Kisah Ath-Thabaraaniy, Ibnul-Muqri’, dan Abusy-Syaikh Beristighatsah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam


Alhamdulillah, telah berlalu dalam blog ini bahasan tentang ketidakvalidan kisah An-Naabighah Al-Ja’diy yang – katanya Ustadz Muhammad Idrus Ramli – beristighatsah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[1] Kembali, kali ini kita akan meninjau apa gerangan yang telah dikatakan oleh Ustadz Muhammad Idrus Ramli perihal Ath-Thabaraaniy, Ibnul-Muqri’, dan Abusy-Syaikh rahimahumullah. Ia (Ustadz Muhammad Idrus Ramli) berkata :
Ketiga) Tiga orang hafizh dan imam ahli hadits terkemuka pada masanya yaitu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani (260-360 H/874-971 M) pengarang al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausath, al-Mu’jam al-Shaghir dan lain-lain, al-Hafizh Abu al-Syaikh al-Ashbihani (274-369 H/897-979 M) pengarang Kitab al-Tsawab dan al-Hafizh Abu Bakar bin al-Muqri’ al-Ashbihani (273-381 H/896-991 M) melakukan istighatsah dengan Rasulullah SAW dalam kisah berikut:
قَالَ اْلإِمَامُ أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ الْمُقْرِئِ: كُنْتُ أَنَا وَالطَّبَرَانِيُّ وَأَبُو الشَّيْخِ فِيْ حَرَمِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَكُنَّا عَلَى حَالَةٍ وَأَثَّرَ فِيْنَا الْجُوْعُ وَوَاصَلْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ، فَلَمَّا كَانَ وَقْتُ الْعِشَاءِ حَضَرْتُ قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْجُوْعَ الْجُوْعَ، وَانْصَرَفْتُ. فَقَالَ لِيْ أَبُو الْقَاسِمِ: اِجْلِسْ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ الرِّزْقُ أَوْ الْمَوْتُ، قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: فَنِمْتُ أَنَا وَأَبُو الشَّيْخِ وَالطَّبَرَانِيُّ جَالِسٌ يَنْظُرُ فِيْ شَيْءٍ فَحَضَرَ فِي الْبَابِ عَلَوِيٌّ فَدَقَّ فَفَتَحْنَا لَهُ فَإِذًا مَعَهُ غُلاَمَانِ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَنْبِيْلٌ فِيْ شَيْءٍ كَثِيْرٍ، فَجَلَسْنَا وَأَكَلْنَا، قَالَ الْعَلَوِيُّ: يَا قَوْمُ أَشَكَوْتُمْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَإِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَحْمِلَ بِشَيْءٍ إِلَيْكُمْ. رواه الحافظ ابن الجوزي في الوفا بأحوال المصطفى (ص/818)، والحافظ الذهبي في تذكرة الحفاظ (3/973) وتاريخ الإسلام (ص/2808).
“Al-Imam Abu Bakar bin al-Muqri’ berkata: “Saya berada di Madinah bersama al-Hafizh al-Thabarani dan al-Hafizh Abu al-Syaikh. Kami dalam kondisi prihatin dan sangat lapar, selama satu hari satu malam belum makan. Setelah waktu isya’ tiba, saya mendatangi makam Rasulullah SAW. Lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, kami lapar, kami lapar (tolonglah kami)”. Dan saya segera pulang. Lalu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani bertaka: “Duduklah, kita tunggu datangnya rezeki atau kematian”. Abu Bakar berkata: “Lalu aku dan Abu al-Syaikh tidur. Sedangkan al-Thabarani duduk sambil melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah laki-laki ‘Alawi (keturunan Nabi SAW) dan mengetuk pintu. Kami membukakan pintu untuknya. Ternyata ia bersama dua orang budaknya yang masing-masing membawa keranjang penuh dengan makanan. Lalu kami duduk dan makan bersama. Lalu laki-laki ‘Alawi itu berkata; “Hai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah SAW? Aku bermimpi Rasulullah SAW dan menyuruhku membawakan makanan untuk kalian”.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn al-Jauzi (508-597 H/1114-1201 M) dalam al-Wafa bi-Ahwal al-Mushthafa (hal. 818), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tadzkirat al-Huffazh (3/973), dalam Tarikh al-Islam (hal. 2808) dan disebutkan oleh Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam Hujjatullah ‘ala al-‘Alamin (hal. 805).
