Jinsul-‘Amal



Istilah ini menjadi perdebatan di kalangan orang-orang belakangan yang kemudian menimbulkan fitnah di kalangan Ahlus-Sunnah. Istilah jinsul-‘amal menjadi populer ketika membahas masalah iman. Sebuah istilah menjadi polemik, (biasanya) karena ia tidak dikenal di masa awal dan baru muncul belakangan karena mengandung makna yang tidak jelas/ambigu. Keadaannya memang seperti itu. Dalam masalah iman, nukilan dari ulama Ahlus-Sunnah mutaqaddimiin adalah ‘amal/perbuatan (tanpa memakai : jins - جنس). Misalnya :
حدثني أبي رحمه الله حدثنا سريج بن النعمان حدثنا عبدالله بن نافع قال كان مالك بن أنس يقول الايمان قول وعمل ويقول كلم الله موسى وقال مالك الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
Telah menceritakan kepadaku ayahku (Ahmad bin Hanbal – Abul-Jauzaa’) rahimahullaahu : Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan[1] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’[2], ia berkata : Maalik bin Anas (w. ) berkata : ‘Iman adalah perkataan dan ‘amal/perbuatan, Allah telah berbicara kepada Muusaa, dan Allah berada di atas langit sedangkan ilmu-Nya – tidak ada sesuatu yang luput dari-Nya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah, hal. 280 no. 532; sanadnya hasan atau shahih].
أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ سَهْلِ بْنِ عَسْكَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: سَمِعْتُ مَالِكًا، وَالأَوْزَاعِيَّ، وَابْنَ جُرَيْجٍ، وَالثَّوْرِيَّ، وَمَعْمَرًا يَقُولُونَ: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy, ia berkata : Aku mendengar Muhammad bin Sahl bin ‘Askar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, ia berkata : Aku pernah mendengar Maalik (w. 179 H), Al-Auzaa’iy (w. 157 H), Ibnu Juraij (w. 150 H), Ats-Tsauriy (w. 161 H), dan Ma’mar (w. 154 H), mereka semua berkata : “Iman dalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang” [Diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aaru Ashhaabil-Hadiits, hal. 28 no. 12; shahih].
Abu ‘Awaanah rahimahullah (w. 316 H) berkata dalam kitabnya :
بَيَانُ أَفْضَلِ الأَعْمَالِ، وَالدَّلِيلِ عَلَى أَنَّ الإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ،.....
“Penjelasan tentang amal yang paling utama, dan dalil bahwasannya iman adalah perkataan dan ‘amal/perbuatan…..” [Al-Mustakhraj, 1/63].
Apakah yang dimaksud amal/perbuatan yang dikatakan salaf di atas ?.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab :
والمقصود هنا أن من قال من السلف‏:‏ الإيمان قول وعمل، أراد قول القلب واللسان وعمل القلب والجوارح
“Dan yang dimaksudkan di sini dari perkataan salaf : ‘qaulun wa ‘amalun (perkataan dan perbuatan)’; yaitu perkataan hati dan lisan, serta ‘amal/perbuatan hati dan anggota badan” [Al-Iimaan, hal. 137].
وأجمع السلف أن الايمان قول وعمل يزيد وينقص ومعنى ذلك أنه قول القلب وعمل القلب ثم قول اللسان وعمل الجوارح
“Dan salaf telah bersepakat bahwasannya iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang. Dan makna dari hal tersebut adalah perkataan hati dan ‘amal/perbuatan hati, lalu perkataan lisan dan ‘amal/perbuatan anggota badan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/672].
ومن أصول أهل السنة أن الدين والإيمان قول وعمل ، قول القلب واللسان وعمل القلب واللسان والجوارح
“Dan termasuk prinsip pokok Ahlus-Sunnah bahwasannya agama dan iman adalah perkataan dan perbuatan. Perkataan hati dan lisan, serta amal/perbuatan hati, lisan, dan anggota badan” [Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah – melalui At-Tanbiihaat Al-Lathiifah oleh ‘Abdurrahmaan As-Sa’diy, hal. 89].
Begitulah yang juga dikatakan oleh Ibnu Mandah dalam Al-Iimaan (1/362) dan Ibnul-Qayyim dalam Ash-Shalaah (hal. 50).
Oleh karena itu keliru orang yang membatasi ‘amal dalam cakupan iman sebagai ijmaa’ salaf hanya dengan amal jawaarih (anggota badan), - yang kemudian mereka istilahkan dengan jinsul-‘amal.
Jinsul-‘amal adalah perkataan muhdats yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun perkataan as-salafush-shaalih. Tidak dikenal di kalangan salaf mutaqaddimiin.
Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan rahimahullah ketika ditanya tentang jinsul-‘amal, beliau berkata :
ما عرفنا هذا في كلام علمائنا، وعلماء السلف، ما عرفنا التفريق بين جنس العمل وبين العمل؛ تقول: العمل، ما تقول: جنس العمل. تقول: العمل .. العمل من الإيمان .. العمل من الإيمان؛ الإيمان: قول باللسان واعتقاد بالقلب وعمل بالجوارح، ولم يقولوا: جنس العمل للجوارح؛ هذه لفظة ما لها صلة، هذه لفظة لا أصل لها، ولعلها جاءت من المرجئة، لعلها جاءت من قِبل المرجئة
“Kami tidak mengetahui perkataan ini dari ulama kita dan ulama salaf. Kami tidak mengetahui pembedaan antara jinsul-‘amal dan ‘amal. Katakanlah : ‘amal, dan jangan kalian katakan : jinsul-‘amal. Katakanlah : ‘amal.... Amal termasuk bagian dari iman…. Amal termasuk bagian dari iman. Iman adalah perkataan lisan, keyakinan hati, dan amal anggota badan. Mereka (para ulama) tidak berkata : jinsul-‘amal lil-jawaarih. Lafadh ini tidak ada korelasinya. Lafadh ini tidak ada asalnya. Kemungkinan lafadh ini dating dari kalangan Murji’ah, dan mungkin juga datang dari selain Murji’ah” [sumber : http://aloloom.net/vb/showthread.php?t=3465].
Istilah jinsul-‘amal adalah istilah ahlul-kalaam.[3]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah pernah ditanya : “Orang yang meninggalkan jinsul-‘amal adalah kafir, sedangkan orang yang meninggalkan aahaadul-‘amal tidaklah kafir. Bagaimana pendapat Anda tentang hal itu ?”. Beliau rahimahullah berkata :
من قال هذه القاعدة ؟!. من قائلها ؟!. هل قالها محمد رسول الله ؟!. كلام لا معنى له!. نقول: من كفره الله ورسوله فهو كافر ومن لم يكفره الله ورسوله فليس بكافر! هذا الصواب. أما جنس العمل أو نوع العمل أو آحاد العمل فهذا كله طنطنة لا فائدة منها
“Siapakah yang mengatakan kaedah ini ?. Siapakah yang mengatakannya ?. Apakah yang mengatakannya adalah Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?!. Perkataan yang mempunyai makna. Kami katakan : Barangsiapa yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang tidak dikafirkan Allah dan Rasul-Nya, maka ia tidak kafir. Inilah yang benar. Adapun jinsul-‘amal atau nau’ul-‘amal atau aahaadul-‘amal, maka semuanya ini omongan yang tidak ada faedahnya” [Al-As-ilah Al-Qathariyyah, hal. 27].
Apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah di atas adalah benar. Perkataan mereka bahwa orang yang meninggalkan jinsul-‘amal (dalam makna : meninggalkan amal jawaarih secara keseluruhan) adalah kafir tidak didasarkan pada nash, tidak pula didasarkan kaedah dan logika yang diterima. Sebagaimana yang dikatakan oleh beliau rahimahullah, sebab kekafiran bukanlah an sich meninggalkan amal secara keseluruhan, akan tetapi terletak pada nash yang menunjukkan kekafiran masing-masing amal.
Ketika Syaikh ditanya apa hukum meninggalkan amal secara keseluruhan, maka beliau menjawab : ‘kafir’. Jawaban beliau ini bukan didasarkan meninggalkan amal secara keseluruhan, akan tetapi didasarkan karena beliau memegang pendapat tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat, meskipun yang bersangkutan masih mengakui kewajibannya. Orang yang meninggalkan amal jawaarih secara keseluruhan tentu saja, tidak bisa tidak, meninggalkan shalat.
Tidaklah mungkin seorang ulama yang berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat, zakat, puasa, atau haji; ketika ditanya : ‘apa hukum orang yang meninggalkan amal jawaarih secara keseluruhan’ akan menjawab : ‘tidak kafir’. Ini seperti perkataan Syaikhul-Islaam rahimahullah berikut :
فإذا خلا العبد عن العمل بالكلية لم يكن مؤمنا و القول الذي يصير به مؤمن قول مخصوص و هو الشهادتان فكذلك العمل هو الصلاة
“Ketika seorang hamba meninggalkan amal secara keseluruhan, maka tidak dikatakan beriman. Dan perkataan yang menjadikan seseorang mukmin adalah perkataan yang khusus, yaitu dua kalimat syahadat. Begitu juga amal, yaitu shalat[4] [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/86].
