Pemerkosaan
merupakan bagian dari perbuatan zina[1]
yang telah Allah ta’ala tentukan hukumannya bagi pelakunya di dunia.
Allah ta’ala berfirman:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي
فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا
رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman” [QS. An-Nuur : 2].
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ
الْجُهَنِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
يَأْمُرُ فِيمَنْ زَنَى وَلَمْ يُحْصَنْ، جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ
Dari
Zaid bin Khaalid Al-Juhhaniy, ia berkata : “Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk orang yang berzina dan belum pernah
menikah didera seratus kali dan diasingkan selama setahun” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 6832].
Hukuman ini
bagi laki-laki atau wanita yang belum pernah menikah (ghairu muhshan), yaitu didera seratus kali dan kemudian diasingkan
selama setahun.
Untuk
yang pernah menikah (muhshan),
maka hukumannya sebagaimana yang
ada dalam riwayat:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ
الصَّامِتِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ
بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ، وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ
مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
Dari
‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya
Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka, yaitu orang yang belum
menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) adalah dera
seratus kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina)
dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera seratus kali dan rajam”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1690].
عَنْ الشَّعْبِيَ، وَسُئِلَ:
هَلْ رَأَيْتَ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؟
قَالَ: رَأَيْتُهُ أَبْيَضَ الرَّأْسِ وَاللِّحْيَةِ، قِيلَ: فَهَلْ تَذْكُرُ عَنْهُ
شَيْئًا؟ قَالَ: نَعَمْ أَذْكُرُ أَنَّهُ جَلْدَ شُرَاحَةَ يَوْمَ الْخَمِيسِ، وَرَجَمَهَا
يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: جَلَدْتُهَا بِكِتَابِ اللَّهِ، وَرَجَمْتُهَا بِسُنَّةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ
Dari Asy-Sya’biy, dan ia pernah
ditanya : “Apakah engkau pernah melihat Amiirul-Mukminiin ‘Aliy bin Abi Thaalib
radliyallaahu ‘anhu ?”. Ia berkata : “Aku pernah melihatnya ia seorang
yang kepala dan jenggotnya berwarna putih”. Dikatakan : “Apakah engkau akan
menyebutkan sesuatu darinya ?”. Ia menjawab : “Ya. Aku menyebutkan bahwasannya
ia pernah mendera Syuraahah pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jum’at. Ia
(‘Aliy) berkata : ‘Aku menderanya berdasarkan Kitabullah, dan merajamnya
berdasarkan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”
[Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 4/365; sanadnya shahih].
Yaitu, didera seratus kali dan
kemudian dirajam[2].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah
berkata :
وقد أجمع العلماء على ان [ على
] المستكره المغتصب الحد ان شهدت البينة عليه بما يوجب الحد او اقر بذلك فان لم يكن
فعليه العقوبة ولا عقوبة عليها اذا صح انه استكرهها وغلبها على نفسها وذلك يعلم بصراخها
واستغاثتها وصياحها
“Para
ulama telah bersepakat diberlakukannya hadd bagi pelaku pemerkosaan apabila
terdapat bukti yang mewajibkan baginya hadd atau si pelaku mengakui
perbuatannya. Jika tidak memenuhi
dua hal tersebut (adanya bukti atau pengakuan – Abul-Jauzaa’), maka
baginya hukuman (ta’zir). Tidak ada hukuman baginya (si wanita) apabila
terbukti tidak menginginkannya dan dipaksa. Hal itu diketahui dengan suaranya,
permintaan tolongnya, dan teriakannya” [Al-Istidzkaar, 7/146].
Ini adalah madzhab Ahlus-Sunnah
yang didasarkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sekarang, kita tinjau bagaimana
madzhab Syi’ah dalam menjatuhkan hukuman bagi pemerkosa.
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
عَنْ أَبِيهِ وَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ جَمِيعاً
عَنِ ابْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ بُرَيْدٍ الْعِجْلِيِّ قَالَ
سُئِلَ أَبُو جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) عَنْ رَجُلٍ اغْتَصَبَ امْرَأَةً فَرْجَهَا
قَالَ يُقْتَلُ مُحْصَناً كَانَ أَوْ غَيْرَ مُحْصَنٍ
‘Aliy
bin Ibraahiim, dari ayahnya dan Muhammad bin Yahyaa, dari Ahmad bin Muhammad;
keduanya dari Ibnu Mahbuub, dari Abu Ayyuub, dari Yaziid Al-‘Ijliy, ia berkata
: Abu Ja’far (‘alaihis-salaam) pernah ditanya tentang seseorang yang
memperkosa wanita. Ia berkata : “Dibunuh
baik yang statusnya muhshan ataupun yang bukan muhshan” [Al-Kaafiy,
7/189 no. 1; Al-Majlisiy berkata : “Shahih”].
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ جَمِيلٍ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ
أَحَدِهِمَا ( عليهما السلام ) فِي رَجُلٍ غَصَبَ امْرَأَةً نَفْسَهَا قَالَ
يُقْتَلُ
‘Aliy
bin Ibraahiim, dari ayahnya, dari Abu ‘Umair, dari Jamiil, dari Zuraarah, dari
salah seorang dari dua imam (‘alaihis-salaam) tentang seseorang memperkosa
wanita, maka ia berkata : “Dibunuh” [Al-Kaafiy, 7/189 no. 3; Al-Majlisiy
berkata : “Hasan”].
