Ketika
manusia telah dikuburkan, disebutkan dalam hadits bahwa ia akan ditanya dengan beberapa
hal oleh malaikat yang
salah satu pertanyaannya
adalah:
مَا كُنْتَ تَقُولُ
فِي هَذَا الرَّجُلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Apa
yang kamu katakan tentang orang ini, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1338 & 1374,
dari shahabat Anas radliyallaahu ‘anhu].
Beberapa orang salah paham dengan
mengartikan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika itu nampak
atau hadir menyertai malaikat Munkar dan Nakir. Hal itu ditunjukkan dengan
adanya isim isyarah ‘hadza’ (هَذَا) dalam kalimat di atas yang menunjukkan
objeknya dekat dan hadir.
Ini keliru, karena tidak mesti
isim ‘hadza’ menunjukkan sesuatu yang dekat dan hadir – meskipun kebanyakan
menunjukkan makna demikian. Misalnya hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " لَمَّا بَلَغَ أَبَا ذَرٍّ مَبْعَثُ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَخِيهِ ارْكَبْ إِلَى هَذَا الْوَادِي فَاعْلَمْ لِي عِلْمَ هَذَا الرَّجُلِ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ يَأْتِيهِ
الْخَبَرُ مِنَ السَّمَاءِ، وَاسْمَعْ مِنْ قَوْلِهِ ثُمَّ ائْتِنِي......
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa, ia berkata: “Ketika sampai berita kepada Abu Dzarr tentang
diutusnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata kepada
saudaranya : ‘Berangkatlah kamu menuju lembah ini (Makkah), dan kabarkan
kepadaku tentang laki-laki yang mengaku sebagai Nabi ini dan mengaku berita
dari langit datang kepadanya. Dengarkanlah ucapannya kemudian kembalilah
kepadaku…” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3861].
Perkataan ‘hadzal-waadiy’
(lembah ini) dan ‘hadzar-rajul’ (laki-laki ini) tidak menunjukkan
bahwa kedua objek tersebut ada di dekat Abu Dzarr dan tampak olehnya.
عَنْ أَبِي
قِلَابَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سَلَمَةَ، قَالَ: ...." كُنَّا بِمَاءٍ مَمَرَّ
النَّاسِ، وَكَانَ يَمُرُّ بِنَا الرُّكْبَانُ، فَنَسْأَلُهُمْ: مَا لِلنَّاسِ، مَا
لِلنَّاسِ، مَا هَذَا الرَّجُلُ؟ فَيَقُولُونَ:
يَزْعُمُ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَهُ أَوْحَى إِلَيْهِ، أَوْ أَوْحَى اللَّهُ بِكَذَا،
فَكُنْتُ أَحْفَظُ ذَلِكَ الْكَلَامَ وَكَأَنَّمَا يُقَرُّ فِي صَدْرِي، وَكَانَتْ
الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمُ الْفَتْحَ، فَيَقُولُونَ: اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ،
فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ
Dari ‘Amru bin Salamah, ia
berkata : “…. Kami pernah berada di sumber air yang dilewati
banyak orang. Waktu itu para pengendara dalam perjalanan melewati sumber air
kami. Kami bertanya pada mereka : ‘Ada apa dengan
orang banyak ? Ada
apa dengan orang banyak ? Siapakah laki-laki ini (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) ?’. Mereka menjawab :
‘Ia adalah seorang
laki-laki yang mengaku diutus sebagai seorang Rasul dan mendapat wahyu begini
dan begini’. Aku lalu menghafal betul ucapan tersebut sehingga seolah-olah terpatri
dalam dadaku. Dan orang-orang Arab menunggu untuk masuk
Islam bila terjadi penaklukkan kota
Makkah. Mereka berkata : ‘Tinggalkan saja dia dan kaumnya. Kalau dia
berhasil menaklukkan mereka, berarti dia seorang Nabi yang sebenarny….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4302]..
‘Amru bin Salamah menggunakan kalimat
‘hadzar-rajul’ yang dimaksudkan dengannya adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, padahal diketahui bahwa saat ia berbicara, beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak berada bersamanya.
Perkataan Heraklius saat
menerima rombongan dagang suku Quraisy, kepada Abu Sufyaan:
أَيُّكُمْ
أَقْرَبُ نَسَبًا بِهَذَا الرَّجُلِ الَّذِي
يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ؟ فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ، فَقُلْتُ: أَنَا أَقْرَبُهُمْ
نَسَبًا
“Siapakah
di antara kalian yang paling dekat nasabnya dengan laki-laki ini yang mengaku
sebagai Nabi?".