Dalam kisah di atas, jelas sekali al-Imam al-Hafizh Ibnu al-Muqri’ al-Ashbihani tersebut, dengan sepengetahuan kedua rekannya al-Imam al-Thabarani dal al-Imam Abu al-Syaikh, ber-istighatsah dengan Nabi SAW ketika kelaparan. Dan tidak satupun dari ulama yang menilai ketiga imam tersebut telah syirik, kafir dan murtad, sebagaimana dalam keyakinan kaum Wahabi dewasa ini. Sudah pasti, dalam pandangan Wahabi, ketiga Imam hadits di atas, dan para ulama yang membenarkan mereka seperti Ibnu al-Jauzi, al-Dzahabi dan lain-lain, akan dicap sebagai Quburiyyun, penyembah kuburan. Tentu karena pandangan Wahabi yang salah dan batil, sebagai akibat taklid buta kepada Muhammad bin Abdul Wahhab yang telah kami buktikan kebohongannya, dan belum dijawab oleh para ustadz Wahabi.
[selesai kutipan].
Begitulah katanya.... dan itu keliru !!.
Pertama, saya nasihatkan kepada Muhammad Idrus Ramli apabila beliau ingin berhujjah dan berdalil, pakailah riwayat yang shahih-shahih saja. Tidak usah memakai riwayat yang lemah, apalagi lemah sekali. Karena, riwayat lemah itu merupakan indikasi ketidakbenaran riwayat.
Kedua, riwayat itu – alhamdulillah – berhasil saya baca dari buku Al-Wafaa’ bi-Ahwaalil-Mushthafaa atau sering juga disebut Al-Wafaa’ bi-Ta’riifi Fadlaailil-Mushthafaa karya Ibnul-Jauziy, serta Siyaru A’laamin-Nubalaa’, Taariikhul-Islaam, dan Tadzkiratul-Huffaadh yang ketiganya karya Adz-Dzahabiy rahimahumallah.
Ketiga, dalam sumber-sumber yang disebutkan di atas, riwayat tersebut sama sekali tidak disebutkan sanadnya. Ibnul-Jauziy rahimahullah dalam kitabnya berkata :
عن أبي المِنْقَريّ قال: كنت أنا والطَّبَراني، وأبو الشيخ في حَرَم رسول الله صلى الله عليه وسلم وكنا على حالة، فأثَّر فينا الجوع.......
Dari Abul-Minqariy, ia berkata : “Dulu aku, Ath-Thabaraaniy, dan Abusy-Syaikh pernah di tanah Haram Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu Madiinah) dalam kondisi prihatin dan sangat lapar…..dst.”.
Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar dan Tadzkiratul-Huffaadh berkata :
وروي عن أبي بكر بن أبي علي، قال: كان ابن المقرئ يقول: كنت أنا والطبراني، وأبو الشيخ بالمدينة،.....
Dan diriwayatkan dari Abu Bakr bin Abi ‘Aliy, ia berkata : Ibnul-Muqri’ berkata : “Dulu aku, Ath-Thabaraaniy, dan Abusy-Syaikh pernah berada di Madiinah…..”.
Adapun dalam Taariikhul-Islaaam, Adz-Dzahabiy berkata : ‘an Abi Bakr bin Abi ‘Aliy dst.
Siapakah yang bercerita ?. Menurut Ibnul-Jauziy yang bercerita adalah Abul-Minqariy, sedangkan menurut Adz-Dzahabiy adalah Ibnul-Muqri’.
Kemudian,… mari kita lihat masa masing-masing pelaku peristiwa dan penuturnya :
a.     Ath-Thabaraaniy lahir tahun 260 H dan wafat tahun 360 H,
b.     Ibnul-Muqri’ lahir tahun 285 H dan wafat tahun 381 H,
c.      Abusy-Syaikh, lahir tahun 274 H dan wafat tahun 369 H,
