Al-Imaam
Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
حَدَّثَنِي
يَحْيَى، عَنْ مَالِك، عَنْ أَبِي الرِّجَالِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ،
عَنْ أُمِّهِ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ سَمِعَهَا تَقُولُ:
" لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخْتَفِيَ
وَالْمُخْتَفِيَةَ ". يَعْنِي نَبَّاشَ الْقُبُور
Telah
menceritakan kepadaku Yahyaa[1],
dari Maalik[2], dari
Abur-Rijaal Muhammad bin ‘Abdirrahmaan[3],
dari ibunya yang bernama ‘Amrah bintu ‘Abdirrahmaan[4],
bahwasannya ia (Abur-Rajaa’) pernah mendengarnya (ibunya) berkata : “Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat al-mukhtafiy dan al-mukhtafiyyah”
– yaitu : laki-laki dan wanita yang membongkar kuburan (untuk mencuri kain
kafan darinya)” [Al-Muwaththaa’, 2/217 no. 615].
Yahyaa
bin Yahyaa dalam periwayatan dari Maalik mempunyai mutaba’aat dari :
1.
Muhammad bin Idriis
Asy-Syaafi’iy[5];
sebagaimana yang ia riwayatkan sendiri dalam Al-Umm 6/161, dan darinya
Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 8/270 (8/469) no. 17244 & Ma’rifatus-Sunan
wal-Aatsaar no. 5170.
Sanadnya shahih
hingga Maalik.
2.
Yahyaa bin Sa’iid
Al-Qaththaan[6];
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Harbiy dalam Ghariibul-Hadiits 2/840.
Sanadnya shahih
hingga Maalik.
3.
Al-Qa’nabiy[7];
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’ 4/1519.
Sanadnya shahih
hingga Maalik.
Ada
beberapa perawi yang meriwayatkan dari Maalik secara maushuul yang menyambungkan
sanad antara ‘Amrah dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan menyebutkan
perantara ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, yaitu :
1.
Yahyaa bin Shaalih
Al-Wuhaadhiy[8];
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 8/270 (8/469)
no. 17245 dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 13/139.
Sanadnya shahih
hingga Maalik.
2.
Abu Qutaibah[9];
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 8/270 (8/469)
no. 17246.
Sanadnya hasan
hingga Maalik.
3.
‘Abdullah bin
‘Abdil-Wahhaab[10];
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 13/139-140.
Sanadnya lemah
hingga Maalik, karena majhuul-nya Hisyaam bin Ishaaq.
Al-‘Uqailiy
membawakan riwayat maushul Yahyaa bin Shaalih Al-Wuhaadhiy sebagai
berikut :
حَدَّثَنَاهُ
مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ،
حَدَّثَنَا مَالِكٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي الرِّجَالِ، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمُخْتَفِيَ وَالْمُخْتَفِيَةَ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Al-Waliid[11]
: Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Shaalih : Telah menceritakan kepada
kami Maalik, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abir-Rijaal[12],
dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam melaknat al-mukhtafiy dan al-mukhtafiyyah” [Adl-Dlu’afaa’,
4/1518].
Sanad
riwayat ini dla’iif,
karena keterputusan antara Abur-Rijaal dengan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.
Namun perantara antara Abur-Rijaal dengan ‘Aaisyah telah diketahui – sebagaimana
tersebut dalam riwayat-riwayat di atas - , yaitu ‘Amrah bintu ‘Abdirrahmaan.
Maalik
dalam riwayat maushuul mempunyai mutaba’ah dari Ibnu Juraij :
عَنِ ابْنِ
جُرَيْجٍ، قَالَ: أُخْبِرْتُ، عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ
عَائِشَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: " لُعِنَ الْمُخْتَفِي وَالْمُخْتَفِيَةُ
"
Dari
Ibnu Juraij, ia berkata : Telah dikhabarkan kepadaku dari ‘Amrah bintu
‘Abdirrahmaan, dari ‘Aaisyah, bahwasannya ia berkata : “Telah dilaknat al-mukhtafiy
dan al-mukhtafiyyah” [Diriwayatkan
oleh ‘Abdurrazzaaq
no. 18888].
