Ada
dua macam thalaq dalam Islam, yaitu thalaq sunnah dan thalaq bid’ah. Thalaq
sunnah adalah thalaq yang dijatuhkan sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya
[Al-Mughniy, 7/98]. Adapun thalaq bid’ah menurut fuqahaa’ adalah
thalaq yang dijatuhkan kepada seorang wanita ketika sedang haidl atau
dalam keadaan suci namun telah dicampuri [Al-Mughniy, 7/99]. Oleh karena
itu, thalaq ketika haidl, sebagaimana tertera dalam judul, adalah haram lagi tidak
disyari’atkan.
Para
ulama berselisih pendapat apakah thalaq yang dijatuhkan ketika haidl ini terhitung
satu thalaq ataukah tidak. Secara garis besar, perselisihan pendapat tersebut
adalah sebagai berikut :
1.
Tidak terhitung
thalaq.
Pendapat ini
dipegang oleh sebagian Maalikiyyah[1],
satu sisi dari madzhab Ahmad[2],
dan sebagian Hanaabilah[3].
Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah[4],
Ibnul-Qayyim[5],
Ash-Shan’aaniy[6],
Asy-Syaukaaniy[7],
Shiddiiq Hasan Khaan[8],
Ahmad Syaakir[9],
Ibnu Baaz[10],
dan Ibnul-‘Utsaimiin[11]
rahimahumullah.
2.
Terhitung thalaq.
Pendapat ini
dipegang oleh jumhur ulama dari kalangan imam yang empat dan selain mereka.
Dalil
Utama yang Dipakai oleh Pendapat Pertama.
Allah
ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar)”
[QS. Ath-Thalaq : 1].
Sisi
pendalilannya adalah : Waktu ‘iddah bagi wanita yang Allah perintahkan
kepada suami ketika ingin menthalaq istrinya adalah ketika istrinya itu dalam
keadaan suci dan belum digauli, atau ketika hamil yang jelas kehamilannya. Inilah
yang ditunjukkan pada hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa :
حدثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حدثنا أَبِي، حدثنا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ
ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: طَلَّقْتُ امْرَأَتِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حَائِضٌ، فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقَالَ: " مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ
لِيَدَعْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ حَيْضَةً أُخْرَى، فَإِذَا طَهُرَتْ،
فَلْيُطَلِّقْهَا قَبْلَ أَنْ يُجَامِعَهَا أَوْ يُمْسِكْهَا، فَإِنَّهَا
الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan
kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’,
dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Aku pernah menthalaq istriku di jaman Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam ketika ia haidl. Kemudian ‘Umar menyebutkan hal
tersebut kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau
bersabda : ‘Perintahkan ia (Ibnu ‘Umar) merujuknya, kemudian suruhlah ia
menunggu istrinya suci, lalu haidl lagi dengan sekali haidl. Setelah suci,
(jika masih ingin menthalaqnya), hendaklah ia menthalaqnya sebelum ia
mencampurinya, atau ia mempertahankannya (tidak menthalaqnya). Itulah masa
‘iddah yang diperintahkan Allah jika seorang laki-laki hendak menthalaq
istrinya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1471].
وحدثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، وَابْنُ نُمَيْرٍ، وَاللَّفْظُ لِأَبِي
بَكْرٍ، قَالُوا: حدثنا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ مَوْلَى آلِ طَلْحَةَ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ
طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فقَالَ: " مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ
لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan Ibnu Numair
– lafadhnya milik Abu Bakr - , mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami
Wakii’, dari Sufyaan, dari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan maulaa Aali Thalhah, dari
Saalim, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia pernah menthalaq istrinya dalam
keadaan haidl. Kemudian ‘Umar menyebutkan hal itu kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Perintahkan ia untuk
merujuknya, kemudian (jika masih ingin menthalaqnya), hendaklah ia menthalaqnya
ketika suci atau hamil” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1471].
Perintah
terhadap sesuatu menunjukkan larangan dari lawannya. Dan larangan atas sesuatu
baik larangan itu karena dzatnya, bagiannya, syaratnya, atau sifatnya;
mengkonsekuensikan rusaknya sesuatu tersebut. Sesuatu yang rusak tidak punya
ketetapan hukum. Oleh karena itu, menthalaq istri ketika haidl menyelisihi
perintah Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sehingga
thalaq tersebut baathil/tidak sah.
Selaras
juga dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang masyhuur
:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
yang beramal dengan satu amalan yang bukan berasal dari urusan kami, maka ia
tertolak”.
