Hadits : Laknat Rasul terhadap Pembongkar Kubur


Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِك، عَنْ أَبِي الرِّجَالِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، عَنْ أُمِّهِ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ سَمِعَهَا تَقُولُ: " لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخْتَفِيَ وَالْمُخْتَفِيَةَ ". يَعْنِي نَبَّاشَ الْقُبُور
Telah menceritakan kepadaku Yahyaa[1], dari Maalik[2], dari Abur-Rijaal Muhammad bin ‘Abdirrahmaan[3], dari ibunya yang bernama ‘Amrah bintu ‘Abdirrahmaan[4], bahwasannya ia (Abur-Rajaa’) pernah mendengarnya (ibunya) berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat al-mukhtafiy dan al-mukhtafiyyah” – yaitu : laki-laki dan wanita yang membongkar kuburan (untuk mencuri kain kafan darinya)” [Al-Muwaththaa’, 2/217 no. 615].
Sanad riwayat ini mursal, karena ‘Amrah seorang taabi’iyyah. Adapun para perawinya tsiqaat.
Yahyaa bin Yahyaa dalam periwayatan dari Maalik mempunyai mutaba’aat dari :
1.     Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy[5]; sebagaimana yang ia riwayatkan sendiri dalam Al-Umm 6/161, dan darinya Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 8/270 (8/469) no. 17244 & Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar no. 5170.
Sanadnya shahih hingga Maalik.
2.     Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan[6]; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Harbiy dalam Ghariibul-Hadiits 2/840.
Sanadnya shahih hingga Maalik.
3.     Al-Qa’nabiy[7]; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’ 4/1519.
Sanadnya shahih hingga Maalik.
Ada beberapa perawi yang meriwayatkan dari Maalik secara maushuul yang menyambungkan sanad antara ‘Amrah dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan menyebutkan perantara ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, yaitu :
1.     Yahyaa bin Shaalih Al-Wuhaadhiy[8]; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 8/270 (8/469) no. 17245 dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 13/139.
Sanadnya shahih hingga Maalik.
2.     Abu Qutaibah[9]; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 8/270 (8/469) no. 17246.
Sanadnya hasan hingga Maalik.
3.     ‘Abdullah bin ‘Abdil-Wahhaab[10]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 13/139-140.
Sanadnya lemah hingga Maalik, karena majhuul-nya Hisyaam bin Ishaaq.
Al-‘Uqailiy membawakan riwayat maushul Yahyaa bin Shaalih Al-Wuhaadhiy sebagai berikut :
حَدَّثَنَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي الرِّجَالِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخْتَفِيَ وَالْمُخْتَفِيَةَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Al-Waliid[11] : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami Maalik, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abir-Rijaal[12], dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat al-mukhtafiy dan al-mukhtafiyyah” [Adl-Dlu’afaa’, 4/1518].
Sanad riwayat ini dla’iif, karena keterputusan antara Abur-Rijaal dengan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa. Namun perantara antara Abur-Rijaal dengan ‘Aaisyah telah diketahui – sebagaimana tersebut dalam riwayat-riwayat di atas - , yaitu ‘Amrah bintu ‘Abdirrahmaan.
Maalik dalam riwayat maushuul mempunyai mutaba’ah dari Ibnu Juraij :
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أُخْبِرْتُ، عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: " لُعِنَ الْمُخْتَفِي وَالْمُخْتَفِيَةُ "
Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Telah dikhabarkan kepadaku dari ‘Amrah bintu ‘Abdirrahmaan, dari ‘Aaisyah, bahwasannya ia berkata : “Telah dilaknat al-mukhtafiy dan al-mukhtafiyyah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 18888].
Sanad ini lemah, karena Ibnu Juraij tidak menyebutkan tashriih penyimakan riwayatnya dari ‘Amrah, sedangkan ia seorang mudallis.