Jadi, kedudukan permasalahan ini bukan seperti yang mereka sangka.[5]
Kekafiran itu didasarkan pada jenisnya, bukan pada nisbahnya.[6] Kaedah ini mesti dipegang dan dipahami. Seandainya ada satu perbuatan dikafirkan oleh nash pelakunya, maka seseorang yang melakukan sekali, dua kali, atau seribu kali perbuatan tersebut hukumnya tetap sama, yaitu kafir. Sepertinya misal : orang yang sujud menyembah pada berhala, maka ia kafir, meski hanya sekali sujud (jika telah tegak padanya syarat-syarat kekafiran). Kekafiran orang yang mengingkari Al-Qur’an tidak disyaratkan mengingkari seluruhnya ayat di dalamnya. Barangsiapa mengingkari satu ayat saja dari Al-Qur’an, maka ia kafir. Sebaliknya, seandainya ada satu perbuatan yang tidak dikafirkan oleh nash pelakunya, maka seseorang yang melakukan sekali, dua kali, atau seribu kali perbuatan tersebut hukumnya tetap sama, yaitu tidak kafir. Orang yang sama sekali tidak pernah berbakti kepada kedua orang tuanya, maka ia tidak dikafirkan karena tidak ada nash yang menunjukkan hukum kafir atas perbuatan tersebut (meski perbuatan tersebut termasuk dosa besar). Orang yang meninggalkan sama sekali kewajiban menafkahi anak istri tidaklah dihukumi kafir, dengan sebab yang sama.
Amal-amal jawaarih yang diperintahkan syari’at tidaklah berada dalam tingkatan, sehingga para ulama pun memberikan penghukuman yang berbeda pada setiap tingkatan. Para ulama menjelaskan bahwa orang yang meninggalkan amalan sunnah tidaklah diancama neraka. Orang yang meninggalkan kewajiban selain rukun Islam yang empat berhak mendapatkan ancaman neraka, tanpa diketahui seorang pun ulama yang mengkafirkannya. Adapun orang yang meninggalkan kewajiban yang termasuk rukun Islam yang empat (selain syahadat), para ulama berbeda pendapat tentang kekafirannya.
Sama halnya dengan permasalahan jinsul-‘amal yang ramai dibicarakan oleh orang-orang belakangan. Kata mereka, meninggalkan jinsul-‘amal secara keseluruhan (= meninggalkan amal jawaarih yang diperintahkan/dianjurkan secara keseluruhan) hukumnya kafir. Jika penghukuman mereka tidak berpegang pada kaedah yang dijelaskan di atas[7], maka hal itu menimbulkan beberapa anomali nalar. Kita tanyakan kepada para penganut madzhab pemikiran tersebut:
1.     Apa hukum orang yang meninggalkan kewajiban dhahir yang diperintahkan syari’at (termasuk rukun Islam yang empat[8]) secara keseluruhan kecuali satu amalan sunnah (misalnya : puasa Senin-Kamis) selama hidupnya ?. Kafir atau tidak kafir ?.
2.     Apa hukum orang kafir yang masuk Islam, lalu ia melakukan satu amalan kebaikan sebanyak sekali di awal keislamannya, setelah itu ia meninggalkan seluruh amal kebaikan hingga akhir hidupnya ?. Kafir atau tidak kafir ?.
3.     Apa hukum orang yang mengerjakan seluruh amal kebaikan tanpa tersisa, kecuali shalat – bagi pihak/ulama yang berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat ?. Kafir atau tidak kafir ?.
Seandainya ada yang menjawab tidak kafir, apakah alasannya semata-mata karena ia pernah melakukan amal kebaikan (meski sekali) ?.
Seandainya ada yang menjawab kafir, bukankah ia sudah masuk dalam batasan tidak kafir (karena pernah melakukan amal kebaikan, meskipun sekali) menurut kaedah sebagian orang yang berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan jinsul-‘amal secara keseluruhan ?. Ataukah kekafirannya berdasarkan nash ?.
Silakan untuk dijawab.
Asy-Syaikh Rabii’ Al-Madkhaliy hafidhahullah berkata :
فإذا كان هناك أحد يقول في تارك جنس العمل إنه ناقص الإيمان أو مرتكب الكبيرة ناقص الإيمان فإنه لا يصح أن يقال عنه أنه قد وافق المرجئة لأن المرجئة لا يقولون لا بزيادة الإيمان ولا بنقصانه، بل مرتكب الكبائر عندهم كامل الإيمان بل إيمان أفسق الناس مثل إيمان جبريل ومحمد صلى الله عليه وسلم وهذا أمر واضح عند طلاب العلم فلا أدري كيف غفلتم عنه
“Dan apabila di sana ada yang berkata dalam permasalahan orang yang meninggalkan jinsul-‘amal bahwa ia termasuk orang yang kurang imannya atau orang yang telah melakukan dosa besar yang kurang imannya; tidak dibenarkan untuk dikatakan dari hal tersebut bahwa ia telah mencocoki Murji’ah. Hal itu dikarenakan Murji’ah tidak berpendapat iman dapat bertambah dan berkurang. Bahkan orang yang melakukan dosa besar menurut mereka sempurna imannya. Dan bahkan, iman orang yang paling fasiq seperti keimanan Jibril dan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah perkara yang jelas di sisi para penuntut ilmu. Aku tidak mengetahui, bagaimana kalian lupa terhadapnya ?”  [sumber : http://rabee.net/show_book.aspx?cat=print&pid=3&bid=88&id=858].
Permasalahan lain adalah tentang perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
وَبِهَذَا تَعْرِفُ أَنَّ مَنْ آمَنَ قَلْبُهُ إِيْمَاناً جَازِماً : امْتَنَعَ أَلَّا يَتَكَلَّمَ بالشَّهَادَتَيْنِ مَعَ الْقُدْرَةِ، فَعَدَمُ الشَّهَادَتَيْنِ مَعَ الْقُدْرَةِ مُسْتَلْزِمٌ انْتِفَاءَ الْإِيمَانِ الْقَلْبِيِّ التَّامَّ
Dengan ini kalian ketahui bahwa barangsiapa yang hatinya beriman dengan keimanan yang kokoh, pasti ia akan mengucapkan dua kalimat syahadat selagi ia mampu. Ketiadaan dua kalimat syahadat padahal ia mampu mengucapkannya menunjukkan ketiadaan keimanan hati yang sempurna” [Majmuu’ Al-Fatawa, 7/553]
Perkataan beliau di atas ada yang mengomentari :
Al-Imaan At-Taam disini bermakna Ashlul-Imaan, bukan bermakna kesempurnaan iman. Apakah seorang yang tidak mau mengucapkan syahadat memilki iman? atau dikatakan seorang muslim yang tidak sempurna imannya?? [selesai].
Komentarnya di atas menunjukkan ketidakpahamannya tentang konteks dan istilah yang dibicarakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam perkataan di atas sedang menyanggah Murji’ah Jahmiyyah yang menyatakan bahwa iman hati akan sempurna dan bermanfaat di akherat dengan keberadaan tashdiiq saja. Oleh karena itu, setelah mengatakan hal di atas, beliau melanjutkan :
وبهذا يظهر خطأ جهم ومن إتبعه فى زعمهم أن مجرد إيمان بدون الإيمان الظاهر ينفع فى الآخرة
“Dengan demikian nampaklah kekeliruan Jahm[9] dan orang-orang yang mengikutinya dalam sangkaan mereka bahwa iman (dalam hati saja) tanpa iman dhahir bermanfaat di akhirat” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/553].
Ini tidaklah mungkin, karena orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, tidak dapat dianggap beriman.[10] Lantas, bagaimana bisa dikatakan keimanan hati mereka sempurna sementara mereka tidak mengucapkan syahadatain ?. Dengan demikian, jelaslah konteks perkataan beliau rahimahullah tersebut. Intinya, keimanan hati yang sempurna harus diikuti dengan keimanan dhahir, yaitu : ucapan dhahir dan amal dhaahir (jawaarih).[11]
Jadi, al-iimaanul-qalbiy at-taam di situ tetap bermakna kamaalul-iimaan, bukan ashlul-iimaan, namun dalam konteks sanggahan terhadap Jahmiyyah yang mengklaim kesempurnaan iman hanya dengan tashdiiq saja.
Adapun tentang ashlul-iimaan, maka Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata :
فأما أصل الإيمان الذي هو الإقرار بما جاءت به الرسل عن الله تصديقًا به وانقيادًا له، فهذا أصل الإيمان الذي من لم يأت به فليس بمؤمن؛
“Dan ashlul-imaan (pokok iman) yang berupa iqraar (penetapan) terhadap segala sesuatu yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Allah dengan pembenaran dan ketundukan terhadapnya, maka inilah ashlul-iimaan yang barangsiapa tidak mempunyainya, maka ia bukan mukmin” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/638].
كما قال أهل السنة‏:‏ إن من ترك فروع الإيمان لا يكون كافرًا، حتى يترك أصل الإيمان‏.‏ وهو الاعتقاد ‏
“Sebagaimana dikatakan Ahlus-Sunnah : Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan cabang-cabang iman tidaklah menjadi kafir, hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan, yaitu i’tiqaad...[12]” [Al-‘Uquudud-Durriyyah, hal. 96].
Dan ashlul-iimaan ini disempurnakan dengan amal-amal dhaahir/jawaarih. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
الدّينُ القائمُ بالقلبِ من الإيمانِ علماً وحالاً هو الأصل ، والأعمالُ الظّاهرةُ هي الفروعُ  ، وهي كمالُ الإيمانِ
“Agama yang tegak dengan keimanan di hati secara ilmu dan keadaannya, merupakan pokok. Dan amal-amal dhaahir merupakan cabang-cabang (iman), dan ia adalah kesempurnaan iman[13]” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/354].
