Telah dimaklumi bersama bahwa
sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ditinjau dari segi dzatnya
terdiri dari perkataan, perbuatan, dan persetujuan (taqriir) beliau [Syarh
Mukhtashar Ar-Raudlah 2/62 dan Mukhtashar Ibnul-Lahaam hal. 74]. Termasuk
padanya tulisan, isyarat, kehendak, dan juga apa yang ditinggalkan oleh beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam, karena semuanya ini masuk dalam perbuatan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam[1] [lihat :
Syarh Kaukabil-Muniir, 2/160-166].
At-Tark adalah ketiadaan perbuatan yang mampu untuk dilakukan
dengan disertai kesengajaan. Oleh karena itu, tidak dikatakan : ‘Fulaan
meninggalkan menciptakan langit’. Begitu
juga tidak dikatakan : ‘Orang yang tidur itu
telah meninggalkan makan
dan minum’. Maka, dengan
adanya faktor kemampuan dan kesengajaan dalam at-tark, di sini berputar
beberapa konsekuensi seperti pujian atau celaan, dan pahala atau dosa/hukuman.
Ada
beberapa bentuk/macam at-tark dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam:
1.
Sesuatu yang ditinggalkan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam karena faktor tabi’at atau adat/kebiasaan.
Contohnya
adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan memakan dlabb
(kadal gurun) karena hewan itu tidak ada di daerah kaum beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ، قَالَ:
" أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ،
فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ، فَقِيلَ لَهُ: إِنَّهُ ضَبٌّ، فَأَمْسَكَ يَدَهُ،
فَقَالَ خَالِدٌ: أَحَرَامٌ هُوَ؟ قَالَ: لَا، وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ بِأَرْضِ
قَوْمِي، فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ، فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
Dari
Khaalid bin Al-Waliid, ia berkata : “Pernah disuguhkan kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam daging dlabb panggang. (Ketika melihatnya), maka
beliau berselera untuk memakannya. Dikatakan kepada beliau : “Daging itu adalah
daging dlabb”. Maka, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun
menahan tangan beliau (tidak jadi mengambilnya ). Khaalid berkata : “Apakah ia
diharamkan ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Tidak,
akan tetapi hewan itu tidak ada di daerah kaumku, sehingga aku tidak
suka memakannya”. Lalu Khaalid pun memakan daging dlabb tersebut,
sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihatnya [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 5400].
Melakukan apa yang ditinggalkan oleh beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam diperbolehkan dan tidak ada tuntutan dalam hal ini untuk
mencontoh/meneladani beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara
ini.
2.
Sesuatu yang ditinggalkan khusus bagi Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, karena adanya dalil yang menunjukkan kekhususan ini.
Contohnya
adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan memakan bawang yang telah dimasak.
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ، أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَ إِلَيْهِ بِطَعَامٍ مِنْ
خَضِرَةٍ فِيهِ بَصَلٌ أَوْ كُرَّاثٌ، فَلَمْ يَرَ فِيهِ أَثَرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْكُلَ؟ "، فَقَالَ: لَمْ
أَرَ أَثَرَكَ فِيهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " أَسْتَحِي مِنْ مَلائِكَةِ اللَّهِ، وَلَيْسَ بِمُحَرَّمٍ "
Dari Abu Ayyuub Al-Anshaariy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah mengiriminya makanan dari sayuran yang di dalamnya
terdapat bawang merah atau bawang bakung, namun ia tidak melihat bekas
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (memakannya), sehingga ia
enggan untuk memakannya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepadanya : “Apa yang menghalangimu untuk memakannya ?”. Ia
menjawab : “Aku tidak melihat bekasmu padanya wahai Rasulullah”. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa
sallam bersabda : “Aku
malu kepada malaikat, namun makanan itu tidak haram” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Khuzaimah 3/85-86 no. 1670, Ibnu Hibbaan 5/445-446 no. 2092, dan
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 4/157 no. 3996; shahih].
Ibnu Khuzaimah menjelaskan bahwa hadits Abu Ayyuub ini
merupakan pengkhususan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
meninggalkan memakan bawang putih, bawang merang, dan bawang bakung yang telah
dimasak [Shahiih Ibni Khuzaimah, 3/85].
