Telah
tetap dalam sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam jika
seseorang diberikan kebaikan oleh orang lain, dianjurkan untuk mengucapkan ‘jazaakallaahu
khairan’ (semoga Allah membalas kebaikan kepadamu).
حَدَّثَنَا
الْحُسَيْنُ بْنُ الْحَسَنِ الْمَرْوَزِيُّ بِمَكَّةَ، وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ
سَعِيدٍ الْجَوْهَرِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا الْأَحْوَصُ بْنُ جَوَّابٍ، عَنْ
سُعَيْرِ بْنِ الْخِمْسِ، عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ
النَّهْدِيِّ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ:
جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ "، قَالَ أَبُو
عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ جَيِّدٌ غَرِيبٌ
Telah
menceritakan kepada kami Al-Husain bin Al-Hasan Al-Marwaziy di Makkah dan
Ibraahiim bin Sa’iid Al-Jauhariy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan
kepada kami Al-Ahwash bin Jawwaab, dari Su’air bin Al-Khims, dari Sulaimaan
At-taimiy, dari Abu ‘Utsmaan An-nahdiy, dari Usaamah bin Zaid, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa
yang diberikan kebaikan oleh orang lain, lalu ia mengucapkan kepada pelakunya
tersebut : ‘Jazaakallaahu khairan’ (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan),
sungguh ia telah benar-benar menyampaikan rasa terima kasihnya”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 3/557 no. 2035, dan ia berkata : ‘Hadits
hasan jayyid’. Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 9/78-79
no. 9937 dan dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah hal. 221-222 no. 180,
Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 7/54 no. 2601, Ibnu Hibbaan no. 3413,
Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir (Ar-Raudlud-Daaniy) 2/291 no.
1183, Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah hal. 136 no. 275, dan
yang lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/392].
Lantas
bagaimana jawabannya ketika seseorang mengucapkan ‘jazaakallaahu khairan’ kepada
kita ?. Ada satu riwayat berkaitan dengan hal ini :
حَدَّثَنَا
مَسْرُوقُ بْنُ الْمَرْزُبَانِ، نا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ،
نا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، نا حُصَيْنُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ
مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ، عَنِ ابْنِ شَفِيعٍ، حَدَّثَنِي أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " فَقُلْتُ: صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ يَا
رَسُولَ اللهِ، وَجَزَاكَ اللَّهُ عَنَّا خَيْرًا، فَقَالَ: وَأَنْتُمْ
فَجَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا، فَإِنَّكُمْ مَا عَلِمْتُ أَعِفَّةٌ صُبُرٌ "
Telah
menceritakan kepada kami Masruuq bin Al-Marzubaan : Telah menceritakan kepada
kami Yahyaa bin Zakariyyaa bin Abi Zaaidah : Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami Hushain bin ‘Abdirrahmaan,
dari Mahmuud bin Labiid, dari Ibnu Syafii’ : Telah menceritakan kepadaku Usaid
bin Hudlair radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah berkata :
“Semoga Allah memberikan barakah dan rahmat kepadamu wahai Rasulullah, dan
semoga Allah membalasmu dengan kebaikan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menjawab : “Dan demikian juga engkau, semoga Allah membalasmu
dengan kebaikan. Sesungguhnya engkau, tidaklah aku ketahui melainkan orang yang
menjaga kehormatan lagi penyabar” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
‘Aashim dalam Al-Aahaadu wal-Matsaaniy no. 1770].
Diriwayatkan
juga oleh Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 8/439, Abu Ya’laa no.
945, Ibnu Hibbaan 16/268-269 no. 7279, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 1/208-209
no. 568; semuanya dari jalan Yahyaa bin Abi Zaaidah : Telah mengkhabarkan
kepada kami Muhammad bin Ishaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Hushain bin
‘Abdirrahmaan, dari Mahmuud bin Mabiid, dari Ibnu Syafii’, dari Usaid bin
Hudlair secara marfuu’ – yang padanya terdapat kisah lebih panjang.
