Istighfaar


Definisi
Kata al-istighfaar (الاستغفار) merupakan mashdar dari إِسْتَغْفَرَ - يَسْتَغْفِرُ. Akar katanya ghafara (غَفَرَ) yang menunjukkan arti menutupi/as-satr (اَلسَّتْرُ), sehingga kata al-ghafru (الْغَفْرُ) maknanya adalah as-satru (اَلسَّتْرُ). Kata al-ghafru dan al-ghufraan maknanya satu. Dikatakan : غَفَرَ اللهُ ذَنْبَهُ غُفْراً وَمَغْفِراةً وَغُفْرَاناً.
Ar-Raaghib rahimahullah berkata : “Al-ghafru adalah memakaikan sesuatu yang melindunginya dari kotoran. Dan darinya dikatakan : اغفر ثوبك في الدعاء (tutupilah pakaianmu saat berdoa)’. Al-ghufraan dan al-maghfirah berasal dari Allah, maknanya adalah : Ia melindungi seorang hamba dari tersentuh ‘adzab. Adapun al-istighfaar (الْاسْتِغْفَارُ) maknanya memohon hal tersebut dengan perkataan dan perbuatan”.
Al-Ghafuur, Al-Ghaffaar, dan Al-Ghaafir adalah termasuk nama-nama Allah yang indah, yang mempunyai makna : Yang menutupi dosa-dosa hamba-Nya, Yang mengampuni kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa mereka.
Al-Ghazzaaliy rahimahullah berkata :
الغفار هو الذي أظهر الجميل وستر القبيح، والذنوب من جملة القبائح التي سترها بإسبال الستر عليها في الدنيا، والتجاوز عن عقوبتها في الآخرة
Al-Ghaffaar adalah Dzat Yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan. Dosa termasuk bagian dari keburukan yang Allah tutupi dengan cara menjulurkan tirai penutup terhadapnya di dunia, serta tidak memberikan hukuman di akhirat”.
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata:
الغفّار هو الذي يغفر ذنوب عباده مرة بعد مرة كلما تكررت التوبة من الذنب تكررت المغفرة، فالغفّار الساتر لذنوب عباده المسدل عليهم ثوب عطفه ورأفته؛ فلا يكشف أمر العبد لخلقه ولا يهتك ستره بالعقوبة التي تشهره في عيونهم.
 “Al-Ghaffaar adalah Dzat yang senantiasa mengampuni dosa-dosa hamba-Nya. Setiap kali ia bertaubat dari dosa-dosa yang dilakukan, setiap kali itu pula ampunan diberikan. Al-Ghaffaar adalah Yang menutupi dosa-dosa hamba-Nya, yang melabuhkan pakaian iba dan belas kasih terhadapnya, sehingga Ia tidak menyingkap dosa/kesalahan hamba-Nya kepada makhluk-Nya dan tidak merobek tirai-Nya dengan hukuman yang akan membuka aibnya pada pandangan mereka”.
Hakekat dan Sebab-Sebab Istighfaar
Seseorang tidaklah terbebas dari kesalahan dan dosa sebagaimana tabiatnya sebagai manusia. Selain itu, musuhnya pun banyak; diantaranya adalah nafsu yang ada dalam dirinya yang kemudian menghiasi dan memerintahkannya melakukan kejelekan. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku” [QS. Yuusuf : 53].
Diantara musuhnya adalah setan, musuh besarnya, yang tinggal dalam diri manusia yang akan senantiasa mendorongnya masuk ke jalan-jalan kebinasaan. Diantara musuhnya juga adalah hawa nafsu yang akan menghalanginya dari jalan Allah. Diantara juga dunia dengan segala macam tipuan dan keindahan semunya. Maka, orang yang ma’shuum (terpelihara) adalah orang yang Allah pelihara dari semua hal tersebut, yang melarangmu dari kelalaian, serta futuur (kelemahan) dan kurang dalam ketaatan terhadap Allah dan melaksanakan semua perintah-Nya. Oleh karena itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam - sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu - pernah bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ، وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan wafatkan kalian dan digantikan dengan kaum lain yang berbuat dosa, lalu mereka meminta ampunan kepada Allah dan Allah pun memberikan ampunan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2749].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Setiap anak Adam banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat salah adalah orang-orang yang banyak bertaubat” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/198, At-Tirmidziy no. 2499, Ibnu Maajah no. 4251, dan lain-lain; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/604].