والتحقيق أن إيمان القلب التام يستلزم العمل الظاهر بحسبه لا محالة ويمتنع أن يقوم بالقلب إيمان تام بدون عمل ظاهر
“Dan yang benar, keimanan hati yang sempurna itu mengharuskan amal dhahir menurut kadarnya, tidak boleh tidak. Tidak mungkin ada keimanan hati yang sempurna tanpa adanya amal dhahir” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/204].
Jadi, iman dalam hati yang sempurna ini dinafikkan jika tidak melakukan amal-amal jawaarih yang diperintahkan.[14] Syaikhul-Islam rahimahullah berkata :
ومنه ما نقصَ عَن الكمالِ وهُو: تركُ الواجباتِ أو فِعلُ المحرّماتِ ، ومنه ما نقصَ ركنُه وَهُوَ تركُ الاعتقادِ والقَوْلِ ، الّذِي يزعُم المُرجِئَةُ والجهميّةُ أنّه مسمّى فَقَطَ ، وبهذا تزولُ شبهاتُ الفِرَق ، وأصلُه القَلب ، وكمالُه العَمَل الظّاهرُ ، بِخلافِ الإسلامِ فإنّ أصلَه الظّاهرُ وكمالَه القَلب
“Dan diantaranya adalah yang menyebabkan berkurangnya kesempurnaan (iman), yaitu : meninggalkan berbagai kewajiban atau melakukan hal-hal yang diharamkan. Dan di antaranya adalah yang menyebabkan berkurangnya rukun iman[15], yaitu i’tiqaad dan perkataan (syahadatain), dimana Murji’ah mengatakan hanya dua hal itulah yang dinamakan keimanan. Dan demikian, hilanglah berbagai syubhat dari firqah-firqah (menyimpang). Pokok keimanan adalah hati, dan kesempurnaannya adalah (melakukan) amal dhaahir. Hal itu berbeda dengan Islam, dimana pokoknya adalah dhaahir, dan kesempurnaannya adalah hati” [idem, 7/637].
Sudah menjadi pemakluman bagi orang yang belajar ‘aqidah bahwa ketiadaan kesempurnaan iman di dalam hati tidaklah mengkonsekuensikan padanya kekafiran. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah saat menyanggah Safar Al-Hawaliy berkata :
وهذا معناه نفي الإيمان الكامل عنه، وذلك لا يستلزم أنه كافر مرتد
“Dan ini maknanya adalah peniadaan iman yang sempurna darinya, dan hal itu tidak mengkonsekuensikan ia kafir lagi murtad” [Ad-Durarul-Mutalaaliah, hal. 142].
Apakah masih akan dikatakan bahwa al-iimaan at-taam itu artinya ashlul-iimaan ?. Kita hanya bisa ber-istirjaa’ jika ada yang menganggapnya sama.
Terkait dengan ini, maka Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengkritik keras kelompok Murji’ah yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan amal-amal jawaarih yang diperintahkan keimanannya tidak berkurang, dan bahkan keimanannya tetap sempurna seperti keimanan Jibriil dan Mikaaiil. Beliau rahimahullah berkata :
وممّا ينبغِي أن يُعرفَ أنّ أكثرَ التّنازعِ بَيْنَ أهلِ السّنّة في هذهِ المسألةِ هُوَ نزاعٌ لفظِي ، وإلاّ فالقائِلونَ بأنّ الإيمانَ قولٌ مِن الفقهاءِ متّفقونَ مع جميعِ علماءِ السّنّة علَى أنّ أصحابَ الذّنوبِ داخلونَ تحتَ الذّمِّ والوعيدِ ، وإن قالُوا : إنّ إيمانَهم كإيمانِ جبريلَ ، فهُم يَقُولُونَ : إنّ الإيمانَ بدونَ العَمَل المفروضِ ومَعَ فعلِ المحرّماتِ يكونُ صَاحبُه مستحقّاً للذّمّ والعقابِ كما تقولُه الجماعةُ
“Dan termasuk hal yang perlu diketahui bahwa kebanyakan perselisihan antara Ahlus-Sunnah (dengan Murji’ah fuqahaa’) dalam permasalahan ini (yaitu permasalahan iman- Abul-Jauzaa’) adalah perselisihan lafdhiy. Dan jika tidak demikian, maka orang-orang yang mengatakan iman adalah perkataan saja dari kalangan fuqahaa’, bersepakat dengan seluruh ulama Ahlus-Sunnah bahwa orang yang melakukan dosa dicela dan diancam (dengan siksa neraka) – meskipun mereka (Murji’atul-Fuqahaa’) mengatakan bahwa iman mereka seperti iman Jibriil. Mereka berkata : Sesungguhnya iman tanpa melakukan amal-amal yang diwajibkan, serta melakukan perkara-perkara yang diharamkan; maka pelakunya berhak mendapatkan celaan dan hukuman sebagaimana dikatakan oleh jama’ah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/297].
فقالت المرجئة جهميتهم وغير جهميتهم هو مؤمن كامل الايمان
“Murji’ah dari kalangan Jahmiyyah mereka dan selainnya berkata : ia (pelaku dosa besar) adalah mukmin yang sempurna imannya” [idem, 7/354].
فقالت الجهمية والمرجئة قد علمنا أنه ليس يخلد فى النار وأنه ليس كافرا مرتدا بل هو من المسلمين واذا كان من المسلمين وجب أن يكون مؤمنا تام الايمان
“Jahmiyyah dan Murji’ah berkata : Kami telah mengetahui bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di dalam neraka, dan tidak kafir lagi murtad; akan tetapi ia termasuk kaum muslimin. Apabila ia termasuk kaum muslimin, maka wajib menganggapnya mukmin yang sempurna imannya” [idem, 13/50].
Perkataan Murji’ah bahwa iman mereka adalah sempurna seperti imannya Jibriil dibangun dari anggapan bahwa iman bagai sesuatu yang pejal, tidak bertingkat-tingkat, dan tidak pula bercabang-cabang. Apabila telah tetap, maka tetap secara sempurna dan tidak berkurang. Dan apabila hilang sebagian, maka hilang semuanya. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وبهذا يتبين الجواب عن شبهة أهل البدع من الخوارج والمرجئة وغيرهم ممن يقول إن الإيمان لا يتبعض ولا يتفاضل ولا ينقص قالوا لأنه إذا ذهب منه جزء ذهب كله لأن الشيء المركب من أجزاء متى ذهب منه جزء ذهب كله
“Dan dengan hal ini menjadi jelaslah jawaban atas syubhat Ahlul-Bida’ dari kalangan Khawaarij, Murji’ah, dan yang lainnya yang mengatakan iman tidak bercabang-cabang dan tidak bertingkat-tingkat, dan tidak bisa berkurang. Mereka berkata : Hal itu dikarenakan apabila hilang sebagian iman, maka hilang seluruhnya. Sesuatu yang tersusun dari bagian-bagian, ketika hilang satu bagian darinya, maka hilang secara keseluruhan….” [Minhaajus-Sunnah, 5/204-205].
Semoga dengan penjelasan di atas kita lebih mendapatkan gambaran yang jelas mengenai permasalahan pokok iman dan kesempurnaan iman menurut Ibnu Taimiyyah rahimahullah, tidak seperti yang direka-reka oleh sebagian orang.
Kembali ke awal…….
Terkait dengan beberapa hal yang telah disebutkan di atas, maka nampaklah satu jawaban umum dari perkataan para ulama mutaqaddimiin yang mengkafirkan orang yang meninggalkan jinsul-‘amal/amal jawaarih (secara keseluruhan). Jawabannya minimal ada dua sisi :
a.     Amal yang disebutkan para imam tersebut adalah amal secara mutlak yang terdiri dari amal hati dan amal jawaarih, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul-Islaam rahimahullah di atas. Orang yang meninggalkan amal hati adan amal jawaarih adalah kafir berdasarkan ijma’.
b.     Ulama tersebut berpendapat tentang kafirnya orang yang meninggalkan salah satu kewajiban dalam rukun Islam yang empat, sehingga otomatis ia juga berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan amal jawaarih secara keseluruhan.
Pun seandainya ada nukilan ijmaa’ kekafiran orang yang meninggalkan amal jawaarih secara keseluruhan, maka ini adalah ijmaa’ dhanniy – sebagaimana ijmaa’ dhanniy ini juga dikatakan dalam permasalahan orang yang meninggalkan shalat (karena malas atau meremehkan). Yang menunjukkan bahwa ijmaa’ yang diklaim itu adalah ijmaa’ dhanniy yaitu adanya penyelisihan dari para ulama Ahlus-Sunnah yang lainnya. Sebagaimana telah ma’ruf dalam ushul fiqh, penyelisihan (yang mu’tabar) membatalkan (klaim) ijmaa’. Di antara perkataan mereka adalah :
1.     Ibnu Syihaab Az-Zuhriy (w. 125 H).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْرٍ، عَنْ مَعْمَرٍ، قَالَ: وَقَالَ الزُّهْرِيُّ "قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا، قَالَ: نَرَى أَنَّ الْإِسْلَامَ الْكَلِمَةُ وَالْإِيمَانَ الْعَمَلُ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Tsaur, dari Ma’mar, ia berkata : Telah berkata Az-Zuhriy tentang ayat : Akan tetapi katakanlah: ‘Kami telah tunduk’ (QS. Al-Hujuraat : 14), ia berkata : “Kami berpendapat bahwa islam adalah kalimat (syahadat) dan iman adalah amal” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4685; shahih].
