Shalat Berjama'ah


Saudaraku kaum muslimin,… pernahkah kita tertidur di suatu pagi yang dingin berteman selimut tebal lagi hangat, tiba-tiba telinga kita dikagetkan oleh suara adzan dari pengeras suara masjid di dekat rumah kita ? Kalau ya, apa yang segera kita lakukan ketika itu ?  Atau,… ketika kita sangat lelah sehabis bekerja di suatu sore, suara yang sama memanggil kita untuk mendatangi rumah Allah yang jaraknya tidak jauh dari tempat istirahat kita ? Kalau ya, apa yang kita lakukan ketika itu ?
Dua contoh pengandaian situasi tersebut setidaknya akan menghasilkan dua respon berbeda satu dengan lainnya. Pertama; membiarkan suara adzan lewat dan selesai, tanpa beranjak dari tempat dan aktifitas kita semula. Kedua; segera bangkit mengambil air wudlu untuk bergegas melaksanakan shalat dan meninggalkan aktifitas. Jikalau kita dihadapkan dua pertanyaan lanjutan : “Mana di antara keduanya yang terbaik”; tentu semua muslim baligh dan berakal sehat akan sepakat menjawab bahwa sikap Kedua lah yang terbaik. Kita lanjutkan. Sikap Kedua yang menjadi pilihan tadi pun akan melahirkan dua macam keadaan. Pertama, kita melaksanakan shalat di rumah, baik munfarid (sendirian) ataupun berjama’ah dengan keluarga. Kedua, kita melaksanakannya berjama’ah di masjid dengan kaum muslimin lainnya. Kita pun yakin dengan pasti bahwa semua orang akan mengatakan shalat berjama’ah di masjid itu lebih utama daripada shalat di rumah.
Itulah fithrah yang diberikan Allah ta’ala kepada manusia. Sebuah fithrah dimana seorang manusia akan mengakui bahwa mengerjakan sebuah ketaatan adalah sebuah perbuatan mulia dan pilihan terbaik diantara semua pilihan. Allah telah berfirman mengenai fithrah ini :
فِطْرَةَ اللّهِ الّتِي فَطَرَ النّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللّهِ ذَلِكَ الدّينُ الْقَيّمُ وَلَـَكِنّ أَكْثَرَ النّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
”... (tetaplah di atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [QS. QS. Ar-Ruum : 30].
Para ulama telah menjelaskan bahwa makna fithrah di sini adalah tauhid atau Ad-Dienul-Islam (lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Ibni Jarir Ath-Thabari).
Adzan yang dikumandangkan oleh seorang muadzin terkandung seruan menuju fithrah tauhid [lihat perkataan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ 3/81 dan Al-Qurthubi dalam Fathul-Bari 2/77]. Jikalau kita mendatangi, pada hakikatnya kita mendatangi fithrah sebagai makhluk yang diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Sebaliknya, jikalau kita tetap diam di tempat, maka kita telah ingkar terhadap fithrah. Dan sungguh, betapa banyak orang yang mengingkari fithrah itu di hari ini.......
Allah telah mengikat manusia di atas fithrah tauhid dalam panggilan untuk mendatangi shalat berjama’ah. Allah pun telah menjadikannya (shalat berjama’ah) sebagai satu perintah yang pasti dalam Al-Qur’an melalui firman-Nya :
وَأَقِيمُواْ الصّلاَةَ وَآتُواْ الزّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرّاكِعِينَ
”Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk” [QS. Al-Baqarah : 43].
Kalimat (وَارْكَعُواْ مَعَ الرّاكِعِينَ) ”rukuklah bersama orang-orang yang rukuk” merupakan perintah untuk shalat bersama manusia secara berjama’ah. Shalat berjama’ah di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan telah menjadi salah satu syi’ar terbesar dalam agama Islam. Bahkan hal itu telah menjadi pembeda antara Daarul-Islam dan Daarul-Kufr [lihat keterangannya dalam Syarh Tsalatsatil-Ushul oleh Syaikh Al-’Utsaimin]. Apabila kita tengok dalam As-Sunnah dan sejarah jihad Islam, maka kita dapatkan bahwa ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya akan menyerang satu negeri, maka mereka tunggu sampai waktu shubuh tiba. Jikalau negeri tersebut terdengar suara adzan (yang tentunya ditegakkan di dalamnya shalat berjama’ah), maka mereka menahannya (tidak jadi menyerang), dan apabila mereka tidak mendengarnya maka mereka maju (untuk menyerang).
Simaklah pula apa yang dituturkan oleh seorang shahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu :
لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنَ الصَّلَاةِ، إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ، أَوْ مَرِيضٌ، إِنْ كَانَ الْمَرِيضُ لَيَمْشِي بَيْنَ رَجُلَيْنِ، حَتَّى ي?أْتِيَ الصَّلَاةَ، وَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا سُنَنَ الْهُدَى، وَإِنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى الصَّلَاةَ فِي الْمَسْجِدِ، الَّذِي يُؤَذَّنُ فِيهِ
”Sungguh aku telah melihat keadaan kami (yaitu keadaan para shahabat)! Tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjama’ah (di masjid) kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya; atau orang yang yang sakit. Jika ia seorang yang sakit, tentu ia bisa berjalan dengan dipapah oleh dua orang sehingga dia bisa mendatangi shalat berjama’ah. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita ’sunnah-sunnah huda’ (= ajaran agama). Dan di antara sunnah-sunnah huda tersebut adalah shalat berjama’ah di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan” [HR. Muslim no. 654 Bab : Shalatul-Jama’ah min Sunanil-Huda; lihat Mukhtashar Shahih Muslim no. 323].
Seandainya Ibnu Mas’ud melihat keadaan masjid-masjid kaum muslimin saat ini yang kosong mlompong, entah apa yang akan beliau katakan. Itulah keadaan para shahabat sebagai generasi terbaik umat. Simbol kehidupan beragama yang terbaik. Simbol persatuan kaum muslimin yang layak untuk ditiru (yaitu persatuan di atas sunnah). Shalat jama’ah di masjid pada jaman Ibnu Mas’ud radliyallaahu ’anhu telah menjadi indikator pembeda antara yang mukmin dengan yang munafik. Tidaklah heran dengan keadaan di waktu itu jika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah berandai-andai akan membakar rumah siapa saja dari kaum muslimin yang tidak mendatangi shalat berjama’ah di masjid (dari kalangan laki-laki) sebagaimana dalam hadits :
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ الْمُؤَذِّنَ فَيُقِيمَ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا يَؤُمُّ النَّاسَ، ثُمَّ آخُذَ شُعَلًا مِنْ نَارٍ فَأُحَرِّقَ عَلَى مَنْ لَا يَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ بَعْدُ
“Sungguh aku telah bertekad untuk memerintahkan seorang muadzin untuk berdiri mengumandangkan adzan (di masjid) dan kemudian aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami manusia. Setelah itu aku akan menyalakan api dimana akan aku bakar setiap rumah yang pemiliknya tidak mendatangi shalat berjama’ah” [HR. Al-Bukhari no. 657].
Saudaraku kaum muslimin, banyak hikmah di balik perintah Allah dan Rasul-Nya untuk melazimkan shalat berjama’ah di masjid. Masjid adalah tempat yang paling baik dan mulia dalam Islam. Masjid adalah lambang kekuatan kaum muslimin. Tidaklah penuh jama’ah shalat lima waktu satu masjid kecuali di dalamnya tertanam benih-benih ukhuwah yang kuat.
Allah telah berfirman :
إِنّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ وَأَقَامَ الصّلاَةَ وَآتَىَ الزّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاّ اللّهَ فَعَسَىَ أُوْلَـَئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta mereka tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allah, maka merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk” [QS. At-Taubah : 17-18].
Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang beriman lagi mendapat petunjuk dengan memakmurkan masjid (shalat berjama’ah).  Dan juga memasukkan kita ke dalam golongan yang diisyaratkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ، الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ،.....
“Tujuh golongan yang mendapat jaminan perlindungan dari Allah di hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya : Imam yang adil, pemuda yang kusyu’ dalam beribadah kepada Allah, seorang yang hatinya senantiasa bergantung kepada masjid,....” [HR. Al-Bukhari no. 660]Amien...........