Terdapat
riwayat dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa yang menguatkan pernyataan
tersebut :
حَدَّثَنَا رَوْحٌ،
حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ
الرَّحْمَنِ بْنَ أَيْمَنَ يَسْأَلُ ابْنَ عُمَرَ، وَأَبُو الزُّبَيْرِ يَسْمَعُ،
فَقَالَ: كَيْفَ تَرَى فِي رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ حَائِضًا؟ فَقَالَ: إِنَّ ابْنَ
عُمَرَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ
وَهِيَ حَائِضٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
لِيُرَاجِعْهَا " عَلَيَّ، وَلَمْ يَرَهَا شَيْئًا، وَقَالَ: فَرَدَّهَا،
" إِذَا طَهُرَتْ فَلْيُطَلِّقْ أَوْ يُمْسِكْ "، قَالَ ابْنُ عُمَرَ:
وَقَرَأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَأَيُّهَا النَّبِيُّ
إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ فِي قُبُلِ عِدَّتِهِنَّ، قَالَ
ابْنُ جُرَيْجٍ: وَسَمِعْتُ مُجَاهِدًا يَقْرَؤُهَا كَذَلِكَ
Telah
menceritakan kepada kami Rauh : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij :
Telah mengkhabarkan kepadaku Abuz-Zubair, bahwasannya ia pernah mendengar
‘Abdurrahmaan bin Aiman bertanya kepada Ibnu ‘Umar – dan Abuz-Zubair
mendengarnya - . Ia (‘Abdurrahmaan) berkata : “Bagaimana pendapatmu tentang
laki-laki yang menthalaq istrinya yang sedang haidl ?”. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata
: “Sesungguhnya Ibnu ‘Umar pernah menthalaq istrinya di jaman nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya
‘Abdullah telah menthalaq istrinya dalam keadaan haidl’. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Perintahkan agar ia merujuknya’ –
beliau mengembalikannya kepadaku. Beliau sama sekali tidak menganggapnya (thalaq
yang aku jatuhkan). Beliau bersabda : ‘Kembalikanlah wanita (pada Ibnu ‘Umar). Apabila telah suci, ia
boleh menthalaqnya atau menahannya”. Ibnu ‘Umar berkata : “Lalu Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam membaca ayat : ‘Hai Nabi, apabila kamu menceraikan
istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka’ (QS. Ath-Thalaaq : 1) - pada permulaan masa ‘iddah-nya”. Ibnu
Juraij berkata : “Aku mendengar Mujaahid membaca ayat seperti itu” [Diriwayatkan
oleh Ahmad 2/80-81 (9/370) no. 5525; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا حَسَنٌ،
حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ، قَالَ: سَأَلْتُ
جَابِرًا، عَنِ الرَّجُلِ يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَقَالَ: طَلَّقَ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَأَتَى عُمَر رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ ذَلِكَ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لِيُرَاجِعْهَا، فَإِنَّهَا
امْرَأَتُهُ "
Telah
menceritakan kepada kami hasan : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah :
Telah menceritakan kepada kami Abuz-Zubair, ia berkata : Aku pernah bertanya
kepada Jaabir tentang laki-laki yang menthalaq istrinya dalam keadaan haidl.
Maka ia berkata : “’Abdullah bin ‘Umar pernah menthalaq istrinya dalam keadaan haidl.
Lalu ‘Umar mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
mengkhabarkan hal tersebut kepada beliau. Maka Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa slalam bersabda : “Hendaklah ia merujuknya, karena wanita
adalah istrinya” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/386; sanadnya dla’iif
dengan sebab Ibnu Lahii’ah, hapalannya kacau setelah kitab-kitab terbakar.
Al-Hasan bin Muusaa mendengar hadits Ibnu Lahii’ah setelah masa ikhtilaath-nya].
حَدَّثَنَا حُدَيْجُ بْنُ
مُعَاوِيَةَ، نا أَبُو إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ
عُمَرَ، أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَانْطَلَقَ عُمَرُ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ
طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " لَيْسَ ذَلِكَ بِشَيْءٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Hudaij bin Mu’aawiyyah : Telah mengkhabarkan kepada
kami Abu Ishaaq, dari ‘Abdullah bin Maalik, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia
pernah menthalaq istrinya dalam keadaan haidl. Kemudian ‘Umar pergi menghadap
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Sesungguhnya
‘Abdullah menthalaq istrinya dalam keadaan haidl”. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Hal itu tidaklah teranggap”
[Diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur no. 1552; sanadnya dla’iif karena
Hudaij (shaduuq, namun sering keliru) dan ‘Abdullah bin Maalik (majhuul-al-haal)].
Riwayat
ini jelas menunjukkan thalaq Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidak
dianggap.