Para ulama telah banyak membahas perkataan Az-Zuhriy ini bahwasannya pengucapan kalimat syahadat telah cukup membuat seseorang menjadi muslim secara dhahir, meskipun tidak melakukan amal jawaarih [lihat : Dzammul-Irjaa’, hal. 73-74].
2.     Fudlail bin ‘Iyaadl rahimahullah w. (187 H).
فَمَنْ قَالَ: الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ فَقَدْ أَخَذَ بِالْوَثِيقَةِ، وَمَنْ قَالَ: الإِيمَانُ قَوْلٌ بِلا عَمَلٍ فَقَدْ خَاطَرَ لأَنَّهُ لا يَدْرِي أَيُقْبَلُ إِقْرَارُهُ أَوْ يُرَدُّ عَلَيْهِ بِذُنُوبِهِ "
“Barangsiapa yang mengatakan : iman adalah perkataan dan perbuatan, maka ia telah berpegang pada sesuatu yang kuat. Dan barangsiapa yang mengatakan : iman adalah perkataan tanpa perbuatan, maka ia telah mempertaruhkan dirinya dalam bahaya, karena ia tidak tahu apakah iqraar-nya diterima ataukah ditolak dengan sebab dosa-dosanya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah, 1/376].
Seandainya Fudlail rahimahullah berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan amal jawaarih, tentu ia akan mengatakan ikrar dua kalimat syahadat orang tersebut pasti tertolak.
3.     Asy-Syaafi’iy rahimahullah (w. 204 H).
الإيمان هو التصديق والإقرار والعمل، فالمخلُّ بالأول وحده منافق، وبالثاني وحده كافر، وبالثالث وحده فاسق ينجو من الخلود النار ويدخل في الجنة
“Iman itu adalah tashdiiqiqraar, dan amal. Ketiadaan hal pertama saja, maka ia munafik. Ketiadaan hal kedua saja, maka ia kafir. Dan ketiadaan hal ketiga saja, maka ia fasik yang selamat dari kekekalan neraka dan (kemudian) masuk ke dalam surga” [Dinukil Asy-Syiiraaziy dalam ‘Umdatul-Qaari’, 1/175].
Perkataan beliau rahimahullah di atas sangat jelas dalam menafikkan kekafiran orang yang tidak beramal jawaarih. Namun sayangnya, karena tidak mampu memberikan ta’wil yang baik, malah ada menyanggahnya dengan membawakan perkataan beliau lain yang tidak ada kaitannya dengan perkataan di atas.[16]
4.     Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: ثَنَا صَالِحٌ، أَنَّ أَبَاهُ، قَالَ: " الإِيمَانُ بَعْضُهُ أَفْضَلُ مِنْ بَعْضٍ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، وَزِيَادَتُهُ فِي الْعَمَلِ، وَنُقْصَانُهُ فِي تَرْكِ الْعَمَلِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Shaalih, bahwasannya ayahnya pernah berkata : “Iman sebagiannya lebih utama dari sebagian yang lain, dapat bertambah dan berkurang. Bertambahnya adalah mengerjakan amal, dan berkurangnya adalah dengan meninggalkan amal...” [idem, 3/581; shahih].
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: ثَنَا صَالِحٌ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبِي، " مَا زِيَادَتُهُ وَنُقْصَانُهُ؟ قَالَ: زِيَادَتُهُ الْعَمَلُ، وَنُقْصَانُهُ تَرْكُ الْعَمَلِ، مِثْلُ تَرْكِهِ الصَّلاةَ، وَالزَّكَاةَ، وَالْحَجَّ، وَأَدَاءَ الْفَرَائِضِ، فَهَذَا يَنْقُصُ، وَيَزِيدُ بِالْعَمَلِ، وَقَالَ: إِنْ كَانَ قَبْلَ زِيَادَتِهِ تَامًّا، فَكَيْفَ يَزِيدُ التَّامُّ، فَكَمَا يَزِيدُ كَذَا يَنْقُصُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Shaalih, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang apa yang menyebabkan iman bertambah dan berkurang. Maka ia menjawab : “Bertambahnya iman adalah dengan (melakukan) ‘amal, dan berkurangnya adalah dengan meninggalkan amal, seperti : meninggalkan shalat, zakat, haji, dan mengerjakan berbagai kewajiban. Ini adalah berkurangnya iman. Dan ia bertambah dengan (mengerjakan) amal...” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah 1/588; shahih].
قالَ ابنُ أبيِ شَيبةَ : وسألتُ أحمدَ عَن الإسلامِ والإيمانِ ؟ فقالَ : الإيمانُ قولٌ وعَمَل ، والإسلامُ إقرارٌ
Ibnu Abi Syaibah berkata : Aku pernah bertanya kepada Ahmad tentang Islam dan iman. Ia menjawab : “Iman dalah perkataan dan perbuatan, dan Islam adalah iqraar” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, 2/528].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وأحمدُ إن كانَ أرادَ في هذهِ الرّوايةِ أنّ الإسلامَ هُوَ الشّهادتانِ فَقَطَ ، فكلُّ مَن قالهَا فهُو مسلِمٌ ، فهذِه إحدَى الرّواياتِ عَنه
“Dan Ahmad, jika yang dimaksudkan dalam riwayat ini bahwa Islam hanya ucapan dua kalimat syahadat saja, maka setiap orang yang mengucapkannya dihukumi muslim. Ini adalah salah satu di antara riwayat-riwayat yang ternukil darinya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/259].
5.     Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahullah (w. 310 H).
قالَ بعضُهم : الإيمانُ معرفةٌ بالقَلبِ ، وإقرارٌ باللِّسَانِ ، وعَمَل بالجَوارِحِ ، فمَن أتى بمعنيَين مِن هذِه المعاني الثّلاثةِ ولم يأتِ بالثّالثِ فغيرُ جائزٍ أن يُقالَ : إنّه مؤمنٌ ، ولكنّه يُقالُ له : إنْ كانَ اللّذانِ أتى بهِما المعرفةُ بالقَلبِ والإقرارُ باللِّسَانِ ، وَهُوَ في العَمَل مفرّطٌ ، فمُسلِم
“Sebagian dari mereka (yaitu : Ahlus-Sunnah) berkata : iman adalah ma’rifat dengan hati, penetapan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Barangsiapa yang melakukan dengan dua makna (awal) dari ketiga makna tersebut, namun tidak mengerjakan yang ketiga (yaitu : amal dengan anggota badan), maka tidak boleh untuk dikatakan bahwa yang bersangkutan adalah mukmin. Akan tetapi dikatakan kepadanya : apabila ia mendatangkan pengetahuan dalam hati dan penetapan dengan lisan, namun ia meninggalkan amal, maka ia muslim” [At-Tabshiir fii Ma’aalimid-Diin, hal. 188].
Apa yang dikatakan Ath-Thabariy tentang pendapat sebagian Ahlus-Sunnah ini berkesesuaian dengan yang dikatakan Az-Zuhriy dan Ahmad rahimahumullah di atas.
6.     Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah (w. 387 H) :
ويخرُجُ الرّجلُ مِنَ الإيمانِ إِلىَ الإسلامِ ، ولا يخرِجُه مِن الإسلامِ إلاّ الشركُ باللهِ أو بردِّ فريضَةٍ مِن فرائضِ اللهِ عزّ وجلَّ جاحِدا بِها ، فإنْ تركَها تهاوُناً أَو كسَلاً كانَ فِي مَشيئةِ الله
“Seseorang keluar dari iman menuju Islam, dan ia tidak dikeluarkan dari Islam kecuali jika menyekutukan Allah atau menolak kewajiban dari kewajiban-kewajiban yang Allah tetapkan dengan pengingkaran. Namun apabila ia meninggalkannya karena meremehkan atau malas, maka ia berada dalam kehendak Allah[17]” [Asy-Syarh wal-Ibaanah, hal. 85].
7.     Ibnu Hazm rahimahullah (w. 456 H) :
وَمَن ضيّعَ الأعمالَ كلَّها فهُوَ مؤمِنٌ عاصٍ ناقصُ الإيمانِ ، لا يكفُر
“Dan barangsiapa yang menelantarkan seluruh amal, maka ia mukmin yang bermaksiat lagi kurang imannya. Tidak dikafirkan” [Al-Muhallaa, 1/40-41].
Sebagian orang belakangan[18] malah menuduh Ibnu Hazm rahimahullah terpengaruh pemikiran irjaa’ karena perkataan ini. Padahal, sebelumnya Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menegaskan Ibnu Hazm – meskipun dikritik dalam masalah al-asmaa’ wash-shifaat – berkesesuaian dengan Ahlus-Sunnah dalam permasalahan irjaa’ dan qadar [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/18-19]. Oleh karena itu, penghukuman mereka terhadap seseorang dengan irjaa’ itu lebih tepat dikatakan berdasar kaedah : jika menyelisihi pendapat mereka (maka orang tersebut Murji’ah). Bukan pada waqi’ pendapat ulama yang beredar dalam permasalahan tersebut.