Akan tetapi di sini ada satu permasalahan penting yang harus diperhatikan. Banyak orang yang meyakini bahwa istighfaar itu cukup diucapkan di lisan saja. Diantara mereka ada yang berkata : “astaghfirullaah......” ; namun ternyata kalimat ini tidak memberikan pengaruh di dalam hatinya, sebagaimana hal itu juga tidak memberikan pengaruh pada amalan anggota badannya. Istighfaar semacam ini hakekatnya merupakan perbuatan para pendusta.
Fudlail bin ‘Iyaadl rahimahullah berkata:
استغفار بلا إقلاع عن الذنب توبة الكذابين
Istighfaar tanpa disertai meninggalkan dosa adalah taubat para pendusta”.[1]
Seorang yang shaalih pernah berkata:
استغفارنا يحتاج إلى استغفار
Istighfaar kita membutuhkan istighfaar”.
Maksudnya : Barangsiapa yang ber-istighfaar (memohon ampun) kepada Allah namun tidak meninggalkan perbuatan maksiat, maka istighfaar-nya membutuhkan istighfaar. Hendaknya kita memperhatikan hakekat istighfaar kita agar kita tidak termasuk golongan para pendusta yang ber-istighfaar dengan lisan-lisan mereka, namun tetap melakukan maksiat.
Istighfaar adalah Kekhususan Orang-Orang Mukmin
Ketika Ibraahiim ‘alaihis-salaam membantah ayahnya dan mengajaknya kepada ketauhidan, maka ayahnya meresponnya dengan seburuk-buruk respon, diantaranya adalah seperti perkataan yang difirmankan Allah ta’ala:
لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لأرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا
“Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama” [QS. Maryam : 46].
Perkataan di atas diucapkan setelah mendapatkan berbagai perkataan lembut dari Ibraahiim ‘alaihis-salaam.
Ketika ayahnya meresponnya dengan perkataan: ‘niscaya kamu akan kurajam’, Ibraahiim ‘alaihis-salaam tidak lantas membalasnya dengan perkataan buruk atau yang sejenisnya; akan tetapi yang muncul pertama kali dalam benaknya adalah memohonkan ampunan baginya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
قَالَ سَلامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
Berkata Ibraahiim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku” [QS. Maryam : 47].
Artinya, istighfaar adalah sesuatu yang pertama kali ada dalam pikiran Ibraahiim ‘alaihis-salaam, dimana istighfaar ini dilakukan karena besarnya harapan Ibraahiim agar ayahnya mendapatkan hidayah (dari Allah). Allah ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ
Dan permintaan ampun dari Ibraahiim (kepada Allah) untuk ayahnya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada ayahnya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibraahiim bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah, maka Ibraahiim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibraahiim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun” [QS. At-Taubah : 114].
Dari kasus di atas dapat dipetik pelajaran tidak diperbolehkannya memintakan ampun bagi orang musyrik, karena istighfaar adalah kekhususan bagi orang-orang mukmin. Hal tersebut dipertegas lagi dengan firman Allah ta’ala:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي
Sesungguhnya aku telah memohon izin Rabb-ku untuk memintakan ampun bagi ibuku, namun Ia tidak mengizinkanku. Dan aku memohon izin untuk menziarahi kuburnya, lalu Ia mengizinkanku” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 976, Abu Daawud no. 3234, An-Naasa’iy no. 2034, Ibnu Maajah no. 1572, dan yang lainnya].
