Tanya
: Apakah ayat ”Allah tiada melarangmu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusirmu dari negerimu” [QS. Al-Mumtahanah : 8]; bisa
dijadikan alasan atau dalil bahwa kita diperbolehkan mencintai orang kafir ?
Jawab
: Allah ta’ala berfirman
:
لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ
وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
”Allah tiada melarangmu
untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil”
[QS. Al-Mumtahanah : 8].
Ayat
di atas tidak mengandung pengertian kecintaan sama sekali kepada salah seorang
kafir sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Akan tetapi ayat tersebut
hanyalah merupakan rukhshash
(keringanan) dari Allah dalam hal hubungan dan muamalah dengan orang-orang
kafir secara baik dan penuh kebajikan, sebagai balasan atas kebaikan yang telah
mereka lakukan kepada kita.
Al-Qurthubiy rahimahullah
berkata :
هذه الآية رخصة من الله تعالى في صلة الذين لم
يعادوا المؤمنين ولم يقاتلوهم. قال ابن زيد: كان هذا في أول الإسلام عند الموادعة
وترك الأمر بالقتال ثم نسخ. قال قتادة: نسختها {فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ
وَجَدْتُمُوهُمْ} وقيل: كان هذا الحكم لعلة وهو الصلح، فلما زال الصلح بفتح مكة
نسخ الحكم وبقي الرسم يتلى
”Ayat
ini merupakan rukhshah (keringanan)
dari Allah ta’ala dalam hal menjalin hubungan
dengan orang-orang (kafir) yang tidak memusuhi
dan memerangi orang-orang mukmin. Ibnu Zaid berkata : ’Sikap
semacam ini terjadi di permulaan Islam saat
perdamaian dan gencatan senjata, lalu dihapus’. Qatadah berkata
: ’Ayat tersebut dihapus (mansukh)
oleh ayat : ’Maka bunuhlah orang musyrik
itu dimana saja kamu menjumpainya’ (QS. At-Taubah : 5)’. Dan
dikatakan : ’Hukum (dalam ayat)
ini berlaku karena ada sebab, yaitu perdamaian. Ketika
hilang hukum perdamaian dengan adanya Fathu Makkah, maka terhapuslah
hukumnya, dan tersisa bacaannya” [Al-Jaami’
li-Ahkaamil-Qur’aan, 18/59].
Dan
yang benar bahwa hukum yang terkandung dalam ayat ini tetap berlaku (tidak
terhapus secara mutlak)[1].
Berbuat
baik kepada orang kafir dalam hal muamalah keduniaan tidaklah mengharuskan
untuk menanamkan kecintaan kepada mereka dalam hati. Hal
itu dikarenakan kecintaan mempunyai konsekuensi pembolehan untuk
menjadikan mereka teman dekat, pemimpin, penolong, mempercayakan amanah kepada
mereka, dan yang lainnya sebagaimana dijelaskan oleh para
ulama.
Perbuatan
tersebut terlarang secara asal dalam Islam,
berdasarkan firman Allah ta’ala :
لاّ يَتّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ
فِي شَيْءٍ إِلاّ أَن تَتّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً
”Janganlah orang-orang
mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka”. [QS. Aali ’Imraan : 28]
الّذِينَ يَتّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ
مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزّةَ فَإِنّ العِزّةَ
للّهِ جَمِيعاً
”(Yaitu) orang-orang
yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang
kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”.
[QS. An-Nisaa’ : 139]
Al-Hafidh
Ibnu Hajar rahimahullah berkata
:
ثُمَّ اَلْبِرُّ وَالصِّلَة وَالْإِحْسَان لَا
يَسْتَلْزِمُ التَّحَابُبَ وَالتَّوَادُدَ اَلْمَنْهِيَّ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ
تَعَالَى : (لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاَللَّهِ وَالْيَوْم اَلْآخِر
يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اَللَّه وَرَسُولَهُ) . اَلْآيَة فَإِنَّهَا عَامَّةٌ فِي
حَقِّ مَنْ قَاتَلَ وَمَنْ لَمْ يُقَاتِلْ وَاَللَّه أَعْلَمُ.
”Kemudian,
kebajikan, hubungan, dan kebaikan (yang kita lakukan kepada
orang kafir) tidaklah
mengharuskan adanya kecintaan dan kasih sayang yang dilarang oleh Allah untuk
dilakukan sebagaimana terdapat dalam
firman Allah ta’ala : ‘Kamu tidak akan mendapati
suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Mujaadilah : 22). Ayat ini bersifat umum, berlaku bagi setiap
orang kafir yang memerangi maupun tidak memerangi. Wallaahu a’lam” [Fathul-Baariy, 5/233].
Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziz bin Baaz rahimahullah berkata :
معنى الآية المذكورة عند أهل العلم: الرخصة في
الإحسان إلى الكفار , والصدقة عليهم إذا كانوا مسالمين لنا, بموجب عهد أو أمان أو
ذمة, وقد صح في السنة ما يدل على ذلك, كما ثبت في الصحيح أن أم أسماء بنت أبي بكر
قدمت عليها في المدينة في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وهي مشركة تريد الدنيا,
فأمر النبي صلى الله عليه وسلم أسماء أن تصل أمها, وذلك في مدة الهدنة التي وقعت
بين النبي صلى الله عليه وسلم وبين أهل مكة , وصح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه
أعطى عمر جبة من حرير, فأهداها إلى أخ له بمكة مشرك, فهذا وأشباهه من الإحسان الذي
قد يكون سببا في الدخول في الإسلام, والرغبة فيه, وإيثاره على ما سواه, وفي ذلك
صلة للرحم, وجود على المحتاجين, وذلك ينفع المسلمين ولا يضرهم, وليس من موالاة
الكفار في شيء كما لا يخفى على ذوي الألباب والأبصار.
”Makna ayat tersebut[2]
menurut para ulama adalah : keringanan dalam hal berbuat
baik kepada orang-orang kafir dan memberi sedekah kepada mereka jika mereka
menyerah kepada kita dengan menggunakan perjanjian atau jaminan atau dzimmah (suaka politik), dan ada shahih
dalam sunnah yang menunjukkan hal tersebut. Sebagaimana yang
ditetapkan dalam kitab Ash-Shahiih bahwa
ibu Asmaa’
bintu
Abi Bakr pernah mendatangi Asmaa’ di Madinah pada masa Nabi shallallaahu
’alaihi wa sallam,
padahal ibunya itu seorang musyrik yang menginginkan dunia. Maka Nabi
memerintahkan Asmaa’ untuk menjalin hubungan
dengannya[3], dan
itu berlangsung selama masa perdamaian yang terjadi antara Nabi shallallaahu
’alaihi wa sallam
dengan penduduk Makkah. Dan telah shahih
dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam
bahwa beliau pernah memberi jubah sutera kepada ’Umar, lalu ’Umar
menghadiahkannya kepada saudaranya di Makkah yang masih musyrik.[4] Hal
itu dan juga contoh-contoh kebaikan lain yang serupa
merupakan salah satu bentuk yang tidak jarang menjadi sebab masuknya orang ke
dalam agama Islam atau mencitrakan baik pada Islam serta pengutamaan Islam atas
yang lainnya. Dan hubungan seperti itu hanya sekedar hubungan nasab yang
memberikan manfaat kepada kaum muslimin dan tidak memberikan mudlarat kepada
mereka. Dan bukan pula termasuk sama sekali dalam pengertian wala’ (loyalitas) terhadap orang-orang
kafir, sebagaimana hal itu sudah tidak asing lagi bagi orang-orang yang
berakal” [Majmuu Fataawaa wa Maqaalaat Ibni Baaz,
1/302-303].
Itulah
keluasan dan keadilan Islam. Keluasan dalam arti bahwa Islam tidak melarang
kaum muslimin untuk bermuamalah dengan kaum kuffar yang tidak memerangi kaum
muslimin; baik dalam hubungan silaturahim dengan anggota keluarga,
jual-beli, dan yang lainnya. Keadilan dalam arti bahwa Islam melarang kaum
muslimin untuk berbuat segala macam kedhaliman kepada mereka yang tidak berbuat
dhalim kepada kita, dan membalas segala kebaikan yang telah mereka lakukan pada
kita (dalam batas-batas syari’at). Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam
telah bersabda :
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ
عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ
وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ
وَمَا وَلُوا
”Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil berada di sisi Allah di
atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya, di
sebelah kanan Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla, dan kedua tangan Allah adalah kanan. Yaitu,
orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam
melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1827].
Wallaahu a’lam.
Semoga
ada manfaatnya.
[Abul-Jauzaa’ - perumahan
ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 16071434/26052013 – 01:39].
[1] Yaitu
bolehnya bermuamalah dan berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak
memusuhi kaum muslimin atau terikat perjanjian dengan kaum muslimin.
لاّ يَنْهَاكُمُ
اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن
دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ
الْمُقْسِطِينَ
”Allah
tiada melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”
[QS. Al-Mumtahanah : 8].