Sanad
ini lemah, karena Ibnu Juraij tidak menyebutkan tashriih penyimakan
riwayatnya dari ‘Amrah, sedangkan ia seorang mudallis.
Ad-Daaruquthniy
rahimahullah berkata :
وَسُئِلَ عَنْ
حَدِيثِ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، " لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمُخْتَفِيَ، وَالْمُخْتَفِيَةَ ". يَعْنِي النَّبَّاشَ،
فَقَالَ: يَرْوِيهِ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنْ أَبِي الرِّجَالِ، وَاخْتُلِفَ
عَنْهُ، فَرَوَاهُ، يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ الْوُحَاظِيُّ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عَبْدِ الْوَهَّابِ الْحَجَبِيُّ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الرِّجَالِ، عَنْ
عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، وَخَالَفَهُمَا ابْنُ وَهْبٍ، وَالشَّافِعِيُّ،
وَالنُّفَيْلِيُّ، وَالْقَعْنَبِيُّ، رَوَوْهُ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي
الرِّجَالِ، عَنْ عَمْرَةَ، مُرْسَلا، وَهُوَ الصَّحِيحُ
Ia
pernah ditanya tentang hadits ‘Amrah, dari ‘Aaisyah : ‘Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam melaknat al-mukhtafiy dan al-mukhtafiyyah’
– yaitu : ‘laki-laki dan wanita yang membongkar kuburan’. Ia (Ad-Daaruquthniy)
berkata : “Maalik bin Anas meriwayatkan dari Abur-Rijaal – dan terdapat
perselisihan di dalamnya. Yahyaa bin Shaalih Al-Wuhaadhiy dan ‘Abdullah bin
‘Abdil-Wahhaab Al-Hajabiy, dari Maalik, dari Abur-Rijaal, dari ‘Amrah, dari
‘Aaisyah. Keduanya (Yahyaa bin Shaalih dan ‘Abdul-Wahhaab) diselisihi oleh Ibnu
Wahb, Asy-Syafi’iy, An-Nufailiy, dan Al-Qa’nabiy yang meriwayatkan dari Maalik,
dari Abur-Rijaal, dari ‘Amrah secara mursal. Inilah yang benar” [Al-‘Ilal
14/416 no. 3763].
Al-‘Uqailiy
[Adl-Dlu’afaa’, 4/1519] dan Al-Baihaqiy [Al-Kubraa, 8/270 (8/469)]
rahimahumallah juga merajihkan riwayat mursal.
Adapun
Ibnut-Turkumaaniy merajihkan riwayat maushuul. Inilah yang benar – wallaahu
a’lam - , karena riwayat maushul di atas memperbaiki riwayat mursal
dengan keberadaan penguat dari jalan Ibnu Abir-Rijaal dan Ibnu Juraij di atas.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy menshahihkannya dalam Silsilah Ash-Shahiihah 5/181-182
no. 2148.
‘Aaisyah
mempunyai syaahid dari Ibnu ‘Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
‘Abdil-Barr :
أَخْبَرَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ، أَخْبَرَنَا عَلِيٌّ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ، حَدَّثَنَا
سَحْنُونٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ
نَافِعٍ، قَالَ: " لَمْ أَسْمَعْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَلْعَنْ
خَادِمًا قَطْ غَيْرَ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ غَضِبَ فِيهَا عَلَى بَعْضِ خَدَمِهِ،
فَقَالَ: لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ، كَلِمَةٌ لَمْ أُحِبُّ أَنْ أَقُولَهَا،
وَقَدْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخْتَفِي
يَعْنِي: نَبَّاشَ الْقُبُورِ، وَلَعَنَ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا "
Telah
mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahmaan[13]
: Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad[14]
: Telah menceritakan kepada kami Suhnuun[15]
: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb[16]
: Telah mengkhabarkan kepadaku Yuunus bin Yaziid[17],
dari Naafi’[18],
ia berkata : Aku tidak pernah mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar melaknat
pembantunya sama sekali, kecuali sekali saja. Ia marah pada sebagian
pembantunya. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Laknat Allah atas (perbuatan)-mu. Satu kalimat
yang aku tidak suka untuk mengatakannya. Namun sungguh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah melaknat al-mukhtafiy, yaitu pembongkar
kubur. Dan beliau juga melaknat khamr dan peminumnya” [At-Tamhiid 17/405].