Dalil
Utama yang Dipakai Pendapat Kedua
Allah
ta’ala berfirman :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita
yang dithalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurui”
[[QS. Al-Baqarah : 228].
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ
“Thalaq
(yang dapat dirujuki) dua kali” [QS. Al-Baqarah : 229].
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا
تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Kemudian
jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu
tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain” [QS.
Al-baqarah : 230].
Ketiga
ayat di atas adalah umum, tidak membedakan antara keadaan wanita haidl
atau suci.
Dikuatkan
oleh hadits :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ،
قَالَ: أَخْبَرَنِي سَالِمٌ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَذَكَرَ
عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَغَيَّظَ فِيهِ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: "
لِيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ فَتَطْهُرَ،
فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا، فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ
يَمَسَّهَا، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ كَمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ "
Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin Bukair : Telah menceritakan kepada kami
Al-Laits, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Uqail, dari Ibnu Syihaab,
ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Saalim : Bahwasannya ‘Abdullah bin
‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa telah mengkhabarkan kepadanya, bahwasannya
ia pernah menthalaq istrinya dalam keadaan haidl. Lalu ‘Umar menyebutkan
hal tersebut kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mendengar
itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam marah, lalu bersabda : “Hendaklah
ia merujuknya, kemudian menahannya hingga istrinya suci, kemudian haidl lagi,
lalu suci lagi. Seandainya ia tetap ingin menthalaqnya, maka thalaqlah ia dalam
keadaan suci sebelum ia jimai. Itulah waktu ‘iddah sebagaimana yang
diperintahkan Allah ‘azza wa jalla” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4908].
Sisi
pendalilannya : Dalam hadits di atas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa untuk merujuk
istrinya. Rujuk tidaklah terjadi kecuali setelah adanya thalaq.
Pendalilan
ini sebenarnya kurang kuat, karena kata ‘rujuk’ itu tidak mesti dipahami rujuk
setelah thalaq, sebagaimana terdapat dalam firman Allah ta’ala :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا
تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا
فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا
حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Kemudian
jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu
tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika
suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas
suami pertama dan istri) untuk rujuk (kawin) kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 230].
Rujuk
dalam ayat tersebut bukan dalam pengertian rujuk syar’iy setelah thalaq
(raj’iy), akan tetapi rujuk lughawiy, yaitu kembali dalam
pernikahan semula (setelah si istri kawin lagi dengan laki-laki lain dan
dithalaq).
Akan
tetapi, dalam riwayat lain disebutkan bahwa yang dimaui dengan rujuk di sini
adalah rujuk syar’iy :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ هَارُونَ،
نا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّرْجُمَانِيُّ، نا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
الْجُمَحِيُّ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ،
أَنَّ رَجُلا أَتَى عُمَرَ، فَقَالَ: " إِنِّي طَلَّقْتُ امْرَأَتِي الْبَتَّةَ
وَهِيَ حَائِضٌ، فَقَالَ عُمَرُ: عَصَيْتَ رَبِّكَ، وَفَارَقْتَ امْرَأَتَكَ، فَقَالَ
الرَّجُلُ: " فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ
ابْنَ عُمَرَ حِينَ فَارَقَ امْرَأَتَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا "، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ:
" إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يُرَاجِعَ
بِطَلاقٍ بَقِيَ لَهُ، وَإِنَّهُ لَمْ يَبْقَ لَكَ مَا تَرْجِعُ بِهِ امْرَأَتُكَ
"
Telah
menceritakan kepada kami Muusaa bin Haaruun : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ismaa’iil bin Ibraahiim At-Turjumaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid
bin ‘Abdirrahmaan Al-Jumahiy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Naafi’, dari
Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ada seorang laki-laki mendatangi ‘Umar. Ia berkata : “Sesungguhnya
aku telah menthalaq tiga sekaligus istriku dalam keadaan haidl”. ‘Umar
berkata : “Engkau telah mendurhakai Rabbmu, dan engkau terpisah dari istrimu
(jatuh thalaq bain)”. Laki-laki itu berkata : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Ibnu ‘Umar ketika ia menthalaq
istrinya untuk merujuknya”. Maka ‘Umar berkata kepadanya : “Sesungguhnya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk merujuk
istrinya karena ia masih mempunyai thalaq sisanya.[12]
Adapun engkau, sudah tidak mempunyai thalaq lagi sehingga engkau dapat
merujuk istrimu kembali” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath
no. 8029; sanadnya hasan].
Keabsahan
thalaq itu dikuatkan dengan beberapa jalur riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa sebagai berikut :
1.
Jalur Anas bin
Siiriin rahimahullah.
