Memahami Perkataan Asy-Syaafi’iy rahimahullah


Asy-Syaafi’iy rahimahullah pernah berkata:
وكان الإجماع من الصحابة و التابعين من بعدهم ومن أدركناهم يقولون الإيمان قول وعمل ونية لا يجزئ واحد من الثلاثة إلا بالأخر
“Para sahabat, tabi’in setelah mereka, dan para ulama yang kami temui, mereka telah bersepakat (ijma’) mengatakan iman adalah perkataan, amal, dan niat. Salah satu dari ketiganya tidaklah mencukupi kecuali dengan yang lainnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/308].
Sebagian orang salah dalam memahami perkataan Asy-Syaafi’iy di atas karena mereka menafsirkannya dengan makna : ‘tidak sah keimanan seseorang kecuali dengan tiga hal tersebut’. Kemudian mereka mengambil konsekuensi dari perkataan tersebut, bahwa orang yang tidak beramal adalah kafir karena tidak sah keimanannya, dan amal yang dimaksud dikhususkan pada amal jawaarih[1].
Ini pemahaman yang salah kaprah, karena Asy-Syaafi’iy tidak mengatakan sebagaimana yang mereka katakan, akan tetapi yang dikatakan adalah : ‘salah satu dari ketiganya (yaitu : perkataan, amal, atau niat) tidaklah mencukupi kecuali dengan yang lainnya’. Sangat berbeda maknanya antara kalimat ini dengan kalimat yang mereka maksudkan.
Perlu diketahui bahwa Ibnu Taimiyyah membawakan nukilan perkataan Asy-Syaafi’iy rahimahumallah tersebut dalam konteks bantahannya terhadap Murji’ah yang selengkapnya begini:
قال الحميدى سمعت وكيعا يقول أهل السنة يقولون الايمان قول وعمل والمرجئة يقولون الإيمان قول والجهمية يقولون الايمان المعرفة وفى رواية أخرى عنه وهذا كفر قال محمد بن عمر الكلابى سمعت وكيعا يقول الجهمية شر من القدرية قال وقال وكيع المرجئة الذين يقولون الاقرار يجزيء عن العمل ومن قال هذا فقد هلك ومن قال النية تجزئ عن العمل فهو كفر وهو قول جهم وكذلك قال أحمد بن حنبل
ولهذا كان القول ان الايمان قول وعمل عند أهل السنة من شعائر السنة وحكى غير واحد الاجماع على ذلك وقد ذكرنا عن الشافعى رضى الله عنه ما ذكره من الاجماع على ذلك قوله فى الأم وكان الاجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ومن أدركناهم يقولون ان الايمان قول وعمل ونية لا يجزئ واحد من الثلاثة إلا بالآخر
“Telah berkata Al-Humaidiy : Aku mendengar Wakii’ berkata : ‘Ahlus-Sunnah berkata iman adalah perkataan dan amal. Murji’ah berkata iman adalah perkataan saja. Jahmiyyah berkata iman adalah ma’rifat’. Dalam riwayat lain darinya ia berkata : ‘Dan ini adalah kekufuran’. Telah berkata Muhammad bin ‘Umar Al-Kullaabiy : Aku mendengar Wakii’ berkata : ‘Jahmiyyah lebih buruk daripada Qadariyyah’. Ia (Muhammad bin ‘Umar) berkata : Wakii’ berkata : ‘Murji’ah adalah orang yang mengatakan pengakuan sudah mencukupi tanpa adanya amal. Barangsiapa yang mengatakan ini, sungguh ia telah binasa. Barangsiapa berkata niat sudah mencukupi tanpa adanya amal, maka ia kafir. Itu adalah perkataan Jahm’. Demikian juga yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal.
Oleh karena itu, perkataan : ‘iman adalah perkataan dan amal perbuatan’, menurut Ahlus-Sunnah merupakan syi’ar-syi’ar sunnah. Telah dihikayatkan oleh lebih dari seorang tentang hal tersebut. Dan kami telah menyebutkan dari Asy-Syaafi’iy – radliyallaahu ‘anhu – tentang penyebutan ijmaa’ itu, yaitu perkataannya dalam kitab Al-Umm : ‘Para sahabat, tabi’in setelah mereka, dan para ulama yang kami temui, mereka telah bersepakat (ijma’) mengatakan iman adalah perkataan, amal perbuatan, dan niat. Salah satu dari ketiganya tidak mencukupi kecuali dengan yang lainnya……” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/307-308].
Syaikhul-Islaam rahimahullah membantah Murji’ah yang mengatakan bahwa pengakuan saja sudah mencukupi untuk keimanan tanpa adanya amal, atau Jahmiyyah yang mengatakan niat saja sudah mencukupi tanpa adanya amal. Oleh karena itu, penggunaan perkataan Asy-Syaafi’iy : ‘salah satu dari ketiganya tidaklah mencukupi kecuali dengan yang lainnya’ adalah tepat. Perkataan saja tidak mencukupi tanpa niat dan amal anggota badan, amal anggota badan saja tidak mencukupi tanpa perkataan dan niat, atau niat saja tidak mencukupi tanpa perkataan dan amal anggota badan. Hal itu dikarenakan iman adalah perkataan, amal, dan niat.
Adapun dimasukkannya niat oleh sebagian salaf dalam iman – padahal niat sudah masuk dalam cakupan amalan hati - , Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
ومَن قال : قولٌ وعَمَل ونيّةٌ ، قال : القَوْل يتناولُ الاعتقادَ وقولَ اللِّسَان، وأما العَمَل فقد لا يُفهم منه النية فزاد ذلك
“Dan orang yang mengatakan : (iman adalah) perkataan, amal, dan niat, maka ia mengatakan bahwa perkataan di sini maksudnya adalah i’tiqaad dan perkataan lisan, sedangkan amal, kadang tidak dipahami darinya mencakup niat, sehingga ia ditambahkan (dalam cakupan iman)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/171].
فقول السلف يتضمن القول والعمل الباطن والظاهر لكن لما كان بعض الناس قد لا يفهم دخول النية فى ذلك قال بعضهم ونية
“Perkataan salaf (dalam masalah iman) mencakup perkataan dan amal secara lahir dan batin. Akan tetapi ketika sebagian orang tidak memahami masuknya niat dalam hal tersebut, maka sebagian mereka (salaf) berkata : ‘dan niat’” [idem, 7/506].