Semua
perawinya adalah tsiqah atau shaduuq, kecuali Ibnu Syafii’. Ibnu
Abi Haatim berkata : “Ia meriwayatkan dari Usaid bin Hudlair, dan telah
meriwayatkan darinya Ibnu Labiid. Aku mendengar ayahku mengatakannya” [Al-Jarh
wat-Ta’diil, 9/321 no. 1397].
Oleh
karena itu, status Ibnu Syafii’ ini majhuul ‘ain. Asy-Syaikh Al-Albaaniy
mendla’ifkan sanad riwayat ini dalam At-Ta’liqaatul-Hisaan 10/319-320
no. 7235.
Ibnu
Syafii’ mempunyai syaahid dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu
sebagaimana diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8287 dan
dalam Fadlaailush-Shahaabah hal. 71 no. 240, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil
6/417, Ibnu Hibbaan 16/265-266 no. 7277, Al-Haakim 4/74, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan
no. 8712, Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 64/239, dan Al-Mizziy
dalam Tahdziibul-Kamaal 13/493-495; semua dari jalan ‘Aashim bin Suwaid,
dari Yahyaa bin Sa’iid, dari Anas bin Maalik secara marfuu’ :
جَاءَ
أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ الأَشْهَلِيُّ النَّقِيبُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ كَانَ قَسَمَ طَعَامًا، فَذُكِرَ لَهُ أَهْلُ بَيْتٍ
مِنْ بَنِي ظَفَرٍ مِنَ الأَنْصَارِ فِيهِمْ حَاجَةٌ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُسَيْدُ، تَرَكْتَنَا حَتَّى إِذَا ذَهَبَ مَا
فِي أَيْدِينَا، فَإِذَا سَمِعْتَ بِشَيْءٍ قَدْ جَاءَنَا، فَاذْكُرْ لِي أَهْلَ
ذَلِكَ الْبَيْتِ، قَالَ: فَجَاءَهُ بَعْدَ ذَلِكَ طَعَامٌ مِنْ خَيْبَرَ:
شَعِيرٌ، وَتَمْرٌ، قَالَ: فَقَسَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي النَّاسِ، وَقَسَمَ فِي الأَنْصَارِ فَأَجْزَلَ، وَقَسَمَ فِي أَهْلِ ذَلِكَ
الْبَيْتِ، فَقَالَ لَهُ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ: جَزَاكَ اللَّهُ أَيْ نَبِيَّ
اللَّهِ أَطْيَبَ الْجَزَاءِ، أَوْ قَالَ: خَيْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَأَنْتُمْ مَعْشَرَ الأَنْصَارِ، فَجَزَاكُمُ اللَّهُ
أَطْيَبَ الْجَزَاءِ، أَوْ قَالَ: خَيْرًا، فَإِنَّكُمْ مَا عَلِمْتُ أَعِفَّةٌ
صُبُرٌ، وَسَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فِي الأَمْرِ والْقَسْمِ، وَاصْبِرُوا
حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ "
“Usaid
bin Hudlair Al-Asyhaliy An-Naqiib mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, yang waktu itu beliau sedang membagi-bagi makanan. Lalu
disebutkan kepada beliau tentang satu keluarga Bani Dhafar dari kalangan Anshaar,
yang mempunyai kebutuhan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepada Usaid : “Engkau meninggalkan kami hingga habis makanan yang ada di
tangan kami. Apabila engkau mendengar sesuatu, datangilah kami lalu ingatkanlah
aku tentang keluarga tersebut”. Lalu datanglah kepada beliau setelah itu
makanan dari negeri Khaibar berupa gandum dan kurma. Lalu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam membagi-bagikan makanan tersebut kepada orang-orang.
Beliau membagikan kepada orang-orang Anshaar, lalu makanan itu pun bertambah
banyak. Beliau pun membagikan kepada keluarga tersebut. Lalu Usaid bin Hudlair
berkata kepada beliau : “Semoga Allah membalasmu, Nabiyullah, dengan
sebaik-baik balasan – atau ia berkata : “dengan kebaikan”. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Dan
begitu juga kalian wahai kaum Anshaar, semoga Allah membalas kalian
dengan sebaik-baik balasan – atau beliau bersabda : dengan
kebaikan - . Sesungguhnya kalian, tidaklah aku ketahui melainkan orang
yang menjaga kehormatan dan kesabaran. Dan kalian akan melihat sepeninggalku
nanti atsarah (orang yang sewenang-wenang) dalam perintah dan pembagian.