Ad-Daaruquthniy rahimahullah berkata :
وَسُئِلَ عَنْ حَدِيثِ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، " لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخْتَفِيَ، وَالْمُخْتَفِيَةَ ". يَعْنِي النَّبَّاشَ، فَقَالَ: يَرْوِيهِ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنْ أَبِي الرِّجَالِ، وَاخْتُلِفَ عَنْهُ، فَرَوَاهُ، يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ الْوُحَاظِيُّ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ الْحَجَبِيُّ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الرِّجَالِ، عَنْ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، وَخَالَفَهُمَا ابْنُ وَهْبٍ، وَالشَّافِعِيُّ، وَالنُّفَيْلِيُّ، وَالْقَعْنَبِيُّ، رَوَوْهُ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الرِّجَالِ، عَنْ عَمْرَةَ، مُرْسَلا، وَهُوَ الصَّحِيحُ
Ia pernah ditanya tentang hadits ‘Amrah, dari ‘Aaisyah : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat al-mukhtafiy dan al-mukhtafiyyah’ – yaitu : ‘laki-laki dan wanita yang membongkar kuburan’. Ia (Ad-Daaruquthniy) berkata : “Maalik bin Anas meriwayatkan dari Abur-Rijaal – dan terdapat perselisihan di dalamnya. Yahyaa bin Shaalih Al-Wuhaadhiy dan ‘Abdullah bin ‘Abdil-Wahhaab Al-Hajabiy, dari Maalik, dari Abur-Rijaal, dari ‘Amrah, dari ‘Aaisyah. Keduanya (Yahyaa bin Shaalih dan ‘Abdul-Wahhaab) diselisihi oleh Ibnu Wahb, Asy-Syafi’iy, An-Nufailiy, dan Al-Qa’nabiy yang meriwayatkan dari Maalik, dari Abur-Rijaal, dari ‘Amrah secara mursal. Inilah yang benar” [Al-‘Ilal 14/416 no. 3763].
Al-‘Uqailiy [Adl-Dlu’afaa’, 4/1519] dan Al-Baihaqiy [Al-Kubraa, 8/270 (8/469)] rahimahumallah juga merajihkan riwayat mursal.
Adapun Ibnut-Turkumaaniy merajihkan riwayat maushuul. Inilah yang benar – wallaahu a’lam - , karena riwayat maushul  di atas memperbaiki riwayat mursal dengan keberadaan penguat dari jalan Ibnu Abir-Rijaal dan Ibnu Juraij di atas. Asy-Syaikh Al-Albaaniy menshahihkannya dalam Silsilah Ash-Shahiihah 5/181-182 no. 2148.
‘Aaisyah mempunyai syaahid dari Ibnu ‘Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr :
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، أَخْبَرَنَا عَلِيٌّ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ، حَدَّثَنَا سَحْنُونٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: " لَمْ أَسْمَعْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَلْعَنْ خَادِمًا قَطْ غَيْرَ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ غَضِبَ فِيهَا عَلَى بَعْضِ خَدَمِهِ، فَقَالَ: لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ، كَلِمَةٌ لَمْ أُحِبُّ أَنْ أَقُولَهَا، وَقَدْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخْتَفِي يَعْنِي: نَبَّاشَ الْقُبُورِ، وَلَعَنَ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا "
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahmaan[13] : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad[14] : Telah menceritakan kepada kami Suhnuun[15] : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb[16] : Telah mengkhabarkan kepadaku Yuunus bin Yaziid[17], dari Naafi’[18], ia berkata : Aku tidak pernah mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar melaknat pembantunya sama sekali, kecuali sekali saja. Ia marah pada sebagian pembantunya. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Laknat Allah atas (perbuatan)-mu. Satu kalimat yang aku tidak suka untuk mengatakannya. Namun sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat al-mukhtafiy, yaitu pembongkar kubur. Dan beliau juga melaknat khamr dan peminumnya” [At-Tamhiid 17/405].
Dhahir sanad riwayat ini shahih, para perawinya tsiqaat.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Wahb dalam Al-Jaami’ no. 351 secara ringkas perkataan Naafi’ :
لَمْ أَسْمَعِ  ابْنَ  عُمَرَ  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَلْعَنُ خَادِمًا لَهُ قَطُّ غَيْرَ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ غَضِبَ فِيهَا عَلَى بَعْضِ خَدَمِهِ، فَقَالَ: لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ، كَلِمَةٌ لَمْ أُحِبَّ أَنْ أَقُولَهَا
Aku tidak pernah mendengar Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa melaknat pembantunya sama sekali, kecuali sekali saja. Ia marah pada sebagian pembantunya. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : Laknat Allah atas (perbuatan)-mu. Satu kalimat yang aku tidak suka untuk mengatakannya”.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abid-Dun-yaa dalam Ash-Shamt no. 380, ‘Abdurrazzaaq 10/413 no. 19534, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/307, Al-Kharaaithiy dalam Masaawiul-Akhlaaq no. 72, dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 4794 dengan lafadh ringkas dari jalan Az-Zuhriy, dari Saalim, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Nampak bahwa tambahan lafadh pelaknatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berasal dari jalan Suhnuun, dan ia menyendiri dengannya, sehingga tambahan tersebut dihukumi syaadz. Wallaahu a’lam.
