْحَاقَ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ كُنْتُ أَسْقِي أَبَا عُبَيْدَةَ وَأَبَا طَلْحَةَ وَأُبَيَّ بْنَ
كَعْبٍ مِنْ فَضِيخِ زَهْوٍ وَتَمْرٍ فَجَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ الْخَمْرَ
قَدْ حُرِّمَتْ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ قُمْ يَا أَنَسُ فَأَهْرِقْهَا
فَأَهْرَقْتُهَا
Dari Anas bin Malik radliallaahu
'anhu dia berkata : Aku pernah menuangkan minuman dari fadlih (minuman keras dari perasan kurma muda) dan tamr (minuman keras dari perasan kurma
kering) kepada Abu 'Ubaidah, Abu Thalhah, Ubay bin Ka'b. Tiba-tiba seseorang
datang sambil berkata : "Sesungguhnya khamr telah diharamkan". Lantas
Abu Thalhah berkata : "Wahai Anas, bangunlah dan tumpahkanlah!". Maka
aku pun menumpahkan
khamr tersebut [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5580].
Sisi pendalilan : Hadits ini berkenaan dengan turunnya ayat pengharaman khamr. Abu
Thalhah tidak
menunggu persaksian banyak orang sebelum
ia menumpahkan khamrnya. Tidaklah Abu Thalhah melakukannya kecuali ia berkeyakinan (beri'tiqad) bahwa khamr memang benar-benar
telah diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya berdasarkan pengkhabaran seorang shahabat radliyallaahu 'anhumaa kepadanya.
18. Hadits:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ، وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ بِلَالًا كَانَ
يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ
حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Dari Ibnu 'Umar dan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhumaa :
Bahwasannya Bilaal adzan di waktu malam, lalu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Makan
minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan
(Shubuh) kecuali setelah terbitnya fajar” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1918-1919].
Sisi pendalilan : Para shahabat radliyallaahu 'anhum dulu berhenti dari
makan dan minum dengan adzan yang dikumandangkan Bilaal. Maknanya, mereka (para
shahabat) meyakini masuknya waktu fajar sekedar mendengar adzan seseorang. Ini
adalah masalah 'aqidah yang disetujui oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tanpa ada pengingkaran. Yang beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam ingkari
hanyalah bahwa mereka masih boleh makan dan minum karena Bilaal mengumandangkan
adzan di waktu malam dan belum memasuki waktu fajar (Shubuh).
19.
Akal:
Setiap hukum amaliy, tidak bisa tidak mesti diikuti dengan
'aqiidah; yaitu 'aqidah bahwa Allah memerintahkan atau melarang kita untuk
melakukannya. Seperti halnya perkataan seseorang : "Air ini suci, bisa
Anda pergunakan untuk berwudlu". Ketika kita membenarkannya dan kemudian
mengamalkannya (berwudlu dengan air itu), maka bersamaan dengan itu pula kita berkeyakinan (beraqidah) bahwa air itu adalah suci.
Begitu juga ketika kita melakukan shalat. Saat melakukannya pasti
kita meyakini bahwa shalat yang kita lakukan adalah diperintahkan oleh Allah
dan Rasul-Nya – baik yang hukumnya wajib maupun sunnah - .
Bagaimana bisa dibayangkan seseorang yang melakukan sesuatu amalan
ibadah yang rutin berdasarkan hadits ahad tanpa meyakini ibadah yang ia lakukan
merupakan perintah dari agama ?. Ini adalah satu pemikiran yang
mengherankan......
Maalik bin Anas rahimahumallah ketika beliau membawakan
hadits :
الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنَ
الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
"Mimpi yang baik dari seorang laki-laki shalih adalah
salah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian".
maka, ada seseorang yang berkata kepada beliau : "Apakah itu
berlaku bagi mimpi setiap orang ?". Beliau berkata : "Apakah dengan
perkara nubuwaah dapat untuk bersenda-gurau ?" [Fathul-Maalik
bi-Tabwiibit-Tamhiid li-Ibni 'Abdil-Barr 'alaa Muwaththa' Maalik, 10/224].
Perkataan ini dapat dipahami bahwa beliau rahimahullah membenarkan
dan meyakini hadits tentang ru'yaa (mimpi) tersebut - dan hadits itu
masuk dalam katagori ahad yang berkaitan dengan ‘aqiidah.
Madzhab Maalik ini dijelaskan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah:
وقال قوم كثير من أهل الأثر وبعض
أهل النظر: أنه يوجب العلم الظاهر والعمل جميعا منهم الحسين الكرابيسي وغيره.وذكر ابن
خوازمنداد أن هذا القول يخرج على مذهب مالك
“Banyak orang dari kalangan ahlul-atsar dan sebagian ahlun-nadhar
yang mengatakan bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu dhahir dan amal sekaligus.