Dalam Shahiih Al-Bukhaariy, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari ayahnya :
أَنَّ أَبَا طَالِبٍ لَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ دَخَلَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ أَبُو جَهْلٍ، فَقَالَ: " أَيْ عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ "، فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ: يَا أَبَا طَالِبٍ تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَالَا يُكَلِّمَانِهِ حَتَّى قَالَ: آخِرَ شَيْءٍ كَلَّمَهُمْ بِهِ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ "، فَنَزَلَتْ مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ، وَنَزَلَتْ إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ "
Bahwasannya ketika Abu Thaalib hampir meninggal, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya dan beliau mendapati Abu Jahl ada di sisinya (Abu Thaalib). Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah; satu kalimat yang aku dapat berhujjah membelamu kelak di sisi Allah”. Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata : “Wahai Abu Thaalib, apakah engkau membenci agama ‘Abdul-Muthallib ?”. Mereka berdua senantiasa mengulanginya hingga akhir perkataan Abu Thaalib saat kematiannya kepada mereka adalah : di atas agama ‘Abdul-Muthallib. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh aku akan memintakan ampun kepadamu selama tidak dilarang”. Maka Allah menurunkan ayat : ‘Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam’ (QS. At-Taubah : 113). Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Thaalib. Dan juga turun ayat : “Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai’ (QS. Al-Qashshash : 56)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3884 & 4675 dan Muslim no. 24].
Ketika berbicara tentang orang-orang munafik, kita membaca ayat:
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik” [QS. At-Taubah : 80].
Selain ayat di atas, kita juga membaca hadits dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu – sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy - , yaitu ketika ia (Ibnu ‘Umar) berkata:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ لَمَّا تُوُفِّيَ جَاءَ ابْنُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْطِنِي قَمِيصَكَ أُكَفِّنْهُ فِيهِ وَصَلِّ عَلَيْهِ وَاسْتَغْفِرْ لَهُ، فَأَعْطَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَمِيصَهُ، فَقَالَ: آذِنِّي أُصَلِّي عَلَيْهِ فَآذَنَهُ، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ جَذَبَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: أَلَيْسَ اللَّهُ نَهَاكَ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ، فَقَالَ: أَنَا بَيْنَ خِيَرَتَيْنِ، قَالَ الله تعالى: اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، فَنَزَلَتْ: وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا "
Bahwasannya ketika ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul meninggal, anaknya datang menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, lalu berkata : “Wahai Rasulullah, berikanlah bajumu kepadaku yang akan aku pergunakan untuk mengafaninya, shalatlah untuknya, serta mohonkanlah ampunan baginya”. Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memberikan bajunya kepadanya lalu bersabda : “Izinkanlah aku untuk menshalatkannya”. Lalu ia pun mengizinkan beliau. Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak menshalatkannya, tiba-tiba 'Umar radliyallaahu ‘anhu menarik beliau seraya berkata: “Bukankah Allah telah melarangmu untuk menshalatkan orang-orang munafik?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku berada diantara pada dua pilihan. Allah ta’ala berfirman : ‘Kamu mohonkan ampun buat mereka atau kamu tidak mohonkan ampun buat mereka (sama saja bagi mereka). Sekalipun kamu memohonkan ampun buat mereka sebanyak tujuh puluh kali, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni mereka(QS. At-Taubah : 80). Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menshalatkannya. Lalu turunlah ayat : ‘Janganlah kamu shalatkan seorangpun yang mati dari mereka selamanya’ (QS. At-Taubah : 84)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1269].
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan : Sesungguhnya istighfaar adalah ciri yang telah Allah ta’ala jadikan untuk orang-orang mukmin, sebagai satu kekhususan mereka, tidak untuk selain mereka. Allah memilih mereka (orang-orang mukin) untuknya (istighfaar), dan juga sebaliknya, memilihnya untuk mereka. Jika perkaranya seperti itu, bukankah sudah sepantasnya bagi kita untuk senantiasa menjaga nikmat ini dan mengembangkannya untuk sesuatu yang bermanfaat bagi agama dan dunia kita?.