Sebagian Faedah Terkait Tema :
Al-Baajiy rahimahullah berkata :
وَالْمُخْتَفِي وَالْمُخْتَفِيَةُ هُمَا النَّبَّاشُ وَالنَّبَّاشَةُ لِلْقُبُورِ لِأَخْذِ أَكْفَانِ الْمَوْتَى
Al-mukhtafiy dan al-mukhtafiyyah adalah laki-laki dan wanita yang membongkar kubur untuk mengambil kain-kain kafan orang yang telah meninggal” [Al-Muntaqaa, 2/62].
Adanya laknat dalam sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar. Ibnu Shalaah rahimahullah berkata :
لها أمارات منها إيجاب الحد، ومنها الإيعاد عليها بالعذاب بالنار ونحوها في الكتاب أو السنة، ومنها وصف صاحبها بالفسق، ومنها اللعن
“Dosa besar mempunyai beberapa tanda/alamat, antara lain mengkonsekuensikan adanya hadd, adanya ancaman adzab neraka dan yang lainnya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, disifatinya pelaku dengan kefasikan, dan adanya laknat” [Fathul-Baariy, 12/184].
Salah satu sebab pelarangan membongkar kubur untuk mengambil kain kafan atau sesuatu yang lain dari mayat adalah karena perbuatan tersebut dapat menyebabkan rusaknya jasad si mayit. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ، كَكَسْرِهِ حَيًّ
Memecahkan tulang mayit seperti memecahkannya sewaktu masih hidup” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3207, Ibnu Maajah no. 1616, dan yang lainnya; shahih].
Mayit yang dimaksud adalah mayit seorang mukmin, karena dalam riwayat lain disebutkan :
إِنَّ كَسْرَ عَظْمِ الْمُؤْمِنِ مَيْتًا مِثْلُ كَسْرِهِ حَيًّا
Sesungguhnya memecahkan tulang mayit seorang mukmin seperti memecahkannya sewaktu masih hidup” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/58 & 6/264, Hanaad bin As-Sariy dalam Az-Zuhd no. 1169, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Ad-Diyaat no. 157, dan Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1274].
Adapun penyamaan yang dimaksud dalam hadits adalah penyamaan dalam hal dosa [Al-Muwaththa’, 2/218].
Berdasarkan hadits ini, haram hukumnya membongkar kuburan seorang muslim karena dapat menyebabkan rusaknya jasad si mayit. Dikecualikan jika pembongkaran tersebut mempunyai maslahat yang kuat yang dibenarkan oleh syari’at, seperti : pemindahan kuburan yang ada di masjid[19], untuk keperluan penyelidikan kejahatan (otopsi), dan yang lainnya. Kehormatan seorang muslim tetap terjaga baik ia masih hidup maupun telah meninggal. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فَأَعَادَهَا مِرَارًا
Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram bagi kalian (untuk dilanggar), seperti haramnya hari kalian ini, pada negeri kalian ini (Makkah), dan pada bulan kalian ini (Dzulhijjah)” – beliau mengulanginya beberapa kali [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1739].
Faedah lain……
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang mencuri/mengambil kain kafan di kuburan, apakah ia dikenai hadd potong tangan ataukah tidak. Sebagian ulama berpendapat tidak dipotong tangannya. Mereka adalah : Ibnu ‘Abbaas, Ats-Tsauriy, Abu Haniifah, Ibnul-Humaam, Muhammad bin Al-Hasan, Al-Auzaa’iy, dan Az-Zuhriy. Sebagian yang lain (jumhur) berpendapat dipotong tangannya. Mereka adalah : ‘Umar bin Al-Khaththaab, Ibnu Mas’uud, ‘Aaisyah, ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, Asy-Sya’biy, An-Nakhaa’iy, Al-Hasan Al-Bashriy, Qataadah, Hammaad, Abu Yuusuf, Maalik, Asy-Syaafi’iy, Ahmad, dan yang lainnya [selengkapnya lihat : ‘Aunul-Ma’buud 9/437 – via Syaamilah].
Yang raajih adalah pendapat kedua, yaitu tidak dipotong tangannya. Perbuatan itu hanya dikenai hukum ta’ziir, karena kain kafan itu bukan harta yang mempunyai tuan (pemilik), bukan pula harta milik si mayit. Selain itu, kubur bukan termasuk tempat penjagaan/penyimpanan yang merupakan salah satu syarat dapat dikenai had potong tangan. Orang yang membongkar kubur bukan termasuk katagori saariq (pencuri) yang dikenai hukuman saariq.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 28081434/07072013].




[1]      Yahyaa bin Yahyaa bin Katsiir Al-Laitsiy Al-Andalusiy Al-Qurthubiy, Abu Muhammad; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 152 H, dan wafat tahun 234 H [Taqriibut-Tahdziib hal. 1069 no. 7719 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa 10/519-525 no. 168].
