[Prolog
: tulisan ini merupakan salah satu bab dari kitab Mukhtashar Syu’abil-Iimaan
lil-Baihaqiy oleh Al-Qazwiiniy]
Hal
tersebut berdasarkan
firman Allah ta’ala:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah dan yang tercekik” [QS. Al-Maaidah : 3].
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ
مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا
مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua
itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah” [QS.
Al-An’aam : 145].
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [QS. Al-Maaidah :
90].
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu
terdapat dosa besar” [QS. Al-Baqarah : 219].
Allah
ta’ala menetapkan padanya al-itsm (dosa).
Dan
pada ayat yang lain:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ
الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ
الْحَقِّ
“Katakanlah:
"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar” [QS. Al-A’raaf : 33].
(Dalam
ayat ini), Allah ta’ala mengharamkan al-itsm (dosa) secara nash.
Dikatakan,
al-itsm merupakan salah satu nama di antara nama-nama khamr, sebagaimana
ungkapan syair:
شربت الإثم حتى ضل عقلي
كذاك
الإثم يذهب بالعقول
“Aku
minum al-itsm (khamr) hingga tersesat akalku,
demikianlah
al-itsm (khamr) dapat menghilangkan akal”
Hadits
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa yang terdapat dalam Shahiihain :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang al-bit’[1],
lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap
minuman dapat memabukkan, maka haram hukumnya”[2].
Hadits
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dalam Shahiih Muslim:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ
حَرَامٌ
“Setiap
yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan haram hukumnya”[3].
dan haditsnya yang lain dalam Shahiihain:
مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا
ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مِنْهَا، حُرِمَهَا فِي الْآخِرَةِ
“Barangsiapa
yang minum khamr di dunia kemudian ia tidak bertaubat darinya, maka diharamkan
khamr tersebut kelak di akhirat (untuknya)”[4].
Juga hadits Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu dalam Shahiihain:
أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ بِإِيلِيَاءَ بِقَدَحَيْنِ مِنْ خَمْرٍ
وَلَبَنٍ، فَنَظَرَ إِلَيْهِمَا، ثُمَّ أَخَذَ اللَّبَنَ، قَالَ لَهُ جِبْرِيلُ
عَلَيْهِ السَّلَامُ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَاكَ لِلْفِطْرَةِ،
لَوْ أَخَذْتَ الْخَمْرَ لَغَوَتْ أُمَّتُك
“Didatangkan kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pada malam beliau di-israa’-kan di Iiliyaa’[5] dua gelas masing-masing
berisi khamr dan susu. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan
dua gelas tersebut, setelah itu beliau mengambil gelas yang berisi susu. Jibriil
‘alaihis-salaam berkata kepada beliau : ‘Segala puji bagi Allah yang
telah memberikan petunjuk kepadamu terhadap fitrah. Seandainya engkau mengambil khamr, niscaya
umatmu akan tersesat”[6].
dan haditsnya yang lain dalam Shahiihain:
وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ الشَّارِبُ حِينَ
يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ....
“Tidaklah seorang peminum ketika ia sedang minum khamr
dalam keadaan mukmin….”.[7]
Al-Baihaqiy meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Hasan, ia
berkata:
جاء رجل بنبيذ إلى أحب خلق الله إليه حتى
أفسده، يعني العقل
“Datang seorang laki-laki dengan
membawa nabiidz yang merupakan makhluk Allah yang paling ia cintai,
hingga nabiidz tersebut merusaknya – yaitu : akalnya”.
Dikatakan kepada sebagian orang Arab : “mengapa engkau tidak
minum nabiidz ?”. Ia menjawab : “Demi Allah, betapa aku ridla seandainya akalku itu
sehat. Lantas bagaimana aku memasukkan sesuatu kepadanya yang justru akan merusaknya
?”.
Dari Al-Hakam bin Hisyaam, bahwasannya ia pernah berkata
kepada anaknya:
يا بنيَّ إياك والنبيذ، فإنه فيءٌ في شدقك
وسلحٌ في عَقِبِكَ، وحدّ في ظهرك، وتكون ضحكة للصبيان، وأسيراً للدّيَّان
“Wahai anakku, jauhilah nabiidz, karena ia merupakan
muntahan mulutmu, kotoran duburmu, serta hukuman yang menimpa punggungmu yang
menjadi bahan tertawaan anak-anak dan tawanan bagi agama[8]”.