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ
أَنَسِ بْنِ سِيرِينَ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ، قَالَ: " طَلَّقَ ابْنُ
عُمَرَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَذَكَرَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: لِيُرَاجِعْهَا، قُلْتُ: تُحْتَسَبُ، قَالَ: فَمَهْ ".
Telah menceritakan
kepada kami Sulaimaan bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari
Anas bin Siiriin, ia berkata : Aku pernah mendengar Ibnu ‘Umar berkata : “Ibnu
‘Umar pernah menthalaq istrinya dalam keadaan haidl. Lalu ‘Umar
menyebutkan hal tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan
beliau bersabda : “Perintahkan ia untuk merujuknya”. Aku (Anas bin
Siiriin) berkata : “Apakah thalaq tersebut dihitung ?”. ia menjawab : “Kenapa
tidak ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5253].
Dalam lafadh
Ad-Daaruquthniy[13] rahimahullah
:
فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَتُحْتَسَبُ بِتِلْكَ
التَّطْلِيقَةِ ؟، قَالَ: نَعَمْ
Lalu ‘Umar berkata
: “Wahai Rasulullah, apakah thalaq tersebut dihitung ?”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya” [Sunan Ad-Daaruquthniy 5/10
no. 3893; sanadnya hasan].
2.
Jalur Yuunus bin
Jubair rahimahullah.
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ، حَدَّثَنَا هَمَّامُ بْنُ
يَحْيَى، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي غَلَّابٍ يُونُسَ بْنِ جُبَيْرٍ، قَالَ:
" قُلْت لِابْنِ عُمَرَ: رَجُلٌ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ،
فَقَالَ: تَعْرِفُ ابْنَ عُمَرَ، إِنَّ ابْنَ عُمَرَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ
حَائِضٌ، فَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ
ذَلِكَ لَهُ، فَأَمَرَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا، فَإِذَا طَهُرَتْ فَأَرَادَ أَنْ
يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا، قُلْتُ: فَهَلْ عَدَّ ذَلِكَ طَلَاقًا؟ قَالَ:
أَرَأَيْتَ إِنْ عَجَزَ وَاسْتَحْمَقَ "
Telah menceritakan
kepada kami Hajjaaj bin Minhaal : Telah menceritakan kepada kami Hammaam bin
Yahyaa, dari Qataadah, dari Abu Ghallaab Yuunus bin Jubair, ia berkata : Aku
pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar tentang laki-laki yang menthalaq istrinya
dalam keadaan haidl. Ia berkata : “Apakah engkau mengenal Ibnu ‘Umar ?.
Sesungguhnya Ibnu ‘Umar pernah menthalaq istrinya dalam keadaan haidl.
Lalu ‘Umar mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
hal tersebut. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya
untuk merujuk istrinya. Apabila istrinya telah suci dan ia masih ingin
menthalaqnya, hendaklah ia menthalaqnya”. Aku (Yuunus) berkata : “Apakah itu
terhitung thalaq ?”. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Apakah menurutmu jika ia lemah
dan bodoh (thalaqnya menjadi tidak teranggap) ?” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 5258].
Dalam riwayat
Al-Baihaqiy[14] rahimahullah
disebutkan :
قُلْتُ: فَيَعْتَدُّ بِهَا، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ
عَجَزَ وَاسْتَحْمَقَ "
Aku (Yuunus)
berkata : “Lalu thalaq itu dihitung ?”. Ia (Ibnu ‘Umar) menjawab : “Ya”.
Ia melanjutkan : “Apakah menurutmu jika ia lemah dan bodoh (thalaqnya menjadi
tidak teranggap) ?” [As-Sunan Al-Kubraa, 7/325 (7/532-533) no. 14918;
sanadnya shahih].
3.
Jalur Saalim bin
‘Abdillah bin ‘Umar rahimahullah.