d.     Abu Bakr bin Abi ‘Aliy (namanya adalah : Abu Bakr, Muhammad bin Abi ‘Aliy Ahmad bin ‘Abdirrahmaan bin Muhammad bin ‘Umar bin Hafsh Al-Hamdaaniy Adz-Dzakwaaniy Al-Ashbahaaniy[2]) lahir tahun 333 H dan wafat tahun 419 H,
e.     Ibnul-Jauziy, lahir tahun 510 H dan wafat tahun 597 H, dan
f.      Adz-Dzahabiy, lahir tahun 671 dan wafat tahun 748 H.
Mari kita cermati bersama,…… ternyata riwayat di atas terputus sanadnya beberapa generasi. Selisih tahun kematian Abu Bakr bin ‘Aliy dan kelahiran Ibnul-Jauziy rahimahullah hampir satu abad. Apalagi dengan Adz-Dzahabiy rahimahumullah. Jelas kisah ini tidak shahih. Oleh karena itu, Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika membawakan riwayat tersebut dengan shighah tamriidl yang menunjukkan kelemahan riwayat.
Bukankah Ibnul-Jauziy dan Adz-Dzahabiy rahimahumallah adalah dua imam yang tsiqah ?. Jawab : Benar, akan tetapi riwayat yang dibawakan oleh orang-orang tsiqaat tidak serta-merta menunjukkan kepastian bahwa riwayatnya shahih. Lihat saja dalam kitab Al-Muwaththa’ karya Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah dimana sebagian riwayatnya dihukumi lemah karena adanya keterputusan sanad (inqithaa’), baik mursal maupun mu’dlal. Apalagi riwayat ini yang keterputusan antara perawinya sangat jauh ?!!.
Dan ingat, baik Ibnul-Jauziy dan Adz-Dzahabiy rahimahumallah hanya sekedar membawakan riwayat, bukan dalam konteks berhujjah. Seandainya pun mereka berdua berhujjah dengan riwayat itu – padahal tidak – dalam keadaan kita tahu akan ketidakvalidannya, maka kita tentu tahu bagaimana sikap yang seharusnya kita ambil (yaitu menolaknya). Dan seandainya riwayat itu shahih sekalipun (padahal tidak shahih), maka yang mereka lakukan menyelisihi nash dan apa yang diperbuat oleh salaf.
Allah ta’ala berfirman :
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar[3]” [QS. Faathir: 22].
أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاء الْأَرْضِ أَإِلَهٌ مَّعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)” [QS. An-Naml : 62].
Dulu, ketika ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu ditimpa kelaparan dan masa paceklik hebat, ia tidak mendatangi kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berkeluh kesah dan meminta-minta kepada beliau. Yang dilakukan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu mendatangi ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu dan bertawassul melalui perantaraan doanya, yaitu ia (‘Umar) berkata :
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَسْقِينَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا.....
“Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan (doa) Nabi-Mu, Engkau pun menuruhkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan (doa) paman Nabi kami, maka berilah kami hujan….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1010 & 3710].
Kecuali bagi mereka yang punya slogan ‘pokoknya’ hingga punya komitmen apa saja dipakai asal mendukung, maka saat kita tidak sedang berkomunikasi mereka. Kita hanya berkomunikasi dengan orang yang memperhatikan keotentikan riwayat yang mereka ambil dan ketepatannya dijadikan hujjah.
Semoga informasi ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ –perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 18071434/27052013 –22:32].