وأصلُ العَمَلِ عَمَلُ القَلب، وَهُوَ الحبُّ والتّعظيمُ المنافيِ لِلبُغضِ والاستِكبارِ ، ثُمّ قَالوُا : ولاَ يُقبَل قولٌ وعَمَلٌ إلا بِنيّة ، وَهَذَا ظاهِر، فإنّ القَوْلَ والعَمَلَ إذاَ لَم يكُن خالِصاً للهِ تَعالَى لم يقبَلهُ اللهُ تَعالَى
“Dan pokok amal adalah amal hati, yaitu cinta dan pengagungan yang menafikkan kebencian dan kesombongan. Kemudian mereka berkata : ‘tidak diterima perkataan dan amal kecuali dengan niat’; maka ini jelas, karena perkataan dan amal apabila tidak disertai keikhlasan kepada Allah ta’ala, maka tidak akan diterima oleh Allah ta’ala” [Al-Istiqaamah, 2/310].
Dari penjelasan beliau rahimahullah di atas, kita dapat memahami bahwa yang dimaksud dengan niat adalah keikhlasan dan ihtisaab. Barangsiapa yang berkata dan berbuat/beramal tanpa disertai dengan keikhlasan dan ihtisaab[2], maka keduanya (perkataan dan amal perbuatan) tidak bermanfaat baginya di akhirat sebagaimana firman Allah ta’ala :
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ * أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” [QS. Huud : 15-16].
Keimanannya pun menjadi sia-sia karenanya.
Penjelasan tersebut sesuai dengan konteks perkataan Al-Laalikaa’iy saat membawakan perkataan Asy-Syaafi’iy rahimahumallah di atas sebagai berikut:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِ الأُمِّ فِي بَابِ النِّيَّةِ فِي الصَّلاةِ: نَحْتَجُّ بِأَنْ لا تُجْزِئَ صَلاةٌ إِلا بِنِيَّةٍ، لِحَدِيثِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:، " إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ".ثُمَّ قَالَ: وَكَانَ الإِجْمَاعُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِمَّنْ أَدْرَكْنَاهُمْ أَنَّ الإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ، لا يُجْزِئُ وَاحِدٌ مِنَ الثَّلاثَةِ بِالآخَرِ
“Asy-Syaafi’iy rahimahullah dalam kitab Al-Umm bab ‘Niat dalam Shalat’ berkata : ‘Kami berhujjah bahwasannya shalat tidaklah cukup (sah) kecuali dengan niat berdasarkan hadits ‘Umar bin Al-Khaththaa, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Amal-amal hanyalah dengan niat’. Kemudian ia berkata : ‘Para shahabat dan taabi’iin setelah mereka yang kami jumpai telah berijmaa’ bahwasannya iman adalah perkataan, amal, dan niat. Tidak mencukupi salah satu dari ketiganya kecuali dengan yang lainnya” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 1593].
Itu yang pertama,…..
Selanjutnya,…. jika kita membahas tentang ‘keabsahan iman’ dalam kaitannya dengan amal anggota badan (amal jawaarih), Asy-Syaafi’iy rahimahullah pernah berkata:
الإيمان هو التصديق والإقرار والعمل، فالمخلُّ بالأول وحده منافق، وبالثاني وحده كافر، وبالثالث وحده فاسق ينجو من الخلود النار ويدخل في الجنة
“Iman adalah tashdiiqiqraar, dan amal. Ketiadaan hal pertama saja, maka ia munafik. Ketiadaan hal kedua saja, maka ia kafir. Dan ketiadaan hal ketiga saja, maka ia fasik yang selamat dari kekekalan neraka dan (kemudian) masuk ke dalam surga” [Dinukil Asy-Syiiraaziy dalam ‘Umdatul-Qaari’, 1/104].
Di sini jelas bahwa orang yang meninggalkan amal (jawaarih) dihukumi fasiq yang tidak akan kekal di neraka seandainya ia diadzab.
Al-‘Ainiy rahimahullah berkata:
فإن الإيمان المنجي من دخول النار هو الثاني باتفاق جميع المسلمين والإيمان المنجي من الخلود في النار هو الأول باتفاق أهل السنة خلافا للمعتزلة والخوارج ومما يدل على ذلك قوله في حديث أبي ذر ما من عبد قال لا إله إلا الله ثم مات على ذلك إلا دخل الجنة قلت وإن زنى وإن سرق قال وإن زنى وإن سرق الحديث وقوله يخرج من النار من في قلبه مثقال ذرة من الإيمان فالحاصل أن السلف والشافعي إنما جعلوا العمل ركنا من الإيمان بالمعنى الثاني دون الأول وحكموا مع فوات العمل ببقاء الإيمان بالمعنى الأول وبأنه ينجو من النار باعتبار وجوده وإن فات الثاني
“Maka keimanan yang terlindung dari masuk neraka adalah ‘keimanan yang kedua’ berdasarkan kesepakatan seluruh kaum muslimin, sedangkan keimanan yang terlindung dari kekekalan neraka adalah ‘keimanan yang pertama’ berdasarkan kesepakatan Ahlus-Sunnah; dimana hal itu bertentangan dengan Mu’tazilah dan Khawaarij. Dan termasuk dalil yang menunjukkan hal tersebut  adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Dzarr : ‘Tidak ada seorang pun dari hamba yang mengucapkan Laa ilaha illallaah (tidak ada tuhan/ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah), kemudian ia meninggal di atas perkataan tersebut, kecuali ia akan masuk ke dalam surga’. Aku (Abu Dzarr) berkata : ‘Meskipun ia berzina dan mencuri ?’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ‘Ya, meskipun ia berzina dan mencuri’. Dan juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Akan keluar dari neraka orang yang dalam hatinya terdapat keimanan seberat dzarrah (atom)’. Dan kesimpulannya bahwa kaum salaf dan Asy-Syaafi’iy hanyalah menjadikan amal sebagai rukun[3] keimanan dengan makna kedua (yaitu : keimanan yang terlindung dari masuk neraka – Abul-Jauzaa’), bukan makna pertama (yaitu : keimanan yang terlindung dari kekekalan di neraka – Abul-Jauzaa’). Dan mereka menghukumi seseorang yang tidak beramal dengan adanya penetapan keberadaan keimanan pada makna yang pertama, serta menghukuminya selamat dari (kekekalan) neraka dengan pertimbangan keberadaan imannya[4] meskipun terlewat kedudukan iman yang kedua” [‘Umdatul-Qaariy, 1/104].