Diantara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Al-Husain Al-Karaabiisiy
dan yang lainnya. Ibnu Khuwaazmindaad menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan madzhab
Maalik” [At-Tamhiid, 1/8].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah
berkata:
وبعث رسول الله أبا بكر
واليا على الحج في سنة تسع وحضره الحج من أهل بلدان مختلفة وشعوب متفرقة فأقام لهم
مناسكهم وأخبرهم عن رسول الله بما لهم وما عليهم. وبعث علي بن أبي طالب في تلك
السنة فقرأ عليهم في مجمعهم يوم النحر آيات من { سورة براءة } ونبذ إلى قوم على سواء وجعل لهم مددا ونهاهم عن
أمور. فكان أبو بكر وعلي معروفين عند أهل مكة بالفضل والدين والصدق وكان من جهلهما
أو أحدهما من الحاج وجد من يخبره عن صدقهما وفضلهما. ولم يكن رسول الله ليبعث إلا
واحدا الحجة قائمة بخبره على من بعثه إليه إن شاء الله. وقد فرق النبي عمالا على
نواحي عرفنا أسماءهم والمواضع التي فرقهم عليها. فبعث قيس بن عاصم والزبرقان بن
بدر وابن نويرة إلى عشائرهم بعلمهم بصدقهم عندهم. وقدم عليهم وفد البحرين فعرفوا
من معه فبعث معهم بن سعيد بن العص. وبعث معاذ بن جبل إلى اليمن وأمره أن يقاتل بمن
أطاعه من عصاه ويعلمهم ما فرض الله عليهم ويأخذ منهم ما وجب عليهم لمعرفتهم بمعاذ
ومكانه منهم وصدقه. وكل من ولى فقد امره بأخذ ما أوجب الله على من ولاه عليه. ولم
يكن لأحد عندنا في أحد مما قدم عليه من أهل الصدق ان يقول أنت واحد وليس لك أن
تأخذ منا ما لم نسمع رسول الله يذكر انه علينا
“Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu
Bakr sebagai waliyul-hajj pada tahun ke-9 H yang dihadiri oleh penduduk
dari berbagai negeri. Abu Bakr menjalankan manasik haji bersama mereka dan
mengkhabarkan kepada mereka apa yang diperintah dan dilarang oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga
mengutus ‘Aliy bin Abi Thaalib pada tahun tersebut untuk membacakan kepada
mereka pada hari Nahr ayat-ayat dari surat Al-Baraa’ah, dan
memperingatkan apabila orang kafir melanggar perjanjian, maka kaum muslimin pun
akan melakukan hal yang sama. ‘Aliy pun melarang kepada mereka beberapa perkara.
Abu Bakr dan ‘Aliy dikenal bagi penduduk Makkah dengan keutamaan, agama, dan
kejujurannya; sedangkan jama’ah haji yang tidak mengetahui keduanya atau salah
seorang dari keduanya, maka orang yang mengetahui memberitahukan kepadanya
tentang kejujuran dan keutamaan mereka sehingga mengetahui. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidaklah mengutus kecuali hanya seorang saja sehingga
hujjah pun dikatakan tegak kepada orang-orang tersebut dengannya.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam juga mengutus para shahabat ke berbagai negeri yang nama
dan tempat mereka diutus masing-masing telah kita ketahui. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengutus Qais bin ‘Aashim, Az-Zibriqaan bin Badr, dan
Ibnu Nuwairah kepada kabilah mereka masing-masing dikarenakan telah diketahui
kejujurannya di sisi mereka. Datanglah kepada mereka utusan Bahrain, lalu
mereka mengetahui orang yang ada dalam rombongan tersebut, kemudian beliau
mengutus Ibnu Sa’iid bin Al-‘Aash bersama mereka.
Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengutus Mu’aadz bin Jabal ke negeri Yaman dan
memerintahkannya bersama orang yang mentaatinya untuk memerangi orang yang
membangkangnya, dan mengajarkan kepada mereka (penduduk Yaman) apa saja yang
diwajibkan Allah ta’ala terhadap mereka, serta mengambil zakat yang yang
harus mereka bayarkan; dikarenakan mereka (penduduk Yaman) telah mengenal
kedudukan Mu’aadz dan kejujurannya.
Setiap orang yang
diberikan tugas menjadi waliy diperintahkan untuk mengambil apa yang
diwajibkan Allah kepada mereka. Kami tidak mengetahui ada seorang pun dari
mereka ketika datang seorang yang jujur kepada mereka berkata : ‘Engkau
hanya seorang, sehingga engkau tidak boleh mengambil dari kami sesuatu yang
kami tidak mendengar (secara langsung) bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mewajibkannya kepada kami” [Ar-Risaalah, 414-417].