Dhahir sanad riwayat ini
shahih, para perawinya tsiqaat.
Diriwayatkan
juga oleh Ibnu Wahb dalam Al-Jaami’ no. 351 secara ringkas perkataan
Naafi’ :
لَمْ أَسْمَعِ ابْنَ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
يَلْعَنُ خَادِمًا لَهُ قَطُّ غَيْرَ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ غَضِبَ فِيهَا عَلَى
بَعْضِ خَدَمِهِ، فَقَالَ: لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ، كَلِمَةٌ لَمْ أُحِبَّ أَنْ
أَقُولَهَا
“Aku tidak pernah mendengar
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa melaknat pembantunya sama sekali,
kecuali sekali saja. Ia marah pada sebagian pembantunya. Ia (Ibnu ‘Umar)
berkata : ‘Laknat
Allah atas (perbuatan)-mu. Satu kalimat yang aku tidak suka untuk mengatakannya”.
Diriwayatkan
juga oleh Ibnu Abid-Dun-yaa dalam Ash-Shamt no. 380, ‘Abdurrazzaaq
10/413 no. 19534, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/307, Al-Kharaaithiy dalam
Masaawiul-Akhlaaq no. 72, dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no.
4794 dengan lafadh ringkas dari jalan Az-Zuhriy, dari Saalim, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa.
Nampak
bahwa tambahan lafadh pelaknatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berasal
dari jalan Suhnuun, dan ia menyendiri dengannya, sehingga tambahan tersebut dihukumi
syaadz. Wallaahu a’lam.
Sebagian Faedah Terkait Tema :
Al-Baajiy rahimahullah berkata
:
وَالْمُخْتَفِي
وَالْمُخْتَفِيَةُ هُمَا النَّبَّاشُ وَالنَّبَّاشَةُ لِلْقُبُورِ لِأَخْذِ
أَكْفَانِ الْمَوْتَى
“Al-mukhtafiy dan
al-mukhtafiyyah adalah laki-laki dan wanita yang membongkar kubur untuk
mengambil kain-kain kafan orang yang telah meninggal” [Al-Muntaqaa,
2/62].
Adanya laknat dalam sabda beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan perbuatan tersebut termasuk
dosa besar. Ibnu Shalaah rahimahullah
berkata :
لها أمارات منها إيجاب الحد،
ومنها الإيعاد عليها بالعذاب بالنار ونحوها في الكتاب أو السنة، ومنها وصف صاحبها
بالفسق، ومنها اللعن
“Dosa besar mempunyai beberapa
tanda/alamat, antara lain mengkonsekuensikan adanya hadd, adanya ancaman
adzab neraka dan yang lainnya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah,
disifatinya pelaku dengan kefasikan, dan adanya laknat” [Fathul-Baariy, 12/184].
Salah
satu sebab pelarangan membongkar kubur untuk mengambil kain kafan atau sesuatu
yang lain dari mayat adalah karena perbuatan tersebut dapat menyebabkan
rusaknya jasad si mayit. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كَسْرُ عَظْمِ
الْمَيِّتِ، كَكَسْرِهِ حَيًّ
“Memecahkan tulang mayit
seperti memecahkannya sewaktu masih hidup” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud
no. 3207, Ibnu Maajah no. 1616, dan yang lainnya; shahih].
Mayit yang dimaksud adalah
mayit seorang mukmin, karena dalam riwayat lain disebutkan :
إِنَّ كَسْرَ عَظْمِ
الْمُؤْمِنِ مَيْتًا مِثْلُ كَسْرِهِ حَيًّا
“Sesungguhnya memecahkan
tulang mayit seorang mukmin seperti memecahkannya sewaktu masih hidup”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 6/58 & 6/264, Hanaad bin As-Sariy dalam Az-Zuhd
no. 1169, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Ad-Diyaat no. 157, dan Ath-Thahawiy
dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1274].