Dari sebagian ahli hikmah, bahwasannya ia pernah berkata
kepada anaknya:
يا بُنيّ ما يدعوك إلى النبيذ؟. قال : يهضم
طعامي. قال : والله [يا] بني هو لدينك أهضم
“Wahai anakku, apa yang mendorongmu untuk minum nabiidz?”.
Si anak menjawab : “Untuk menghancurkan (mencerna) makananku”. Si ahli hikmah
berkata : “Demi Allah wahai anakku, ia lebih menghancurkan agamamu”.
Dari ‘Abdullah bin Idriis, ia berkata:
كل شراب مسكر كثيره
من
تمرة أو عنب عصيره
فإنه محرم يسيره
إني
لكم من شره نذيره
“Setiap minuman yang banyaknya memabukkan
yang diperas dari tamr
(kurma) ataupun anggur
Maka sedikitnya tetap dihukumi haram
sesungguhnya aku
memperingatkan kalian akan kejelekannya”.
Dari Abu Bakr bin Abid-Dunyaa,
bahwasannya ayahnya pernah bersenandung syair kepadanya:
وإذا النبيذ على النبيذ شربته
أزرى
بدينك مع ذهاب الدرهم
“Apabila nabiidz demi
nabiidz engkau minum
agamamu akan tercela diiringi dengan hilangnya harta
(dirham)-mu”.
Al-Husain bin ‘Abdirrahmaan
pernah bersenandung syair kepada kami:
أرى كل قوم يحفظون حريمهم
وليس
لأصحاب النبيذ حريم
إذا جئتهم حيوك ألفاً ورحبوا
وإن
غبت عنهم ساعة فذموم
أخاهم إذا ما دارت الكأس بينهم
وكلهم
رث الوصال سؤوم
فهذا ثنائي لم أقل بجهالة
ولكن
بحال الفاسقين عليم
“Aku
melihat setiap kaum menjaga istri mereka
namun
seorang peminum nabiidz tidak mempunyai istri
Apabila
engkau mendatangi mereka, niscaya mereka akan memberikan seribu penghormatan
dan sambutan
namun
apabila engkau menghilang dari mereka sesaat, mereka akan mencela
Saudara
mereka adalah bila telah beredar gelas (nabiidz) di antara mereka
mereka
semua yang telah usang hubungannya bosan
Ini
tidaklah aku ucapkan berdasarkan kebodohan
akan
tetapi berdasarkan pengetahuan keadaan orang-orang yang fasik”.
Dalam
Shahih Muslim dan yang lainnya dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, disebutkan:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ
لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالى أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ
بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: يَأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ
الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ [المؤمنون :
٥١]، وَقَالَ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ
إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ [البقرة
: ١٧٢] ، ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ
يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ
حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya
Allah itu adalah Thayyib (baik), Ia tidak menerima kecuali yang baik. Dan
sesungguhnya Allah ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminiin dengan apa yang
Ia perintahkan kepada para Rasul. Allah ta’ala berfirman : ‘Hai Rasul-Rasul,
makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’ (QS. Al-Mukminuun : 51).
Allah ta’ala juga berfirman : ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara
rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah,
jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah’ (QS. Al-Baqarah : 172)”.
Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seorang
laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu lalu
menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata : ‘Ya Rabb..ya Rabb…’, sedangkan
makanannya haram, pakaiannya dari yang haram, minumannya haram, dicukupi dari
yang haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya?”[9].
Dalam Shahihain dari
hadits An-Nu’maan bin Basyiir radliyallaahu ‘anhu, (Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam):
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ
الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَ ذَلِكَ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ
النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِعِرْضِهِ وَدِيْنِهِ،
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ
الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيهِ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، وَحِمَى
اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَحَارِمُهُ
“Sesungguhnya yang halal itu
jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang
samar yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Barangsiapa yang menjauhi
perkara-perkara yang samar, sungguh ia telah menyelamatkan kehormatannya dan
agamanya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara-perkara yang samar, maka
ia akan terjatuh pada perkara-perkara yang diharamkan, seperti seorang
penggembala yang menggembala (gembalaannya) di sekitar wilayah larangan
dikhawatirkan lama-kelamaan ia akan memasukinya. Ketahuilah, setiap raja
mempunyai wilayah larangan, dan wilayah larangan Allah di muka bumi adalah
perkara-perkara yang diharamkan-Nya”[10].