Maksudnya, jika amal (jawaarih) dijadikan bagian dari rukun keimanan, maka keimanan di sini adalah keimanan yang mewajibkan pemiliknya masuk surga tanpa ‘adzab neraka. Ini adalah derajat orang yang memiliki keimanan yang sempurna[5] dan masuk pada tingkatan iman kedua, yaitu keimanan wajib (al-iimaanul-waajib)[6]. Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata:
أمّا مَن كانَ معه أوّلُ الإيمانِ فهذا يصحّ منه ، لأنّ معهُ إقرارُه في الباطِن بوجوبِ ما أوجبَه الرّسولُ ، وتحريمِ ما حرّمَه ، وهذا سببُ الصّحّة ، وأمّا كمالُه فيتعلّقُ بهِ خِطابُ الوعْدِ بالجنّة والنّصرةِ والسّلامةِ مِنَ النّار ، فإنّ هذا الوعدُ إنّما هوَ لِمَن فعَلَ المأمورَ وتركَ المحظور ، ومَن فعلَ بعضاً وتركَ بعضاً فيُثابُ على ما فعلَه ، ويُعاقبُ على ما تركَه ، فلا يدخلُ هذا في اسمِ المؤمنِ المستحقِّ للحمدِ والثّناءِ دونَ الذّمِّ والعقابِ
“Adapun orang yang memiliki keimanan awal, maka iman ini sah darinya, karena dalam batinnya terdapat pengakuan tentang wajibnya segala hal yang diwajibkan Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan pengharaman segala hal yang diharamkannya. Ini merupakan sebab keabsahan iman. Adapan kesempurnaannya, maka itu bergantung pada khithaab janji dimasukkan ke dalam surga serta pertolongan dan keselamatan dari (‘adzab) neraka. Sesungguhnya janji ini hanyalah diperuntukkan bagi orang yang mengerjakan hal-hal yang diperintahkan dan meninggalkan hal-hal yang dilarang. Barangsiapa yang melakukan sebagiannya dan meninggalkan sebagiannya, maka ia diberikan pahala atas apa yang dilakukannya dan dihukum atas apa yang ditinggalkannya. Maka, orang ini tidak masuk dalam nama ‘mukmin’ yang berhak mendapatkan pujian dan sanjungan tanpa celaan dan hukuman” [Majmuu Al-Fataawaa, 7/419].
Adapun rukun iman dengan makna yang pertama, maka maksudnya adalah keimanan yang menyelamatkan pemiliknya dari kekekalan neraka[7]. Keimanan ini terwujud dengan keberadaan i’tiqaad dan pengucapan dua kalimat syahadat.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
مذهبُ أهلِ الحقِّ : أنّ الإيمانَ المُنجِي منَ الخلودِ في النّارِ لا بدّ فيه منَ الاعتقادِ والنّطق
“Madzhab ahlul-haq : bahwasannya keimanan yang terlindung dari kekekalan neraka adalah i’tiqaad dan pengucapan (dua kalimat syahadat)” [Syarh Shahiih Muslim, 1/240].
Syaikhul-Islam rahimahullah berkata :
ومنه ما نقصَ عَن الكمالِ وهُو: تركُ الواجباتِ أو فِعلُ المحرّماتِ ، ومنه ما نقصَ ركنُه وَهُوَ تركُ الاعتقادِ والقَوْلِ ، الّذِي يزعُم المُرجِئَةُ والجهميّةُ أنّه مسمّى فَقَطَ ، وبهذا تزولُ شبهاتُ الفِرَق ، وأصلُه القَلب ، وكمالُه العَمَل الظّاهرُ ، بِخلافِ الإسلامِ فإنّ أصلَه الظّاهرُ وكمالَه القَلب
“Dan diantaranya adalah yang menyebabkan berkurangnya kesempurnaan (iman)[8], yaitu : meninggalkan berbagai kewajiban atau melakukan hal-hal yang diharamkan. Dan di antaranya adalah yang menyebabkan berkurangnya rukun iman, yaitu i’tiqaad dan perkataan (syahadatain)[9], dimana Murji’ah dan Jahmiyyah mengatakan hanya dua hal itulah yang dinamakan keimanan. Dan demikian, hilanglah berbagai syubhat dari firqah-firqah (menyimpang). Pokok keimanan adalah hati, dan kesempurnaannya adalah (melakukan) amal dhaahir. Hal itu berbeda dengan Islam, dimana pokoknya adalah dhaahir, dan kesempurnaannya adalah hati” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/637].
Perkataan Asy-Syaafi’iy yang dinukil oleh Asy-Syiiraaziy rahimahumallah tersebut di atas selaras maknanya dengan perkataan Asy-Syaafi’iy lainnya yang dinukil oleh Ibnu Katsiir rahimahullah:
قال الشافعي: إنما منع رسول الله صلى الله عليه وسلم من قتل المنافقين ما كانوا يظهرونه من الإسلام مع العلم بنفاقهم؛ لأن ما يظهرونه يجبّ ما قبله. ويؤيد هذا قوله، عليه الصلاة والسلام، في الحديث المجمع على صحته في الصحيحين وغيرهما: "أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا: لا إله إلا الله، فإذا قالوها عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحقها، وحسابهم على الله، عز وجل" . ومعنى هذا: أن من قالها جرت عليه أحكام الإسلام ظاهرًا، فإن كان يعتقدها وجد ثواب ذلك في الدار الآخرة، وإن لم يعتقدها لم ينفعه في الآخرة جريان الحكم عليه في الدنيا
“Asy-Syaafi’iy berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh orang munafik hanyalah karena mereka menampakkan keislamannya meskipun beliau mengetahui tentang kemunafikan mereka. Hal itu dikarenakan apa yang mereka tampakkan mengalahkan apa yang sebelumnya (yaitu kemunafikan). Pendapat tersebut diperkuat dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang disepakati keshahihannya yang terdapat dalam Ash-Shahihain dan yang lainnya : ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah kecuali Allah (dan Muhammad adalah utusan Allah). Apabila mereka mengatakannya, maka darah dan hartanya mendapatkan perlindungan dariku kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka kelak berada di tangan Allah ‘azza wa jalla’. Maknanya : Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaha illaah, maka berlaku padanya hukum-hukum Islam secara dhaahir. Apabila ia meyakininya, ia akan mendapatkan pahala kelak di akhirat. Dan apabila ia tidak meyakininya, maka tidak akan bermanfaat baginya kelak di akhirat apa yang telah diberlakukan padanya hukum dunia” [Tafsiir Ibni Katsiir, 1/179].