Sebaliknya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memohonkan ampun bagi saudara-saudaranya dari kalangan orang-orang mukmin. Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
نَعَى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّجَاشِيَّ صَاحِبَ الْحَبَشَةِ يَوْمَ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، فَقَالَ: اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami tentang meninggalnya An-Najaasyiy, raja negeri Habasyah, pada hari kematiannya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Mohonkanlah ampun untuk saudara kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1328 & 3880 dan Muslim no. 951].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memohonkan ampun kepada orang yang mencukur (gundul) kepalanya saat haji sebanyak tiga kali, dan kepada orang yang memendekkannya sebanyak satu kali. Nash-nash dalam permasalahan tersebut sangatlah banyak.
Bahkan untuk anak-anak sekalipun, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memintakan ampun untuknya, sebagaimana hadits Abu Iyaas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
جَاءَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ غُلَامٌ صَغِيرٌ، فَمَسَحَ رَأْسَهُ، وَاسْتَغْفَرَ لَهُ
“Ayahku mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana ia (Abu Iyaas) waktu masih kecil. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dan memohonkan ampun untuknya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/19; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk.].
Perkataan-Perkataan Salaf tentang Istighfaar
Abu Muusaa radliyallaahu ‘anhu berkata:
كان لنا أمانان من العذاب ذهب أحدهما - وهو كون الرسول صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فينا، وبقي الاستغفار معنا فإن ذهب هلكنا
“Dulu kami memiliki dua pelindung dari turunnya ‘adzab. Salah satu diantaranya telah pergi, yaitu keberadaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di antara kami; dan yang lain masih bersama kami, yaitu istighfaar. Seandainya istighfaar itu pun pergi, niscaya kami binasa” [At-Taubah ilallah oleh Al-Ghazzaaliy].
Ar-Rabii’ bin Khutsaim berkata:
تضرعوا إلى ربكم وادعوه في الرخاء؛ فإن الله قال: من دعاني في الرخاء أجبته في الشدة، ومن سألني أعطيته، ومن تواضع لي رفعته، ومن تفرغ لي رحمته، ومن استغفرني غفرت له
“Merendah-dirilah kepada Rabb kalian. Berdoalah di waktu lapang, karena Allah berfirman : ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku di waktu lapang, niscaya akan Aku kabulkan doanya di waktu susah. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya akan Aku beri. Barangsiapa yang merendahkan diri kepada-Ku, niscaya akan Aku angkat derajatnya. Barangsiapa mencurahkan tenaganya untuk-Ku, niscaya akan Aku rahmati ia. Barangsiapa memohon ampunan kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan ampunan kepadanya” [Minhajush-Shaalihiin, hal. 951].
Sahl rahimahullah pernah ditanya tentang istighfaar yang dapat menghapus dosa-dosa. Maka ia menjawab:
أول الاستغفار الاستجابة، ثم الإنابة، ثم التوبة؛ فالاستجابة أعمال الجوارح، والإنابة أعمال القلوب، والتوبة إقباله على مولاه بأن يترك الخلق، ثم يستغفر الله من تقصيره الذي فيه
“Awal dari istighfaar adalah istijaabah (menjawab panggilan Allah), lalu inaabah (kembali kepada Allah), lalu taubat. Istijaabah adalah amalan anggota badan; inaabah adalah amalan hati; serta taubat adalah kembali kepada Maulanya (yaitu Allah) dengan meninggalkan makhluk, lalu ia ber-istighfaar (memohon ampun) kepada Allah atas kelalaiannya dalam menjalan ketaatan kepada-Nya” [At-Taubah ilallaah oleh Al-Ghazzaaliy].
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata:
إن إبليس قال: أهلكت بني آدم بالذنوب وأهلكوني بالاستغفار وبـ لا إله إلا الله فلما رأيت منهم ذلك ثبتّ فيهم الأهواء فهم يذنبون ولا يستغفرون لأنه يحسبون أنهم يحسنون صنعاً
“Sesungguhnya Iblis berkata : Aku membinasakan anak-cucu Adam dengan dosa-dosa, sedangkan mereka membinasakanku dengan istighfaar dan dengan kalimat Laa ilaha illallaah (tidak ada ilah/tuhan yang berhak untuk diibadahi melainkan Allah). Maka ketika aku melihat hal itu ada pada diri mereka, aku tanamkan hawa nafsu kepada mereka. Mereka berbuat dosa namun tidak ber-istighfaar, karena mereka menyangka telah berbuat baik sebaik-baiknya[2]” [Miftaah Daaris-Sa’aadah oleh Ibnul-Qayyim].