Abu Sufyaan berkata : Aku
katakan : "Akulah yang paling dekat nasabnya di antara mereka dengannya….”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7].
Heraklius menggunakan kata ‘hadzar-rajul’
untuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang pada waktu itu tidak
bersamanya.
Kembali ke bahasan hadits di
awal artikel…..
Ada beberapa lafadh lain yang
menunjukkan secara jelas bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
nampak bersama malaikat sewaktu terjadinya pertanyaan kubur, diantaranya:
Dari jalan Asmaa’ bintu Abi
Bakr radliyallaahu ‘anhumaa disebutkan dengan lafadh:
قَالَ:
" فَيَجْلِسُ، فَيَقُولُ لَهُ: مَاذَا تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ؟ قَالَ: مَنْ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ، قَالَ: أَنَا أَشْهَدُ أَنَّهُ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Lalu ia (mayit) pun duduk. Kemudian malaikat berkata
kepadanya : ‘Apa yang engkau katakan tentang orang ini, yaitu Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam ?’. Ia menjawab : ‘Siapa?’. Malaikat berkata : ‘Muhammad’. Ia
berkata : ‘Aku bersaksi bahwasannya ia adalah utusan Allah….” [Diriwayatkan
oleh Ahmad 6/352; sanadnya shahih].
Dalam salah satu jalan Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu disebutkan dengan lafadh:
فَيُقَالُ
لَهُ: مَا تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ الَّذِي كَانَ فِيكُمْ، يَعْنِي النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ جَاءَنَا
بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا فَصَدَّقْنَا وَاتَّبَعْنَا
“Lalu
dikatakan kepadanya (mayit) : ‘Apa yang engkau katakan tentang laki-laki ini
yang ada di tengah-tengah kalian (semasa di dunia), yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam ?’. Ia
menjawab : ‘Aku bersaksi bahwasannya ia adalah utusan Allah. Datang kepada kami
dengan penjelasan-lenjelasan dari sisi Rabb kami, lalu kami membenarkannya dan
mengikutinya….”
[Diriwayatkan oleh Hanaad dalam Az-Zuhd no. 338; hasan].
Maksudnya, Nabi Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang ada di tengah manusia semasa mereka hidup di dunia.
As-Suyuuthiy rahimahullah
berkata:
وَسُئِلَ
هَل يكْشف لَهُ حَتَّى يرى النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فَأجَاب أَنه لم يرد
حَدِيث وَإِنَّمَا إدعاه بعض من لَا يحْتَج بِهِ بِغَيْر مُسْتَند سوى قَوْله فِي هَذَا
الرجل وَلَا حجَّة فِيهِ لِأَن الْإِشَارَة إِلَى الْحَاضِر فِي الذِّهْن
“Dan
Ibnu Hajar pernah ditanya : ‘Apakah hal itu disingkap baginya (mayit/orang yang
meninggal) hingga ia dapat melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam?’.
Ibnu Hajar berkata : ‘Tidak ada
hadits (yang mendasarinya). Itu hanyalah dakwaan sebagian orang yang tidak
memiliki hujjah yang dapat dijadikan sandaran kecuali perkataannya : ‘hadzar-rajul’
(orang ini). Padahal tidak ada hujjah di dalamnya karena itu merupakan isyarat
kepada seseorang yang hadir di dalam pikiran” [Syarhush-Shuduur, hal.
60].
Itu saja yang dapat dituliskan,
semoga artikel pendek ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
Comments
Assalamu'alaikum ustadz, afwan OOT.
Apakah benar bahwa orang yang bermimpi bertemu Rasul shallallahu 'alaiahi wasallam itu belum tentu itu Nabi seperti yang dikatakan di KonsultasiSyariah?
Karena saya pernah bermimpi dengan seseorang yang didalam hati saya mengatakan bahwa orang itu adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, meskipun orang itu tak mengatakan bahwa ia adalah Nabi.
Dalam mimpi itu saya lihat orang yang saya rasakan sebagai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam itu tengah mengisi semacam ta'lim disebuah rumah yang hampir runtuh, kemudian melihat kepada saya dan tersenyum.
Apakah mimpi bertemu Nabi yang sesungguhnya itu melalui pengakuan ataukah perasaan?
Karena Ustadz di KonsultasiSyariah mengatakan bahwa seseorang yang bermimpi orang yang mengaku Nabi Muhammad dalam mimpi itu belum tentu Nabi Muhammad.