Abu Ya’laa rahimahullah menukil perkataan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah
ketika mengomentari hadits-hadits ahad dalam permasalahan ‘aqiidah:
إِنَّ اللَّهَ، تَبَارَكَ وَتَعَالَى، يَنْزِلُ إِلَى
سَمَاءِ الدُّنْيَا " وَاللَّهُ يُرَى " وَأَنَّهُ يَضَعُ قَدَمَهُ
" وَمَا أَشْبَهُ بِذَلِكَ، نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا وَلا كَيْفَ وَلا
مَعْنَى ! وَلا نَرُدُّ شَيْئًا مِنْهَا، وَنَعْلَمُ أَنَّ مَا قَالَهُ الرَّسُولُ،
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ إِذَا كَانَتْ بِأَسَانِيدَ صِحَاحٍ.
“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta'ala turun ke langit
dunia, Allah kelak akan dilihat (di akhirat), Allah meletakkan kaki-Nya, dan
yang semisalnya dari hadits-hadits; maka kami mengimaninya, membenarkannya,
tidak menanyakan kaifiyatnya, tidak memaknainya (dengan makna-makna yang
bathil), dan tidak menolak satu pun darinya. Kami mengetahui bahwa apa yang
disabdakan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah benar jika
berasal dari sanad yang shahih” [Ibthaalut-Ta’wiilaat].
Al-Khathiib
Al-Baghdaadiy rahimahullah berkata:
وَعَلَى الْعَمَلِ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ كَانَ
كَافَّةُ التَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الْفُقَهَاءِ الْمُخَالِفِيْنَ فِي
سَائِرِ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ إِلَى وَقْتِنَا هَذَا، وَلَمْ يَبْلُغْنَا عَنْ
أَحَدٍ مِنْهُمْ إِنْكَارٌ لِذَلِكَ، وَلا اعْتِرَاضٌ عَلَيْهِ
“Dan
keharusan untuk beramal dengan khabar waahid adalah pendapat seluruh taabi’iin
dan orang-orang setelah mereka dari kalangan fuqahaa’ di seluruh penjuru
negeri Islam hingga saat ini. Tidak ada keterangan yang sampai kepada kami
seorang pun dari mereka yang mengingkarinya dan menolaknya….” [Al-Kifaayah,
hal. 129].
Al-Futuuhiy
rahimahullah berkata:
قال
ابن عقيل وابن الجوزي والقاضي وأبو بكر بن الباقلاني وأبو حامد وابن برهان والفخر الرازي
والآمدي وغيرهم: يفيد العلم ما نقله آحاد الأمة المتفق عليهم إذا تلقي بالقبول
أما
المشهور والمستفيض فمن العلماء من قال: يفيد علما نظريا، ومنهم من قال: يفيد القطع
“Ibnu
‘Aqiil, Ibnul-Jauziy, Al-Qaadliy, Abu Bakr bin Al-Baaqilaaniy, Abu Haamid, Ibnu
Burhaan, Al-Fakhrur-Raaziy dan yang lainnya berpendapat bahwa apa yang
diriwayatkan oleh individu-individu yang telah disepakati dan diterima oleh
umat memberikan faedah ilmu. Adapun riwayat masyhuur dan mustafiidl,
diantara ulama ada yang berpendapat memberikan faedah ilmu nadhariy, dan
diantara mereka ada yang berpendapat memberikan faedah ilmu yang qath’iy (pasti/aksiomatik)”
[Syarh Kaukabil-Muniir, 2/248-249].
Ibnu
‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وكلهم
يدين بخبر الواحد العدل في الاعتقادات ، ويعادي ويوالي عليها ، ويجعلها شرعاً
وديناً في معتقده ، على ذلك جماعة أهل السنة
“….Dan semuanya berpegang kepada riwayat satu
orang yang adil dalam hal ‘aqidah; membela, mempertahankannya, serta
menjadikannya sebagai syari’at dan agama. Jama’ah Ahlus-Sunnah berada di
atas pendapat tersebut” [At-Tamhiid oleh Ibnu ‘Abdil-Barr 1/8].