Dalam Shahiihain dari
hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, (Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam):
إِنِّي لَأَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِي
فَأَجِدُ التَّمْرَةَ سَاقِطَةً عَلَى فِرَاشِي أَوْ فِي بَيْتِي ، فَأَرْفَعُهَا
لِآكُلَهَا، ثُمَّ أَخْشَى أَنْ تَكُونَ صَدَقَةً فَأُلْقِيهَا
“Sesungguhnya aku pulang
menuju keluargaku. Aku mendapati sebutir kurma terjatuh di atas tempat tidurku atau di rumahku. Lalu aku
angkat kurma tersebut untuk memakannya, namun kemudian aku khawatir jika kurma
tersebut merupakan kurma shadaqah/zakat sehingga aku pun membuangnya”[11].
Dalam Shahiih Al-Bukhaariy dari
hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
كَانَ لِأَبِي بَكْرٍ غُلَامٌ يُخْرِجُ
لَهُ الْخَرَاجَ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأْكُلُ مِنْ خَرَاجِهِ، فَجَاءَ يَوْمًا
بِشَيْءٍ فَأَكَلَ مِنْهُ أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَ لَهُ الْغُلَامُ أَتَدْرِي مَا
هَذَا؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَمَا هُوَ؟ قَالَ: كُنْتُ تَكَهَّنْتُ لِإِنْسَانٍ
فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَمَا أُحْسِنُ الْكِهَانَةَ إِلَّا أَنِّي خَدَعْتُهُ، فَلَقِيَنِي
فَأَعْطَانِي بِذَلِكَ فَهَذَا الَّذِي أَكَلْتَ مِنْهُ، فَأَدْخَلَ أَبُو بَكْرٍ
يَدَهُ فَقَاءَ كُلَّ شَيْءٍ فِي بَطْنِهِ
“Dahulu
Abu Bakr mempunyai seorang budak yang biasa mengeluarkan kharaj (harta
yang menjadi bagian majikan dari usaha budaknya) untuknya. Abu Bakr biasa makan
dari kharaj tersebut. Pada suatu hari, budak tersebut datang membawa
sesuatu, lalu Abu Bakr memakannya. Si budak berkata : ‘Apakah engkau tahu makanan ini?’. Abu Bakr berkata : ‘‘Makanan apa ini?’. Si budak berkata : ‘Dulu di masa jahiliyyah aku pernah praktek perdukunan
kepada orang-orang. Sebenarnya, saya tidak pandai perdukunan, sehingga aku cuma
menipunya saja. Lalu orang tersebut menemuiku dan memberiku upah. Makanan
yang engkau makan ini berasal dari upah itu’. Segera Abu Bakr memasukkan
jarinya ke mulutnya hingga memuntahkan semua yang ada di perutnya”[12].
Dari Zaid bin Aslam:
أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه شرب لبناً
فأعجبه، فقال للذي سقاه : من أين لك هذا اللبن ؟. فأخبره أنه ورد على ماء قد سماه،
فإذا نعم من نعم الصدقة وهم يسقون فحلبوه لي من ألبانها، فجعلته في سقائي وهو هذا،
فأدخل عمر يده فاستقاءه
“Bahwasannya
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pernah meminum susu, lalu ia
merasa heran. Ia berkata
kepada orang yang memberinya minum : ‘Darimana engkau dapatkan susu ini?’.
Kemudian orang tersebut mengkhabarkan kepadanya bahwa ia sampai pada suatu mata air yang telah diberi nama. Ternyata di situ ada
onta-onta shadaqah yang sedang minum air. Mereka memeraskan susunya untukku,
lalu aku jadikan susu itu sebagai minumanku. Susu itu itulah yang engkau
minum’. Maka ‘Umar memasukkan tangannya ke mulutnya lalu memuntahkannya”.
