Para
shahabat radliyallaahu ‘anhum adalah teladan bagi kita dalam bermuamalah
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kita dapat membaca bagaimana
fantastiknya kehidupan mereka bersama beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
terutama kecintaan mereka kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak ada seorang pun di dunia yang lebih mereka cintai melebihi Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini saya ajak
rekan-rekan untuk membaca dan menghayati beberapa riwayat yang menceritakan
kecintaan dan pengagungan mereka kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
‘Aliy
bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu pernah ditanya : “Bagaimana
kecintaan kalian kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia
menjawab:
كَانَ والله أَحَبَّ
إِلَيْنَا، من أَمْوَالِنَا، وَأَوْلادِنَا، وَآبَائِنَا، وأُمَّهَاتِنَا، وَمِنَ
المَاءِ الْبَارِدِ عَلَى الظَّمَإِ
“Demi
Allah, beliau lebih kami cintai daripada harta-harta kami, anak-anak kami,
ayah-ayah kami, ibu-ibu kami, dan daripada air dingin bagi orang yang kehausan”.[1]
Abu
Sufyaan bin Harb – yang waktu itu masih musyrik – pernah bertanya kepada Zaid
bin Ad-Datsinah radliyallaahu ‘anhumaa ketika penduduk Makkah mengeluarkannya
dari tanah Haram hendak membunuhnya - Zaid berstatus tawanan di sisi mereka - .
Abu Sufyaan berkata : “Apakah engkau suka seandainya Muhammad sekarang
menggantikan tempatmu yang akan kami penggal lehernya, sedangkan engkau berada
di tengah keluargamu ?”. Zaid berkata:
والله ما أحب أن محمدا الآن
فِي مَكانِهِ الَّذِي هُوَ فِيهِ تُصِيبُهُ شَوْكَةٌ وَأَنِّي جَالِسٌ فِي أهْلِي
“Demi
Allah, aku tidak suka seandainya Muhammad sekarang berada di tempatnya terkena duri sedangkan aku duduk manis bersama keluargaku”.
Abu Sufyaan lalu berkata:
مَا رَأيْتُ مِنَ النَّاسِ
أَحَدًا يُحِبُّ أَحَدًا كَحُبِّ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ مُحَمَّدًا
“Aku tidak pernah melihat seseorang
mencintai orang lain seperti kecintaan shahabat-shahabat Muhammad kepada
Muhammad”.[2]
Sa’d bin Mu’aadz radliyallaahu
‘anhu pernah berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada
waktu perang Badr:
يا نبى الله ألا نبنى لك
عريشا تكون فيه ونعد عندك ركائبك، ثم نلقى عدونا، فإن أعزنا الله وأظهرنا على
عدونا كان ذلك ما أحببنا، وإن كانت الاخرى جلست على ركائبك فلحقت بمن وراءنا من
قومنا، فقد تخلف عنك أقوام ما نحن بأشد حبا لك منهم، ولو ظنوا أنك تلقى حربا ما
تخلفوا عنك، يمنعك الله بهم يناصحونك ويجاهدون معك. فأثنى عليه رسول الله صلى الله
عليه وسلم خيرا ودعا له بخير
“Wahai Nabi
Allah, tidakkah engkau ingin kami membuatkan untukmu sebuah tandu yang engkau
dapat duduk di dalamnya, dan kami persiapkan kendaraanmu. Kemudian kami bertemu
(untuk bertempur) dengan musuh kami. Apabila Allah memberikan kami kemenangan
kepada kami atas musuh kami, maka itulah yang kami inginkan. Dan seandainya
kami kalah, maka silakan engkau duduk di kendaraanmu untuk bertemu pasukan yang
ada di belakang kami. Sungguh, akan ada beberapa kaum di belakangmu yang mereka
itu mencintaimu tidak sebagaimana kami yang sangat mencintaimu. Seandainya mereka
menyangka engkau menghadapi pertempuran, maka mereka tidak akan mundur darimu.
Allah melindungi engkau dengan perantaraan mereka. Mereka berperang dan
berjihad bersamamu[3]”.
Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memuji mereka dan
mendoakan mereka kebaikan.[4]
Anas bin Maalik radliyallaahu
‘anhu, ia berkata:
لَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ
حَاصَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ حَيْصَةً، قَالُوا: " قُتِلَ مُحَمَّدٌ، حَتَّى
كَثُرَتِ الصَّوَارِخُ فِي نَاحِيَةِ الْمَدِينَةِ، فَخَرَجَتِ امْرَأَةٌ مِنَ
الأَنْصَارِ مُتَحَزِّمَةً، فَاسْتُقْبِلَتْ بِابْنِهَا وَأَبِيهَا وَزَوْجِهَا
وأَخِيها، لا أَدْرِي أَيُّهُمُ اسْتُقْبِلَتْ بِهِ أَوَّلَ، فَلَمَّا مَرَّتْ
عَلَى آخِرِهِمْ، قَالَتْ: مَنْ هَذَا؟ قَالُوا: أَبُوكِ، أَخُوكِ، زَوْجُكِ،
ابْنُكِ، تَقُولُ: مَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُونَ: أَمَامَكِ حَتَّى دُفِعَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَخَذَتْ بِنَاحِيَةِ ثَوْبِهِ، ثُمَّ قَالَتْ: " بِأَبِي أَنْتَ
وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ، لا أُبَالِي إِذْ سَلِمْتَ مَنْ عَطِبَ
“Ketika perang Uhud, penduduk
Madiinah berlarian. Mereka berkata : ‘Muhammad terbunuh’. Hingga banyak
teriakan di penjuru kota Madiinah (karenanya). Lalu keluarlah seorang wanita
Anshar. Ia datang dengan jenazah anaknya, suaminya, dan saudara laki-lakinya.
Aku tidak tahu mana yang lebih dahulu datang. Ketika melewati jenazah yang
paling akhir di antara mereka, wanita itu berkata : ‘Siapakah ini ?’. Mereka
berkata : ‘Ayahmu, saudara laki-lakimu, suamimu, anak laki-lakimu’. Ia kembali
bertanya : ‘Apa yang terjadi pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam ?’. Ia menjawab : Mereka menjawab : ‘Di hadapanmu’. Hingga kemudian
wanita tersebut sampai di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Wanita itu memegang ujung pakaian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam seraya
berkata : ‘Ayah dan ibuku sebagai tebusannya. Wahai Rasulullah, tidak masalah (musibah
yang menimpa kami) apabila engkau selamat dari musibah”[5].
Dalam lain riwayat:
كُلُّ مُصِيبَةٍ بَعْدَكَ
جَلَلٌ
“Setiap musibah selain dirimu
adalah ringan”.[6]
Para shahabat radliyallaahu
‘anhum telah menghukumi diri dan harta mereka untuk Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana perkataan mereka:
هذه أموالنا بين يديك؛ فاحكم
فيها بما شئت، وهذه نفوسنا بين يديك؛ لو استعرضت بنا البحر لخضناه، نقاتل بين يديك،
ومن خلفك، وعن يمينك، وعن شمالك
“Ini adalah harta-harta kami ada
di depanmu. Maka putuskanlah padanya sesuai dengan apa yang engkau kehendaki. Dan ini
adalah jiwa-jiwa kami di depanmu. Seandainya engkau memerintahkan kami
menyeberangi lautan, sungguh akan kami lakukan. Kami akan berperang di depanmu,
di belakangmu, di samping kananmu, dan di samping kirimu (untuk melindungimu)”.[7]
Ini merupakan perkataan yang
paling jujur dalam pengungkapan kecintaan terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam.