Bersabarlah kalian hingga bertemu denganku di Haudl” [lafadh milik
An-Nasaa’iy].
Dhahir
sanad ini hasan[1],
akan tetapi ‘Aashim bin Suwaid diselesihi oleh Sufyaan bin ‘Uyainah
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3794 dan Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah
no. 2192 yang meriwayatkan tanpa menyebutkan kisah pembagian makanan
tersebut (berikut jawaban Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : wa
antum fajazaakumullahu khairan). Kedudukan Sufyaan bin ‘Uyainah dalam
ketsiqahan, jauh lebih tinggi dibandingkan ‘Aashim bin Suwaid.
‘Aashim
bin Suwaid, namanya adalah : ‘Aashim bin Suwaid bin ‘Aamir bin Yaziid bin
Jaariyyah Al-Anshaariy Al-Ausiy, Al-Madaniy Al-Qubaaiy; seorang yang maqbuul.
Termasuk thabaqah ke-7 dan dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 472 no. 3078].
Berikut
perincian komentar
para ulama tentangnya :
Ibnu Zubaalah
menyebutkannya dalam ulama penduduk Madiinah. Abu Haatim berkata : “Syaikh,
tempatnya kejujuran. Ia meriwayatkan dua hadits yang munkar”. Ibnu
Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu Ma’iin berkata : “Aku
tidak mengetahuinya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia (Ibnu Ma’iin) tidak
mengetahuinya karena ‘Aashim hanya mempunyai riwayat yang sangat sedikit.
Barangkali ia tidak meriwayatkan kecuali hanya lima hadits saja” [Al-Jarh
wat-Ta’diil 6/344 no. 1903, Al-Kaamil 6/417 no. 1387, Ats-Tsiqaat
7/259, dan Tahdziibul-Kamaal, 13/491-495 no. 3009].
Adz-Dzahabiy
berkata saat menyitir perkataan Ibnu ‘Adiy tentangnya :
وقال
ابن عدي: هو قليل الرواية جدا. قلت: وساق له حديثا منكرا.
“Ibnu
‘Adiy berkata : ‘Ia mempunyai
riwayat yang sangat sedikit’. Aku (Adz-Dzahabiy) berkata : ‘Dan ia (Ibnu ‘Adiy)
membawakan satu hadits munkar miliknya” [Miizaanul-I’tidaal,
2/352 no. 4048].
Jika kita membuka kitab Al-Kaamil
milik Ibnu ‘Adiy, maka hadits munkar yang dimaksudkan Adz-Dzahabiy
adalah hadits di atas. Besar kemungkinan hadits munkar yang dimaksudkan oleh
Abu Haatim juga hadits di atas. Oleh karena itu, tambahan kisah yang dibawakan ‘Aashim
adalah munkar, wallaahu a’lam.
Kisah tersebut juga
diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Atsar no. 47 :
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ishaaq Ibraahiim bin Muhammad, ia berkata :
telah mengkhabarkan kepada kami Abun-Nadlr, ia berkata : Telah mengkhabarkan
kepada kami Abu Ja’far bin Salaamah, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Al-Muzanniy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Asy-Syaafi’iy, ia
berkata : Aku mendengar ‘Abdul-Wahhaab menceritakan dari Yahyaa bin Sa’iid,
dari Muhammad bin Ibraahiim At-Tamiimiy : Bahwasannya datang kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam kurma dan gandum yang dikirim dari sebagian kota…… dst.
(yang di dalamnya terdapat ucapan jawaban Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : ‘wa antum, fajazaakumullahu khairan’)”.
Semua perawinya tsiqaat,
namun sanadnya terputus (munqathi’) karena Muhammad bin Ibraahiim
seorang taabi’iy (yang tidak pernah bertemu dengan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam).