Telah memberitahukan kepada
kami Al-Baihaqiy dengan sanadnya dari Bisyr bin Al-Haarits, ia berkata: Telah
berkata Yuusuf bin Asbaath:
إِذَا تَعَبَّدَ الشَّابُّ، يَقُولُ
إِبْلِيسُ: انْظُرُوا مِنْ أَيْنَ مَطْعَمُهُ، فَإِنْ كَانَ مَطْعَمُهُ مَطْعَمَ
سُوءٍ، قَالَ: دَعُوهُ، لا تَشْتَغِلُوا بِهِ، دَعُوهُ يَجْتَهِدُ وَيَنْصَبُ،
فَقَدْ كَفَاكُمْ نَفْسَهُ
“Apabila seorang pemuda
beribadah, maka Ibliis berkata : ‘Perhatikan dari mana makanannya’. Apabila
makanannya adalah makanan yang buruk, maka Ibliis berkata : ‘Biarkanlah ia,
jangan kalian menyibukkan diri dengannya. Biarkan ia
bersungguh-sungguh dalam ibadahnya, sesungguhnya ia telah mencukupi kalian dengan
(hawa nafsu) dirinya”.
Dari Hudzaifah Al-Mar’asyiy,
bahwasannya ia pernah melihat orang-orang yang bergegas menuju shaf pertama.
Lalu ia berkata:
يَنْبَغِي أَنْ يَتَبَادُرُوا إِلَى
أَكْلٍ مِنَ الْحَلالِ
“Seharusnya mereka (juga)
bergegas untuk memakan makanan yang halal”.
Dari Fudlail bin ‘Iyaadl, ia
berkata: Sufyaan Ats-Tsauriy pernah ditanya tentang keutamaan shaff pertama,
lalu ia menjawab:
انْظُرْ كِسْرَتَكَ الَّتِي تَأْكُلُهَا
مِنْ أَيْنَ تَأْكُلُهَا، وَقُمْ فِي الصَّفِّ الأَخِيرِ
“Lihatlah remahan makanan yang
engkau makan, darimana engkau makan itu. Dan berdirilah di shaff akhir”.
Dan juga darinya (Ats-Tsauriy),
ia berkata:
انْظُرْ دِرْهَمَكَ مِنْ أَيْنَ هُوَ
وَصَلِّ فِي الصَّفِّ الأَخِيرِ
“Lihatlah dirhammu, dari mana
ia (engkau dapatkan). Dan shalatlah di shaff akhir”.
Dari Sarriy As-Saqathiy,
bahwasannya ia tidak memakan sayuran berwarna hitam, tidak buahnya, dan tidak juga
sesuatu yang tidak diketahui asal-usulnya. Ia sangat menekankan hal itu dalam
rangka wara’. Meskipun demikian, ia berkata:
كُنْتُ بِطَرَسُوسَ، وَكَانَ مَعِي فِي الدَّارِ
فِتْيَانٌ مُتَعَبِّدُونَ، وَكَانَ فِي الدَّارِ تَنُّورٌ يَخْبِزُونَ فِيهِ، فَانْكَسَرَ
التَّنُّورُ فَعَمِلْتُ بَدَلَهُ مِنْ مَالِي فَتَوَرَّعُوا أَنْ يَخْبِزُوا فِيهِ
“Aku pernah di negeri
Tharasuus, dan bersamaku di dalam rumah ada pemuda yang rajin beribadah. Di
rumah tersebut
terdapat tanur yang
dipergunakan orang-orang untuk memasak/membuat roti. Lalu tanur tersebut tiba-tiba pecah
sehingga aku menggantinya dari hartaku. Mereka bersikap wara’ untuk membuat
roti dari tungku tanur tersebut”.