8.     Al-Baihaqiy rahimahullah (w. 458 H) :
ذهبَ أكثرُ أصحابِ الحديثِ إِلىَ أنّ اسمَ الإيمانِ يجمَعُ الطاعاتِ كلِّها فرضِها ونفلِها ، وأنّها عَلى ثلاثةِ أقسامٍ :
فقِسمٌ يكفُرُ بتركِه وَهُوَ اعتقادُ ما يجِبُ اعتقادُه وإقرارٌ بِما اعتقدَه .
وقِسمٌ يفسُقُ بتركِه أو يعصِي ولاَ يكفُرُ بهِ إذا لَم يجحَدْه وَهُوَ مفروضُ الطّاعاتِ كالصّلاةِ والزّكاةِ والصّيامِ والحَجّ واجتنابِ المحارِمِ .
وقِسمٌ يكونُ بتركِه مخطِئاً لِلأَفضَلِ غيرَ فاسِقٍ ولاَ كافِرٍ وَهُوَ ما يكونُ مِن العبادَاتِ تَطوّعاً
“Jumhur ahlul-hadiits berpendapat bahwa nama iman itu mengumpulkan semua ketaatan, baik yang wajib/fardlu maupun yang sunnah. Dan iman itu terbagi menjadi tiga bagian :
Pertama, bagian yang mengkafirkan apabila ditinggalkan, yaitu i’tiqaad terhadap semua hal yang diwajibkan i’tiqaad-nya, serta mengikrarkan apa-apa yang di-i’tiqad-kannya itu.
Kedua, bagian yang menyebabkan kefasiqan atau bermaksiat apabila ditinggalkan, namun tidak menyebabkan kekafiran apabila ia tidak mengingkarinya. Hal itu adalah ketaatan-ketaatan yang diwajibkan, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan menjauhi yang diharamkan. 
Ketiga, bagian yang bila ditinggalkan menjadikan seseorang keliru/terluput akan hal-hal yang lebih utama, tanpa menyebabkan kefasikan ataupun kekafiran. Hal itu seperti pada ibadah-ibadah tathawwu’ (sunnah)” [Al-I’tiqaad, hal. 202].
9.     Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah (w. 463 H) :
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ مَنْ لَمْ يُصَلِّ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِي مَشِيئَةِ اللَّهِ إِذَا كَانَ مُوَحِّدًا مُؤْمِنًا بِمَا جَاءَ بِهِ مُحَمَّدٌ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مُصَدِّقًا مُقِرًّا وَإِنْ لَمْ يَعْمَلْ ، وَهَذَا يَرُدُّ قَوْلَ الْمُعْتَزِلَةِ وَالْخَوَارِجِ بِأَسْرِهَا
“Padanya terdapat petunjuk bahwa orang yang tidak mengerjakan shalat dari kalangan muslimin berada dalam kehendak Allah, apabila ia seorang yang mentauhidkan Allah lagi beriman terhadap apa yang dibawa oleh Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, membenarkan dan mengikrarkannya, meskipun ia tidak beramal. Dan hal ini membantah perkataan Mu’tazilah dan Khawaarij secara keseluruhan” [Hidaayatul-Mustafiid min Kitaab At-Tamhiid, 3/290].
10.   Ibnu Abi Ya’laa rahimahullah (w. 526 H) :
والإيمانُ والإسلام اسمانِ لمعنيَينِ : فالإسلامُ في الشّرعِ عِبَارَةٌ عَن الشّهادتَين معَ التّصديقِ بالقَلبِ ، والإيمانُ عِبَارَةٌ عَن جميعِ الطّاعاتِ
“Iman dan Islam adalah dua nama yang mempunyai dua makna. Islam dalam syari’at merupakan perkataan dua kalimat syahadat bersamaan dengan adanya pembenaran dalam hati. Adapun iman adalah perkataan tentang seluruh ketaatan” [Al-I’tiqaad, hal. 24].
Ini sesuai dengan perkataan Az-Zuhriy dan Ath-Thabariy rahimahumallah, bahwa nama Islam tetap dengan adanya pembenaran dalam hati dan pengikraran dua kalimat syahadat, meskipun ia tidak mengerjakan amal-amal ketaatan (anggota badan).
11.   Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah (w. 792 H) :
وأجمعوا على أنّه لو صدّق بقلبه وأقرّ بلسانه وامتنع عن العمل بجوارحه : أنّه عاص لله ورسوله مستحقّ للوعيد
“Para ulama bersepakat bahwasannya seseorang jika membenarkan dengan hatinya, mengikrarkan dengan lisannya, dan kemudian meninggalkan amal jawaarih, maka ia adalah orang yang bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya, berhak mendapatkan ancaman neraka” [Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah, hal. 333].
Catatan : Klaim ijmaa’ di atas tidaklah benar, sebab telah masyhur perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum meninggalkan kewajiban dalam rukun Islam yang empat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, ijmaa’ ini dibawa kepada makna jumhur sebagaimana perkataan Al-Baihaqiy rahimahullah di atas.
12.   Abu Muhammad Al-Yamaniy rahimahullah :
ومن اعتقدها بقلبه وعبّر عنها لسانه وترك العمل بالفرائض عصياناً منه فهو فاسق غير خارج بذلك عن إيمانه
“Barangsiapa yang meyakini dengan hatinya dan menyatakan dengan lisannya, namun ia meninggalkan amal yang diwajibkan karena bermaksiat darinya, maka ia fasiq tanpa dikeluarkan dengan sebab itu dari keimanannya...” [Al-‘Aqaaid, 1/313].
13.   Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah :
أركان الإسلام الخمسة : أولها الشهادتان، ثم الأركان الأربعة؛ إذا أقر بها وتركها تهاونا؛ فنحن وإن قاتلناه على فعلها، فلا نكفر بتركها. والعلماء اختلفوا في كفر التارك لها كسلا من غير جحود، ولا نكفر إلا ما أجمع عليه العلماء كلهم؛ وهو الشهادتان.
“Rukun Islam yang lima; yang pertama adalah dua kalimat syahadat, kemudian rukun yang empat. Barangsiapa yang mengikrarkannya namun meninggalkannya karena meremehkannya, meskipun kami memeranginya, namun kami kami tidak mengkafirkan orang yang meninggalkannya. Para ulama berbeda pendapat tentang kekufuran orang yang meninggalkan shalat karena malas tanpa pengingkaran. Kami tidak mengkafirkan kecuali apa yang telah disepakati seluruh ulama, yaitu dua kalimat syahadat” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/102].
14.   ‘Abdul-Lathiif bin ‘Abdirrahmaan bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah :
والخلاصة؛ أن الخلاف في أعمال الجوارح : هل يكفر ؟ أو : لا يكفر : واقع بين أهل السنة......
“Dan kesimpulannya, bahwasannya dalam permasalahan amal-amal anggota badan (a’maalul-jawaarih) : apakah mengkafirkan atau tidak mengkafirkan (bagi orang yang meninggalkannya); merupakan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Ahlus-Sunnah” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/479].
15.   Ibnu Baaz rahimahullah :
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya sebagai berikut :
العُلماءُ الذينَ قَلوا بعدم كُفْرِ مَنْ تَرَكَ أَعمالَ الْجوارح - مع تَلَفُّظِهِ  بالشهادتين، ووجودِ أصلِ الْإيمان القلبي؛ هل هم من المُرجئة ؟!
“Ulama yang berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan amal-amal jawaarih (anggota badan) yang bersamaan dengan pengucapan dua kalimat syahadat dari orang tersebut dan keberadaan ashlul-iimaan di hatinya; apakah mereka (ulama tersebut) termasuk golongan Murji’ah ?”.
Beliau menjawab :
هذا من أهل السنة والجماعة؛ فمن ترك الصيام، أو الزكاة، أو الحج : لا شك أڽَّ ذلك كبيرة عند العلماء؛ ولكن على الصواب : لا يكفر كفرا أكبر.
أما تركُ الصلاة : فالراجح : أنه كافر كفرا أكبر إذا تعمد تركها.
وأما تركُ الزكاة والصيام والحج : فإنه كفر دون كفر.
Mereka ini termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Barangsiapa yang meninggalkan puasa, zakat, atau haji; maka tidak diragukan bahwa hal itu termasuk dosa besar menurut para ulama. Akan tetapi yang benar dalam permasalahan ini : Tidak dikafirkan dengan kufur akbar (murtad).
Adapun permasalahan meninggalkan shalat, yang raajih : Ia dihukumi kafir akbar apabila sengaja meninggalkannya. Sedangkan meninggalkan zakat, puasa, dan haji; maka ia adalah kufrun duuna kufrin (kufur ashghar)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/144-145].
16.   Dr. ‘Umar bin Sulaimaan Al-Asyqar rahimahullah :
أما استدلالهم بأن الأعمال داخلة في مسمى الإيمان فلا ننكر عليهم ذلك ولكن خطؤهم أنهم عدوها شرطا في الإيمان والصحيح أنها ليست كذلك فزوالها ينافي كمال الإيمان الواجب أي إذا زالت زال من الإيمان جزء وبقي ناقصا
“Adapun pendalilan mereka (yaitu Khawaarij) bahwa amal-amal masuk dalam penamaan iman, maka tidak kita ingkari hal itu dari mereka. Akan tetapi kekeliruan mereka adalah mereka memperhitungkan amal sebagai syarat dalam keimanan. Yang benar, amal bukan merupakan syarat keimanan. Hilangnya amal menafikkan kesempurnaan keimanan yang wajib, yaitu : apabila amal itu hilang, maka hilang sebagian dari keimanan, dan tersisa yang lain dalam keadaan kurang...” [Al-‘Aqiidah, hal. 24].