[2]      Seorang haafidh lagi tsiqah [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 17/433-434 no. 289].

Comments

Anonim mengatakan...

Bismillah,

melihat tulisan Idrus Ramli, dapat kita duga beliau tergolong orang yang "gampangan" dalam berdalil termasuk menggunakan "sedalil-dalilnya" alias pokoknya dalil.
Ust Agus Hasan Bashory juga pernah menjelaskan pada Idrus Ramli bahwa tawassul beda dengan istighotsah, setelah acara diskusi/debat dengan Idrus Ramli. namun rupanya dia belum paham juga sehingga mengulangi kesalahan dengan masih menganggap bahwa tawassul itu sama dengan istighotsah.

jazakallahu khoiron untuk ustadz Abul Jauzaa, semoga jerih payah antum mendapat pahala yang mengalir terus kepada antum dari Allah Ta'ala.

Abu Nida

Anonim mengatakan...

sebenarnya kelompok mana yang pertama kali mengubah pemahaman tawassul sehingga mirip seperti praktek syiah ini.

Maksud saya, syiah kan juga hobi tawassul ke imam di kuburan mereka. Apa syiah justru ketularan pemahaman seperti ini atau sebaliknya?

Anonim mengatakan...

terus apa urgensinya Imam Dzahabi menulisnya dalam siyar 'alam..dan membiarkan redaksi tersebut tanpa komentar lagi? bukankah jika menurut pandangan beliau bahwa hal itu syirik, maka beliau tdk akan mencantumkannya atau mencantumkannya namun disertai komentar..kesimpulan saya yg bodoh. Imam dzahabi menganggap bahwa apa yg dilakukan oleh Imam Thabraniy bukanlah hal yg mamnu'. Kecuali antum bisa menjelaskan apa maksud dari Azddzahabi meriwayatkan hal itu...salam

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kitab As-Siyar itu adalah kitab yang berisi biografi para ulama, mulai dari thabaqah shahabat, tabi'iin, hingga terus ke era belakang. Adz-Dzahabiy menyusun buku itu dengan mengumpulkan riwayat yang terkait dengan orang yang sedang ia jelaskan. Adz-Dzahabiy memang tidak terlalu berkomentar banyak dari sisi 'aqidah atau beberapa hukum dalam kitab tersebut. Dan ingat, di situ Adz-Dzahabiy telah menggunakan sighah tamridl yang mengindikasikan lemahnya riwayat.

Atau begini saja, menurut Anda, kisah Ath-Thabaraaniy dkk. rahimahumullah itu shahih atau dla'if ?. Kalau shahih, apa alasannya ?.

Dan ingat bung, dalam madzhab Syaafi'iyyah, hadits dla'if itu tidak boleh digunakan untuk membangun 'aqidah dan hukum, dan ia hanya boleh digunakan dalam masalah fadlaail dan targhib-tarhib saja. Nah,... Hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang disifati ma'shum - namun kualitasnya lemah (dla'iif) - saja tidak boleh digunakan untuk masalah 'aqidah dan ahkam, apalagi riwayat selain beliau yang tidak disifati ma'shum ?.

Bukankah Ustadz Muhammad Idrus Ramli itu hendak berhujjah dengan kisah Ath-Thabaraaniy dkk. rahimahumullah untuk masalah 'aqidah dan ahkam ?. Menurut Anda, bolehkah metode seperti ini ?.