حَدَّثَنِي عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، أَخْبَرَنِي يَعْقُوبُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ، حدثنا مُحَمَّدٌ وَهُوَ ابْنُ أَخِي الزُّهْرِيِّ، عَنْ عَمِّهِ،
أَخْبَرَنا سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ،
قَالَ: طَلَّقْتُ امْرَأَتِي وَهِيَ حَائِض، فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَغَيَّظَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ثُمَّ قَالَ: " مُرْهُ، فَلْيُرَاجِعْهَا حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً أُخْرَى
مُسْتَقْبَلَةً سِوَى حَيْضَتِهَا الَّتِي طَلَّقَهَا فِيهَا، فَإِنْ بَدَا لَهُ
أَنْ يُطَلِّقَهَا، فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا مِنْ حَيْضَتِهَا، قَبْلَ أَنْ
يَمَسَّهَا، فَذَلِكَ الطَّلَاقُ لِلْعِدَّةِ كَمَا أَمَرَ اللَّهُ "،
وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ طَلَّقَهَا تَطْلِيقَةً وَاحِدَةً فَحُسِبَتْ مِنْ
طَلَاقِهَا وَرَاجَعَهَا عَبْدُ اللَّهِ كَمَا أَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وحَدَّثَنِيهِ إِسْحَاقَ بْنُ مَنْصُورٍ، أَخْبَرَنا يَزِيدُ بْنُ
عَبْدِ رَبِّهِ، حدثنا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنِي الزُّبَيْدِيُّ، عَنِ
الزُّهْرِيِّ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ، غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ ابْنُ عُمَرَ:
فَرَاجَعْتُهَا وَحَسَبْتُ لَهَا التَّطْلِيقَةَ الَّتِي طَلَّقْتُهَا
Telah menceritakan
kepadaku ‘Abd bin Humaid : Telah mengkhabarkan kepadaku Ya’quub bin Ibraahiim :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad – ia adalah keponakan Az-Zuhriy - , dari
pamannya (Az-Zuhriy) : Telah mengkhabarkan kepada kami Saalim bin ‘Abdillah : Bahwasannya
‘Abdullah bin ‘Umar pernah berkata : Aku pernah menthalaq istriku dalam keadaan
haidl. Lalu ‘Umar menyebutkan hal tersebut kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
marah dan bersabda : “Perintahkan ia untuk merujuknya, hingga istrinya
itu haidl yang kedua kali yaitu selain haidl yang dialami sewaktu dithalaq.
Jika telah jelas dan ia ingin menthalaqnya, hendaknya ia menceraikan sewaktu
istrinya suci dari haidlnya, sebelum ia menjimainya. Itulah maksud ‘iddah dari thalaq
yang Allah perintahkan”. Dan dulu ‘Abdullah (bin ‘Umar) pernah menthalaq
dengan satu kali thalaq, dan thalaqnya tersebut dianggap sebagai satu thalaq,
lalu ‘Abdullah merujuknya sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Dan telah
menceritakan kepadaku Ishaaq bin Manshuur : Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid
bin 'Abdi Rabbihi : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harb :
Telah menceritakan kepadaku Az-Zubaidiy, dari Az Zuhriy dengan sanad
di atas, akan tetapi ia (Az-Zubaidiy) berkata : Ibnu Umar berkata : “Kemudian
aku merujuknya, dan aku menganggapnya sebagai satu thalaq yang aku jatuhkan
kepadanya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1471].
4.
Jalur Asy-Sya’biy rahimahullah.
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ
أَبِي طَاهِرٍ الدَّقَّاقُ بِبَغْدَادَ، نا أَحْمَدُ بْنُ سَلْمَانَ، نا أَحْمَدُ
بْنُ زُهَيْرِ بْنِ حَرْبٍ، نا مُحَمَّدُ بْنُ سَابِقٍ أَبُو جَعْفَرٍ إِمْلاءً
مِنْ كِتَابِهِ، نا شَيْبَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ فِرَاسٍ، عَنْ
عَامِرٍ، قَالَ: " طَلَّقَ ابْنُ عُمَرَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ
وَاحِدَةً، فَانْطَلَقَ عُمَرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَخْبَرَهُ فَأَمَرَهُ إِذَا طَهُرَتْ أَنْ يُرَاجِعَهَا، ثُمَّ يَسْتَقْبِلَ
الطَّلاقَ فِي عِدَّتِهَا ثُمَّ تَحْتَسِبُ بِالتَّطْلِيقَةِ الَّتِي طَلَّقَ
أَوَّلَ مَرَّةٍ "
Telah mengkhabarkan
kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin
Ahmad bin Abi Thaahir Ad-Daqqaaq di Baghdaad : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ahmad bin Salmaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Zuhair bin Harb :
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Saabiq Abu Ja’far secara imlaa’
dari kitabnya : Telah mengkhabarkan kepada kami Syaibaan bin ‘Abdirrahmaan,
dari Firaas, dari ‘Aamir (Asy-Sya’biy), ia berkata : Ibnu ‘Umar pernah menthalaq
satu istrinya dalam keadaan haidl. Maka ‘Umar pergi menemui
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengkhabarkan hal
tersebut kepada beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkannya apabila istrinya telah suci agar merujuknya, kemudian ia boleh
menthalaqnya dalam masa ‘iddahnya, kemudian thalaqnya yang ia jatuhkan
di kali pertama diperhitungkan” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 7/326
(7/534) no. 14926; sanadnya lemah, karena Asy-Sya’biy tidak menyaksikan
peristiwa Ibnu ‘Umar. Namun jika riwayat tersebut berasal dari Ibnu ‘Umar yang
disampaikan kepada Asy-Sya’biy, maka sanadnya hasan, wallaahu a’lam].
