Amalan
ini sekarang sudah jarang dilakukan oleh kaum muslimin, padahal dulu, sering
dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah salah satu
kemudahan bagi kaum muslimin agar mereka lebih giat dalam menambah surplus
pahala shalat sunnah saat bepergian, karena shalat sunnah dapat menyempurnakan
kekurangan yang ada dalam shalat wajib sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam :
إِنَّ أَوَّلَ مَا
يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلَاةُ، قَالَ:
يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِي صَلَاةِ
عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا، فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً
وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ،
فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ، قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ،
ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya
yang pertama kami dihisab dari diri manusia pada hari kiamat dari amal-amalnya
adalah shalat. Rabb kita ‘azza wa jallaa berfirman kepada malaikat, padahal Ia lebih
mengetahui : ‘Lihatlah shalat hamba-Ku apakah sempurna atau kurang’. Apabila shalatnya
sempurna, maka dituliskan padanya (pahala) yang sempurna. Namun apabila kurang,
maka Allah berfirman : ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku mempunyai amalan shalat
sunnah (tathawwu’) ?’. Apabila ia mempunyai amalan shalat sunnah, maka Allah
berfirman : ‘Sempurnakanlah bagi hamba-Ku shalat wajibnya dari shalat sunnahnya’.
Kemudian amalan-amalan lain dihisab sama seperti itu” [Diriwayatkan oleh
Abu Daawud no. 864-866; shahih].
Beberapa
dalil yang melandasi amalan yang disebutkan dalam judul antara lain adalah :
Firman
Allah ta’ala :
وَلِلَّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”
[QS. Al-Baqarah : 115].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ،
قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَهُوَ مُقْبِلٌ
مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ عَلَى رَاحِلَتِهِ، حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ، قَالَ:
وَفِيهِ نَزَلَتْ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ".
Dari
Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
shalat di atas kendarannya kemana saja kendaraannya menghadap, yaitu ketika beliau
datang dari Makkah menuju Madiinah. Dan pada peristiwa itu turun ayat : ‘ke
mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS. Al-Baqarah : 115)”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 700].
عَنْ جَابِرِ، قَالَ:
" كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ
حَيْثُ تَوَجَّهَتْ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
"
Dari
Jaabir, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
shalat di atas kendaraannya kemana saja kendaraan itu menghadap. Namun apabila hendak
mengerjakan shalat wajib, beliau turun lalu menghadap kiblat” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 400 & 1094 & 1099 & 4140, Abu Daawud no.
1227, At-Tirmidziy no. 351, dan yang lainnya].
عَنْ عَامِر بْن رَبِيعَةَ
قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ
يُسَبِّحُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ، وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ
Dari
‘Aamir bin Rabii’ah, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bertasbih (yaitu : shalat) di atas kendaraannya.
Beliau memberi isyarat dengan kepalanya kemana saja kendaraannya menghadap.
Namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan hal
tersebut dalam shalat wajib” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1097].
عَنْ سَعِيدِ بْنِ
يَسَارٍ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ أَسِيرُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بِطَرِيقِ
مَكَّةَ، فَقَالَ سَعِيدٌ: " فَلَمَّا خَشِيتُ الصُّبْحَ نَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ،
ثُمَّ لَحِقْتُهُ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: أَيْنَ كُنْتَ؟ فَقُلْتُ: خَشِيتُ
الصُّبْحَ فَنَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: أَلَيْسَ لَكَ فِي رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِسْوَةٌ حَسَنَةٌ؟ فَقُلْتُ: بَلَى وَاللَّهِ،
قَالَ: فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ عَلَى
الْبَعِيرِ "
Dari
Sa’iid bin Yasaar, bahwasannya ia berkata : Aku pernah pergi bersama 'Abdullah
bin ‘Umar di suatu jalan di kota Makkah. Ketika aku khawatir (masuk waktu) Shubuh,
aku turun (dari kendaraanku), lalu aku mengerjakan shalat witir. (Setelah
selesai), aku menyusulnya". ‘Abdullah berkata : “Dari mana saja engkau?”. Aku
menjawab : “Aku tadi khawatir (masuk waktu) Shubuh, aku turun (dari kendaraanku),
dan kemudian mengerjakan shalat witir". 'Abdullah berkata : "Tidakkah
dalam diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam terdapat contoh
yang baik (uswah hasanah) bagimu ?". Aku berkata : “Tentu saja, demi
Allah”. 'Abdullah berkata : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam biasa shalat witir di atas onta” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
999 & 1000 & 1095 & 1096 & 1098 & 1105, Muslim no. 700].