Qataadah rahimahullah berkata:
إِنَّ الْقُرْآنَ يَدُلُّكُمْ عَلَى دَائِكُمْ وَدَوَائِكُمْ، أَمَّا دَاؤُكُمْ فَذُنُوبُكُمْ، وَأَمَّا دَوَاؤُكُمْ فَالاسْتِغْفَارُ
“Sesungguhnya Al-Qur’an menunjukkan kepada kalian atas penyakit kalian sekaligus obatnya. Adapun penyakit kalian itu adalah dosa-dosa kalian, sedangkan obatnya adalah istighfaar” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 6745].
‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata:
العجب ممن يهلك ومعه النجاة قيل: وما هي؟ قال: الاستغفار
“Hal yang mengherankan dari orang yang binasa, padahal keselamatan ada bersamanya”. Dikatakan (kepadanya) : “Apakah itu?”. Ia berkata : “Istighfaar”.
‘Aliy radliyallaahu ‘anhu juga berkata:
ما ألهم الله - سبحانه وتعالى- عبداً الاستغفار وهو يريد أن يعذبه
“Tidaklah Allah subhaanahu wa ta’ala memberikan ilham kepada seorang hamba untuk ber-istighfaar, sementara Ia berkehendak untuk mengadzabnya”.
Ada seorang yang shalih berkata:
العبد بين ذنب ونعمة لا يصلحهما إلا الحمد والاستغفار
“Seorang hamba berada di antara dosa dan kenikmatan. Tidaklah menjadi baik kedua hal tersebut melainkan dengan ucapan syukur dan istighfaar”.
Diriwayatkan dari Luqmaan ‘alaihis-salaam, bahwsannya ia pernah berkata kepada anaknya :
يا بني إن لله ساعات لا يرد فيها سائلاً فأكثر من الاستغفار
“Wahai anakku, sesungguhnya Allah memiliki beberapa waktu yang tidak akan ditolak (apabila) seseorang berdoa pada waktu tersebut. Maka, perbanyaklah istighfaar”.
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata:
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا
“Pahala surga bagi orang yang mendapati banyaknya istighfaar pada lembaran catatan amalnya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 637].
Abul-Minhaal rahimahullah berkata:
مَا جَاوَرَ عَبْدٌ فِي قَبْرِهِ مِنْ جَارٍ خَيْرٍ مِنَ اسْتِغْفَارٍ كَثِير
“Tidaklah seorang hamba di dalam kuburnya berdampingan dengan pendamping yang lebih baik daripada banyaknya istighfaar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Az-Zuhd no. 1954].
Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah pernah berkata:
أَكْثِرُوا مِنَ الاسْتِغْفَارِ فِي بُيُوتِكُمْ، وَعَلَى مَوَائِدِكُمْ، وَفِي طُرُقِكُمْ، وَفِي أَسْوَاقِكُمْ، وَفِي مَجَالِسِكُمْ، أَيْنَمَا كُنْتُمْ فَإِنَّكُمْ مَا تَدْرُونَ مَتَى تَنْزِلُ الْمَغْفِرَةُ
“Perbanyaklah istighfaar di rumah-rumah kalian, meja-meja hidangan kalian, jalan-jalan kalian, pasar-pasar kalian, majelis-majelis kalian, dan dimana saja kalian berada. Sesungguhnya kalian tidak mengetahui kapan turunnya ampunan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa dalam At-Taubah no. 158].