3.
Sesuatu yang ditinggalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam karena adanya faktor kemaslahatan syar’iy.
Contohnya adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam meninggalkan shalat tarawih berjama’ah di masjid karena rasa sayang
terhadap umatnya.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ
لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ
صَلَاةُ اللَّيْلِ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
“Amma ba’du,
sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu
iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir
(ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup
melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 882 dan Muslim no. 761].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimaullah menjelaskan:
فيه أن قيام رمضان
سنة من سنن النبي عليه السلام مندوب إليها مرغب فيها ولم يسن منها عمر إلا ما كان
رسول الله يحبه ويرضاه وما لم يمنعه من المواظبة عليه إلا أن يفرض على أمته وكان
بالمؤمنين رؤوفا رحيما صلى الله عليه و سلم فلما علم عمر ذلك من رسول الله وعلم أن
الفرائض في وقته لا يزاد فيها ولا ينقص منها أقامها للناس وأحياها وأمر بها وذلك
سنة أربع عشرة من الهجرة صدر خلافته
“Dalam hadits terdapat faedah bahwa shalat (tarawih)
di bulan Ramadlaan termasuk diantara sunnah-sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, disunnahkan dan dianjurkan untuk melakukannya. ‘Umar tidaklah
men-sunnah-kannya, karena perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang dicintai
dan diridlai oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sehingga
‘Umar sekedar menghidupkannya – Abul-Jauzaa’). Tidak ada halangan
bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk terus melakukannya,
kecuali karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya, sedangkan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam adalah orang yang sayang terhadap kaum mukminiin. Ketika
‘Umar mengetahui hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bahwa kewajiban-kewajiban di masanya tidak akan bertambah dan berkurang (karena
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah wafat – Abul-Jauzaa’),
maka ia (‘Umar) mendirikannya, menghidupkannya, dan memerintahkannya melakukan
shalat tarawih berjama’ah bersama orang-orang. Peristiwa itu terjadi tahun 14
hijriyyah di masa pemerintahannya” [Al-Istidzkaar, 1/62-63].
Contoh lain adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam meninggalkan untuk merobohkan Ka’bah dan membangunannya sesuai
dengan yang dibangun Ibraahiim ‘alaihis-salaam pertama kali, dalam
rangka ta’liiful-quluub penduduk Makkah yang baru saja terlepas dari
kekufuran.
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَهَا: " يَا عَائِشَةُ، لَوْ لَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ
بِجَاهِلِيَّةٍ، لَأَمَرْتُ بالبيت فَهُدِمَ، فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ
مِنْهُ وَأَلْزَقْتُهُ بِالْأَرْضِ، وَجَعَلْتُ لَهُ بَابَيْنِ بَابًا شَرْقِيًّا
وَبَابًا غَرْبِيًّا فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيمَ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa :
Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda
kepadanya : “Wahai ‘Aaisyah, seandainya bukanlah karena kaummu baru saja
lepas dari Jaahiliyyah, niscaya aku akan perintahkan merobohkan Ka’bah, lalu
aku masukkan ke dalamnya apa yang pernah dikeluarkan daripadanya, dan niscaya
aku akan tempelkan (pintunya) ke tanah, lalu aku buat pintu timur dan pintu
barat. Dengan begitu aku membangunnya di atas pondasi yang telah dibangun oleh
Ibraahiim ‘alaihis-salaam..…” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1586 dan Muslim
no. 1333].
Contoh lain adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam meninggalkan membunuh orang-orang munafik untuk menghindari dari
membuat lari orang-orang yang akan masuk Islam.
عَنْ جَابِرٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: ..... وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ
سَلُولَ: أَقَدْ تَدَاعَوْا عَلَيْنَا لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ
الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ، فَقَالَ عُمَرُ: أَلَا نَقْتُلُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ، هَذَا الْخَبِيثَ لِعَبْدِ اللَّهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أَنَّهُ كَانَ يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ "
Dari
Jaabir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “……..Dan 'Abdullah bin Ubay bin
Saluul berkata : ‘Apakah mereka (orang-orang Muhaajiriin) menantang kita ? Jika
kita sudah kembali ke Madiinah,
pasti kelompok yang kuat akan mengusir kelompok yang lemah dari Madinah’. ‘Umar berkata : ‘Wahai Rasulullah,
mengapa tidak kita bunuh saja orang jahat ini ?’ - maksudnya : ’Abdullah (bin
’Ubay bin Saluul) - . Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
’Jangan sampai orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh shahabatnya sendiri” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3518].