Dan yang lain masih banyak (di atas hanya disebutkan sebagian saja).
Kesimpulan :
Istilah jinsul-‘amal bukan merupakan istilah yang syar’iy dalam pembahasan iman. Ia merupakan istilah baru yang dimunculkan oleh ahli-kalam. Seandainya ada yang menggunakannya, maka perlu dirinci apa yang ia maksudkan dari kata tersebut.
Oleh karena itu, dalam masalah hukum meninggalkan jinsul-‘amal, jika yang dimaksud adalah meninggalkan amal jawaarih secara keseluruhan, maka ini merupakan perkara yang diperselisihkan di kalangan ulama Ahlus-Sunnah. Jumhur ulama menjadikan amal jawaarih sebagai bagian dari kamaalul-iimaan (kesempurnaan iman) atau dalam istilah lain : al-iimaanul-waajib (keimanan yang wajib), yang jika ditinggalkan, menyebabkan berkurangnya kesempurnaan iman, tidak dikafirkan. Adapun sebagian ulama, ada yang memasukkan sebagian amal jawaarih dalam ashlul-iimaan (pokok keimanan), seperti shalat, zakat, puasa, dan/atau haji – karena mereka berpendapat meninggalkannya dihukumi kafir. Barangsiapa yang menghukumi sebuah amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran pelakunya, maka amalan tersebut baginya merupakan bagian dari ashlul-iimaan.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 10061434/20042013 – 00:23].



[1]      Suraij bin An-Nu’maan bin Marwaan Al-Jauhariy, Abul-Hasan (atau Abul-Husain) Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah, sedikit melakukan kekeliruan. Wafat tahun 117 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 366 no. 2231].
[2]      ‘Abdullah bin Naafi’ bin Abi Naafi’ Ash-Shaaigh Al-Makhzuumiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, shahiihul-kitaab, namun pada hapalannya terdapat kelemahan (layyin). Wafat tahun 206 H [idem, hal. 552, no. 3683].
[3]      Asy-Syaikh Rabii’ Al-Madkhaliy hafidhahullah berkata :
فلفظ (جنس): مثل لفظ (الجوهر) و(العرَض) و(الجبر) و(الحيز) ونحوها من الألفاظ الباطلة، التي أوقعت أهل الكلام على اختلاف أصنافهم في الضلال وتعطيل صفات الله ذي الكمال والجلال.
“Lafadh jins semisal dengan lafadh jauhar, ‘aradl, jabr, dan yang lainnya dari lafadh-lafadh bathil yang diada-adakan oleh Ahlul-Kalaam dengan beragam jenisnya dalam kesesatan dan peniadaan mereka terhadap sifat-sifat Allah Yang memiliki kesempurnaan dan keagungan….” [Ittihaafu Ahlish-Shidq wal-‘Irfaan, hal. 194].
Safar Al-Hawaliy termasuk yang banyak menggunakan istilah jins dalam bukunya yang telah menuai kritikan dari para ulama : Dhaahiratul-Irjaa’.
[4]      Banyak orang yang memotong perkataan beliau rahimahullah ini hanya sampai pada : ‘Ketika seorang hamba meninggalkan amal secara keseluruhan, maka tidak dikatakan beriman’. Padahal kalimat selanjutnya menunjukkan pengertian kalimat di atas, yaitu bahwa amal yang mesti ada (minimal ada) pada seseorang sehingga ia dikatakan beriman adalah shalat. Beliau rahimahullah mengatakan demikian karena merajihkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat secara total. Padahal kita telah mengetahui permasalahan hokum meninggalkan shalat adalah permasalahan yang diperselisihkan hukumnya oleh ulama Ahlus-Sunnah.
Dari sini kita menjadi paham dasar perkataan Syaikhul-Islaam rahimahullah tentang kafirnya orang yang meninggalkan amal secara keseluruhan, yaitu dibangun oleh pendapat beliau yang lain kafirnya orang yang meninggalkan shalat.
[5]        Termasuk pemahaman sebagian dari orang yang salah paham akan hakekat ijmaa’ yang dikatakan sebagian ulama tentang kekafiran orang yang meninggalkan amal jawaarih secara keseluruhan. Betapa banyak ulama yang berhujjah dengan ijmaa’ shahabat (atau salaf) tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat ?. Jika mereka berhujjah dengan ijmaa’, bukankah menjadi hal yang mudah dipahami jika mereka juga akan berhujjah dengan hal yang sama terhadap orang yang meninggalkan amal jawaarih  ? (karena tidak akan terwujud orang yang meninggalkan amal jawaarih tanpa meninggalkan shalat).
Padahal, tidak ada ijmaa’ dalam masalah shalat, karena perselisihan ini begitu masyhur (baca : Validitas Ijma’ Salaf tentang Kekafiran Orang yang Meninggalkan Shalat Karena Malas dan Meremehkan).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وقد اتفق المسلمون على أنه من لم يأت بالشهادتين فهو كافر وأما الأعمال الأربعة فإختلفوا فى تكفير تاركها....... ورابعة لا يكفر الا بترك الصلاة وخامسة لا يكفر بترك شيء منهن وهذه أقوال معروفة للسلف
“Dan kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka ia kafir. Adapun amal-amal yang empat (dari rukun Islam), maka mereka berbeda pendapat tentang kekafiran orang yang meninggalkannya……. (Riwayat) keempat : beliau (Ahmad bin Hanbal) tidak mengkafirkan, kecuali ia meninggalkan shalat. Dan riwayat kelima, beliau tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan keempat hal tersebut. Pendapat-pendapat ini masyhur di kalangan salaf” [Majmuu Al-Fataawaa, 7/302].
[6]        Silakan baca penjelasan Asy-Syaikh Khaalid bin ‘Abdillah Al-Mishriy hafidhahullah di : http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=4587.
[7]      Alias ‘gebyah uyah’ menghukumi kafir bagi orang yang meninggalkan amal jawaarih secara keseluruhan, dan menghukumi tidak kafir jika masih mengerjakan amal jawaarih meskipun satu jenis dan/atau satu kali – tanpa melihat nash atau qarinah yang mendasarinya.
[8]        Selain pengucapan dua kalimat syahadat.
[9]        Lagi-lagi kita mesti merujuk kembali pada perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika beliau membagi Murji’ah menjadi tiga golongan :
a.      Jahmiyyatul-Murji’ah, yang mengatakan bahwa iman hanyalah sekedar ma’rifat dalam hati saja.
b.      Al-Karraamiyyah, yang membatasi iman hanyalah perkataan lisan saja, tanpa perlu keyakinan hati.
c.      Murji’atul-Fuqahaa’, yang mengatakan iman adalah keyakinan dalam hati, amalan dengan lisan, dan mereka mengeluarkan amal dari cakupan iman.
[10]     An-Nawawiy rahimahullah berkata :
وَاتَّفَقَ أَهْل السُّنَّة مِنْ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاء وَالْمُتَكَلِّمِينَ عَلَى أَنَّ الْمُؤْمِن الَّذِي يُحْكَمُ بِأَنَّهُ مِنْ أَهْل الْقِبْلَة وَلَا يُخَلَّد فِي النَّار لَا يَكُون إِلَّا مَنْ اِعْتَقَدَ بِقَلْبِهِ دِينَ الْإِسْلَامِ اِعْتِقَادًا جَازِمًا خَالِيًا مِنْ الشُّكُوك ، وَنَطَقَ بِالشَّهَادَتَيْنِ ، فَإِنْ اِقْتَصَرَ عَلَى إِحْدَاهُمَا لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْل الْقِبْلَة أَصْلًا
“Ahlus-Sunnah dari kalangan ahli hadits, ahli fiqh, dan ahli kalam bersepakat bahwa seorang mukmin yang dihukumi termasuk ahli kiblat (muslim) dan tidak kekal di neraka; adalah orang yang berkeyakinan dengan hatinya agama Islam dengan keyakinan yang pasti tanpa ada keraguan, dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Barangsiapa yang membatasi hanya dengan salah satu dari dua hal tersebut, pada asalnya ia bukan termasuk ahli kiblat (muslim)...” [Syarh Shahiih Muslim, 1/69].
[11]      Sesuai pula dengan penjelasan beliau rahimahullah di tempat lain :
الرابع ظن الظان أن ليس فى القلب الا التصديق وأن ليس الظاهر إلا عمل الجوارح والصواب أن القلب له عمل مع التصديق والظاهر قول ظاهر وعمل ظاهر
“Keempat : Prasangka orang yang berprasangka bahwa tidak ada dalam hati kecuali hanyalah tashdiiq saja, dan tidak ada yang dhaahir kecuali hanyalah amal jawaarih saja. (Ini keliru). Yang benar, hati mempunyai amal disamping tashdiiq, dan dhaahir terdiri dari perkataan dhaahir dan amalan dhaahir” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/554].
[12]      Sebagian muhaqqiq menisbatkan perkataan ini sebagai perkataan muridnya, yaitu Ibnu ‘Abdil-Haadiy rahimahullah.