Seorang A’rabiy pernah berkata:
من أراد أن يجاورنا في أرضنا؛ فليكثر من الاستغفار، فإن الاستغفار القطّار
“Barangsiapa yang ingin bertetanggaan dengan kami di negeri kami, hendaklah ia memperbanyak istighfaar, karena istighfaar adalah awan tebal yang mengandung hujan”.
Bakr bin ‘Abdillah Al-Muzanniy rahimahullah berkata:
أَنْتُمْ تُكْثِرُونَ مِنَ الذُّنُوبِ، فَاسْتَكْثِرُوا مِنَ الاسْتِغْفَارِ، فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا وُجِدَ فِي صَحِيفَتِهِ بَيْنَ كُلِّ سَطْرَيْنِ اسْتِغْفَارٌ سَرَّهُ مَكَانُ ذَلِكَ
“Kalian banyak melakukan dosa, maka perbanyaklah istighfaar, karena seseorang apabila didapatkan pada lembaran catatan amalnya istighfaar pada setiap baris, maka hal itu akan membuatnya gembira” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 2/230].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
إنه ليقف خاطري في المسألة التي تشكل عليَّ؛ فاستغفر الله ألف مرة حتى ينشرح الصدر، وينحل إشكال ما أشكل، وقد أكون في السوق، أو المسجد، أو المدرسة ؛لا يمنعني ذلك من الذكر والاستغفار إلى أن أنال مطلوبي
“Apabila dalam benakku ada satu masalah yang sulit bagiku, maka aku ber-istighfaar (memohon ampun) kepada Allah seribu kali hingga dadaku menjadi lapang dan terurai kesulitan yang aku rasakan. Kadang aku berada di pasar, masjid, ataupun madrasah; namun hal itu tidak menghalangiku dari berdzikir dan istighfaar hingga aku memperoleh apa yang ingin inginkan” [Al-Kawaakibud-Durriyyah, hal. 145].
[selesai – diambil dari buku At-Tadaawiy bil-Istighfaar oleh Hasan bin Ahmad bin Hasan Al-Hammaam, hal. 7-15, Daarul-Hadlaanah, dengan sedikit peringkasan dan tambahan – abul-jauzaa’, ciomas permai, 01032015 – 17:34].




[1]      Al-Baihaqiy meriwayatkan perkataan tersebut dari Dzun-Nuun (bukan Fudlail bin ‘Iyaadl) dalam Syu’abul-Iimaan no. 6777.- Abul-Jauzaa’
[2]      Allah ta’ala berfirman:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا * الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” [QS. Al-Kahfi : 103-104].

Comments

Hasyim Maulana mengatakan...

Assalamu'alaikum Warahmatullah Ustadz.

Saya mendapati satu atsar yang di sandarkan kepada Abu Bakar Radhiyallahu anhu, yang semisal dengan pernyataan Ibnul Jauzi di atas.

Adapun atsar Abu Bakar Radhiyallahu anhu seperti :

عن أبي بكر الصديق رضي الله عنه قال : ) عليكم بلا إله إلا الله والاستغفار فأكثروا منهما ، فإن إبليس قال : أهلكت الناس بالذنوب فأهلكوني بلا إله إلا الله والاستغفار ، فلما رأيت ذلك أهلكتهم بالأهواء وهم يحسبون أنهم مهتدون (أخرجه أبو يعلى في " المسند " )1/123(،والطبراني في " الدعاء " )ص/504( بلفظ مختصر، وابن أبي عاصم في " السنة " )رقم/6( واللفظ المنقول له ، جميعهم من طريق محرز بن عون ، حدثنا عثمان بن مطر الشيباني ، عن عبد الغفور ، عن أبي نصيرة ، عن أبي رجاء العطاردي عن أبي بكر به .وهذا إسناد ضعيف جداً

Yang saya ingin tanyakan, bagaimana hukumnya menyampaikan sebuah atsar yang dhoif (bahkan Syaikh Albany menilai atsar ini maudhu')sedangkan di satu sisi, maknanya benar dan bisa di terima sebagai pelajaran. Mohon penjelasannya, Juziitum khair..