Contoh lain adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam meninggalkan untuk menyalatkan jenazah orang yang bunuh diri, memiliki
tanggungan hutang, dan melakukan perbuatan ghuluul sebagai hukuman dan tarhiib
(upaya menakuti) atas perbuatan mereka, dan juga peringatan kepada umat agar
menjauhi perbuatan yang mereka lakukan.
عَنْ جَابِرِ بْنِ
سَمُرَةَ، قَالَ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ
قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Dari
Jaabir bin Samurah, ia berkata : “Pernah didatangkan kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam jenazah seorang laki-laki yang bunuh diri dengan tombak,
namun beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkannya”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 978].
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ
الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ ؟
قَالُوا: لَا، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ:
هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ،
قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ
Dari
Salamah bin Al-Akwa’ radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya pernah
didatangkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jenazah untuk
dishalatkan. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya : "Apakah ia mempunyai hutang?". Mereka berkata : "Tidak". Maka beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam pun menyalatkannya. Kemudian didatangkan lagi jenazah
lain. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallan bertanya : "Apakah orang ini punya
hutang?".
Mereka menjawab :
"Ya". Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: "Shalatilah saudaramu ini".
Abu Qataadah berkata : "Aku yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah".
Maka beliau shallallaahu
'alaihi wa sallam menyalatkannya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2295].
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ،
قال: مَاتَ رَجُلٌ بِخَيْبَرَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ إِنَّهُ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ "، فَفَتَّشْنَا
مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا فِيهِ خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ مَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ
Dari Zaid bin Khaalid, ia berkata :
“Seseorang meninggal di Khaibar. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Shalatilah shahabat kalian ini. Sesungguhnya ia telah
berbuat ghuluul di jalan Allah”.[2]
Maka kami pun memeriksa perbekalan yang ia bawa dan kami dapati padanya batu
mulia dari perhiasan orang-orang Yahudi yang tidak mencapai dua dirham
[Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1959; dilemahkan oleh Al-Albaaniy dalam Dla’iif
Sunan An-Nasaa’iy hal. 66-67, namun dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam
takhriij Sunan Abi Daawud 4/344].
Masyru’ tidaknya mencontoh perbuatan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tergantung pada keberadaan ‘illat dan/atau
pertimbangan maslahat-mafsadat (syar’iy) yang ada.
4.
Sesuatu yang
ditinggalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena ketiadaan
kemampuan atau ketiadaan kemungkinan untuk melakukannya.
Contohnya
adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan
permasalahan-permasalahan yang muncul sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, seperti memerangi orang-orang yang mengingkari kewajiban zakat
dan tidak menunaikannya yang baru muncul di jaman Abu Bakr radliyallaahu
‘anhu. Seandainya perkara
itu muncul di jaman beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, pasti beliau
akan melakukan seperti yang dilakukan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu.
Bagian ini bukan merupakan at-tark secara
istilah yang dimaksudkan dalam bahasan ini sebagaimana disinggung di awal.
5.
Sesuatu yang ditinggalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam sebagai penjelasan atau pensyari’atan (tasyrii’iy)
terhadap umatnya secara umum.
Contohnya
adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan adzan dan
iqamat dalam shalat ‘Iedain, meninggalkan shalat tahiyyatul-masjid berjama’ah,
dan meninggalkan perayaan Maulid Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Bagian
inilah yang merupakan sunnah tarkiyyah yang mengandung tuntutan untuk
melakukannya, yaitu meninggalkan apa yang ditinggalkan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam apabila :
a.
terdapat sebab yang
menuntut dilakukannya perbuatan tersebut di jaman beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam,
dan
b.
tidak adanya penghalang
untuk melakukan perbuatan tersebut di jaman beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
Maka,
sunnah tarkiyyah ini adalah sesuatu yang ditinggalkan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam untuk melakukannya bersamaan dengan adanya faktor
pendorong dan ketiadaan penghalang untuk melakukannya, sebagai penjelasan atau
pensyari’atan kepada umatnya.