Jika diringkas, jalan
periwayatan hadits adalah sebagian berikut:
a.
Ibnu Syafii’ : lemah, atau bahkan sangat lemah, karena
ia majhuul ‘ain.
b.
Anas bin Maalik : munkar.
c.
Muhammad bin Ibraahiim At-Tamiimiy : lemah karena
terputus sanadnya.
Walhaasil, hadits tersebut lemah dan tidak bisa dipakai sebagai
hujjah dalam permasalahan ini.
Jika kita runut dalam
hadits-hadits nabawiy, tidak ada riwayat shahih yang bisa dijadikan
sandaran. Tidak ada lafadh khusus yang menjelaskan jawaban jika seorang
mengucapkan jazaakallaahu khairan kepada kita. Akan tetapi, mari kita
perhatikan beberapa riwayat sebagai berikut :
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ
هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " حَضَرْتُ
أَبِي حِينَ أُصِيبَ، فَأَثْنَوْا عَلَيْهِ، وَقَالُوا: جَزَاكَ اللَّهُ
خَيْرًا، فَقَالَ: رَاغِبٌ وَرَاهِبٌ، قَالُوا: اسْتَخْلِفْ، فَقَالَ:
أَتَحَمَّلُ أَمْرَكُمْ حَيًّا وَمَيِّتًا، لَوَدِدْتُ أَنَّ حَظِّي مِنْهَا
الْكَفَافُ لَا عَلَيَّ، وَلَا لِي فَإِنْ أَسْتَخْلِفْ، فَقَدِ اسْتَخْلَفَ مَنْ
هُوَ خَيْرٌ مِنِّي يَعْنِي أَبَا بَكْرٍ، وَإِنْ أَتْرُكْكُمْ، فَقَدْ تَرَكَكُمْ
مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
عَبْدُ اللَّهِ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ حِينَ ذَكَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ غَيْرُ مُسْتَخْلِفٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Alaa’ : Telah menceritakan
kepada kami Abu Usamah, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahya, dari Ibnu ‘Umar,
ia berkata : "Aku ikut hadir ketika ayahku kena musibah (ditikam oleh
seseorang). Para sahabat beliau yang hadir ketika itu turut menghiburnya.
Mereka berkata : ‘Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan’. Umar
menjawab : ‘Aku penuh harap dan juga merasa cemas’. Mereka berkata : ‘Tunjukkanlah
pengganti anda (sebagai Khalifah)!" Umar menjawab : ‘Apakah aku juga harus
memikul urusan pemerintahanmu waktu hidup dan matiku? Aku ingin tugasku sudah
selesai, tidak kurang dan tidak lebih. Jika aku menunjuk penggantiku, maka itu
pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik daripadaku, yaitu Abu Bakr
Ash-Shiddiq. Dan jika pengangkatan itu aku serahkan kepada kalian, maka itu pun
pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku, yaitu Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam." Abdullah berkata, "Dari perkataannya itu,
tahulah aku bahwa dia tidak akan menunjuk penggantinya untuk menjadi Khalifah"
[Diriwayatkan Muslim no. 1823].
Seorang A’rabiy yang pernah
berkata kepada beliau :
جَزَاكَ
اللَّهُ خَيْرًا، فَقَدْ أَوْفَيْتَ وَأَطْيَبْتَ
“Semoga Allah membalasmu dengan
kebaikan. Sungguh engkau telah menepati janji dan berbuat baik”.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab :
أُولَئِكَ
خِيَارُ عِبَادِ اللَّهِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُوفُونَ
الْمُطِيبُونَ
“Mereka
adalah para hamba pilihan di sisi Allah pada hari Kiamat, yaitu orang-orang
yang menepati janji dan berbuat baik” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/268;
dihasankan sanadnya oleh Al-Arna’uth dkk.].
Riwayat
di atas tidak menunjukkan adanya jawaban spesifik dari ucapan : ‘jazaakallaahu
khairan (semoga Allah membalas anda dengan kebaikan)’.