Dan juga darinya (Sarriy
As-Saqathiy), ia berkata:
وَكَانَ أَبُو يُوسُفَ الْعُسولي يَلْزَمُ الثَّغْرَ
وَيَغْزُو، فَكَانَ إِذَا غَزَا مَعَ النَّاسِ وَدَخَلُوا بِلادَ الرُّومِ أَكَلَ أَصْحَابُهُ
مِنْ ذبائحهم وفواكههم، وَهُوَ لا يَأْكُلُ، فَيُقَالُ لَهُ: يَا أَبَا يُوسُفَ، أَتَشُكُّ
أَنَّهُ حَلالٌ؟ فَيَقُولُ: لا، فَيُقَالُ لَهُ: فَكُلْ مِنَ الْحَلالِ، فَيَقُولُ:
إِنَّمَا الزُّهْدُ فِي الْحَلالِ
“Adalah Abu Yuusuf Al-‘Usuuliy
senantiasa menjaga perbatasan dan sering berperang. Sewaktu ia berangkat
berperang dengan orang-orang dan masuk ke negeri Romawi, shahabat-shahabatnya
makan sembelihan mereka dan buah-buahan mereka, namun ia tidak memakannya.
Dikatakan kepadanya : ‘Wahai Abu Yuusuf, apakah engkau ragu status kehalalannya
?’. Ia berkata : ‘Tidak’. Dikatakan kepadanya : ‘Makanlah dari makanan yang
halal ini’. Ia berkata : ‘Zuhud itu hanyalah ada pada makanan yang halal”.
Dari As-Sarriy, ia berkata:
رجعت من بعض المغازي، فَرَأَيْتُ فِي طَرِيقِي
مَاءً صَافِيًا وَحَوْلَهُ عُشْبٌ مِنْ حَشِيشٍ قَدْ نَبَتَ، فَقُلْتُ فِي نَفْسِي:
يَا سَرِيُّ، لَوْ كُنْتَ يَوْمًا أَكَلَتْ أَكْلَةً حَلالا، وَشَرِبْتَ شَرْبَةً حَلالا،
فَالْيَوْمُ، فَنَزَلْتُ عَنْ دَابَّتِي، فَأَكَلْتُ مِنْ ذَلِكَ الْحَشِيشِ، وَشَرِبْتُ
مِنْ ذَلِكَ الْمَاءِ، فَهَتَفَ بِي هَاتِفٌ، سَمِعْتُ الصَّوْتَ وَلَمْ أَرَ الشَّخْصَ:
يَا سَرِيُّ الْمُغَلِّس، فَالنَّفَقَةُ الَّتِي بَلَغَتْكَ إِلَى هُنَا مِنْ أَيْنَ
هِيَ؟ فقصر إليّ نفسي
“Aku pernah kembali dari
sebagian peperangan. Lalu aku melihat di jalanku air yang jernih dan di
sekitarnya tumbuh rerumputan dari jenis hasyiisy. Maka aku berkata pada
diriku : ‘Wahai Sarriy, apabila engkau di suatu hari memakan makanan yang halal
dan minum minuman yang halal, lalu bagaimana dengan hari ini ?’. Kemudian aku
turun dari kendaraanku, lalu aku makan hasyiisy tersebut dan minum air
yang ada di situ. Setelah itu aku mendengar suara yang aku tidak melihat orang
yang mengatakannya : ‘Wahai Sarriy bin Al-Mughallis, nafkah yang menyampaikan
dirimu hingga ke tempat ini, dari mana engkau dapatkan ?’. Suara itu mencegah
diriku (untuk memakan dan meminumnya)”.