Sunnah tarkiyyah dapat diketahui melalui:
a.
Adanya nash yang jelas dari shahabat radliyallaahu
‘anhum yang menegaskan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
melakukan demikian dan demikian, atau meninggalkan demikian dan demikian.
Contohnya:
عَنْ جَابِرِ بْنِ
سَمُرَةَ، قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
Dari
Jaabir bin Samurah, ia berkata : “Aku pernah shalat ‘Iedain bersama Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam beberapa kali tanpa adzan dan iqamat” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 887].
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعِيدَ
بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
Dari
Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
melakukan shalat ‘Ied tanpa adzan dan iqamat [Diriwayatkan oleh Abu
Daawud no. 1147; shahih].
عَنْ ابْن عُمَرَ:
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ عَلَى
الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَيُوتِرُ عَلَيْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ
لَا يُصَلِّي عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ
Dari
Ibnu ‘Umar : Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat
sunnah di atas kendaraannya ke arah mana saja menghadap dan juga melakukan
shalat witir di atasnya. Hanya saja beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
melaksanakan yang demikian itu untuk shalat wajib” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1098 dan
Muslim no. 700].
b.
Berkumpulnya qarinah-qarinah yang menunjukkan
bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara teratur/rutin
meninggalkan perbuatan tersebut.
Seandainya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya,
niscaya para shahabat akan menukilnya, karena mereka adalah kaum yang sangat
bersemangat dalam menukil dan menyampaikan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. Dengan ketiadaan penukilan dan pembicaraan di kalangan shahabat
tentang perbuatan tersebut menunjukkan perbuatan tersebut memang tidak pernah
ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Contohnya adalah melafadhkan niat ketika hendak shalat.
Amalan shalat adalah diantara amalan mutawatir dari beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam, namun tidak ternukil sedikitpun dari para shahabat bahwa
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya.
[bagian kelima ini yang menjadi pokok bahasan
selanjutnya dalam tulisan]
Dalam sunnah
tarkiyyah ini, apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan
suatu perkara, maka hal tersebut perlu diteladani dan diikuti,
karena sesuatu yang beliau
tinggalkan termasuk bagian dari sunnah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 21].
Ibnun-Najaar rahimahullah
berkata:
إذا
نقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه ترك كذا كان أيضاً من السنة الفعلية
“Apabila dinukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bahwasannya beliau meninggalkannya, maka hal itu juga termasuk sunnah
fi’liyyah” [Syarh Kaukabil-Muniir, 2/165].
As-Sam’aaniy rahimahullah
berkata:
إذا
ترك النبي صلى الله عليه وسلم شيئاً من الأشياء وجب علينا متابعته فيه
“Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam meninggalkan suatu perkara, maka wajib bagi kita untuk mengikuti
beliau dalam hal tersebut” [Qawaathi’ul-Adillah, 2/190].
Kewajiban
mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam at-tark tidaklah
dalam kemutlakannya, akan tetapi mesti memenuhi dua persyaratan,
yaitu adanya sebab yang menuntut dilakukannya
perbuatan yang ditinggalkan tersebut di jaman beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam,
dan tidak adanya penghalang untuk
melakukan perbuatan yang ditinggalkan tersebut di jaman beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam –
sebagaimana telah disebutkan.
Perbuatan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang meninggalkan suatu perkara, menunjukkan adanya pensyari’atan untuk
meninggalkan perkara tersebut,
dan minimal menunjukkan perkara tersebut hukumnya tidak wajib untuk dilakukan –
sebagaimana perkara yang dilakukan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam minimal menunjukkan perkara tersebut hukumnya tidak haram dilakukan
[lihat : Miftaahul-Wushuul oleh At-Tilmisaaniy, hal. 580].
Apalagi diperkuat jika salaf (para
shahabat, taabi’iin, dan atbaa’ut-taabi’iin) sepakat meninggalkan
perbuatan tersebut.
