Pertanyaan
: “Apakah
seorang muslim mempunyai kewajiban taat kepada penguasa di daerah lain sehingga
hukum-hukum kewajiban mendengar dan taat mengikat keduanya ?. Dan bolehkah kita mengkritik dan mencela penguasa lain
daerah/negara secara terang-terangan ?”.
Jawab
: Nash-nash
yang berkaitan dengan mendengar dan taat hanyalah berlaku antara seorang muslim
kepada pemimpin/imam/waliyul-amri yang menguasai negara tempat ia berada. Allah
ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu” [QS. An-Nisaa’ : 59].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا
لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا
طَاعَةَ
Dari
‘Abdullah (bin ‘Umar) radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Wajib atas seorang Muslim untuk
mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai dan yang ia
benci, selama tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk
berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat (pada
perintah maksiat tersebut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7144].
Asy-Syaukaaniy
rahimahullah berkata:
وأما بعد انتشار الإسلام
واتساع رقعته وتباعد أطرافه فمعلوم أنه قد صار في كل قطر أو أقطار الولاية إلى
إمام أو سلطان وف يالقطر الآخر أو الأقطار كذلك ولا ينفذ لبعضهم أمر ولا نهي في
قطر الآخر وأقطاره التي رجعت إلى ولايته فلا بأس بتعدد الأئمة والسلاطين ويجب
الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه أوامره ونواهيه
وكذلك صاحب القطر الآخر فإذا قام من ينازعه في القطر الذي قد ثبتت فيه ولايته
وبايعه أهله كان الحكم فيه أن يقتل إذا لم يتب ولا تجب على أهل القطر الآخر طاعته
ولا الدخول تحت ولايته لتباعد الأقطار
“Adapun
setelah tersebarnya Islam dan luasnya dunia Islam serta tempat-tempat saling
berjauhan; maka telah dimaklumi bahwa setiap daerah/negara membutuhkan seorang
imam atau sulthan dan mereka (penduduknya) tidak perlu melaksanakan perintah
dan larangan (peraturan-peraturan) yang berlaku di daerah/negara lain. Maka
berbilangnya imam dan penguasa (yang berlainan daerah kekuasaannya) adalah
tidak apa-apa. Setelah dibaiatnya seorang imam, maka wajib bagi setiap orang
yang berada di bawah daerah kekuasaannya untuk mentaatinya, yaitu dengan
melaksanakan perintah dan larangan-larangannya. Seperti itu pula negara-negara
yang lainnya. Apabila ada orang yang menentang/menyelisihi (imam/sulthan) di
dalam suatu negara yang kekuasaan telah dipegangnya dan penduduk telah
membaiatnya, maka hukuman bagi orang tersebut adalah dibunuh bila tidak mau
bertaubat. Akan tetapi tidak wajib bagi penduduk negara lainnya untuk
mentaatinya dan masuk di bawah kekuasannya; karena saling berjauhan kekuasannya”
[As-Sailul-Jaraar, 4/512].
Secara akal, tidak mungkin
ketaatan akan diberikan kepada banyak penguasa yang mempunyai kebijakan yang
berlainan.
عَن ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ كَرِهَ مِنْ
أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا
مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً "
Dari
Ibnu ‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda
: “Barangsiapa yang membenci sesuatu dari amir (pemimpin)-nya (yang sah),
hendaknya ia bersabar. Karena barangsiapa yang keluar ketaatan dari sulthan
meskipun hanya sejengkal, kemudian mati, maka matinya itu seperti mati dalam
keadaan jahiliyyah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7053 dan Muslim no.
1849].
Dlamir ‘hu’ pada kata ‘amirnya
(amiirihi)’ kembali pada pemimpin negara tempat ia tinggal.
Bahkan
salaf dulu juga membedakan ketaatan di antara gubernur-gubernur yang mempunyai
wilayah berlainan meskipun masih di bawah satu negara.
Al-Bukhaariy
rahimahullah menyebutkan riwayat dari 'Aun As-Sahmiy :
أتيت أَبَا أمامة، فَقَالَ: لا
تسبوا الحجاج فإنه عليك أمير وَلَيْسَ عَلِيّ بأمير
Aku
pernah mendatangi Abu Umaamah, lalu ia berkata : "Janganlah engkau mencela
Al-Hajjaaj, karena ia adalah pemimpinmu - namun ia bukan pemimpinku" [At-Taariikh
Al-Kabiir, 7/18 no. 83].
Diriwayatkan pula dari jalan
yang lain oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 12/161-162.
Disebutkan
juga oleh Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/387. Disebutkan
dengan sanad bersambung
Perkataan
Abu Umaamah bahwa Al-Hajjaaj bukan pemimpinnya, karena ia (Abu Umaamah)
penduduk Syaam, sedangkan Al-Hajjaaj penguasa di 'Iraaq – yang dua wilayah itu
masih dalam kekuasaan pemerintahan Bani Umayyah.