Diriwayatkan dari sebagian
mereka, bahwasannya ia senantiasa mencari yang halal dan meminta agar
ditunjukkan kepadanya (yang halal). Lantas, ditunjukkanlah ia kepada Al-Hasan
Al-Bashriy. Ia pun melakukan perjalanan dari negeri yang jauh menuju (tempat)
Al-Hasan. Lalu Al-Hasan berkata kepadanya :
إنني رجل واعظ آكل من هدايا الناس وضيافاتهم،
لكنني أدلك على رجل ببلاد سجستان تراه في مزرعته، له بقرة قد جعل لها في أحد طريقيها
تبناً وشعيراً، وفي الآخر ماءً، فإذا وصلت إلى التبن والشعير، عرضهما عليها، وإذا وصلت
إلى الماء، عرضه عليها، فقال : فتوجه الرجل إليه، فوجده كذلك، فسلم عليه وقص عليه حاله،
فبكى الرجل، وقال : قد صدقك الإمام أبو سعيد، لكن زال ذلك عني بسبب أن البقرة عبرت
ذات يوم إلى أرض جاري وقد اشتغلتُ عنها بصلاتي، فعادت إلى أرضي وقوائمها ملطخة بطينها،
واختلط ذلك بطين أرضي فصارت شبهة، عد إليه ليدلك على غيري، وبكى
“Sesungguhnya aku adalah
seorang pemberi nasihat yang makan dari hadiah/pemberian orang dan jamuan
mereka. Akan tetapi akan aku tunjukkan kepadamu seorang laki-laki di negeri
Sijistaan yang engkau akan lihat ladang pertaniannya. Ia memiliki sapi dimana
ia membuat salah satu jalan baginya (sapi) berupa tumpukan jerami dan gandum,
dan jalan yang lain berupa air. Apabila sapi itu sampai pada jalan yang berisi
tumpukan jerami dan gandum, maka ia memberikan keduanya kepada sapinya itu. Dan
apabila sapi itu sampai pada jalan yang berair, maka ia juga memberikan air itu
untuknya”. Maka ia pergi mencari laki-laki tersebut dan berhasil menemuinya. Ia
mengucapkan salam kepadanya dan bercerita kepadanya tentang keadaannya. Maka laki-laki
tersebut menangis seraya berkata : “Sungguh, Al-Imaam Abu Sa’iid (Al-Hasan
Al-Bashriy) telah jujur kepadamu. Akan tetapi apa yang ia ceritakan telah hilang
dariku karena suatu hari sapiku melewati tanah tetanggaku dimana waktu itu aku
sedang sibuk dengan shalatku. Lalu sapi itu kembali ke tanahku sedangkan
kaki-kakinya terlumuri dengan tanahnya dan kemudian bercampur dengan tanahku
sehingga hal itu menjadi syubhat. Kembalilah kepadanya (Al-Hasan) sehingga ia
dapat menunjukkan orang selain diriku”. Kemudian ia menangis.
Dari Abu ‘Abdillah bin Al-Jalaa’,
ia berkata :
أَعْرِفُ مَنْ أَقَامَ بِمَكَّةَ ثَلاثِينَ
سَنَةً لَمْ يَشْرَبْ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ إِلا مَا اسْتَقَاهُ بَرَكْوَتِهِ وَرِشَائِهِ،
وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْ طَعَامِ جَلَبَ مِنْ مِصْرَ شَيْئًا
“Aku
mengetahui seseorang yang tinggal di Makkah selama tiga puluh tahun yang ia
tidak pernah minum air zamzam kecuali yang ia peroleh dengan ceret dan tali
timbanya. Ia tidak mau menerima
makanan yang datang (diimpor) dari Mesir sedikitpun”.
Dari Bisyr bin Al-Haarits Al-Haafiy bin ‘Abdirrahmaan, ia berkata : Aku
mendengar Al-Mu’aafaa bin ‘Imraan berkata:
كَانَ عَشَرَةٌ فِيمَنْ مَضَى مِنْ أَهْلِ
الْعِلْمِ يَنْظُرُونَ الْحَلال الشَّدِيدَ، لا يُدْخِلُونَ بُطُونَهُمْ إِلا مَا يَعْرِفُونَ
مِنَ الْحَلالِ، وَإِلا اسْتَفُّوا التُّرَابَ ". ثُمَّ عَدَّ بِشْرُ إِبْرَاهِيمَ
بْنَ أَدْهَمَ، وَسُلَيْمَانَ الْخَوَّاصَ، وَعَلِيَّ بْنَ فُضَيْلِ بْنِ عِيَاضٍ،
وَأَبَا مُعَاوِيَةَ الأَسْوَدَ، وَيُوسُفَ بْنَ أَسْبَاطٍ، وَوُهَيْبَ بْنَ الْوَرْدِ،
وَحُذَيْفَةَ شَيْخاً مِنْ أَهْلِ حَرَّانَ، وَدَاوُدَ الطَّائِيَّ، فَعَدَّ بِشْرٌ
عَشَرَةً
“Ada sepuluh orang dari
kalangan ulama dahulu yang senantiasa memperhatikan kehalalan dengan sangat
ketat. Tidak akan masuk ke perut-perut mereka kecuali yang mereka ketahui dari
makanan yang halal. Jika
tidak, maka mereka mencukupkan diri menelan tanah”. Kemudian Bisyr menyebutkan orang-orang
tersebut diantaranya : Ibraahiim bin Idham, Sulaimaan Al-Khawwaash, ‘Aliy bin
Fudlail bin ‘Iyaadl, Abu Mu’aawiyyah Al-Aswad, Yuusuf bin Asbaath, Wuhaib bin
Al-Ward, Hudzaifah syaikh penduduk negeri Harraan, Daawud Ath-Thaaiy, dan kemudian
Bisyr menghitungnya sepuluh orang.