Oleh karena itu, suatu perbuatan yang Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, para shahabat, taabi’iin, dan atbaa’ut-taabi’iin
sepakat untuk meninggalkannya, tidak pernah menukilnya, tidak pernah
menuliskannya dalam kitab-kitab mereka, tidak pernah menyinggungnya dalam
majelis-majelis mereka, maka perbuatan tersebut berstatus bid’ah (jika
dilakukan) dengan syarat : faktor yang mendorong dilakukannya perbuatan
tersebut ada dan faktor penghalangnya tidak ada.
Diantara contoh perkataan para ulama yang
menegaskan kaedah ini antara lain adalah Al-‘Izz bin ‘Abdis-Salaam rahimahullah
saat membicarakan bid’ahnya shalat raghaaib:
ومما
يدل على ابتداع هذه الصلاة أن العلماء الذين هم أعلام الدين وأئمة المسلمين من
الصحابة والتابعين وتابعي التابعين وغيرهم ممن دوَّن الكتب في الشريعة مع شدة
حرصهم على تعليم الناس الفرائض والسنن لم ينقل عن أحد منهم أنه ذكر هذه الصلاة ،
ولا دوَّنها في كتابة ، ولا تعرَّض لها في مجالسه .
والعادة
تحيل أن تكون مثل هذه سنة وتغيب عن هؤلاء الذين هم أعلام الدين وقدوة المؤمنين ،
وهم الذين إليهم الرجوع في جميع الأحكام من الفرائض والسنن والحلال والحرام
“Dan yang termasuk yang menunjukkan bid’ahnya
shalat ini bahwasannya para ulama yang notabene termasuk orang-orang yang
paling mengetahui tentang agama dari kalangan shahabat, taabi’iin, taabi’ut-taabi’iin,
dan ulama lainnya yang menyusun kitab-kitab dalam syari’at ini – dengan besarnya
semangat mereka dalam mengajarkan manusia tentang hal-hal yang fardlu dan
sunnah – , tidak pernah ternukil dari salah seorang pun dari mereka yang menyebutkan
shalat ini, tidak pernah menuliskannya dalam kitab-kitab mereka, dan tidak pula
menyinggungnya dalam majelis-majelis mereka.
Adat kebiasaan menganggap mustahil hal ini menjadi sunnah serta
tidak diketahui oleh mereka yang merupakan orang-orang yang paling mengerti
akan agama dan teladan bagi kaum mukminiin. Mereka adalah tempat rujukan bagi
seluruh hukum-hukum agama baik yang fardlu, sunnah, halal, dan haram” [At-Targhiib
‘an Shalaatir-Raghaaib Al-Maudluu’ah hal. 9. Lihat pula Al-Baa’its,
hal. 47].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata tentang maulid nabi:
فإن
هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه ، ولو كان هذا خيرًا محضًا
أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنه أحق به منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله
صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم على الخير أحرص . وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته
وإتباع أمره ، وإحياء سنته باطنًا وظاهرًا ، ونشر ما بعُث به ، والجهاد على ذلك
بالقلب واليد واللسان . فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار
والذين اتبعوهم بإحسان
”Sesungguhnya ini (perayaan maulid)
tidak pernah dilakukan oleh salaf, padahal faktor pendorongnya ada, sedangkan
faktor penghalangnya tidak ada. Seandainya ini murni baik atau kuat, tentu
salaf lebih berhak (melakukan hal ini) daripada kita; karena sesungguhnya
kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa
sallam lebih dari yang kita lakukan dan mereka sangat bersemangat dalam
segala kebaikan. Sempurnanya kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya
terdapat pada kesetiaan mengikuti jejaknya, menaatinya, melaksanakan
perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir dan batin, menjelaskan ajarannya,
serta berjihad demi semua itu dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan yang
ditempuh oleh para pendahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan” [Iqtidlaa’ Shirathil-Musthaqiim, 2/615].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وأما
أهل السنة والجماعة فيقولون في كل فعل وقول لم يثبت عن الصحابة: هو بدعة؛ لأنه لو
كان خيرا لسبقونا إليه، لأنهم لم يتركوا خصلة من خصال الخير إلا وقد بادروا إليها
“Adapun Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mengatakan
bahwa setiap perbuatan dan ucapan yang tidak berasal dari shahabat, maka
statusnya bid’ah. Seandainya hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu
melakukannya daripada kita, karena mereka tidak pernah meninggalkan satu kebaikan
pun, kecuali mereka telah lebih dahulu melakukannya” [Tafsiir Ibni Katsiir,
7/278-279].