عَنْ أَنَس بْن سِيرِينَ،
قَالَ: " اسْتَقْبَلْنَا أَنَسًا بْنَ مَالِكٍ حِينَ قَدِمَ مِنْ الشَّأْمِ، فَلَقِينَاهُ
بِعَيْنِ التَّمْرِ فَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي عَلَى حِمَارٍ وَوَجْهُهُ مِنْ ذَا الْجَانِبِ
يَعْنِي عَنْ يَسَارِ الْقِبْلَةِ، فَقُلْتُ: رَأَيْتُكَ تُصَلِّي لِغَيْرِ الْقِبْلَةِ،
فَقَالَ: لَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَعَلَهُ لَمْ أَفْعَلْهُ "
Dari
Anas bin Siiriin, ia berkata : Kami pernah menyambut kedatangan Anas bin Malik
ketika ia baru datang dari Syaam. Kami menemuinya di tempat yang bernama ‘Ainut-Tamr.
Ketika itu aku melihatnya (Anas) shalat di atas keledainya dengan menghadap ke
sebelah kiri kiblat. (Setelah ia selesai), aku bertanya kepadanya : “Aku
melihatmu shalat dengan tidak menghadap kiblat”. Ia berkata : “Seandainya aku
tidak pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya,
niscaya aku tidak akan melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1100,
Muslim no. 702, Abu Daawud no. 1225, dan yang lainnya].
عَنْ أَنَس بْن مَالِكٍ،
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ
أَنْ يَتَطَوَّعَ اسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ، ثُمَّ صَلَّى حَيْثُ
وَجَّهَهُ رِكَابُهُ "
Dari
Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
apabila melakukan safar dan hendak melakukan shalat sunnah, maka beliau
menghadapkan ontanya ke kiblat, lalu bertakbir. Setelah itu beliau shalat
kemana saja ontanya itu menghadap [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1225;
hasan].
An-Nawawiy
rahimahullah mengatakan adanya konsensus ulama diperbolehkannya shalat
sunnah di atas kendaraan saat safar :
فِي هَذِهِ
الْأَحَادِيث جَوَاز التَّنَفُّل عَلَى الرَّاحِلَة فِي السَّفَر حَيْثُ
تَوَجَّهَتْ ، وَهَذَا جَائِز بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ
“Dalam
hadits-hadits ini terdapat dalil diperbolehkannya shalat sunnah di atas
kendaraan ketika safar kemanapun kendaraan itu menghadap. Hukumnya diperbolehkan
menurut ijmaa’ pada ulama” [Syarh Shahiih Muslim, 5/210].
Diperbolehkan
juga melakukan shalat sunnah di atas kendaraan meskipun perjalanannya tersebut
belum melewati batas jarak safar menurut jumhur ulama. Ath-Thabariy rahimahullah
berkata ketika menisbatkan pendapat ini pada jumhur ulama :
أَنَّ اللَّه
تَعَالَى جَعَلَ التَّيَمُّم رُخْصَة لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِر ، وَقَدْ
أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ كَانَ خَارِج الْمِصْر عَلَى مِيل أَوْ أَقَلّ
وَنِيَّته الْعَوْد إِلَى مَنْزِله لَا إِلَى سَفَر آخَر وَلَمْ يَجِد مَاء
أَنَّهُ يَجُوز لَهُ التَّيَمُّم ، وَقَالَ : فَكَمَا جَازَ لَهُ التَّيَمُّم فِي
هَذَا الْقَدْر جَازَ لَهُ النَّفْل عَلَى الدَّابَّة لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي
الرُّخْصَة
“Bahwasannya
Allah ta’ala menjadikan tayammum sebagai rukhshah bagi
orang yang sakit dan musafir. Dan para ulama sepakat bagi orang yang keluar
dari negerinya sejauh satu mil atau kurang dan ia berniat akan kembali ke rumahnya
– bukan tujuan untuk bersafar ke daerah lain - , dimana waktu itu ia tidak
mendapatkan air, maka diperbolehkan baginya untuk bertayammum. Sebagaimana
diperbolehkan untuk bertayammum dalam keadaan ini, maka diperbolehkan pula
baginya untuk melakukan shalat shalat sunnah di atas hewan tunggangannya dengan
sebab adanya isytiraak keduanya dalam hal rukhshah” [Fathul-Baariy,
2/575].