Atau jika kita qiyaskan dalam
ranah kontemporer, gubernur/bupati yang berkuasa di suatu propinsi/kabupaten bukanlah
pemimpin yang wajib ditaati perintah dan larangannya bagi penduduk yang ada di
propinsi/kabupaten lain. Aturan yang wajib ditaati oleh seseorang adalah aturan yang
eksis di tempat ia tinggal.
Kemudian,…. harus dibedakan
antara mencela dan mengkritik. Mencela itu asalnya dilarang, apakah yang dicela
itu pemimpin atau bukan pemimpin (rakyat).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سِباب الْمُسْلِمِ
فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud),
ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Mencela/mencaci seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah
kekufuran” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6044 dan Muslim no. 64].
Adapun kritikan, hakekatnya ia adalah nasihat. Kritikan
secara terang-terangan, kebolehannya
kembali kepada maslahat dan
mafsadat – sebagaimana kaedah yang berlaku umum. Jika dipandang
kritik secara terang-terangan itu mempunyai maslahat, hendaklah ia lakukan. Jika tidak, maka kebalikannya.
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 6018].
Tentang pengkhususan nasihat
secara sembunyi-sembunyi sebagaimana tertera dalam sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ
بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ
بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
لَهُ
“Barangsiapa
yang hendak menasehati penguasa dalam suatu perkara, maka jangan dilakukan
dengan terang-terangan. Akan tetapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua.
Jika diterima, memang itulah yang diharapkan; namun jika tidak, maka orang
tersebut telah melaksakan kewajibannya”
itu berlaku pada penguasa di
negeri tempat seseorang tinggal, bukan penguasa lain negeri - karena konteks hadits itu seperti hadits-hadits lainnya, yaitu diperuntukkan dalam muamalah seorang muslim kepada penguasa negerinya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan
ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 25052014 – 17:50].
Comments
Asslamu'alaykum warahmatullah
barakallahu fiyk ya abal jauzaa atas artikelnya.
pertanyaan saya:
apakah yang dimaksud negeri dalam konteks kekinian adalah negara atau yang lebih kecil lagi seperti rt/rw, kecamatan, kabupaten, kota, dsb ?
Wa'alaikumus-salaam wa rahmatullah.
Negeri dalam konteks negara atau satuan yang lebih kecil darinya seperti propinsi dan kabupaten. Di atas sudah saya tuliskan.
Kongkritnya : Saya tidak wajib patuh terhadap kebijakan yang dikeluarkan Gubernur Papua atau Bupati Kab. Batubara.
Berarti saya atau pemuda-pemuda Mesir boleh datang ke Arab Saudi untuk mengkritik Pemerintah di Saudi. Begitukah?
Afwan ustadz, misalkan sy tinggal d Bekasi tp sy kerja d Jakarta apakah sy Jg harus taat kpd pimpinan (dlm hal ini Gubernur) DKI? atau bagaimanakah seharusnya sikap yg benar yg harus sy lakukan? Syukron.
Kalau begitu orang-orang Ikhwani yang datang ke Saudi dan menebar kritik+propaganda tentang kerajaan Saudi itu secara syariat jadi legal dong?
@Andy,....ketika Anda berada di suatu negara, maka Anda harus mendengar dan taat pada aturan yang diterapkan oleh pemimpin negara tersebut. Oleh karena itu, kedudukan Anda disamakan dengan penduduk negara tersebut, sehingga dalam urusan muamalah kritik mengkritik, Anda pun disamakan hukumnya dengan penduduk negara tersebut.
@Anonim 27 Mei 2014 01.50, ya,... kita mesti taat pada aturan di tempat kita berada, kecuali jika aturan itu bertentangan dengan syari'at.
Bagaimanakah kalau mengkritik Raja-raja Saudi setelah Raja Faisal yang banyak bekerjasama dengan Amerika, yang mana hal ini menjadi lubang fitnah yang sangat besar dikalangan ummat Islam?
Apakah hal ini diperbolehkan?
Di artikel telah disebutkan kalimat :
"Kritikan secara terang-terangan, kebolehannya kembali kepada maslahat dan mafsadat – sebagaimana kaedah yang berlaku umum".
Jika memang kritikan itu bermanfaat, boleh dilakukan. Dan ini berlaku seperti manusia lain pada umumnya, tidak hanya khusus raja Saudi. Termasuk pula presiden Mesir, Malaysia, Pakistan, dan yang lainnya.
Assalamualaikum
Bicara tentang IMAMAH (kepemimpinan) adalah membicarakan madhab Ahlul Bait (Syiah), karena IMAMAT tidak dikenal dalam madhab Ahlul Sunnah Wal Jamaah
Hormat saya kepada Ustadz Abu Al Jauza
Haji Muhammad Abdullah
Posting Komentar