H. Zulkarnain El-Madury mengatakan...

saya hanya bisa menggaruk kepala ketika membaca tulisan si Idrus Ramli, pasalnya ketika dihayati, hati saya hanya bisa berkata, ada apa dengan si Idrus , masak ia seorang ustad membawa dendam dalam tulisan, menghujat dan menghina Ibnu taimiyah dan ulama ulama yang bukan ulamanya, apakah jadi kalau seluruh ulama ulama NU di hina, seperti mereka menghina ulama ulama kami, tentu mereka akan menyatakan perang, padahal mereka menyimpan potensi kebencian kepada wahabi sejak lahirnya ormas Muhammadiyah, di mana mana , bahkan ketika mereka keluar dari masumi, selalu mendengungkan anti wahabi, hingga ketika Amin Rais sebagai calon presiden, saya kira kebencian mereka berlatar belakang ploitik, terlebih kalau baca majalah Tebuireng, Umat Islam di Indonesia harus punya satu aqidah menurut konsep Aswaja (Asyairoh Wal Jahmiyah) al Indonesi. Itulah perjuangan mereka, jelas motif politik bukan maslah agama

Anonim mengatakan...

Saya tau disana ditulis dg sighot tamrid, dan riwayat itu terindikasi sbg riwayat lemah. hanya saja sdh bukan menjadi rahasia umum dikalangan muhadditsin jika dalam hal sejarah diperbolehkan tasahhul dalam sanad..dan pertanyaan saya belum anda jawab. Apa urgensinya Imam Dzahabi menulis riwayat itu tanpa komentar?.(bisa jadi Imam Dzahabi menyetujui perbuatan Imam Thabraniy tersebut atau Imam Dzahabi tdk tau kualitas perkataan yg disampaikannya?) . Bukankah klo hanya ingin menceritakan biografi seseorang, masih banyak kisah2 yang lain yang tdk menimbukan isykal dihati pembacanya?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Basic argumen Anda ini aneh. Anda tahu bahwa riwayat itu lemah, tapi menggunakan alasan lain untuk mengambilnya.

Bung, harap Anda perhatikan bahwa tasahul dalam sanad dalam masalah sirah dan maghaaziy itu tidak seperti yang Anda bayangkan.

Pertama, kisah itu gak ada sanadnya. Jadi, bagaimana bisa dikatakan tasahul dalam penilaian sanad ?. Itu hanyalah penukilan saja.

Kedua, para ulama ketika menjelaskan boleh menggunakan riwayat-riwayat dla'if dalam sirah dan maghaziy itu adalah yang tidak ada kaitannya dengan masalah hukum dan 'aqiidah, dan ia mempunyai pokok dalam riwayat shahih. Misalnya riwayat-riwayat dla'iif tentang jumlah pasukan, warna baju, pembangunan suatu negeri, pertanian, dan yang semisalnya. Nah, riwayat di atas itu terkait dengan ibadah yang notabene bersangkut-paut dengan masalah hukum dan 'aqiidah. Jelas saja tidak bisa digunakan.

Ketiga, riwayat sejarah itu seringkali tidak bisa dipisahkan dengan 'aqaaid ('aqidah) dan ahkaam, karena dalam kisah sejarah/sirah dan peperangan, mengandung masalah hukum dan 'aqidah. Oleh karena itu, mengambil perkataan ulama yang membolehkan mengambil hadits dla'if dalam masalah sejarah dan peperangan dalam hal ini adalah perbuatan terlalu menggampangkan, pengambilan perkataan yang tidak pada tempatnya, dan tidak memahami duduk permasalahan yang ada.

Keempat, Adz-Dzahabiy tidak mempersyaratkan bahwa riwayat dalam As-Siyar itu shahih semua, karena ia hanya mengambil beberapa riwayat yang terkait dengan biografi yang sedang ia kisahkan. Ini sebenarnya sudah cukup menjawab pertanyaan Anda. Sighah tamridl itu sendiri merupakan komentar eksplisit dari Adz-Dzahabiy akan riwayat yang dibawakan, yaitu riwayat tersebut tidak shahih (tapi anehnya kok Anda bertanya : bisa jadi Imam Dzahabi menyetujui perbuatan Imam Thabraniy tersebut atau Imam Dzahabi tdk tau kualitas perkataan yg disampaikannya?).

Keenam, kalau Anda paham, niscaya Anda tidak akan berapologi seperti itu.