Beberapa
point yang dapat diambil antara lain :
1.
Diperbolehkan melakukan
shalat sunnah di atas kendaraan ketika safar, baik telah atau belum melewati
batas (jarak) safar.
2.
Tidak diperbolehkan
melakukan shalat wajib di atas kendaraan.
Kecuali jika
seseorang berada di atas kendaraan yang tidak memungkinkan baginya untuk turun,
seperti misal : di pesawat terbang atau di kapal.
3.
Diperbolehkan (sah)
shalat sunnah di atas kendaraan meskipun tidak menghadap kiblat, namun tetap dianjurkan
menghadap kiblat di awal shalat, dan setelah itu boleh tidak menghadap kiblat
sesuai jalan kendaraan yang dinaiki.
4.
Besarnya semangat para
shahabat untuk mengikuti (ittiba’) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
Semoga
ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 23101434/30082013 – 00:20 – banyak mengambil faedah dari kitab Shalaatut-Tathawwu’
karya Dr. Sa’iid bin ‘Aliy bin Wahf Al-Qahthaaniy, bisa diunduh di sini].
Comments
kalau bepergian naik bus juga susah tadz berhentinya, gimana tuh boleh gak shalat wajibnya di lakukan di dalam bus..???
Di atas sudah ada haditsnya, mohon dibaca kembali.
Shalat ketika bepergian naik bus itu bisa kita atur. Bisa kita jamak taqdim atau ta'khir, dan itu bisa dilakukan saat sebelum naik bus, saat istirahat, atau setelah sampai di tujuan.
Mudah.
Pak, saya sering bepergian naik bis malam antar kota. Untuk shalat Maghrib dan Isya' insyaAllah mudah untuk diatur pelaksanaannya. Namun hal yang kadang terjadi adalah saya menjumpai waktu shalat shubuh ketika masih di bus, dan bus baru berhenti setelah waktu shubuh terlewat. Apakah diperbolehkan shalat shubuh di bus sebagaimana saya biasa melaksanakannya sementara ini, atau harus diakhirkan sampai saya turun dari bus. Syukran dan semoga saya dapat mendapatkan penjelasannya.
-Mulyana-
Yang saya ketahui hingga saat ini adalah riwayat :
عَنْ عَامِر بْن رَبِيعَةَ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ، وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ
Dari ‘Aamir bin Rabii’ah, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertasbih (yaitu : shalat) di atas kendaraannya. Beliau memberi isyarat dengan kepalanya kemana saja kendaraannya menghadap. Namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan hal tersebut dalam shalat wajib” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1097].
Cobalah antum cari alternatif kendaraan lainnya yang memungkinkan untuk melaksanakan shalat Shubuh sesuai dengan waktunya.
Namun jika waktu-waktu tertentu yang memang tidak memungkinkan untuk turun, maka boleh dikerjakan di atas kendaraan namun tetap dalam keadaan berdiri menghadap kiblat (selagi masib memungkinkan untuk berdiri).
wallaahu a'lam.
ada berita di http://m.kabar24.com/puasa/read/20130718/92/196124/duh-syahdunya-shalat-subuh-di-krl-commuter-line
yg ingin saya tanyakan, bolehkah alasan yg diberikan oleh yg melaksakan shalat di KRL tsb..?
Posting Komentar