5.
Jalur Naafi maulaa
Ibnu ‘Umar rahimahullah.
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ،
أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَجَعَلَهَا وَاحِدَةً "
Telah menceritakan
kepada kami Ibnu Abi Dzi’b, dari Naafi’, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar :
Bahwasannya ia pernah menthalaq istrinya dalam keadaan haidl. Lalu ‘Umar
mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan menyebutkan hal
tersebut kepada beliau. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menjadikannya sebagai satu thalaq [Diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy 1/68 no.
68; sanadnya shahih].
نَا أَبُو بَكْرٍ، نَا عَيَّاشُ بْنُ مُحَمَّدٍ، نَا أَبُو عَاصِمٍ،
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " هِيَ وَاحِدَةٌ "
Telah mengkhabarkan
kepada kami Abu Bakr : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ayyaasy bin Muhammad :
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aashim, dari Ibnu Juraij, dari Naafi’,
dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Thalaq tersebut terhitung satu thalaq” [Diriwayatkan oleh
Ad-Daaruquthniy 5/19 no. 3915; sanadnya lemah karena ‘an’anah Ibnu
Juraij, dan ia seorang mudallis. Akan tetapi ia shahih dengan jalur yang
lain].
6.
Jalur Al-Hasan bin
Yasaar rahimahullah.
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو بَكْرٍ
أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ، قَالا: نا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ،
نا أَبُو أُمَيَّةَ الطَّرَسُوسِيُّ، نا مُعَلَّى بْنُ مَنْصُورٍ الرَّازِيُّ، نا
شُعَيْبُ بْنُ رُزَيْقٍ، أَنَّ عَطَاءً الْخُرَاسَانِيَّ حَدَّثَهُمْ، عَنِ
الْحَسَنِ، نا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ
تَطْلِيقَةً وَهِيَ حَائِضٌ، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُتْبِعَهَا بِتَطْلِيقَتَيْنِ
أُخْرَاوَيْنِ عِنْدَ الْقُرْئَيْنِ الْبَاقِيَيْنِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا ابْنَ عُمَرَ، مَا هَكَذَا
أَمَرَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِنَّكَ قَدْ أَخْطَأْتَ السُّنَّةَ
وَالسُّنَّةُ أَنْ تَسْتَقْبِلَ الطُّهْرَ فَتُطَلِّقَ لِكُلِّ قُرْءٍ، قَالَ:
فَأَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَاجَعْتُهَا،
ثُمَّ قَالَ لِي: إِذَا هِيَ طَهُرَتْ فَطَلِّقْ عِنْدَ ذَلِكَ أَوْ أَمْسِكْ،
فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ لَوْ أَنِّي طَلَّقْتُهَا ثَلاثًا
كَانَ يَحِلُّ لِي أَنْ أُرَاجِعَهَا؟ قَالَ: لا كَانَتْ تَبِينُ مِنْكَ وَتَكُونُ
مَعْصِيَةً "
Telah mengkhabarkan
kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh dan Abu bakr Ahmad bin Al-Hasan, mereka
berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin
Ya’quub : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Umayyah Ath-Tharasuusiy : Telah
mengkhabarkan kepada kami Mu’allaa bin Manshuur Ar-Raaziy : Telah mengkhabarkan
kepada kami Syu’aib bin Ruzaiq : Bahwasannya ‘Athaa’ Al-Khurasaaniy pernah
menceritakan kepada mereka, dari Al-Hasan : Telah mengkhabarkan kepada kami
‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya ia pernah menthalaq istrinya dengan sekali
thalaq dalam keadaan haidl. Kemudian ia ingin mengikutinya dengan dua
thalaq berikutnya dalam dua quruu’ sisanya. Maka sampailah hal itu pada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Wahai
Ibnu ‘Umar, bukan begitu yang diperintahkan Allah tabaaraka wa ta’ala.
Sesungguhnya engkau telah menyelisihi sunnah. Yang sesuai sunnah adalah engkau
menunggu ketika ia suci, dan menthalaqnya dalam setiap quru’”. Ibnu ‘Umar
berkata : “Lalu beliau Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku
untuk merujuknya. Kemudian beliau bersabda : ‘Apabila ia telah suci, maka
thalaqlah pada waktu itu atau pertahankanlah’. Aku berkata : ‘Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapatmu apabila aku menthalaq tiga, apakah halal
bagiku untuk merujuknya kembali ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Tidak. Telah jatuh thalaq baain padanya darimu, sehingga hal itu
menjadi satu kemaksiatan” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 7/334 (7/546-547)
no. 14955; sanadnya hasan].