Asy-Syaikh Dr. Muhammad Bazmuul hafidhahullah
berkata :
“Terdapat banyak riwayat dari
para shahabat dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula
banyak riwayat yang menjelaskan perbuatan para ulama. Dalam riwayat-riwayat
tersebut, (ketika) dikatakan kepada mereka : ‘Jazaakallaahu khairan’,
tidak ada penyebutan bahwa mereka menggunakan jawaban khusus dengan aamiin,
wa iyyakum.
Oleh karena itu, pendapatku
terhadap orang yang berpegang/menetapi perkataan ‘aamiin, wa iyyakum’
setelah ucapan doa – bukan hanya ucapan ‘jazaakallaahu khairan’ - , maka
ia telah terjatuh dalam bid’ah yang diada-adakan dalam agama.
Jadi dalam keadaan ini, kaum
muslimin dapat menggunakan kalimat ini pada satu waktu, dan tidak pada waktu
yang lain. Akan tetapi ia tidak mesti berpegang pada kalimat tersebut
seakan-akan hal itu merupakan sunnah yang tetap dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Wallaahu a’lam” [Diterjemahkan dari artikel
bahasa Inggris[2] di
Bakkah.net].
Maka dalam hal ini seseorang boleh
menjawab ketika ada seseorang yang mengucapkan padanya jazaakallaahu khairan dengan :
a. Wa iyyakum
b. Aamiin
c. Wa antum jazaakumullahu khairan.
d. dan yang lain yang
semakna.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan
ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 24021435/27122013 – 01:10].
Comments
Ada yang hendak saya tanyakan di akhir tulisan antum stadz.
Maka dalam hal ini seseorang boleh menjawab ketika ada seseorang yang mengucapkan padanya jazaakallaahu khairan dengan :
a. Wa iyyakum
b. Aamiin
c. Wa antum, jazaakallaahu khairan.
d. dan yang lain yang semakna.
[selesai kutipan]
Pada point c, dhomirnya berbeda. Jika "wa antum", bukankah "jazaakumullaahu khairan" ? Tetapi di atas tertulis "Jazaakallaahu khayran."
Mungkin itu saja, 'alaa kulli haal, terima kasih atas tambahan 'ilmunya. Ini pun juga baru saya ketahui. Jazaakallaahu khairan.
O iya, itu salah tulis. Terima kasih koreksiannya, sudah saya perbaiki.
Kalau jazaakumullaahu khairan katsiiraa (tambahan katsiiraa)?? Sunnah apa tidak? jazaakumullaahu khairan
Afwan, kelihatannya antum salah kutip. Setau ana nukilan tersebut dari shaykh Muhammad Umar Bazmuul, dan bukan dari shaykh Ahmad Bazmuul hafidzahumallah.
Setau ana mereka kakak beradik, dan karena mungkin nama mereka mirip (Muhammad dan Ahmad), sebagian orang kadang salah mengutip.
Ya, saya tahu mereka bersaudara. Saya salah baca. Terima kasih. Jazaakallaahu khairan. Sudah saya perbaiki.
bagaimana dengan lafadz jazaakallahu khair
ucapan ini banyak di tulis di beberapa tulisan
anang dwicahyo
Abul-'Abbaas,.... yang sesuai sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah Jazaakallaahu khairan (tanpa katsiiran).
Anang,.... yang sesuai kaedah bahasa Arab adalah : jazaakallaahu khairan.
Setahu saya kalau ada tanwin diikuti alif maka bacanya menjadi "Khairaa" bukan "Khairan".
Mohon tanggapannya.
Mohon penjelasan.
Guru TPA selalu mengajarkan kalau ada tanwin diikuti dengan alif maka bacanya "khairaa" bukan "khairan". Namun saya jumpai real dilapangan dibaca "khairan" bukan "khairaa". Mohon penjelasan yang benar yang mana. Jazakumullahu khairan atas penjelasannya.
Assalamualaikum.
Bagaimana ustadz dengan pertanyaan di atas. Bacanya "khairaa" atau "Khairan"?
Posting Komentar