Dan
di antara penyifatan paling indah dalam pengagungan para shahabat terhadap Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah apa yang dikatakan ‘Urwah bin
Mas’uud Ats-Tsaqafiy radliyallaahu ‘anhu – yang saat itu masih kafir - ketika
berunding dengan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dalam perjanjian Hudaibiyyah. Saat ia kembali kepada
kaumnya ia berkata:
أَيْ قَوْمِ، وَاللَّهِ
لَقَدْ وَفَدْتُ عَلَى الْمُلُوكِ وَوَفَدْتُ عَلَى قَيْصَرَ، وَكِسْرَى،
وَالنَّجَاشِيِّ، وَاللَّهِ إِنْ رَأَيْتُ مَلِكًا قَطُّ يُعَظِّمُهُ أَصْحَابُهُ
مَا يُعَظِّمُ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحَمَّدًا،
وَاللَّهِ إِنْ تَنَخَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ
فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ، وَإِذَا أَمَرَهُمُ ابْتَدَرُوا أَمْرَهُ،
وَإِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ، وَإِذَا تَكَلَّمَ
خَفَضُوا أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ، وَمَا يُحِدُّونَ إِلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا
لَهُ
“Wahai kaum kaum, demi Allah
sungguh aku pernah menjadi delegasi untuk para raja, kaisar, Kisraa, dan
An-Najaasyiy. Demi Allah, aku tidak pernah melihat seorang raja pun yang
diagungkan para sahabatnya seperti para sahabat Muhammad kepada Muhamad shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Demi Allah, tidaklah ia (Nabi Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam) mengeluarkan dahak kecuali mengenai telapak salah
seorang dari mereka, lalu ia menggosokkannya di wajah dan kulitnya. Jika ia
memerintahkan mereka, maka mereka segera melaksanakannya. Jika ia berwudlu,
mereka seakan-akan berperang memperebutkan air sisa wudlunya. Dan apabila ia
berbicara, mereka merendahkan suara-suara mereka serta tidak memandang langsung
kepadanya karena mengagungkannya”.[8]
Telah disifatkan kepada para
shahabat bagaimana keadaan duduk mereka dan perhatian mereka di hadapan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dengan sifat yang sangat mengagumkan, diantaranya adalah
apa yang dikatakan oleh Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu:
وَسَكَتَ النَّاسُ كَأَنَّ
عَلَى رءُوسِهِمُ الطَّيْرَ
“Orang-orang terdiam
seakan-akan di atas kepala mereka ada burung”.[9]
‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu
‘anhumaa berkata:
وَمَا كَانَ أَحَدٌ أَحَبَّ
إِلَيَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا أَجَلَّ فِي
عَيْنِي مِنْهُ، وَمَا كُنْتُ أُطِيقُ أَنْ أَمْلَأَ عَيْنَيَّ مِنْهُ إِجْلَالًا
لَهُ، وَلَوْ سُئِلْتُ أَنْ أَصِفَهُ مَا أَطَقْتُ، لِأَنِّي لَمْ أَكُنْ أَمْلَأُ
عَيْنَيَّ مِنْهُ
“Tidak ada seorang pun yang
lebih aku cintai daripada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan
tidak ada yang lebih agung daripada beliau. Dan kedua mataku tidak sanggup
menatap beliau karena keagungannya. Dan seandainya aku ditanya mengenai sifat
beliau maka aku tidak mampu, karena kedua mataku tidak sanggup memandangnya”.[10]
Ketika Abu Sufyaan mengunjungi
anaknya, yaitu Ummu Habiibah radliyallaahu ‘anhaa, di Madiinah, ia masuk
ke rumahnya lalu hendak duduk di kasur/pembaringan (yang biasa dipakai)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi Ummu Habiibah (melarangnya
dan) melipatnya, sehingga Abu Sufyaan berkata:
يا بنية، ما أدري أرغبت بي عن
هذا الفراش أو رغبت به عني؟
“Wahai
anakku, aku tidak tahu apakah engkau mengutamakan aku daripada kasur ini
ataukah engkau mengutamakan kasur ini daripada aku ?”.
Ummu Habiibah berkata:
هو فراش رسول الله صلى الله عليه
وسلم، وأنت مشرك نجس؛ فلم أحب أن تجلس على فراشه
“Itu
adalah kasur Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan engkau
ini masih musyrik lagi najis. Aku
tidak suka engkau duduk di atas kasur beliau tersebut”.[11]
Termasuk diantara besarnya
semangat para shahabat dalam memuliakan dan menjauhkan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam dari hal-hal yang tidak menyenangkan adalah perkataan
Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu:
أَنَّ أَبْوَابَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تُقْرَعُ بِالأَظَافِيرِ
Ketika turun firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا
لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ
وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara
Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana
kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak
hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari” [QS. Al-Hujuraat : 2].