Ini bukan perkataan Murji’ah yang bertentangan dengan pemahaman Ahlus-Sunnah[10]. Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahullah secara jelas menyebutkan bahwa perkataan di atas merupakan perkataan sebagian ulama Ahlus-Sunnah:
قالَ بعضُهم : الإيمانُ معرفةٌ بالقَلبِ ، وإقرارٌ باللِّسَانِ ، وعَمَل بالجَوارِحِ ، فمَن أتى بمعنيَين مِن هذِه المعاني الثّلاثةِ ولم يأتِ بالثّالثِ فغيرُ جائزٍ أن يُقالَ : إنّه مؤمنٌ ، ولكنّه يُقالُ له : إنْ كانَ اللّذانِ أتى بهِما المعرفةُ بالقَلبِ والإقرارُ باللِّسَانِ ، وَهُوَ في العَمَل مفرّطٌ ، فمُسلِم
“Sebagian dari mereka (yaitu : Ahlus-Sunnah) berkata : iman adalah ma’rifat dengan hati, penetapan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Barangsiapa yang melakukan dengan dua makna (awal) dari ketiga makna tersebut, namun tidak mengerjakan yang ketiga (yaitu : amal dengan anggota badan), maka tidak boleh dikatakan bahwa yang bersangkutan adalah mukmin. Akan tetapi dikatakan kepadanya : apabila ia mendatangkan pengetahuan dalam hati dan pengakuan dengan lisan, namun ia meninggalkan amal, statusnya muslim” [At-Tabshiir fii Ma’aalimid-Diin, hal. 188].
إذا عرف وأقر وفرط في العمل هو مؤمن بالله ورسوله، لا نقول مؤمن بإطلاق
“Apabila ia mengetahui, mengakuinya, namun meninggalkan amal, maka ia orang yang beriman (mukmin) terhadap Allah dan Rasul-Nya (= tidak kafir), namun kami tidak mengatakannya orang yang beriman (mukmin) secara mutlak” [idem, hal. 196].
Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
إنما لم يكفر من ترك العمل، وكفر من ترك القول، لإن الرسول صلى الله عليه وسلم حكم بالكفر على من أبى من القول، وإن كان عالما بصحة الإيمان بقلبه، وحكم بالخروج من النار لمن علم بقلبه وقال بلسانه، وإن لم يعمل خيرا قط
“Tidak dikafirkan orang yang meninggalkan amal. Dan kekufuran adalah orang yang meninggalkan perkataan, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghukumi kekufuran terhadap orang yang enggan mengucapkan perkataan (syahadat), meskipun beliau mengetahui kebenaran iman yang ada di hatinya. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghukumi orang yang mengetahui dengan hatinya dan mengucapkan dengan lisannya keluar dari neraka, meskipun ia tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun” [Ad-Durrah, hal. 337-338].
وَمَن ضيّعَ الأعمالَ كلَّها فهُوَ مؤمِنٌ عاصٍ ناقصُ الإيمانِ ، لا يكفُر
“Dan barangsiapa yang menelantarkan seluruh amal, maka ia mukmin yang bermaksiat lagi kurang imannya. Tidak dikafirkan” [Al-Muhallaa, 1/40-41].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
لَا خِلَاف بَيْن الْجَمِيع : أَنَّهُ لَوْ أَقَرَّ وَعَمِلَ عَلَى غَيْر عِلْمٍ مِنْهُ وَمَعْرِفَةٍ بِرَبِّهِ ، لَا يَسْتَحِقّ اِسْم مُؤْمِن . وَلَوْ عَرَفَهُ ، وَعَمِلَ ، وَجَحَدَ بِلِسَانِهِ ، وَكَذَبَ مَا عَرَفَ مِنْ التَّوْحِيد ، لَا يَسْتَحِقّ اِسْم مُؤْمِن ، وَكَذَلِكَ إِذَا أَقَرَّ بِاَللَّهِ تَعَالَى وَبِرُسُلِهِ - صَلَوَات اللَّه وَسَلَامه عَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ - وَلَمْ يَعْمَل بِالْفَرَائِضِ ، لَا يُسَمَّى مُؤْمِنًا بِالْإِطْلَاقِ
“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan semua ulama bahwa seandainya seseorang mengakui/menetapkan (dengan lisannya) dan beramal tanpa didasari pengetahuan terhadap Rabbnya, maka ia tidak berhak menyandang nama mukmin. Seandainya ia mengetahui-Nya dan beramal, namun ia mengingkari dengan lisannya dan mendustakan apa yang ia ketahui dari ketauhidan, maka ia pun tidak berhak menyandang nama mukmin. Begitu pula apabila ia mengakui Allah ta’ala dan Rasul-Nya – shalawaatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim ajma’iin – namun tidak beramal dengan melakukan kewajiban-kewajiban, tidak dinamakan mukmin secara mutlak” [Syarh Shahiih Muslim, 1/147].