[13]     Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz telah mendahului Ibnu Taimiyyah rahimahumallah yang menyatakan amal-amal kewajiban merupakan bagian dari kesempurnaan iman, sebagaimana riwayat berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ، ثنا عِيسَى بْنُ عَاصِمٍ، حَدَّثَنِي عَدِيُّ بْنُ عَدِيٍّ، قَالَ: كَتَبَ إِلَيَّ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: " أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ الإِيمَانَ فَرَائِضُ، وَشَرَائِعُ، وَحُدُودٌ، وَسُنَنٌ، فَمَنِ اسْتَكْمَلَهَا اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَكْمِلْهَا لَمْ يَسْتَكْمِلِ الإِيمَانَ، فَإِنْ أَعِشْ فَسَأُبَيِّنُهَا لَكُمْ حَتَّى تَعْمَلُوا بِهَا، وَإِنْ أَنَا مِتُّ قَبْلَ ذَلِكَ فَمَا أَنَا عَلَى صُحْبَتِكُمْ بِحَرِيصٍ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari Jariir bin Haaazim : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin ‘Aashim : Telah menceritakan kepadaku ‘Adiy bin ‘Adiy, ia berkata : “’Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz pernah menulis surat kepadaku : ‘Amma ba’du, sesungguhnya iman mempunyai kewajiban-kewajiban, syari’at-syari’at (hukum-hukum), dan sunnah-sunnah. Barangsiapa ytang menyempurnakannya, maka ia telah menyempurnakan iman. Dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, maka ia tidak menyempurnakan iman.......” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 11/48 & dalam Al-Iimaan no. 135; shahih].
Riwayat ini sekaligus membantah pendapat sebagian orang yang menghukumi pihak yang menjadikan kewajiban amal jawaarih sebagai bagian penyempurna iman, sebagai pihak yang telah mengeluarkan amal jawaarih dari nama iman – sebagaimana pendapat Murji’atul-Fuqahaa’. Ini keliru berat !!. Bagaimana bisa dikatakan penyempurna sesuatu bukan merupakan bagian dari sesuatu itu ?. Dan perlu menjadi catatan bahwa Al-Imaam Al-Bukhaariy meletakkan riwayat di di atas secara mu’allaq dalam kitab Shahiih-nya di bawah bab : Qaulun-Nabiy shallallaahu ‘alaihi wa sallam Buniyal-Islaam ‘alaa Khamsin, Wa Huwa Qaulun wa Fi’lun, wa Yaziidu wa Yanqushu’ [Shahih Al-Bukhaariy, 1/19]. Begitu juga Ibnu Rajab rahimahullah berhujjah dengan riwayat tersebut ketika membantah sebagian ulama yang mengeluarkan amal perbuatan dari cakupan iman [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 82, tahqiiq & takhrij : Al-Fahl].
[14]      Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وقد تقدم أن جنس الأعمال من لوازم إيمان القلب وأن إيمان القلب التام بدون شيء من الأعمال الظاهرة ممتنع
“Sungguh telah berlalu penjelasan bahwa jinsul a’maal merupakan kelaziman iman dalam hati. Tidak mungkin terdapat keimanan hati yang sempurna tanpa adanya amal-amal dhahir” [Majmuu’ Al-Fatawa, 7/616].
Terhadap perkataan Syaikhul-Islaam rahimahullah di atas, ada yang menterjemahkan sebagai berikut :
Sungguh telah berlalu penjelasannya bahwa jinsul a’maal merupakan kelaziman iman dalam hati. Mustahil terdapat Iman At-Taam dalam hati tanpa adanya amal dzahir
Kemudian diberi ’penjelasan’ :
Menurut Syaikhul Islam ketiadaan a'mal jawarih melazimkan ketiadaan iman dalam hati. Anehnya, mereka menganggap a'mal jawarih dan iman dalam hati tidak memiliki keterkaitan. [selesai – cetak tebal dari saya].
Sekali lagi, ini menandakan ketidakpahamannya terhadap perkataan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Yang dinafikkan oleh Syaikhul-Islaam rahimahullah bagi orang yang tidak beramal dhaahir adalah keimanannya yang sempurna (imaanul-qalb at-tamm) sebagaimana disebutkan di atas. Jadi salah besar jika ketiadaan imaanul-qalb at-tamm dimaknai ketiadaan keimanan dalam hati. Yang benar, seseorang tidaklah mendapatkan keimanan hati yang sempurna tanpa beramal jawaarih.
Amal dhaahir itu ada kaitannya dengan keimanan di hati. Oleh karenanya dikatakan bahwa keimanan hati yang sempurna itu mengkonsekuensikan dikerjakannya amal-amal dhahir yang diwajibkan. Menurut ulama, ketiadaan keimanan hati yang sempurna itu tidak harus mengkonsekuensikan kekafiran, akan tetapi menurut wahm Anda, mengkonsekuensikan kekafiran. Dan tentu saja kita akan memilih penjelasan para ulama.
NB : Istilah jinsul-‘amal yang dikatakan Syaikhul-Islaam rahimahullah di atas tidak menunjukkan bahwa istilah itu merupakan istilah yang benar dalam pembahasan keimanan. Telah dikenal bahwa beliau rahimahullah kadang menggunakan istilah kalamiyyah dalam beberapa kitabnya untuk membantah beberapa firqah sesat dalam Islam. Adapun istilah syar’iy yang dipakai salaf dan ulama mutaqaddimiin adalah ‘amal’.
[15]      Perkataan beliau rahimahullah ini sekaligus menunjukkan kekeliruan orang yang mengatakan :
Para ulama terkadang menggunakan istilah "jinsul a'maal", "syarat keshahihan iman" atau "rukun", untuk menjelaskan bahwa amal jawarih merupakan suatu keharusan dalam iman seorang muslim. [selesai].
Rukun keimanan menurut Syaikhul-Islaam adalah i’tiqaad dan ucapan dua kalimat syahadat. Beliau rahimahullah sama sekali tidak mengatakan bahwa amal jawaarih secara mutlak merupakan rukun dalam keimanan.
Memutlakkan amal sebagai rukun dalam iman merupakan kekeliruan. Asy-Syaikh Al-Barraak hafidhahullah berkata :
وأما إطلاق القول بأن العمل ركن أو شرط صحة ، أو شرط كمال ، فهي عبارات لبعض المتأخرين ، وأما الأئمة فلم يطلقوا على العمل أنه ركن أو شرط ، وإنما قالوا : إن العمل من الإيمان خلافا للمرجئة الذين أخرجوا الأعمال عن مسمى الإيمان ، وقالوا : إن الإيمان هو تصديق القلب ، وإقرار اللسان
“Dan memutlakkan perkataan bahwa amal merupakan rukun, syarat keshahihan, atau syarat kesempurnaan, maka itu semua merupakan perkataan-perkataan orang-orang belakangan. Adapun para imam (Ahlus-Sunnah), mereka tidak memutlakkan amal bahwa ia adalah rukun atau syarat (bagi keimanan). Mereka hanyalah mengatakan : ‘Sesungguhnya amal termasuk bagian dari iman’. Berbeda halnya dengan Murji’ah yang mengeluarkan amal-amal dari anam iman. Mereka (Murji’ah) berkata : ‘Sesungguhnya iman adalah pembenaran hati dan pengucapan lisan (syahadat)” [sumber : http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=72051].
Asy-Syaikh Ahmad bin Ibraahiim Abil-‘Ainain hafidhahullah (salah seorang murid Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah yang tinggal di Mesir) berkata :
وهذا لا يعنى أن العمل ركن ، بل العمل منه ما يعد تركه كفرا عند طائفة من العلماء ، كالصلاة وبقية المباني الأربعة ، وغيرها فليس بكفر عند أهل السنة والجماعة ما لم يجحده
“Dan ini tidaklah bermakna amal merupakan rukun (keimanan). Akan tetapi amal bagian darinya, ada di antaranya yang terhitung apabila meninggalkannya dihukumi kafir menurut sekelompok ulama, seperti : shalat, dan rukun Islam yang empat lainnya. Adapun (amal) yang lainnya tidaklah kafir menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah selama tidak mengingkarinya” [sumber : http://abuleenein.com/play-1224.html].
Jika dimutlakkan amal jawaarih secara keseluruhan sebagai bagian dari rukun iman, konsekuensinya ia tidak menerima pengurangan. Padahal, madzhab Ahlus-Sunnah menyatakan iman berkurang karena meninggalkan amal-amal jawaarih.
Shaalih bin Ahmad rahimahumallah berkata :
سألت أبي عمن يقول : الإيمان يزيد وينقص، ما زيادته ونقصانه ؟. فقال : زيادته بالعمل ونقصانه بترك العمل، مثل تركه : الصلاة والحج وأداء الفرائض......
Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang orang yang berkata : ‘Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Apakah penambahan dan pengurangannya ?’. Ia (Ahmad) menjawab : ‘Penambahannya adalah dengan amal dan pengurangannya adalah dengan meninggalkan amal. Contoh meninggalkan amal adalah : shalat, haji, dan penunaian berbagai kewajiban....” [Masaailu Al-Imaam Ahmad bi-Riwayaat Abil-Fadhl Shaalih, 2/119].
[16]     Yaitu perkataan Asy-Syaafi’iy rahimahullah :
وكان الإجماع من الصحابة و التابعين من بعدهم ومن أدركناهم يقولون الإيمان قول وعمل ونية لا يجزئ واحد من الثلاثة إلا بالأخر
“Para sahabat, tabi’in setelah mereka, dan para ulama yang kami temui, mereka telah bersepakat (ijma’) mengatakan iman adalah perkataan, amal dan niat. Tidak mencukupi hanya salah satu saja tanpa yang lainnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/308]
Perhatikan !! Asy-Syaafi’iy rahimahullah tidak menggunakan kata ‘kafir’, namun menggunakan kata : ‘tidak mencukupi’. Namun aneh ada yang menterjemahkan begini :
Para sahabat, tabi’in setelah mereka dan para ulama yang aku ketahui, mereka telah bersepakat (ijma’) bahwa iman adalah perkataan, amal dan niat. Tidak sah hanya mencukupkan salah satu dari yang lain (ketiganya harus terkumpul –pen-) [selesai].