Adapun penyamaan yang dimaksud dalam
hadits adalah penyamaan
dalam hal dosa [Al-Muwaththa’,
2/218].
Berdasarkan hadits ini, haram hukumnya
membongkar kuburan seorang muslim karena dapat menyebabkan rusaknya jasad si
mayit. Dikecualikan jika pembongkaran tersebut mempunyai maslahat yang kuat
yang dibenarkan oleh syari’at, seperti : pemindahan kuburan yang ada di masjid[19], untuk keperluan penyelidikan
kejahatan (otopsi), dan yang lainnya. Kehormatan seorang muslim tetap terjaga baik
ia masih hidup maupun telah meninggal. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ
وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي
بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فَأَعَادَهَا مِرَارًا
“Sesungguhnya darah, harta,
dan kehormatan kalian adalah haram bagi kalian (untuk dilanggar), seperti
haramnya hari kalian ini, pada negeri kalian ini (Makkah), dan pada bulan
kalian ini (Dzulhijjah)” – beliau mengulanginya beberapa kali [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1739].
Faedah lain……
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum
orang yang mencuri/mengambil kain
kafan di kuburan, apakah ia dikenai hadd potong tangan ataukah tidak. Sebagian ulama berpendapat tidak
dipotong tangannya. Mereka adalah : Ibnu ‘Abbaas, Ats-Tsauriy, Abu Haniifah, Ibnul-Humaam,
Muhammad bin Al-Hasan, Al-Auzaa’iy, dan Az-Zuhriy. Sebagian yang lain (jumhur) berpendapat
dipotong tangannya. Mereka adalah : ‘Umar bin Al-Khaththaab, Ibnu Mas’uud, ‘Aaisyah,
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, Asy-Sya’biy, An-Nakhaa’iy, Al-Hasan Al-Bashriy,
Qataadah, Hammaad, Abu Yuusuf, Maalik, Asy-Syaafi’iy, Ahmad, dan yang lainnya [selengkapnya
lihat : ‘Aunul-Ma’buud 9/437 – via Syaamilah].
Yang raajih adalah
pendapat kedua, yaitu tidak dipotong tangannya. Perbuatan itu hanya dikenai
hukum ta’ziir, karena kain kafan itu bukan harta yang mempunyai tuan
(pemilik), bukan pula harta milik si mayit. Selain itu, kubur bukan termasuk
tempat penjagaan/penyimpanan yang merupakan salah satu syarat dapat dikenai had
potong tangan. Orang yang membongkar kubur bukan termasuk katagori saariq
(pencuri) yang dikenai hukuman saariq.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas
permai, ciapus, ciomas, bogor – 28081434/07072013].
[1] Yahyaa bin Yahyaa bin Katsiir Al-Laitsiy Al-Andalusiy
Al-Qurthubiy, Abu Muhammad; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10,
lahir tahun 152 H, dan wafat tahun 234 H [Taqriibut-Tahdziib hal. 1069
no. 7719 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa 10/519-525 no. 168].
[2] Maalik bin Anas bin Maalik bin Abi ‘Aamir bin ‘Amru
Al-Ashbahiy Al-Humairiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy Al-Faqiih; imam
Daarul-Hijrah, tsiqah, yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 93 H, dan wafat tahun 179 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 913 no. 6465].
[3] Muhammad bin
‘Abdirrahmaan bin Haaritsah – atau : ‘Abdullah bin Haaritsah bin An-Nu’maan
Al-Anshaariy An-Najjaariy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Madaniy – julukannya :
Abur-Rijaal;
seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal.
869 no. 6110].
[4] ‘Amrah bintu ‘Abdirrahmaan bin Sa’d bin
Zuraarah Al-Anshaariyyah Al-Madaniyyah; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah
ke-3 dan wafat tahun 98 H atau sebelum tahun 106 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib
hal. 1365 no. 8742].