Dari Yahyaa bin Ma’iin
Al-Muhaddits :
الْمَالُ يَذْهَبُ حِلُّهُ وَحَرَامُهُ يَوْمًا
وَيَبْقَى فِي غَدٍ آثَامُهُ
لَيْسَ التَّقِيُّ بِمُتَّقٍ لإِلَهِهِ حَتَّى
يَطِيبَ شَرَابُهُ وَطَعَامُهُ
وَيَطِيبَ مَا يَحْوِي وَيَكْسِبُ
كَفُّهُ وَيَكُونَ فِي حُسْنِ الْحَدِيثِ كَلامُهُ
نَطَقَ النَّبِيُّ لَنَا بِهِ عَنْ
رَبِّهِ فَعَلَى النَّبِيِّ صَلاتُهُ وَسَلامُهُ
“Harta akan hilang kehalalan
dan keharamannya suatu hari nanti
sehingga hanya tersisa keesokan harinya
dosa-dosanya
Tidaklah
ketaqwaan terhadap
Tuhannya (dapat diraih)
hingga ia memperbaiki makanan dan minumannya
Serta memperbaiki apa yang ia miliki
dan ia usahakan
sehingga perkataannya adalah hadits-hadits
yang baik
Yang diucapkan Nabi kepada kita
dari Rabbnya
shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi”.
Sufyaan Ats-Tsauriy pernah
ditanya tentang wara’, lalu ia menjawab:
إِنِّي وَجَدْتُ فَلا تَظُّنُوا غَيْرَهُ هَذَا
التَّوَرُّعَ عِنْدَ هَذَا الدِّرْهَمُ
فَإِذَا قَدَرْتَ
عَلَيْهِ ثُمَّ تَرَكْتَهُ فَاعْلَمْ
بِأَنَّ هُنَاكَ تَقْوَى الْمُسْلِم
“Sesungguhnya aku mendapati
sesuatu yang tidak disangka oleh orang lain
sifat wara’ ini ketika dirham ada di sisinya
Apabila
engkau mampu untuk mendapatkannya namun engkau tinggalkan
ketahuilah
bahwa di sanalah ketaqwaan seorang muslim”.
Dari
Muhammad bin ‘Abdil-Kariim Al-Marwaziy : Ketika Yahyaa bin Aktsam dipercaya
menjabat qadliy/hakim, saudaranya yang bernama ‘Abdullah bin Aktsam di negeri
Marwi – dan ia seorang yang zuhud – menulis surat kepadanya:
وَلُقْمَةٍ بِجَرِيشِ الْمِلْحِ تَأْكُلُهَا أَلَذُّ
مِنْ تَمْرَةٍ تُحْشَى بِزَنْبُورِ
وَأَكْلَة قَرَّبَتْ لِلْهُلْكِ
صَاحِبَهَا كَحَبَةِ الْفَخِّ دَقَّتْ عُنْقَ عُصْفُورِ
“Sesuap
tumbukan garam yang engkau makan
lebih
lezat daripada kurma yang dimakan bersama zanbur
Makanan
yang mendekatkan orang yang memakannya pada kehancuran
seperti
biji jerat yang memecahkan leher burung pipit”.
Dari
Ibraahiim bin Husyaim, bahwasannya ia pernah menasihati rekannya ketika melepas
kepergiannya. Ia berkata:
أوصيك أن يكون عملك صالحا، وتأكل طيبا
“Aku
menasihati dirimu agar amalanmu shaalih, dan engkau memakan makanan yang baik
(halal)”.