عَنْ
أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَتْ: " قَدِمَتْ
عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قُلْتُ: وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ
"
Dari Asmaa’ bintu Abi Bakr radliyallaahu
‘anhumaa, ia berkata : Ibuku pernah datang menemuiku yang waktu itu ia
masih dalam keadaan musyrik (kafir) di jaman Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Lalu aku pun meminta fatwa kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Aku berkata : “Ibuku (datang menemuiku) dalam keadaan
berharap kebaikanku (kepadanya). Apakah aku boleh menyambung hubungan dengan
ibuku?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Iya,
sambunglah hubungan dengan ibumu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2620].
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَأَى حُلَّةً سِيَرَاءَ
عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوِ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ
فَلَبِسْتَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوا عَلَيْكَ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا
خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ، ثُمَّ جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا حُلَلٌ فَأَعْطَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ مِنْهَا حُلَّةً، فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَوْتَنِيهَا وَقَدْ
قُلْتَ فِي حُلَّةِ عُطَارِدٍ مَا قُلْتَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي لَمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا فَكَسَاهَا عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخًا لَهُ بِمَكَّةَ مُشْرِكًا "
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya ‘Umar bin
All-Khaththab melihat sebuah pakaian bergaris (yang dijual) di dekat pintu masjid.
Ia berkata : “Wahai
Rasululah, jika engkau membeli baju ini lalu engkau pakai
di
hari Jum’at dan untuk menerima utusan jika mereka datang menemuimu”. Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang mengenakan pakaian ini hanyalah orang yang
tidak mendapatkan bagiannya
di akhirat”. Kemudian (setelah beberapa saat), Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam diberi pakaian yang
sama dan memberikannya kepada ‘Umar bin Al-Khaththab. Lalu ‘Umar berkata : “Wahai
Rasulullah, apakah engkau menyuruhku untuk memakainya, padahal engkau telah mengatakan
dengan apa yang dulu pernah engkau katakan kepadaku”. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab : “Aku
memberimu bukanlah dengan tujuan agar engkau memakainya”. Maka ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu (menerimanya dan)
memberikannya kepada salah seorang saudaranya yang masih musyrik di Mekkah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 886].
Comments
bagaimana dengan penghalalan menikahi wanita ahli kitab (yang menjaga kehormatannya)...
Apakah "kecintaan" terhadap istri (bukan kecintaan terhadap aqidah, dan disertai dengan kebencian terhadap aqidahnya)juga terlarang?
Istri, tidaklah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan ibu, bapak, atau kerabat dekat lainnya, padahal Allah ta'ala berfirman :
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka" [QS. Al-Mujaadilah : 22].
Istri termasuk keumuman ayat ini.
QS. Al-Maaidah ayat 5 hanya menunjukkan kebolehan menikahi wanita Ahli Kitab saja. Ini adalah rukhshah.
Maksudnya cinta tabiat stadz...
http://www.konsultasisyariah.com/mencintai-orang-kafir-bolehkah/
Benar, cinta tabi'iy, seperti kita mencintai kekayaan, kerapian, keindahan, kecantikan, kebaikan, dan semisalnya dari segala macam hal yang ada di dunia. Tak lebih dari itu.
Hanya saja tentang istri, meskipun boleh menikahi wanita ahli kitab, tapi tetap saja itu berbahaya bagi kita dan anak-anak kita. Betapa banyak suami yang lemah di hadapan istrinya karena kecintaannya tersebut. Bahkan dalam praktek, banyak kasus cinta tabi'iy yang diperbolehkan menjadi tidak jelas. Seorang istri agak susah jika kita katakan bahwa kita tidak menaruh kepercayaan terhadapnya, tidak memberikan amanat kepadanya, tidak menjadikan teman dekat, dan semisalnya. Tidak jarang, suami yang mempunyai istri kafir dari kalangan ahli kitab memperlakukannya seperti istri dari kalangan wanita muslimah. Betapa tidak ?. (Misalnya) sang suami memberikan kepercayaan pendidikan anak kepada istrinya di rumah. Apakah sang istri akan memberikan pendidikan Islam kepada anaknya ? atau pendidikan menurut pengetahuan yang ada dalam agamanya (Ahli Kitab) ?.
Jadi, sekalipun asalnya boleh, wanita muslimah dengan segala keadaannya jauh lebih baik daripada wanita Ahli Kitab.
wallaahu a'lam.
Pak boleh nanya ap hadits tentang mencintai org non muslim
Posting Komentar