Semua
riwayat di atas menunjukkan secara jelas bahwa thalaq yang dijatuhkan Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhumaa terhitung satu thalaq.
Tarjih
Pendapat
yang raajih – wallaahu a’lam – adalah pendapat jumhur ulama yang
menyatakan bahwa thalaq yang dijatuhkan pada wanita haidl terhitung satu
thalaq.
Atas
pendalilan pendapat pertama, beberapa ulama menjawabnya :
1.
Tidak setiap
larangan menuntut adanya kerusakan. Apabila larangan terhadap suatu perkara di
luar dari objek larangan, maka pada asalnya objek yang dilarang itu hukumnya sah.
Contohnya adalah seperti yang ada dalam hadits berikut :
حَدَّثَنَا ابْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ جَعْفَرِ
بْنِ رَبِيعَةَ، عَنِ الْأَعْرَجِ، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " لَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ
وَالْغَنَمَ، فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدُ فَإِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ
أَنْ يَحْتَلِبَهَا، إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ، وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعَ تَمْرٍ
"
Telah menceritakan
kepada kami Ibnu Bukair : Telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari Ja’far
bin Rabii’ah, dari Al-A’raj, ia berkata : Telah berkata Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah
kalian membiarkan susu onta dan kambing (dengan tidak memerahnya ketika akan
menjual). Maka barangsiapa yang membelinya setelah itu, ia memiliki dua pilihan
setelah memerahnya, jika mau maka ia memilikinya dan jika mau ia juga boleh
mengembalikannya beserta satu sha’ kurma” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 2148].
Hadits di atas
menunjukkan penetapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas keabsahan
jual-beli yang terjadi bersamaan dengan adanya larangan beliau membiarkan susu
onta dan kambing dengan tidak memerahnya, karena hal itu terdapat unsur tipuan.
Begitu juga dengan
hadits :
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ
سُلَيْمَانَ، عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، أَخْبَرَنِي هِشَامٌ الْقُرْدُوسِيُّ، عَنْ
ابْنِ سِيرِينَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ،
فَمَنْ تَلَقَّاهُ، فَاشْتَرَى مِنْهُ، فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ، فَهُوَ
بِالْخِيَارِ "
Telah menceritakan
kepada kami Ibnu Abi ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin
Sulaimaan, dari Ibnu Juraij : Telah mengkhabarkan kepadaku Hisyaam
Al-Qurduusiy, dari Ibnu Siiriin, ia berkata : Aku mendengar Abu Hurairah
berkata : Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda : “Janganlah menyambut para pedagang luar. Barangsiapa yang
menyambutnya lalu membeli barang darinya lantas pedagang luar tersebut masuk
pasar (dan tahu ia tertipu dengan penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia
punya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan jual beli)” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 1519].
Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menetapkan keabsahan jual-beli dengan adanya khiyaar,
bersamaan dengan larangan beliau menyambut pedagang sebelum masuk pasar/kota.
Larangan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu bukan karena
jual-belinya (yang rusak), akan tetapi karena perbuatan tersebut dapat merugikan
manusia.
Begitu juga dengan
hadits :
حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ أَبِي حَزْرَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ، تَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا يُصَلَّى بِحَضْرَةِ
الطَّعَامِ، وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ "
Telah menceritakan
kepada kami Yahyaa, dari Abu Hazrah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku
‘Abdullah bin Muhammad, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah seseorang shalat ketika makanan
telah dihidangkan, dan ketika ia menahan dua kotoran (kentut dan kencing)”
[Diriwayatkan oleh Ahmad; shahih].
Para ulama madzhab
yang empat sepakat bahwa shalat dalam keadaan tersebut di atas tidaklah
menyebabkan batal (kecuali madzhab Dhaahiriyyah yang menyatakan batal).
Larangan tersebut bukanlah larangan dengan sebab shalatnya yang rusak, akan
tetapi larangan karena kurangnya kekhusyukan orang yang shalat akibat lapar
atau menahan kentut dan buang air.
Dalam kasus thalaq
yang dijatuhkan pada wanita yang sedang haidl ini, maka larangan tersebut
bukan karena thalaq-nya yang rusak, tapi karena faktor lamanya ‘iddah
yang akan dijalani si istri [An-Nahyu Yaqtadlil-Fasaad baina Al-‘Alaaiy
wa Ibni Taimiyyah, hal. 39].
2.