Ibnuz-Zubair radliyallaahu
‘anhumaa berkata:
فَمَا كَانَ عُمَرُ يُسْمِعُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ هَذِهِ الْآيَةِ حَتَّى
يَسْتَفْهِمَهُ
“’Umar
(bin Al-Khaththaab) tidak pernah mendengar perkataan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam setelah turun ayat ini kecuali ia meminta penjelasannya”.[14]
Tsaabit bin Qais radliyallaahu
‘anhu adalah orang yang mempunyai suara keras yang biasa bersuara keras di
sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun kemudian duduk di
rumahnya menundukkan kepala (bersedih) karena menganggap ia sebagai penduduk
neraka dengan sebab suaranya tersebut; hingga kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam memberi kabar gembira surga kepadanya.[15]
[selesai – diterjemahkan secara
bebas dari bagian artikel Mahabbatun-Nabiy shallallaahu ‘alaihi wa sallam wa
Ta’dhiimuhu oleh ‘Abdul-Lathiif bin Muhammad Al-Hasan yang terkumpul dalam
buku Huquuqun-Nabiy bainal-Ijlaal wal-Ikhlaal, hal. 78-81 – ciomas permai,
09011436, 20:50].
[1] Syarhusy-Syifaa’, 2/40.
[3] Maksudnya, jika
cinta orang-orang yang datang setelah para shahabat tidak seperti shahabat,
namun mereka siap membela dan berperang untuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam; lantas bagaimana dengan para shahabat ?. Tentu mereka lebih-lebih
lagi dari mereka dalam hal pengorbanan dan pembelaan – Abul-Jauzaa’.
[5] Diriwayatkan
oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 8/244. Riwayat tersebut terdapat
dalam Majma’uz-Zawaaid oleh Al-Haitsamiy 6/115, dan ia menyebutkan bahwa
para perawinya tsiqaat, kecuali satu orang yang tidak diketahui
identitasnya. Lihat Al-Bidaayah wan-Nihaayah 4/280.
[6] Diriwayatkan
oleh Ibnu Hisyaam dalam As-Siirah 3/43, dan dari jalannya dibawakan Ibnu
Katsiir dalam Al-Bidaayah wan-Nihaayah 4/280.
[7] Raudlatul-Muhibbiin
hal. 277, dan itu merupakan perkatataan Sa’d bin Mu’aadz saat perang Badr
sebagaimana dikatakan oleh ahli sirah. Lihat : Siirah Ibni Hisyaam,
2/188 dan asalnya ada di Shahiih Muslim 2/1403 no. 1779.
[11] Dibawakan
oleh Ibnu Katsiir dalam Al-Bidaayah wan-Nihaayah 4/280 dan Ibnu Hajar
dalam Al-Ishaabah 4/299, 300.
[12] Yaitu bagi
orang yang hendak bertamu/menemui beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
sehingga dengan ketukan kuku yang lembut tersebut tidak akan mengagetkan dan
mengganggu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam – Abul-Jauzaa’.
[13] Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan, 2/201 no. 1531, Al-Khathiib
dalam Al-Jaami’ li-Akhlaaqir-Raawiy wa Aadaabis-Saami’ 1/95.
Comments
Ustadz, saya perhatikan, hanya Abu Sufyaan saja di atas yang tidak diberi doa radhiyallahu 'anhu. Apakah beliau bukan sahabat?
Jazakallahu khair.
Shahabat, di awal saya sebutkan setelah menyebut Zaid bin Ad-Datsinah : 'radliyallaahu ‘anhumaa'. Maksudnya, di sini sudah meliputi keduanya.
Ooh.. afwan, karena biasanya radhiyallahu 'anhuma itu jika disebutkan untuk anak dan bapak dalam satu nama semisal Abdullah bin 'Umar, maka itu untuk keduanya.
Posting Komentar