[selesai
– diterjemahkan dari Mukhtashar Syu’abil-iimaan lil-Baihaqiy oleh Al-Qazwiiniy,
tahqiq ‘Abdul-Qaadir Al-Arna’uth, hal. 76-87, Daar Ibnu Katsiir, Cet. 2/1405 dengan
sedikit peringkasan – perumahan ciomas permai – 18041436 – 16:35].
[1] Nabiidz (sejenis minuman keras) yang
berasal dari madu yang dulu biasa diminum penduduk Yaman.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy 10/35,
Muslim no. 2001, Maalik dalam Al-Muwaththa’ 2/845, Abu Daawud no. 3682
& 3687, At-Tirmidziy no. 1864 & 1867, An-Nasaa’iy 8/298, Ibnu Maajah
no. 3386, dan Ahmad 6/96 & 190 & 226 dari hadits ‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhaa.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim no. 2003 dan Ahmad
2/16 & 29 & 31 & 98.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy 10/25-26,
Muslim no. 2003 (73 & 76-78) dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa.
Khamr
akhirat tidaklah memabukkan. Ia hanyalah minuman lezat yang tidak mengandung
alkohol. Allah ta’ala berfirman:
يُطَافُ
عَلَيْهِمْ بِكَأْسٍ مِنْ مَعِينٍ * بَيْضَاءَ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ * لا فِيهَا
غَوْلٌ وَلا هُمْ عَنْهَا يُنْزَفُونَ
“Diedarkan kepada mereka gelas yang
berisi khamar dari sungai yang mengalir. (Warnanya) putih bersih, sedap rasanya
bagi orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamar itu alkohol dan mereka
tiada mabuk karenanya”
[QS. Ash-Shaaffaat : 45-47].
yaitu : akal mereka tidak hilang dan tidak pula
menyebabkan pusing karena meminumnya.
[6] Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy 6/307 & 6/348-349 & 8/298 & 10/28 dan Muslim no.
168 & 2009 (92) dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
[7] Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy 5/86 & 10/28 & 12/50 & 12/101, Muslim no. 57, Abu
Daawud no. 4689, At-Tirmidziy no. 2627, An-Nasaa’iy 8/64, dan Ahmad 2/317 &
386 dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Diriwayatkan juga oleh
Al-Bukhaariy 12/71 & 12/71 & 12/101 dari hadits ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa.
[9] Diriwayatkan
oleh Muslim no. 1015, At-Tirmidziy no. 2992, dan Ahmad 2/328 dari hadits Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’ sampai kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[10] Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy 1/117-119 & 4/249, Muslim no. 1599, Abu Daawud no. 3329-3330,
At-Tirmidziy no. 1205, An-Nasaa’iy 7/241, Ibnu Maajah no. 3984, dan Ahmad 4/267
& 269 & 271 & 275 dari hadits An-Nu’maan bin Basyiir radliyallaahu
‘anhumaa secara marfuu’ sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. Diriwayatkan juga dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari
hadits Ibnu ‘Umar, ‘Ammaar bin Yaasir, Jaabir, Ibnu Mas’uud, dan Ibnu ‘Abbaas.
Adapun hadits An-Nu’maan adalah yang paling shahih dalam bab ini.
[11] Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy 5/63, Muslim no. 1070 (162 & 163), dan Ahmad 2/317 dari
hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’ sampai
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Comments
Assalamualaykum ustadz Donny, semoga Allah ta'ala selalu memberkahi antum..
Ana ada pertanyaan terkait artikel antum di atas.. bagaimana dengan status kehalalan warung-warung makan disekitar kantor? karena ana sebagai pekerja tidaklah mengetahui apakah daging yang mereka jual telah disembelih dengan nama Allah atau tidak.. atau sang penjual warung makan tsb juga tidak mengetahui apakah daging yang ia beli dipasar telah disembelih dengan nama Allah atau tidak..
Jika ana berhusnudzon bahwa daging tersebut in sya Allah telah disembelih dengan nama Allah, bolehkah?
Syukron, atas perhatiannya ustadz..
wa'alaikumus-salaam.
Dikarenakan kita tinggal di negeri yang mayoritas muslim dan apabila diketahui si penjual juga muslim, maka status makanan yang ia jual adalah halal, hingga ada keterangan/bukti yang menunjukkan keharamannya.
wallaahu a'lam.
Posting Komentar