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
وأما هذه الخمس ، فإذا زالت كلها سقط البنيان ولم يثبت بعد زوالها وكذلك (إن ) زال منها الركن الأعظم وهو الشهادتان ، وزوالهما يكون بالإتيان بما يضادهما ولا يجتمع معهما . وأما زوال الأربع البواقي : فاختلف العلماء هل يزول الاسم بزوالها أو بزوال واحد منها؟ أم لا يزول بذلك ؟ أم يفرق بين الصلاة وغيرها فيزول بترك الصلاة دون غيرها ؟ أم يختص زوال الإسلام بترك الصلاة والزكاة خاصة . وفي ذلك اختلاف مشهور ، وهذه الأقوال كلها محكية عن الإمام أحمد
“Adapun rukun Islam yang lima ini, apabila hilang secara keseluruhan, maka hilang pula bangunan Islam dan tidak tetap (nama Islam) setelah hilangnya kelima rukun tersebut. Begitu pula apabila hilang rukun yang paling besar, yaitu dua kalimat syahadat. Hilangnya dua kalimat syahadat terjadi dengan keberadaan sesuatu yang bertentangan dengannya dimana keduanya tidak dapat berkumpul (yaitu kufur akbar). Adapun hilangnya rukun Islam yang empat lainnya, para ulama telah berselisih pendapat, apakah hilang nama Islam dengan hilangnya keempat rukun tadi, atau dengan hilangnya salah satu diantaranya, atau malah tidak hilang, atau dibedakan antara shalat dengan yang lainnya sehingga Islam hilang dengan sebab meninggalkan shalat, bukan yang lainnya; atau dikhususkan hilangnya Islam dengan sebab meninggalkan shalat dan zakat secara khusus. Dalam permasalahan tersebut terdapat perbedaan pendapat yang masyhur. Pendapat-pendapat tersebut semuanya dihikayatkan dari Al-Imaam Ahmad” [Fathul-Baariy, 1/9].
Kafir tidaknya orang yang meninggalkan keempat rukun Islam termasuk bagian dari pendapat yang beredar di kalangan Ahlus-Sunnah. Seandainya sekelompok ulama Ahlus-Sunnah tidak mengkafirkannya, tentu mereka tidak akan mengkafirkan orang yang meninggalkan kewajiban-kewajiban lain yang derajatnya di bawah rukun Islam. Dan Asy-Syaafi’iy rahimahullah sendiri adalah ulama yang berpegang pada pendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat, sehingga – tentu saja – beliau juga tidak mengkafirkan orang-orang yang meninggalkan kewajiban amal dhaahir yang kedudukannya di bawah shalat – dan shalat merupakan amal kewajiban dhaahir yang paling tinggi/agung kedudukannya - .
Kesimpulannya : Perkataan Asy-Syaafi’iy rahimahullah di atas tidak menunjukkan klaim ijmaa’ amal jawaarih merupakan syarat sahnya iman, karena dhahir perkataan memang tidak menunjukkan demikian. Adapun permasalahan meninggalkan amal jawaarih, maka itu termasuk yang diperselisihkan para ulama Ahlus-Sunnah semenjak dahulu, yang dalam hal ini tidak akan terlepas dengan adanya perselisihan tentang hukum meninggalkan rukun Islam yang empat selain syahadat. Jumhur Ahlus-Sunnah dan Murji’ah berpendapat sama tentang tidak kafirnya orang yang meninggalkan rukun Islam yang empat dan kewajiban-kewajiban dhahir lainnya yang derajatnya ada di bawahnya. Akan tetapi yang membedakan adalah Ahlus-Sunnah memasukkan amal-amal dhahir (jawaarih) dalam nama iman yang menyebabkan naik dan turunnya iman; sedangkan Murji’ah tidak. Selain itu, sebagian ulama ada yang menghukumi bahwa perbedaan antara jumhur Ahlus-Sunnah dan Murji’ah (Fuqahaa’) adalah perbedaan secara lafdhiy. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وممّا ينبغِي أن يُعرفَ أنّ أكثرَ التّنازعِ بَيْنَ أهلِ السّنّة في هذهِ المسألةِ هُوَ نزاعٌ لفظِي ، وإلاّ فالقائِلونَ بأنّ الإيمانَ قولٌ مِن الفقهاءِ متّفقونَ مع جميعِ علماءِ السّنّة علَى أنّ أصحابَ الذّنوبِ داخلونَ تحتَ الذّمِّ والوعيدِ ، وإن قالُوا : إنّ إيمانَهم كإيمانِ جبريلَ ، فهُم يَقُولُونَ : إنّ الإيمانَ بدونَ العَمَل المفروضِ ومَعَ فعلِ المحرّماتِ يكونُ صَاحبُه مستحقّاً للذّمّ والعقابِ كما تقولُه الجماعةُ ، ويَقُولُونَ أيضاً : بأنّ مِن أهلِ الكَبائِرِ مَن يدخلُ النّارَ كمَا تقولُه الجمَاعة ، والّذين ينفُونَ عَن الفاسقِ اسمَ الإيمانِ مِن أهلِ السّنّة متّفقونَ علَى أنّه لا يخلدُ في النّارِ ، فليسَ بَيْنَ فقهاءِ الملّةِ نزاعٌ في أصحابِ الذّنوبِ إذا كانُوا مقرّينَ باطِناً وظاهِراً بما جاءَ بِه الرّسولُ
“Dan termasuk hal yang seharusnya diketahui bahwa kebanyakan perselisihan antara Ahlus-Sunnah dalam permasalahan ini merupakan perselisihan secara lafadh (nizaa’ lafdhiy). Jika tidak demikian, maka ulama yang mengatakan iman adalah (sekedar) perkataan dari kalangan (Murji’ah) fuqahaa’ bersepakat dengan seluruh ulama Ahlus-Sunnah bahwa pelaku dosa masuk dalam lingkup celaan dan ancaman, meskipun mereka (Murji’ah fuqahaa’) mengatakan iman mereka seperti iman Jibriil. Mereka juga mengatakan : iman tanpa amal yang diwajibkan dan disertai mengerjakan berbagai keharaman, pelakunya berhak mendapatkan celaan dan hukuman sebagaimana dikatakan oleh Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Mereka juga mengatakan bahwa diantara pelaku dosa besar ada yang masuk neraka sebagaimana dikatakan oleh Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dan ulama dari kalangan Ahlus-Sunnah yang menafikkan nama iman dari orang fasiq bersepakat bahwa ia tidak kekal di neraka. Maka, tidak ada perbedaan pendapat juga di antara fuqahaa’ millah tentang pelaku dosa apabila ia mengakui secara lahir dan batin tentang syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/296-297].