[5] Muhammad bin Idriis bin Al-‘Abbaas bin ‘Utsmaan bin
Syaafi’ Al-Muthallibiy Al-Qurasyiy, Abu ‘Abdillah Asy-Syaafi’iy Al-Makkiy;
seorang imam yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 150 H,
dan wafat tahun 204 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mua’llaq,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 823-824 no. 5754].
[6] Yahyaa bin Sa’iid bin Farruukh Al-Qaththaan
At-Tamiimiy; seorang yang tsiqah,mutqin,
haafidh, imaam, lagi qudwah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 198
H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy,
dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1055-1056 no. 7607].
[7] ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab
Al-Qa’nabiy Al-Haaritsiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Madaniy Al-Bashriy; seorang yang
tsiqah lagi ‘aabid – Ibnu Ma’iin dan Ibnul-Madiiniy tidak
mengedepankan seorangpun dalam periwayatan Al-Muwaththa’ darinya.
Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 221 di Makkah. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 547 no. 3645].
[8] Yahyaa bin
Shaalih Al-Wuhaadhiy, Abu Zakariyyaa/Abu Shaalih Asy-Syaamiy
Ad-Dimasyqiy/Al-Himshiy; seorang tsiqah lagi hujjah, namun
berpemahaman tajahhum (Jahmiyyah). Termasuk thabaqah ke-9, lahir
tahun 137 H/147 H, dan wafat tahun 222 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim,
Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 1057
no. 7618 dan Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim bimaa Laa
Yuujibu Raddahum oleh Adz-Dzahabiy, hal. 194 no. 87].
[9] Salm bin Qutaibah Asy-Sya’iiriy, Abu Qutaibah
Al-Khuraasaaniy Al-Faryaabiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah
ke-9 dan wafat tahun 200 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib
hal. 397 no. 2484].
[10] ‘Abdullah bin
‘Abdil-Wahhaab Al-Hajabiy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 227 H/228 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib hal. 523 no. 3472].
[11] Muhammad bin Ahmad bin Al-Waliid bin Burd
Al-Anthaakiy, Abul-Waliid; seorang yang tsiqah. Wafat tahun 278 H dalam
usia 90 tahun [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 13/311 no. 145].
[12] ‘Abdurrahmaan bin Abir-Rijaal Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Abdillah bin Haaritsah
bin An-Nu’maan Al-Anshaariy An-Najjaariy Al-Madaniy; seorang yang shaduuq
hasanul-hadiits. Termasuk thabaqah ke-8. Dipakai oleh Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 577
no. 3883 dan Tahriirut-Taqriib 2/317-318 no. 3858].
[13] ‘Abdurrahmaan
bin Yahyaa bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Yahyaa bin Al-‘Aththaar, Abu Zaid; seorang yang tsiqah
[Ash-Shilah, 1/96].
[14] Ahmad bin Abi Sulaimaan Daawud Al-Qairawaaniy; seorang
yang haafidh lagi faqiih. Lahir tahun 208 dan wafat tahun 291 H [Ad-Diibaajul-Madzhab,
1/22 dan Tartiibul-Madaarik 1/334].
[15] ‘Abdus-Salaam
bin Sa’iid bin Habiib bin Hassaan bin Hilaal bin Bakkaar bin Rabii’ah
At-Tanuukhiy, Abu Sa’d – terkenal dengan laqabnya : Suhnuun; seorang yang tsiqah
lagi faqiih. Lahir tahun 160 H/161 H
dan wafat tahun 240 H [Ats-Tsiqaat 8/299, Lisaanul-Miizaan 4/16
no. 3353, dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 12/63-69 no. 15].
[16] ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy,
Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah, haafidh,
lagi ‘aabid.
Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 125 H,
dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 556 no. 3718].
[17] Yuunus bin
Yaziid bin Abin-Najjaad Al-Ailiy, Abu Yaziid Al-Qurasyiy; seorang yang tsiqah,
kecuali dalam riwayat Az-Zuhriy terdapat sedikit wahm (keraguan).
Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 159 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1100 no. 7976].
[18] Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur. Termasuk thabaqah ke-3 dan wafat
tahun 117 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 996 no. 7136].
Comments
Posting Komentar