وأجمع أهل العلم من أهل الفقه والأثر في جميع
الأمصار فيما علمت على قبول خبر الواحد العدل وايجاب العمل به إذا ثبت ولم ينسخه
غيره من أثر أو أجماع على هذا جميع الفقهاء في كل عصر من لدن الصحابة الى يومنا
هذا الا الخوارج وطوائف من أهل البدع شرذمة لا تعد خلافا
“Para ulama dari kalangan ahli fiqh dan ahli
hadits di seluruh penjuru (negeri-negeri Islam) – sepanjang saya ketahui – telah
bersepakat untuk menerima hadits ahad (hadits riwayat satu orang) yang adil
(shalih dan terpercaya). Begitu pula (telah ijma’) untuk wajib mengamalkannya,
jika ia telah shahih dan tidak dinasakh (dihapus) oleh yang lainnya, baik dari
atsar atau ijma’. Inilah prinsip seluruh
fuqahaa di setiap negeri, sejak jaman
shahabat hingga hari ini, kecuali Khawarij dan Ahli Bid’ah, yaitu sekelompok
kecil yang (ketidaksepakatannya) tidak sebagai perbedaan pendapat” [idem 1/11].
Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah berkata:
وخبر الواحد إذا تلقته الأمة بالقبول ، عملاً به وتصديقاً
له - : يفيد العلم [اليقيني] عند جماهير الأمة ، وهو أحد قسمي المتواتر . ولم يكن بين
سلف الأمة في ذلك نزاع
“Dan khabar waahid apabila diterima oleh umat
dengan penuh penerimaan, baik dalam amalan (hukum) maupun pembenaran (‘aqiidah);
menghasilkan ilmu yakin menurut mayoritas umat. Ia adalah salah satu bagian
mutawatir. Tidak ada perselisihan di kalangan salaful-ummah tentang hal
itu” [Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah, hal. 355].
As-Safaariiniy rahimahullah berkata:
يعمل بخبر الآحاد في أصول الدين وحكى ابن عبد البر
الإجماع على ذلك
“Khabar ahad diamalkan dalam perkara ushuuluddiin,
dan Ibnu ‘Abdil-Barr menghikayatkan adanya ijmaa’ atas hal tersebut” [Lawaami’ul-Anwaar
Al-Baahiyyah, 1/19].
Muhammad Al-Amiin Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata:
اعلم أن التحقيق الذي لا يجوز العدول عنه أن أخبار
الآحاد الصحيحة كما تقبل في الفروع تقبل في الأصول . فما ثبت عن النبي صلى الله
عليه وآله وسلم بأسانيد صحيحة من صفات الله يجب اثباته واعتقاده على الوجه اللائق
بكمال الله وجلاله على نحو لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
.
وبهذا تعلم أن ما أطبق عليه أهل الكلام ومن تبعهم
ن أن أخبار الآحاد لا تقبل في العقائد ولا يثبت بها شئ من صفات الله زاعمين أن
أخبار الآحاد لا تفيد اليقين وأن العقائد لا بد فيها من اليقين باطل لا يعول عليه
. ويكفي من ظهور بطلانه أنه يستلزم رد الروايات الصحيحة الثابتة عن النبي صلى الله
عليه وآله وسلم بمجرد تحكيم العقل
“Ketahuilah, bahwa penelitian yang hasilnya tidak diperbolehkan
untuk menyimpang darinya adalah : hadits-hadits ahad yang shahih sebagaimana
diterima dalam masalah furuu’ juga diterima dalam masalah ushuul.
Maka apa saja yang telah sah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi sallam
dengan sanad yang shahih tentang sifat-sifat Allah, wajib untuk menetapkannya
dan diyakini sesuai dengan kesempurnaan dan keagungan Allah, sebagaimana
firman-Nya: ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar
lagi Maha Melihat’ (QS. Asy-Syuuraa : 11).
Dengan demikian, engkau akan mengetahui bahwa apa
yang ditetapkan oleh ahli kalam dan yang mengikuti mereka bahwa hadits ahad
tidak diterima dalam masalah ‘aqiidah dan tidak boleh ditetapkan sifat-sifat
Allah dengannya, karena persangkaan mereka bahwa hadits ahad tidak memberikan
faedah keyakinan – padahal ‘aqidah harus ditetapkan berdasarkan keyakinan – ; adalah perkataan yang bathil dan tertolak. Dan cukuplah sebagai bukti
kebathilannya bahwa pendapat ini mengkonsekuensikan untuk menolak
riwayat-riwayat yang shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam
berdasarkan penghukuman akal semata” [Mudzakarah fii Ushuulil-Fiqh, hal.
124-125].
Setelah kita memperhatikan dalil-dalil dan
perkataan ulama di atas, maka akan nampak – insya Allah – kebathilan orang-orang
yang menolak penggunaan hadits ahad dalam permasalahan ‘aqiidah.
Semoga artikel ini ada manfaatnya....
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 02062015
– 02:17].
Comments
Izin share link artikel dr blog ini
Izin masang link artikel dr blog ini akhi
Buat ditampilkan di wap saya
Posting Komentar