ولهذا لم يكفر أحد من السلف أحدا من مرجئة الفقهاء بل جعلوا هذا من بدع الأقوال والأفعال لا من بدع العقائد فإن كثيرا من النزاع فيها لفظي لكن اللفظ المطابق للكتاب والسنة هو الصواب
“Oleh karenanya, tidak ada seorang pun dari kalangan salaf yang mengkafirkan orang dari kalangan Murji’ah Fuqahaa’, bahkan mereka menjadikan permasalahan ini termasuk bid’ah-bid’ah perkataan dan perbuatan, bukan bid’ah keyakinan, karena banyak perselisihan yang terjadi padanya adalah perselisihan secara lafadh (lafdhiy). Akan tetapi lafadh yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, itulah yang benar[11]” [idem, 7/394].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Baca juga artikel terkait : Jinsul-‘Amal.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 01022015 – 23:31].




[1]      Inilah yang kemudian digunakan sebagian orang belakangan sebagai bukti ijmaa’ kafirnya orang yang meninggalkan ‘jinsul-‘amal’ – yaitu amal jawaarih.
Istilah ‘jinsul-‘amalsebenarnya bukan istilah syar’iy yang dikenal di kalangan salaf. Salaf hanya mengatakan : iman adalah perkataan dan amal/perbuatan, bukan ‘jinsul-‘amal’.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah pernah ditanya : “Orang yang meninggalkan jinsul-‘amal adalah kafir, sedangkan orang yang meninggalkan aahaadul-‘amal tidaklah kafir. Bagaimana pendapat Anda tentang hal itu ?”. Beliau rahimahullah berkata :
من قال هذه القاعدة ؟!. من قائلها ؟!. هل قالها محمد رسول الله ؟!. كلام لا معنى له!. نقول: من كفره الله ورسوله فهو كافر ومن لم يكفره الله ورسوله فليس بكافر! هذا الصواب. أما جنس العمل أو نوع العمل أو آحاد العمل فهذا كله طنطنة لا فائدة منها
“Siapakah yang mengatakan kaedah ini ?. Siapakah yang mengatakannya ?. Apakah yang mengatakannya adalah Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?!. Perkataan yang mempunyai makna. Kami katakan : Barangsiapa yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang tidak dikafirkan Allah dan Rasul-Nya, maka ia tidak kafir. Inilah yang benar. Adapun jinsul-‘amal atau nau’ul-‘amal atau aahaadul-‘amal, maka semuanya ini omongan yang tidak ada faedahnya” [Al-As-ilah Al-Qathariyyah, hal. 27].
[2]      Terkait dengan hal ini, ada atsar sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ عَاصِمٍ، قَالَ: قُلْنَا لِطَلْقِ بْنِ حَبِيبٍ: صِفْ لَنَا التَّقْوَى، فَقَالَ: " التَّقْوَى عَمَلٌ بِطَاعَةِ اللَّهِ، رَجَاءُ رَحْمَةِ اللَّهِ، عَلَى نُورٍ مِنَ اللَّهِ، وَالتَّقْوَى تَرْكُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، مَخَافَةُ اللَّهِ، عَلَى نُورٍ مِنَ اللَّهِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Aadam, dari Sufyaan, dari ‘Aashim, ia berkata : Kami pernah berkata kepada Thalq bin Habiib : “Jelaskanlah kepada kami tentang taqwa”. Maka ia menjawab : “Taqwa adalah beramal ketaatan kepada Allah karena mengharapkan rahmat Allah berdasarkan cahaya dari Allah. Dan taqwa adalah meninggalkan maksiat kepada Allah karena khawatir terhadap Allah berdasarkan cahaya dari Allah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iimaan no. 99; sanadnya shahih].
Dalam riwayat lain:
اعْمَلْ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنَ اللَّهِ، تَرْجُو ثَوَابَ اللَّهِ، وَالتَّقْوَى تَرْكُ الْمَعَاصِي عَلَى نُورٍ مِنَ اللَّهِ، مَخَافَةَ عِقَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ "
“Beramallah ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah karena engkau mengharapkan pahala Allah. Taqwa adalah meninggalkan maksiat berdasarkan cahaya dari Allah karena khawatir hukuman Allah ‘azza wa jalla” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 3/64].
Ibnul-Qayyim rahimahullah membawakan atsar tersebut dengan redaksi yang agak sedikit berbeda, dan kemudian memberi penjelasan:
وهذا أحسن ما قيل في حد التقوى.
فان كل عمل لابد له من مبدأ وغاية، فلا يكون العمل طاعة وقربة حتى يكون مصدره عن الإيمان فيكون الباعث عليه هو الإيمان المحض، لا العادة ولا الهوى ولا طلب المحمدة والجاه وغير ذلك بل لابد أن يكون مبدؤه محض الإيمان وغايته ثواب الله وابتغاء مرضاته وهو الاحتساب.
ولهذا كثيرا ما يقرن بين هذين الاصلين في مثل قول النبي صلى الله عليه و سلم : من صام رمضان ايمانا واحتسابا و ومن قام ليلة القدر ايمانا واحتسابا ونظائره
 فقوله على نور من الله اشارة الى الاصل الاول وهو الايمان الدي هو مصدر العمل والسبب الباعث عليه
 وقوله ترجو ثواب الله اشارة ان الاصل الثاني وهو الاحتساب وهو الغاية التي لاجلها يوقع العمل ولها يقصد به.
“Dan ini merupakan perkataan paling baik tentang batasan taqwa.
Hal itu dikarenakan setiap amalan semestinya mempunyai asas/dasar dan tujuan, sehingga suatu amal tidak akan ketaatan dan perbuatan mendekatkan diri kepada Allah hingga sumbernya berasal dari keimanan. Maka, hal yang mendorong untuk melakukannya adalah keimanan semata, bukan adat/kebiasaan, hawa nafsu, mencari sanjungan dan kedudukan, serta yang lainnya. Bahkan sudah semestinya asasnya hanyalah keimanan murni dan tujuannya adalah balasan dari Allah dan mencari keridlaan-Nya, yaitu ihtisaab.
Oleh karena itu, seringkali dua hal pokok ini (yaitu iman dan ihtisaab) beriringan, seperti misal yang terdapat dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang berpuasa Ramadlaan karena iman dan ihtisaab (mengharapkan pahala dari Allah)...’. Juga : ‘Barangsiapa yang berdiri mengerjakan shalat pada Lailatul-Qadr karena iman dan ihtisaab...’, dan yang semisalnya.