Bagaimana pandangan Anda, Abul Jauzaa tentang wacana penghapusan kolom agama di KTP. Apakah kolom agama di KTP memang nyata-nyata pemicu diskriminasi dan intoleransi di Indonesia?
@Anonim 16 Juni 2014 05.56
Anda jangan terlalu terbawa mimpi, jika bukan seorang nabi, mimpi manusia biasa itu tak ubahnya bunga tidur belaka. Dan, sebaiknya memang mimpi itu tidak untuk diumbar, apalagi jika mimpi itu menyoal pertemuan dengan rasulullah. Jika pun kemudian sampai detik masih kepikiran, silakan samakan saja dengan hadis-hadis yang menggambarkan sosok nabi, kalau sesuai ya ambil hikmahnya, ikuti, tapi kalau di mimpi itu nabi malah tawasulan di kuburan misalnya, ya itu sih setan. Memang setan nggak bisa menyerupai nabi muhammad, tapi sekarang ini siapa yang benar-benar tahu sosok tubuh secara utuh sang nabi? nggak ada, karena itu menjadi cara setan untuk menyesatkan. Sekali lagi, berdoalah sebelum tidur. Jika dalam mimpi Anda, itu soal taklim, kiranya Anda menjadi semakin giat ikut taklim atau pengajian ilmu agama dengan begitu.
@Ano 22 Juni :
Dengan perkataan anda itu, berarti hadits mimpi bertemu dengan Nabi seakan jadi tak berlaku lagi dimasa sekarang dong?
Orang yang mimpi bertemu Nabi tak bisa lagi bahagia & bersyukur karena bisa jadi itu setan.
Kalau anda bermimpi baik, maka silahkan diceritakan pada orang lain karena itu Sunnah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) :
“Jika kalian bermimpi baik maka itu dari Allah, dan hendaklah ia memuji Allah dan menceritakannya.” (HR. Bukhari 6584)
NB: Namun tidak asal menceritakan pada setiap orang yang pada akhirnya bisa menimbulkan fitnah, ceritakanlah hanya pada orang 'alim dan bijaksana. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya) :
“Jangan kalian menceritakan mimpi kalian kecuali kepada seseorang yang alim atau bijaksana.” (HR. At-Tirmidzi 2280 & As-silsilah As-shahihah 119)
Sedangkan mimpi buruk, murni dan mutlak tak boleh diceritakan meskipun pada orang berilmu sekalipun.
Fitnah yang dimaksud diatas bisa benar-benar terjadi jika seseorang asal-asalan dalam menceritakan mimpinya pada setiap orang, seperti banyaknya fitnah hadits Habaib/Imam yang muncul dari "pertemuan" para Habaib/Imam itu dengan Nabi didalam mimpi, tanpa tanggung-tanggung mimpi itu langsung disebarkan ditengah-tengah muridnya. Meskipun sesuai dengan hadits shahih dan sealur dengan riwayat yang shahih, namun hal itu tetap dilarang, karena bisa membunuh keilmiyahan sanad. Selain itu, musuh-musuh Islam bisa menggunakan cara ini untuk merusak Islam dari dalam.
Dan bermimpi bertemu Nabi itu bukan hanya sebatas prasangka atau pengakuan dari orang yang dimimpikan.
Melainkan juga harus mengetahui ciri-ciri fisik beliau shallallahu 'alaihi wasallam jika orang yang bermimpi itu belum pernah melihat beliau semasa hidupnya.
Para Salaf seperti Abdullah bin Abbas seringkali menanyai ciri-ciri fisik Nabi pada orang-orang yang melaporkan kepadanya bahwa mereka telah bermimpi bertemu Nabi.
Anonim 22 Juni 2014 10.02
Ya, memang bisa jadi itu setan. Komentar Umar itu sudah bijak menurut saya. Nah, baiknya memang ceritakan kepada ahli ilmu, karena mereka biasanya mata (hati)nya sehat, sehingga dapat melihat dengan jernih, walaupun mungkin mereka sendiri belum pernah sekali pun bermimpi berjumpa dengan nabi. Dan lagi, itu bukan standar keimanan, ataupun kesalehan seseorang. Sangat mungkin memang mimpi bertemu nabi, apalagi bagi mereka yang kurunnya dekat dengan beliau. Kalau sekarang? Barometernya harus lebih tinggi lagi. Soal bersyukur, ya lihat substansi mimpinya saja, jangan subjek-subjek dalam mimpi tersebut.
Posting Komentar