Muhammad bin
Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahumallah berkata:
كل
من تكلم بكلام في الدين أو في شيء من هذه الأهواء ليس له فيه إمام متقدم من النبي صلى
الله عليه وسلم وأصحابه فقد أحدث في الإسلام حدثًا
“Setiap orang mengatakan satu perkataan
dalam perkara agama atau sesuatu dari urusan hawa nafsu yang tidak memiliki
imam pendahulunya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabat, sungguh ia telah membuat-buat perkara baru dalam Islam” [Shaunul-Manthiq
wal-Kalaam, hal. 150].
Taqiyyuddiin
As-Subkiy rahimahullah pernah ditanya tentang sebagian perkara bid’ah,
ia berkata:
الحمد
لله ، هذه بدعة لا يشك فيها أحد ، ولا يرتاب في ذلك ، ويكفي أنها لم تُعرف في زمن
النبي صلى الله عليه وسلم ، ولا في زمن أصحابه ، ولا عن أحد من علماء السلف
“Segala puji
bagi Allah, ini adalah bid’ah, tidak seorang pun ragu dan bimbang akan hal itu.
Dan cukuplah bahwasannya hal itu tidak pernah diketahui di jaman Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, tidak di jaman para shahabatnya, dan tidak pula seorang
pun dari ulama salaf” [Fataawaa As-Subkiy, 2/549].
As-Suyuuthiy rahimahullah
menukil perkataan Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhu:
كل
عبادة لم يتعبد بها أصحاب رسول الله فلا تتعبدوا بها؛ فإن الأول لم يدع للآخر
مقالاً؛ فاتقوا الله يا معشر القراء، خذوا طريق من كان قبلكم
“Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan
para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan
engkau lakukan, karena generasi awal tidaklah menyisakan satu perkataan pun
bagi generasi berikutnya. Bertaqwalah
wahai orang-orang yang rajin beribadah, ambillah jalan orang-orang sebelum
kalian” [Al-Amru bil-Ittibaa’, hal. 62].
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ لا يُصَلِّي الضُّحَى،
حَتَّى أَدْخَلَنَاهُ عَلَى أُمِّ هَانِئٍ، فَقُلْتُ لَهَا: أَخْبِرِي ابْنَ
عَبَّاسٍ بِمَا أَخْبَرْتِينَا بِهِ، فَقَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ: " دَخَلَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي،
فَصَلَّى صَلاةَ الضُّحَى ثَمَانِ رَكَعَاتٍ، فَخَرَجَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ
يَقُولُ: لَقَدْ قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ، فَمَا عَرَفْتُ صَلاةَ
الإِشْرَاقِ إِلا السَّاعَةَ، يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالإِشْرَاقِ، ثُمَّ
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: هَذِهِ صَلاةُ الإِشْرَاقِ "
Dari ‘Abdullah bin Al-Haarits : Bahwasannya
Ibnu ‘Abbaas dulu tidak mengerjakan shalat Dluhaa, hingga kami mempertemukannya
dengan Ummu Haani’. Aku berkata kepadanya : “Khabarkanlah kepada Ibnu ‘Abbaas
dengan apa yang telah engkau khabarkan kepada kami”. Kemudian Ummu Haani’
berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam pernah
masuk ke rumahku, lalu beliau mengerjakan shalat Dluhaa sebanyak 8 raka’at”.
Kemudian Ibnu ‘Abbaas keluar seraya berkata : “Sungguh, aku telah membaca mushhaf,
dan aku tidaklah mengetahui shalat isyraaq kecuali saat ini. (Allah ta’ala berfirman : ) ‘untuk bertasbih
di waktu petang dan pagi (isyraaq)’ (QS. Shaad: 18)”. Kemudian Ibnu
‘Abbaas berkata : Ini adalah shalat isyraaq” [Diriwayatkan oleh
Al-Haakim 4/53].
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa meninggalkan shalat Dluhaa karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam meninggalkannya juga (= tidak mengerjakannya). Setelah tahu beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengerjakannya, maka ia baru mengerjakannya.