Perkataannya (Thalq bin Habiib) : ‘berdasarkan cahaya dari Allah’, merupakan isyarat tentang pokok yang pertama, yaitu iman yang merupakan sumber amal perbuatan dan sebab yang mendorong untuk melakukannya. Dan perkataannya : ‘engkau mengharapkan pahala Allah’, merupakan isyarat terhadap pokok yang kedua, yaitu ihtisaab. Ia merupakan tujuan dan maksud dilakukannya amalan” [Ar-Risaalah At-Tabuukiyyah, hal. 27].
[3]      Memutlakkan amal sebagai ‘rukun iman’ tidak pernah ternukil dari kalangan salaf. Asy-Syaikh Al-Barraak hafidhahullah berkata :
وأما إطلاق القول بأن العمل ركن أو شرط صحة ، أو شرط كمال ، فهي عبارات لبعض المتأخرين ، وأما الأئمة فلم يطلقوا على العمل أنه ركن أو شرط ، وإنما قالوا : إن العمل من الإيمان خلافا للمرجئة الذين أخرجوا الأعمال عن مسمى الإيمان ، وقالوا : إن الإيمان هو تصديق القلب ، وإقرار اللسان
“Dan memutlakkan perkataan bahwa amal merupakan rukun, syarat keshahihan, atau syarat kesempurnaan, maka itu semua merupakan perkataan-perkataan orang-orang belakangan. Adapun para imam (Ahlus-Sunnah), mereka tidak memutlakkan amal bahwa ia adalah rukun atau syarat (bagi keimanan). Mereka hanyalah mengatakan : ‘Sesungguhnya amal termasuk bagian dari iman’. Berbeda halnya dengan Murji’ah yang mengeluarkan amalan dari nama iman. Mereka (Murji’ah) berkata : ‘Sesungguhnya iman adalah pembenaran hati dan pengucapan lisan (syahadat)” [sumber : http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=72051].
[4]      Yaitu muthlaqul-iimaan.
[5]      Berbeda halnya dengan Murji’ah yang mengatakan bahwa keimanan hati seseorang dapat sempurna meski tanpa beramal dhaahir. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
و الثانى ظنهم أن الإيمان الذى فى القلب يكون تاما بدون العمل الظاهر وهذا يقول به جميع المرجئة
“Kedua, prasangka mereka bahwasannya iman yang ada di dalam hati dapat sempurna tanpa amal dhaahir. Ini dikatakan oleh seluruh kelompok Murji’ah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/364].
[6]      Keimanan wajib disebut juga iman yang terperinci (al-iimaanul-mufashshal), iman mutlak (al-iimaanul-muthlaq), atau hakekat iman (haqiiqatul-iimaan). Keimanan ini mengkonsekuensikan pemiliknya melakukan mengerjakan segala hal yang diwajibkan, menjauhi dosa besa dan kemunkaran; yang dengannya dijanjikan masuk ke dalam surga tanpa adzab dan selamat dari masuk ke dalam neraka [lihat : Al-Iimaan, Haqiiqatuhu, Khawaarimuhu, Nawaaqidluhu ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah oleh ‘Abdullah bin ‘Abdil-Hamiid Al-Atsariy, hal. 28].
[7]      Kekekalan neraka hanyalah diperuntukkan bagi orang kafir.
[8]      Tidak menyebabkan kekafiran.
[9]      Menyebabkan kekafiran.
[10]     Karena Murji'ah, meskipun tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan amal, berpendapat iman mereka tetap sempurna.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
اختلف الناس في تسمية المذنب من أهل ملتنا، فقالت المرجئة : هو مؤمن كامل الإيمان، وإن لم يعمل خيرا قط، ولا كف عن شر قط
"Manusia berbeda pendapat tentang penamaan orang yang melakukan dosa. Orang Murji’ah berkata : Ia adalah seorang mukmin yang sempurna imannya, meskipun tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun dan tidak pernah menahan diri dari perbuatan jelek sedikitpun” [Al-Fishaal, 3/273].
[11]     Asy-Syaikh Anwaar Al-Kasymiiriy Al-Hanafiy rahimahullah memberikan pembelaan terhadap madzhabnya sebagai berikut:
فالإيمان عند السلف عبارة عن ثلاثة أشياء: اعتقاد، وقول، وعمل. وقد مر الكلام على الأولين: أي التصديق، والإقرار، بقي العمل، هل هو جزءٌ للإيمان أم لا؟ فالمذاهب فيه أربعة:
قال الخوارج والمعتزلة: إن الأعمال أجزاءٌ للإيمان، فالتارك للعمل خارج عن الإيمان عندهما. ثم اختلفوا، فالخوارجُ أخرجوه عن الإيمان، وأدخلوه في الكفر، والمعتزلةُ لم يدخلوه في الكفر. بل قالوا بالمنزلةِ بين المنزلتين.
والثالث: مذهب المرجئة فقالوا: لا حاجة إلى العمل، ومدار النَّجاة هو التصديق فقط. فصار الأوَّلونَ والمرجئة على طرفي نقيض.
والرابع: مذهب أهل السنة والجماعة وهم بين بين، فقالوا: إن الأعمال أيضاً لا بد منها، لكنّ تَارِكها مُفَسَّقٌ لا مُكَفَّر. فلم يُشددوا فيها كالخوارج، والمعتزلة، ولم يِهوِّنوا أمرها كالمرجئة. ثم هؤلاء افترقوا فرقتين، فأكثر المُحدِّثين إلى أن الإيمانَ مركبٌ من الأعمال. وإمامنا الأعظم رحمه الله تعالى وأكثر الفقهاء والمتكلمين إلى أن الأعمال غير داخل في الإيمان، مع اتفاقهم على أن فاقدَ التَّصديق كافرٌ، وفاقدَ العمل فاسقٌ، فلم يبق الخلاف إلا في التعبير. فإن السلف وإن جعلوا الأعمال أجزاء، لكن لا بحيثُ ينعدمُ الكل بانعدامِهَا، بل يبقى الإيمان مع انتفائها.