Perhatikan !! Ia mengartikan ‘tidak mencukupi’ dengan ‘tidak sah’. Padahal sudah jamak diketahui bahwa penafikan kecukupan itu tidak mesti penafikan keabsahan.
Seandainya pun diartikan penafikan keabsahan, maka yang dikatakan Asy-Syaafi’iy adalah : ‘Tidak mencukupi hanya salah satu saja tanpa yang lainnya’. Perhatikan kata yang saya bold. Dan itu memang disepakati, karena memang tidak mencukupi (baca ; tidak sah) keimanan seseorang jika hanya mendatangkan perkataan saja, atau amalan saja, atau niat saja. Ini jelas !
Adapun kalimat dalam tanda kurung yang saya bold merah (yaitu kalimat : ‘ketiganya harus terkumpul – pen - ), maka itu penafsiran bathil yang tidak sesuai dengan dhahir perkataan Asy-Syaafi’iy rahimahullah, sekaligus menandakan ketidakpahamannya atas yang ia nukil.
Pendek kata, perkataan Asy-Syaafi’iy di atas tidak bertentangan dengan perkataan beliau sebelumnya yang dinukil Asy-Syiiraaziy dalam ‘Umdatul-Qaari’. Selengkapnya, silakan baca artikel Memahami Perkataan Asy-Syaafi'iy rahimahullah.
Faedah : Terkait perkataan Asy-Syaafi’iy : ‘Iman adalah perkataan, amal dan niat. Tidak sah hanya mencukupkan salah satu dari yang lain’. Jika amal di situ termasuk amal hati dan amal jawaarih, lantas mengapa disebut pula ‘niat’ – padahal niat termasuk amal hati ?.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawabnya sebagai berikut :
فقول السلف يتضمن القول والعمل الباطن والظاهر لكن لما كان بعض الناس قد لا يفهم دخول النية فى ذلك قال بعضهم ونية
“Perkataan salaf (dalam masalah iman) mencakup perkataan dan perbuatan secara lahir dan batin. Akan tetapi ketika sebagian orang tidak memahami masuknya niat dalam hal tersebut, maka sebagian mereka (salaf) berkata : ‘dan niat’” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/506].
[17]     Perkataan Ibnu Baththah ini serupa dengan riwayat lain dari Ahmad bin Hanbal rahimahumallah dalam Thabaqaat Al-Hanaabilah (1/343).
[18]     Misalnya yang ternukil dalam forum ahlalhdeeth.

Comments

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Bagi yang ingin menambah referensi, silakan baca risalah :

القضاء على فتنة رمي أهل السنة بالإرجاء.

Buku ini telah direkomendasikan oleh Asy-Syaikh Rabii' Al-Madkahliy hafidhahullah. Semoga, orang-orang yang 'berpegang teguh' dengan beliau dan membela beliau dapat secara inshaaf memandang persoalan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Asy-Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy hafidhahullah mempunyai penjelasan berfaedah sebagai berikut :


السؤال الأول :
التفصيل لمسألة ( تارك جنس العمل )

الجواب:

نعم السؤال عن جنس العمل وحكم ترك جنس العمل هو من الإسالة المُحدَثة وأرى أن تنزيل الحكم على هذه الألفاظ المجملة أنه يُسبب الخطأ في فهم المسالة؛ لأن العمل ليس على درجة واحدة حتى إن بعض الناس قد يُنَزِّل العمل ويريد به عمل القلب وعمل الجوارح، فالعمل هناك عمل للقلب وهناك عمل للجوارح، ولهذا الواجب هو التفصيل في هذه المسالة، فإذا كان عمل القلب، معروف أن ترك شيء من الاعتقاد كفر، فمن ترك اعتقاد شيء مما دلت النصوص على وجوب اعتقاده كوجوب الواجبات وتحريم المحرمات وما جاء في الكتاب والسنة من الأخبار عن الأمور الغيبية فهذا يجب اعتقاد ذلك ومن كذب بشيء من ذلك وترك اعتقاد ما دلت عليه النصوص، فإنه كافر.
وأما العمل وهو عمل الجوارح فهو يتفاوت ولهذا لا يصلح أن يُنَزل حكم واحد على الأعمال وإنما ينظر في العمل فترك الصلاة ليس كترك غيرها وهناك من الأعمال ما هي مقاربة لترك الصلاة؛ كالمباني الثلاث بعدها والمقصود أن ترك جنس العمل كما يطلقه من يطلقه ويريد به ترك العمل بالكلية، أولاً هذه المسألة غير متصورة في أن يكون مسلم ليس له عمل، لا يصلي، ولا يؤدي شيء من العبادات؛ بل إنه لا يمكن أن يقوم به عمل فهذا غير متصور ولو لم يكن له إلا أن يكون له أولاد ينفق عليهم أو أنه حتى يلقى الرجل فيبش في وجهه أو يدله على الطريق؛ بل يصل الأمر إلى أن مسألة ترك العمل بالكلية يصعب حتى لو تعمد شخص تركها أن يكون تاركاً لها حتى في قضاء الوطر والشهوة إذا كان يريد به الرجل إحصان نفسه قال النبي صلى الله عليه وسلم: (وفي بضع أحدكم صدقه) فهذا غير متصور من ناحية عملية محسوسة، وأما من حيث التنظير؛ فإنه قد ينظر في هذه المسألة فيقال إن تارك جنس العمل أول ما ينظر في ترك جنس العمل، العمل بالكلية، المباني الخمسة فإذا ترك الشهادتين؛ فإن هذا كافر بإجماع المسلمين وإذا ترك الصلاة وهناك اختلاف بين أهل العلم كذلك المباني بعدها، وبهذا يتبين أنا لا نحتاج أن ننظر في الأعمال بعد المباني الأربعة فإذا كان تارك جنس العمل معلوم أنه تارك للصلاة فبعض أهل السنة يكفره بهذا فهو لا يحتاج بعد ذلك أن ينظر في ما بعد الصلاة؛ لأنه كافر بترك الصلاة وإذا كان الناظر في هذه المسالة لا يكفر بترك الصلاة، فإنه لا يمكن أن يكفر بترك غيرها من الأعمال وعلى هذا يتبين أن البحث في هذه المسالة أن ليس له ثمرة؛ لأن تارك جنس العمل تارك للأركان، لأركان الإسلام والعلماء مختلفون فمن كفره بشيء من هذه الأعمال فهو لا يحتاج أن ينظر فيما بعدها من الأعمال ومن لم يكفر بالمباني الأربعة وهي الصلاة والزكاة والصوم والحج فإنه لا يمكن أن يكفر بترك غيرها من الواجبات الأخرى؛ فإن أهل السنة متفقون على أن الرجل لا يكفر بترك شيء من الواجبات بعد الأركان الخمسة إذا كان يعتقد وجوب ذلك المتروك، وكذلك لا يكفرون بفعل شيء من المعاصي إذا كان يعتقد تحريم تلك المعصية، إذاً لا يكفرون بترك الواجبات ولا بفعل المحرمات إذا كان يعتقد وجوب الواجبات وتحريم المحرمات، هذه هي المسألة وهذا هو كلام أهل العلم فيها، وأما أن يقال أنه إذا ترك شيء من العمل إذا ترك العمل بالكلية، فإنه كافر وإذا أتى بشيء من العمل، فإنه يكون مسلمًا بهذا الشيء الذي أتى به ولو كان من جنس المستحبات فهذا ما أعلم أن أحداً من العلماء المتقدمين قال به وطرد هذه المسألة لو قلنا أن جنس العمل يكفي في تحقيق أصل الإيمان فكذلك قد يقال ترك جنس الاعتقاد إذا أتى به يحصل له الإيمان بهذا الجنس، وكذلك القول فيقال من قال سبحان الله فهو مسلم ولو لم ينطق بالشهادتين، ومن اعتقد وجود الجنة والنار فهو مسلم ولو كذب بالمسائل الأخرى الاعتقادية، المقصود أن هذه مسالة والبحث فيها لا طائل تحته وإنما يرجع في الترك في نوع هذا المتروك وفي حكمه، وبهذا يتبن أن البحث في هذه المسألة ليس له ثمرة، وإنما قد يثير خلافاً بين أهل السنة؛ لأن بعض الناس ينـزل حكمًا على نوع يتصوره والآخر ينـزل حكمًا على نوع آخر، وبهذا يوجد الاختلاف بين أهل العلم في مسالة لا اختلاف بينهم فيها، فترك هذه المسالة هو الواجب وهو الذي ينبغي أن يمسك عنه ويرجع إلى المسائل، فإذا سأل السائل عن العمل بينّا حكم تركه، وأما أن ينزل حكم عام هكذا على ما يسمى بجنس العمل؛ فإن هذه المسالة من الألفاظ المجملة التي قد تحدث خلافاً بين أهل السنة وهم في غنى عن ذلك.

Muara Fatan mengatakan...

Izin mengukuti pembahasan pembahaasan selanjutnya,..