عَنْ
نَافِعٍ، أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ
وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا، أَنْ نَقُولَ: " الْحَمْدُ
لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
Dari Naafi’ :
Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu,
lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala
puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata :
“Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan
tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajari kami untuk mengatakan : “Alhamdulillah
‘alaa kulli haal” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2738; dihasankan oleh
Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/93-94].
Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa mengingkari dan menyuruh orang meninggalkan bacaan shalawat ketika
bersin karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dan para shahabatnya. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa meninggalkan
apa yang ditinggalkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Syari’at Islam
telah sempurna. Segala kebaikan telah diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, tidak ada yang tersisa. Apa yang tidak menjadi bagian
dari agama waktu itu (di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
para shahabatnya), maka tidak pula menjadi bagian dari agama di waktu sekarang.
Allah ta’ala
berfirman:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai
Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا
طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا،
قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ
الْجَنَّةِ، وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Dari Abu Dzarr, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam meninggalkan kami dalam keadaan tudak ada burung yang
mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan kepada
kami ilmu tentangnya. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: ‘Tidak tersisa sesuatupun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari
neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian” [Diriwayatkan oleh
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 2/155-156 no. 1647; sanadnya shahih].
عَنِ
الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Irbaadl
bin Saariyyah : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
: “Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan
taat meskipun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Siapa saja yang
hidup di antara kalian sepeninggalku nanti, akan menjumpai banyak perselisihan.
Wajib atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah dan sunnah para
khalifah yang mendapatkan hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya
dan gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham. Waspadailah kalian terhadap
hal-hal yang baru, karena setiap hal-hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih].
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara agama kami yang
tidak ada di dalamnya, maka tertolak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
2697 dan Muslim no. 1718].
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Barangsiapa yang beramal dengan satu amalan yang tidak ada
keterangannya dari kami, maka tertolak” [Diriwayatkan oleh Muslim no.
1718].
قال
ابن الماجشون سمعت مالكا يقول من ابتدع في الاسلام بدعه يراها حسنه فقد زعم ان محمدا
( صلى الله عليه وسلم ) خان الرسالة لان الله يقول ( اليوم أكملت لكم دينكم ) فما لم
يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا
Ibnul-Maajisyuun berkata : Aku mendengar
Maalik (bin Anas) berkata : “Barangsiapa yang berbuat bid’ah dalam Islam lantas
memandangnya sebagian kebaikan, sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah, Hal itu dikarenakan Allah ta’ala
telah berfirman : ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu’
(QS. Al-Maaidah : 3). Maka apa saja yang bukan merupakan perkara agama pada
waktu itu (yaitu jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabat), maka itu juga bukan perkara agama pada hari ini” [Al-I’tishaam,
1/49].
Perkara bid’ah
timbul karena melakukan apa yang dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dan para shahabat meninggalkannya.
Semoga artikel
singkat ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ –
perumahan ciomas permai – 19052015 – 00:34 – mengambil faedah dari buku Qawaa’idu
Ma’rifatil-Bida’ dan Sunnatut-Tark, keduanya tulisan Dr. Muhammad
bin Husain Al-Jizaaniy hafidhahullah].
كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا
كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Mereka satu
sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu” [QS. Al-Maaidah : 79].
Allah ta’ala telah menamakan ketiadaan melarang
perbuatan kemungkaran sebagai ‘satu perbuatan’ dan mencela perbuatan ini dengan
firman-Nya : ‘Sesungguhnya amat buruklah apa
yang selalu mereka perbuat itu’.
Dalil lain adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin
lainnya selamat dari (keburukan) lisan dan tangannya” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 10 & 6484 dan Muslim no. 41].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menamakan
‘meninggalkan suatu gangguan’ dengan Islam menunjukkan at-tark merupakan
bentuk ‘perbuatan’.
ما نعلم أن النبي صلى الله عليه وسلم ترك الصلاة على أحد
إلا على الغال وقاتل نفسه
“Kami tidak mengetahui bahwa Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam meninggalkan untuk menyalati seseorang kecuali orang yang
berbuat ghuluul dan bunuh diri” [Al-Kabaair, hal. 56].
Comments
alhamdulillah. Artikel yang sangat bagus
Alhamdulillah
Posting Komentar