Riwayat Ibnu ‘Umar dari
jalur Abuz-Zubair yang menyatakan thalaq yang dijatuhkan tidak
teranggap, maka itu bertentangan dengan riwayat jumhur ashhaab Ibnu ‘Umar
sebagaimana telah disebutkan di atas. Benar, sanad jalur Abuz-Zubair itu
shahih, namun keshahihan sanad tidaklah cukup membuat satu riwayat shahih.
Keshahihan riwayat juga mesti memenuhi terbebasnya dari ‘illat dan syudzuudz.
Di sini, syudzuudz dalam matan Abuz-Zubair itu ada. Abuz-Zubair telah
menyelisihi sejumlah ashhaab Ibnu ‘Umar dan di antara mereka lebih kuat
darinya seperti Naafi’ dan Saalim rahimahumallah.
Adapun dua riwayat
yang lain, maka sanadnya lemah sehingga dihukumi munkar.
Wallaahu
a’lam.
Itu
saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 04022013 – 23:00 - banyak mengambil faedah dari risalah Al-Khilaaf fii Wuquu'i Thalaaq Al-Haaidl oleh Ahmad Az-Zuumaan, Fiqhuth-Thalaaq oleh 'Amru bin 'Abdil-Mun'im, Ahkaamuth-Thalaaq oleh Mushthafaa Al-'Adawiy, dan yang lainnya].
[1] At-Taudliih Syarh Mukhtashar Ibni Haajib,
4/38; dan Syarh Ar-Risaalah oleh Qaasim bin ‘Iisaa At-Tanuukhiy 2/474.
[2] Ighaatsatul-Lahfaan fii Hukmi Thalaaq
Al-Ghadlbaan, hal. 64.
[3] Al-Inshaaf, 8/448.
[4] Majmuu’ Al-Fataawaa, 33/72.
[5] Tahdziibus-Sunan, 3/103.
[6] Subulus-Salaam, 3/359.
[7] Ad-Daraariyyul-Madliyyah, 2/10.
[8] Ar-Raudlatun-Nadiyyah, 2/48.
[9] Nidhaamuth-Thalaaq fil-Islaam, hal.
19.
[10] Majmuu’ Fataawaa Asy-Syaikh Ibni Baaz,
21/280. Namun kemudian beliau rahimahullah rujuk dari pendapat ini pada
pendapat jumhur.
[11] Tsamaraatut-Tadwiin min Masaaili Ibni
‘Utsaimiin, no. 471.
[12] Maksudnya, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa
hanya menjatuhkan thalaq satu, sehingga ia masih punya hak untuk merujuk
istrinya.
[13] Riwayat selengkapnya adalah :
نَا عُثْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ الدَّقَّاقُ، نَا عَبْدُ
الْمَلِكِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو قِلابَةَ، نَا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ، نَا شُعْبَةُ،
عَنْ أَنَسِ بْنِ سِيرِينَ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: "
طَلَّقْتُ امْرَأَتِي وَهِيَ حَائِضٌ، فَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، فَإِذَا طَهُرَتْ
فَلْيُطَلِّقْهَا إِنْ شَاءَ، قَالَ: فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
أَفَتُحْتَسَبُ بِتِلْكَ التَّطْلِيقَةِ ؟، قَالَ: نَعَمْ
[14] Riwayat selengkapnya adalah :
وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، نا
أَبُو عُبَيْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الأَصَمُّ إِمْلاءً، نا
السَّرِيُّ بْنُ خُزَيْمَةَ، نا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ، نا يَزِيدُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ التُّسْتَرِيُّ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ، حَدَّثَنِي
يُونُسُ بْنُ جُبَيْرٍ، قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ، " قُلْتُ: رَجُلٌ
طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَقَالَ: تَعْرِفُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عُمَرَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: فَإِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَأَتَى عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا ثُمَّ
يُطَلِّقَهَا فِي قُبُلِ عِدَّتِهَا، قَالَ: قُلْتُ: فَيَعْتَدُّ بِهَا، قَالَ:
نَعَمْ، قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ عَجَزَ وَاسْتَحْمَقَ "، رَوَاهُ
الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيحِ، عَنْ حَجَّاجِ بْنِ مِنْهَالٍ، إِلا أَنَّهُ قَالَ:
قُلْتُ: فَيُعْتَدُّ بِتِلْكَ التَّطْلِيقَةِ؟ قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ عَجَزَ
وَاسْتَحْمَقَ
Comments
Assalamu'alaikum, ustadz, lalu apakah kalo istri sedang hamil (dan pernah digauli saat hamil) berarti 'tidak boleh' di-thalaq?, harus menungu lahiran dulu ?
Wa'alaikumus-salaam.
Wanita hamil boleh dithalaq, dan massa 'iddahnya hingga ia melahrikan.
wallaahu a'lam.
Posting Komentar