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ يُونُسَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ
اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ إِذَا كَابَرَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ عَلَى
نَفْسِهَا ضُرِبَ ضَرْبَةً بِالسَّيْفِ مَاتَ مِنْهَا أَوْ عَاشَ
‘Aliy
bin Ibraahiim, dari Muhammad bin ‘Iisaa, dari Yuunus, dari Abu Bashiir, dari
Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam), ia berkata : “Apabila seorang laki-laki
memaksa seorang wanita terhadap dirinya, maka ia ditebas dengan pedang terlepas
apakah ia mati ataukah hidup karenanya” [Al-Kaafiy, 7/189 no. 4;
Al-Majlisiy berkata : “Shahih”].
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ
أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنِ ابْنِ أَبِي نَجْرَانَ عَنْ جَمِيلِ
بْنِ دَرَّاجٍ وَ مُحَمَّدِ بْنِ حُمْرَانَ جَمِيعاً عَنْ زُرَارَةَ قَالَ قُلْتُ
لِأَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) الرَّجُلُ يَغْصِبُ الْمَرْأَةَ نَفْسَهَا قَالَ
يُقْتَلُ
Muhammad
bin Yahyaa, dari Ahmad bin Muhammad bin ‘Iisaa, dari Ibnu Abi Najraan, dari
Jamiil bin Darraaj dan Muhammad bin Humraan, keduanya dari Zuraarah, ia berkata
: Aku pernah bertanya kepada Abu Ja’far (‘alaihis-salaam) tentang
seorang laki-laki yang memperkosa diri seorang wanita. Ia menjawab : “Dibunuh” [Al-Kaafiy,
7/189 no. 5;
Al-Majlisiy berkata : “Shahih”].
Al-Mufiid berkata:
و من غصب امرأة على نفسها و
وطئها مكرها لها ضربت عنقه محصنا كان أو غير محصن
“Barangsiapa yang memaksa
seorang wanita dan memperkosanya, maka lehernya dipenggal baik statusnya muhshan
ataupun bukan muhshan” [Al-Muqni’ah, hal. 778].
Asy-Syariif
Al-Murtadlaa berkata:
مسألة: ومما انفردت به
الإمامية القول: بأن من غصب امرأة على نفسها ووطئها مكرها لها ضربت عنقه محصنا كان
أو غير محصن، وخالف باقي الفقهاء في ذلك.
دليلنا على صحة ما ذهبنا إليه إجماع الطائفة، وأيضا من المعلوم أن هذا الفعل أفحش وأشنع في الشريعة وأغلظ من الزنى مع الراضي فيجب أن يكون الحد فيه أغلظ وأزجر.
دليلنا على صحة ما ذهبنا إليه إجماع الطائفة، وأيضا من المعلوم أن هذا الفعل أفحش وأشنع في الشريعة وأغلظ من الزنى مع الراضي فيجب أن يكون الحد فيه أغلظ وأزجر.
“Permasalahan
: Dan termasuk di antara yang membedakan
sekte Imaamiyyah adalah adanya pendapat bahwa barangsiapa yang memaksa seorang
wanita dan memperkosanyam maka lehernya dipenggal baik statusnya muhshan atau
bukan muhshan. Sementara
itu, para fuqahaa lain (non-Syi’ah) menyelisihi mereka dalam perkara itu.
Dalil kami atas kebenaran
pendapat kami adalah ijmaa’ para
ulama (Syi’ah). Selain itu, termasuk diantara hal yang telah diketahui bahwa
perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang paling keji dan paling buruk dalam
syari’at, serta lebih parah daripada zina yang dilakukan atas dasar suka sama
suka. Maka wajib diterapkan hukuman yang paling keras padanya dan yang paling dapat memberikan
peringatan (bagi yang lain)” [Al-Intishaar, hal. 527].
Beberapa riwayat dan
perkataan ulama Syi’ah di atas didapatkan beberapa point sebagai berikut:
1.
Hukum bunuh terhadap pemerkosa menurut agama Syi’ah
tidak membedakan yang muhshan ataupun yang bukan muhshan, yaitu
dipenggal lehernya.
2.
Pendapat ini merupakan ciri khas agama Syi’ah
Imamiyyah (Raafidlah).
3.
Hukuman yang diberlakukan kepada pemerkosa ini tidak
mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana Ahlus-Sunnah. Tidak lebih ini
hanya mengacu pada riwayat sepihak yang berasal dari orang-orang Syi’ah.
Ini saja yang
dapat dituliskan. Semoga kita
menjadi lebih kenal dengan agama Syi’ah, karena seperti pepatah : ‘tak kenal
maka tak benci’.
[abul-jauzaa’ –
perumahan ciomas permai – 06 Ramadlaan 1436 – 22062015 – 20:33]
Comments
Itu kan riwayat tentang perkosaan, yg suka sama suka mana riwayatnya?
Posting Komentar