Ketujuh, seandainya Anda mau berhujjah dalam masalah 'aqiidah dan hukum, maka carilah riwayat-riwayat yang dapat dijadikan sandaran. Jangan suka berdalih bahwa ulama A atau B membawakannya atau menyetujuinya. Ini adalah budaya apologi destruktif yang menimpa kaum 'ASWAJA'. Budaya ketaqildan, kejumudan, dan mencari-cari alasan yang sangat akut.

Anonim mengatakan...

Pertama, kisah itu gak ada sanadnya. Jadi, bagaimana bisa dikatakan tasahul dalam penilaian sanad ?. Itu hanyalah penukilan saja.
(saya hanya ngikutin apa yg anda katakan.(Mari kita cermati bersama,…… ternyata riwayat di atas terputus sanadnya beberapa generasi.)
Kedua, para ulama ketika menjelaskan boleh menggunakan riwayat-riwayat dla'if dalam sirah dan maghaziy itu adalah yang tidak ada kaitannya dengan masalah hukum dan 'aqiidah, dan ia mempunyai pokok dalam riwayat shahih. Misalnya riwayat-riwayat dla'iif tentang jumlah pasukan, warna baju, pembangunan suatu negeri, pertanian, dan yang semisalnya. Nah, riwayat di atas itu terkait dengan ibadah yang notabene bersangkut-paut dengan masalah hukum dan 'aqiidah. Jelas saja tidak bisa digunakan.
(saya cuman ingin mencari kejelasan dari anda,ttg tujuan imam dzahabi menuliskannya, tanpa mengomentarinya, padahal ini bisa berimplikasi terhadap akidah)
Keempat, Adz-Dzahabiy tidak mempersyaratkan bahwa riwayat dalam As-Siyar itu shahih semua, karena ia hanya mengambil beberapa riwayat yang terkait dengan biografi yang sedang ia kisahkan. Ini sebenarnya sudah cukup menjawab pertanyaan Anda. Sighah tamridl itu sendiri merupakan komentar eksplisit dari Adz-Dzahabiy akan riwayat yang dibawakan, yaitu riwayat tersebut tidak shahih (tapi anehnya kok Anda bertanya : bisa jadi Imam Dzahabi menyetujui perbuatan Imam Thabraniy tersebut atau Imam Dzahabi tdk tau kualitas perkataan yg disampaikannya?).

Keenam, kalau Anda paham, niscaya Anda tidak akan berapologi seperti itu.(Anda tentu paham kebiasaan imam Dzahabi yang ga kenal kompromi dlm kesesatan, lihat ketika beliau mengkritik org2 jahmiyah, syi'ah rafidhoh dsb..tapi kenapa beliau malah menukilnya dlm kitab ini meskipun ditandai dg sighot tamridh tanpa menunjukkan kesesatannya?.Klo hanya utk alasan penulisan biografi saya rasa tdk perlu menyodorkan riwayat itu, lbh lagi kalo beliau berpendapat bahwa itu musyrik dan tau bahayanya pasti beliau akan melalukan saddu dzaro'iy

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya kira tidak ada tambahan dari saya. Saya hanya sedikit berkomentar di nomor 1 saja : "Justru itu itu sanad perantaranya kosong mlompong", alias mu'allaq. Hanya ada perawi di awal dan di akhir saja. Bagaimana bisa dinilai sanadnya lha wong gak ada ?.

Anonim mengatakan...

bukankah Bukhori dlm shahihnya jg terkadang menuliskan hadits secara mu'allaq. kenapa mu'allaqnya bukhori kita terima sementara yg ini tdk?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Lha.... coba deh, itu ditanyakan kepada ustadz Anda. Itu masuk di dalam awal-awal bahasan kitab mushthalah yang membahas hadits mu'allaq.

Saya kasih clue-nya ya : Ibnu Hajar rahimahullah menulis kitab Taghliiqut-Ta'liiq atas beberapa riwayat mu'allaq dalam Shahih Al-Bukhaariy.