[2]      Maalik bin Anas bin Maalik bin Abi ‘Aamir bin ‘Amru Al-Ashbahiy Al-Humairiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy Al-Faqiih; imam Daarul-Hijrah, tsiqah, yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 93 H, dan wafat tahun 179 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 913 no. 6465].
[3]      Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Haaritsah – atau : ‘Abdullah bin Haaritsah bin An-Nu’maan Al-Anshaariy An-Najjaariy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Madaniy – julukannya : Abur-Rijaal; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 869 no. 6110].
[4]      ‘Amrah bintu ‘Abdirrahmaan bin Sa’d bin Zuraarah Al-Anshaariyyah Al-Madaniyyah; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3 dan wafat tahun 98 H atau sebelum tahun 106 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 1365 no. 8742].
[5]      Muhammad bin Idriis bin Al-‘Abbaas bin ‘Utsmaan bin Syaafi’ Al-Muthallibiy Al-Qurasyiy, Abu ‘Abdillah Asy-Syaafi’iy Al-Makkiy; seorang imam yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 150 H, dan wafat tahun 204 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mua’llaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 823-824 no. 5754].
[6]      Yahyaa bin Sa’iid bin Farruukh Al-Qaththaan At-Tamiimiy; seorang yang tsiqah,mutqin, haafidh, imaam, lagi qudwah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1055-1056 no. 7607].
[7]      ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab Al-Qa’nabiy Al-Haaritsiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Madaniy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid – Ibnu Ma’iin dan Ibnul-Madiiniy tidak mengedepankan seorangpun dalam periwayatan Al-Muwaththa’ darinya. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 221 di Makkah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 547 no. 3645].
[8]      Yahyaa bin Shaalih Al-Wuhaadhiy, Abu Zakariyyaa/Abu Shaalih Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy/Al-Himshiy; seorang tsiqah lagi hujjah, namun berpemahaman tajahhum (Jahmiyyah). Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 137 H/147 H, dan wafat tahun 222 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 1057 no. 7618 dan Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim bimaa Laa Yuujibu Raddahum oleh Adz-Dzahabiy, hal. 194 no. 87].
[9]      Salm bin Qutaibah Asy-Sya’iiriy, Abu Qutaibah Al-Khuraasaaniy Al-Faryaabiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-9 dan wafat tahun 200 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 397 no. 2484].
[10]     ‘Abdullah bin ‘Abdil-Wahhaab Al-Hajabiy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 227 H/228 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib hal. 523 no. 3472].
[11]     Muhammad bin Ahmad bin Al-Waliid bin Burd Al-Anthaakiy, Abul-Waliid; seorang yang tsiqah. Wafat tahun 278 H dalam usia 90 tahun [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 13/311 no. 145].
[12]     ‘Abdurrahmaan bin Abir-Rijaal Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Abdillah bin Haaritsah bin An-Nu’maan Al-Anshaariy An-Najjaariy Al-Madaniy; seorang yang shaduuq hasanul-hadiits. Termasuk thabaqah ke-8. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 577 no. 3883 dan Tahriirut-Taqriib 2/317-318 no. 3858].
[13]     ‘Abdurrahmaan bin Yahyaa bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Yahyaa bin Al-‘Aththaar, Abu Zaid; seorang yang tsiqah [Ash-Shilah, 1/96].
[14]     Ahmad bin Abi Sulaimaan Daawud Al-Qairawaaniy; seorang yang haafidh lagi faqiih. Lahir tahun 208 dan wafat tahun 291 H [Ad-Diibaajul-Madzhab, 1/22 dan Tartiibul-Madaarik 1/334].
[15]     ‘Abdus-Salaam bin Sa’iid bin Habiib bin Hassaan bin Hilaal bin Bakkaar bin Rabii’ah At-Tanuukhiy, Abu Sa’d – terkenal dengan laqabnya : Suhnuun; seorang yang tsiqah lagi faqiih. Lahir tahun 160 H/161 H dan wafat tahun 240 H [Ats-Tsiqaat 8/299, Lisaanul-Miizaan 4/16 no. 3353, dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 12/63-69 no. 15].
[16]     ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 125 H, dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 556 no. 3718].
[17]     Yuunus bin Yaziid bin Abin-Najjaad Al-Ailiy, Abu Yaziid Al-Qurasyiy; seorang yang tsiqah, kecuali dalam riwayat Az-Zuhriy terdapat sedikit wahm (keraguan). Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 159 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1100 no. 7976].
[18]     Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur. Termasuk thabaqah ke-3 dan wafat tahun 117 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
[19]     Jika masjidnya sudah eksis duluan daripada kuburannya.

Comments