[Abul-Jauzaa’ - Ciomas Permai, Jumadil-‘Ula 1428].

Comments

insani store mengatakan...

Jazakumullah khairan ustadz atas postingan nya yang bermanfaat. Semoga ini menjadi pemotivasi pribadi maupun lainnya, dalam rangka menegakkan shalat berjama'ah di masjid. Aamiin

Anonim mengatakan...

Ustadz, apa dibenarkan seseorang memberi gelar "munafiq" pada orang yang tidak shalat di masjid?

ana dapati ada beberapa orang yang begitu mudahnya gelar "munafiq" pada orang yang shalatnya tidak di masjid (meskipun mungkin masih shalat di tempat lain)

ia berdalil dengan hadits :

إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْ

Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Shubuh

(HR Bukhari)

juga berdalil dengan atsar ibnu mas'ud diatas:

لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنَ الصَّلَاةِ، إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ، أَوْ مَرِيضٌ

Sungguh aku telah melihat keadaan kami (yaitu keadaan para shahabat)! Tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjama’ah (di masjid) kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya; atau orang yang yang sakit

(HR Muslim)

Pertanyaannya:

- Apakah shalat diselain masjid, adalah perbuatan nifaq akbar? yang menjadikan seseorang "munafik yang paling jelas munafiknya"?

- Apakah boleh memberi gelar "munafiq" kepada yang tidak hadir di masjid, dengan menggunakan dua dalil diatas?

- Apakah "munafiq" disini berarti pengkafiran atau pemfasiqan ? (yang nampak dalam lafazh ibnu mas'ud, bahwa yang beliau maksudkan adalah munafiq hakiki, bukan munafiq majazi)

Jazakallahu khairan