Anonim mengatakan...

Ustadz, ada tanggapan 'ilmiyah' jilid 2 tentang sand atsar di artikel ini di FB Ustadz Idrus Ramli (IDrus 'AHmad' RAMli, IDAHRAM) di sini:

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=166302280211686&set=a.122857684556146.24725.117807148394533&type=1&relevant_count=1

Sekaligus ada sedikit syubhat di kolom komentarnya sebagai berikut:

"Abul Jawza hanya mengulang2 syubhat Abdurrahman Dimasyqiyyah... Dan jauh2 hari sudah dijawab oleh Syaikh Salim 'Alwan... Tadlis yg salah kaprah..."

Mudah-mudahan kalau Ustadz Abul Jauza ada waktu bisa dikasih sedikit tanggapan balik. Barakallahu fiikum...

AY

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya, terima kasih infonya. Telah saya tanggapi secara ringkas di kolom komentar artikel : Atsar Ibnu 'Umar radliyallaahu 'anhumaa.

Anonim mengatakan...

Jadi intinya kenapa kita harus berdalil dengan atsar ulama yang dhaif ataupun imam adzahabi yang tidak mengomentari atsar tersebut tentang kesesatannya padahal jelas jelas perbuatan ulama itu bertentangan dengan alquran dan assunnah serta pemahaman sahabat. Kecuali orang orang yang memaksakan ingin memaksakan pendapatnya yang bertentangan dengan dalil. Seperti itu yang saya pahami. Barakakahufik.
Rudi Hartanto.

Anonim mengatakan...

Pertanyaan yg muncul semakin kesini, semakin tidak berbobot.

Jika kisah yang dibawakan Adz-Dzahabiy saja sudah gag jelas asal usulnya, bagaimana bisa Anda menjadikannya hujjah.

Pencantuman Adz Dzahabiy akan kisah tsb tidak mengindikasikan akan bolehnya atau setidaknya menyetujui perbuatan Imam Thabraniy. Ditambah lagi riwayat tsb dibawakan dengan shigat tamridl...

Cukup jelas jika memang dipahami dengan benar pembahasan awal Musthalah.

Wallahu a'lam

Anonim mengatakan...

Anggaplah kisah ini shahih. Apakah perbuatan 3 ulama ini menjadi hujjah ? Tanpa dilandasi dalil syar'i !!!

Jelas terlihat bahwa alasan yang dipakai yang terhormat Al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli hanya untuk melegalkan perbuatan syirik (beristighatsah melalui perantara ahli kubur). Tidak ada perintah Allah, tidak ada Sunah Nabi, tidak ada perbuatan Sahabat seperti itu, maka cerita basi juga jadi buat dalil.

Begitulah sikap Quburiyyun amalnya berkaitan erat sekitar kuburan dan ahli kubur, seperti berikut :
1. Kenduri (Walimah kematian) untuk ahli kubur
2. Ulang tahun kematian (haul) ahli kubur
3. Istighatsah melalui perantara ahli kubur
4. Tawasul melalui perantara ahli kubur
5. Mau menghadapi ujian berdoa kepada ahli kubur
6. Meninggikan kuburan padahal dilarang Nabi
7. Mencari berkah di kuburan
8. Bangun mesjid di kuburan
9. Tilawah qur'an di kuburan
10. Wisata ziarah ke kuburan
11. Dan masih banyak lainnya
Dengan amalan seperti ini mereka masih mengaku bagian dari Ahlus Sunah, benarkah demikian ?

Abu Ridho

Anonim mengatakan...

mata saya malah tertuju ke :

IDAHRAM
IDrus AHmad RAMli

kalo memang bener,
pantes lah

mesti diwaspadai nih orang
dan sedulur-sedulur NU mesti menangisi NU nya yang sudah di obok-obok oknum-oknum misterius @_@