وإمامنا وإن لم يجعل الأعمال جزءاً، لكنه اهتم بها وحرَّضَ عليها، وجعلها أسباباً سارية في نماء الإيمان، فلم يهدُرها هَدْر المرجئة، إلا أن تعبيرَ المُحدِّثين القائلين بجزئية الأعمال، لما كان أبعد من المرجئة المنكرين جزئية الأعمال، بخلاف تعبير إمامنا الأعظم رحمه الله تعالى، فإنه كان أقرب إليهم من حيث نفي جزئية الأعمال، رُمِي الحنفية بالإرجاء. وهذا كما ترى جور علينا فالله المستعان. ولو كان الاشتراك بوجه من الوجوه التعبيرية كافياً لنسبة الإرجاء إلينا، لزم نسبة الاعتزال إليهم، فإنهم قائلون: بجزئية الأعمال أيضاً كالمحدثين، ولكن حاشاهم والاعتزال، وعفا الله عمن تعصب ونسب إلينا الإرجاء، فإن الدين نُصْحٌ كله، لا مُرَامَاة ومُنابذة بالألقاب. ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم.
“Iman menurut salaf adalah ibarat tentang tiga hal : keyakinan (i’tiqaad), perkataan, dan amal perbuatan. Telah lewat pembahasan tentang dua hal yang pertama – yaitu keyakinan dan pengakuan – sehingga tinggal yang ketiga yaitu perbuatan. Apakah ia merupakan bagian (juz) dari keimanan ataukah tidak ?. Dalam permasalahan ini terbagi menjadi empat madzhab:
(Pertama dan Kedua), Khawaarij dan Mu’tazilah berkata : sesungguhnya amal perbuatan merupakan bagian dari iman, sehingga meninggalkan amal perbuatan mengkonsekuensikan keluar dari iman menurut mereka. Kemudian mereka berbeda pendapat. Khawaarij mengeluarkan pelakunya dari iman dan memasukkannya dalam kekufuran, sedangkan Mu’tazilah tidak memasukkannya dalam kekufuran, namun mengatakan : al-manzilah bainal-manzilatain.
Ketiga, madzhab Murji’ah. Mereka mengatakan : amal tidak diperlukan dalam keimanan dan poros keselamatan hanyalah sekedar pembenaran (tashdiiq) saja. Maka, dua kelompok pertama (Khawaarij dan Mu’tazilah) dan Murji’ah sangat bertolak belakang.
Keempat, madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Mereka terletak di antara mereka (yang saling berseberangan). Mereka berkata : sesungguhnya amal perbuatan termasuk bagian dari iman, akan tetapi orang yang meninggalkan amal hanya difasikkan, tidak dikafirkan. Tidak seketat Khawaarij dan Mu’tazilah, namun juga tidak selonggar Murji’ah. Kemudian mereka terbagi menjadi dua kelompok. Mayoritas ahli hadits berpendapat iman tersusun dari amal perbuatan. Adapun imam kami yang agung rahimahullaahu ta’ala (yaitu Abu Haniifah) dan kebanyakan fuqahaa’ serta ahli kalam berpendapat bahwa amal tidak masuk dalam iman, namun mereka bersepakat bahwa orang yang tidak mempunyai pembenaran (tashdiiq) adalah kafir, dan orang yang tidak beramal adalah fasiq sehingga tidak ada perbedaan kecuali hanya dalam ungkapan saja. Sesungguhnya salaf meskipun mereka menjadikan amal perbuatan sebagai bagian-bagian (dari iman), akan tetapi itu tidak berarti ketiadaan iman secara keseluruhan dengan ketiadaan amal. Bahkan, iman tetap ada meskipun amal perbuatan tidak ada.
Dan imam kami (Abu Haniifah) meskipun tidak menjadikan amal perbuatan sebagai bagian dari iman, akan tetapi ia menaruh perhatian dan menganjurkan untuk beramal, serta menjadikannya sebab bertambahnya iman. Ia tidak menyia-nyiakan amal perbuatan seperti yang dilakukan Murji’ah. Hanya saja, ungkapan para ahli hadits yang mengatakan amal perbuatan bagian dari iman yang sangat bertolak belakang dengan Murji’ah yang mengingkari amal termasuk bagian dari iman. Ungkapan yang dipakai imam kami rahimahullahu ta’ala berbeda dengan mayoritas ahli hadits dimana ungkapannya tersebut lebih dekat dengan Murji’ah yang menafikkan amal perbuatan termasuk bagian dari iman. Oleh karena itu, pengikut madzhab Hanafiyyah dituduh berpemikiran irjaa’. Sebagaimana yang kalian lihat, ini merupakan kedhaliman, terhadap diri kami, wallaahul-musta’aan. Seandainya adanya persamaan ungkapan cukup untuk menisbatkan irjaa’ terhadap kami, itu mengkonsekuensikan penisbatan i’tizaal (pemahaman Mu’tazilah) kepada mereka, karena Mu’tazilah mengatakan amal merupakan bagian dari iman seperti yang dikatakan para ahli hadits. Akan tetapi sungguh sangat jauh mereka (ahli hadits) dengan pemahaman i’tizaal. Semoga Allah memaafkan orang yang fanatik yang menisbatkan pada kami pada pemahaman irjaa’. Sesungguhnya agama adalah nasihat, bukan aksi tuduh menuduh dan saling memberikan laqab (buruk). Wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah” [Faidlul-Baariy Syarh Shahiih Al-Bukhaariy, 1/53-54].
Namun Asy-Syaikh Al-Barraak hafidhahullah berkata :
و إنما يكون الرجل من المرجئة بإخراج أعمال القلوب و الجوارح عن مسمى الإيمان فإن قال بوجوب الواجبات ، و تحريم المحرمات ، و ترتب العقوبات فهو قول مرجئة الفقهاء المعروف و هو الذي أنكره الأئمة ، و بينوا مخالفته لنصوص الكتاب و السنة
“Dan seseorang termasuk kalangan Murji’ah hanyalah apabila ia mengeluarkan amal-amal hati dan jawaarih (anggota badan) dari nama iman, meskipun ia mengatakan wajibnya amalan-amalan wajib, haramnya keharaman-keharaman, dan menetapkan hukuman-hukuman (terhadap pelanggaran syari’at). Itu adalah perkataan Murji’ah Fuqahaa yang dikenal dan sekaligus diingkari para imam (Ahlus-Sunnah). Mereka (para ulama) telah menjelaskan penyimpangannya terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah” [Jawaabul-Iimaan wa Nawaaqidluhu – e-book dari mauqi’ beliau : http://www.albarrak.islamlight.net].  

Comments