Koruptor, Kafir ?



Dalam tatanan hukum positif, korupsi banyak ragamnya, mulai dari suap, gratifikasi, penggelapan, pemalsuan, dan yang lainnya.  Korupsi adalah perilaku negatif yang dicela Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, dicela semua peradaban manusia, karena termasuk perbuatan khianat dan kecurangan yang merugikan masyarakat banyak. Banyak nash yang mencela dan mengancam perilaku koruptif, di antaranya:
Allah ta’ala berfirman :
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berbuat ghuluul (khianat) dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu” [QS. Aali ‘Imraan : 161].
Ibnu Katsiir rahimahullah mengatakan bahwa ayat di atas merupakan ancama yang keras dan tegas dari Allah ta’ala terhadap perbuatan ghuluul (khianat/korupsi) [Tafsiir Ibni Katsiir, 2/151].
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَالِمٍ الْكُوفِيُّ الْمَفْلُوجُ وَكَانَ ثِقَةً، حَدَّثَنَا عُبَيْدَةُ بْنُ الْأَسْوَدِ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ الْوَلِيدِ، عَنْ أَبِي صَادِقٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ نَاجِدٍ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ الْوَبَرَةَ مِنْ جَنْبِ الْبَعِيرِ مِنَ الْمَغْنَمِ، فَيَقُولُ: " مَا لِي فِيهِ إِلَّا مِثْلُ مَا لِأَحَدِكُمْ مِنْهُ، إِيَّاكُمْ وَالْغُلُولَ، فَإِنَّ الْغُلُولَ خِزْيٌ عَلَى صَاحِبِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Saalim Al-Kuufiy  Al-Mafluuj, dan ia seorang yang tsiqah : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidah bin Al-Aswad, dari Al-Qaasim bin Al-Waliid, dari Abu Shaadiq, dari Rabii’ah bin Naajid, dari ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil bulu onta dari perut onta ghaniimah, lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sedikit yang aku ambil dari (harta rampasan perang) ini, tak lain seperti yang diambil oleh salah seorang dari kalian. Jauhilah perbuatan ghuluul (khianat/korupsi), karena perbuatan ghuluul adalah kehinaan bagi pelakunya pada hari kiamat....” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Musnad 5/330; dihasankan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhriij Musnad Al-Imaam Ahmad 37/455-456 no. 22795].
Dalam lafadh lain :
لَا تَغُلُّوا فَإِنَّ الْغُلُولَ نَارٌ وَعَارٌ عَلَى أَصْحَابِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
Janganlah kalian berbuat ghuluul, karena perbuatan ghuluul tempatnya di neraka dan merupakan aib bagi pelakunya di dunia dan akhirat” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Musnad 5/316; dihasankan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhriij Musnad Al-Imaam Ahmad 37/371-372 no. 22699].
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي سِمَاكٌ الْحَنَفِيُّ أَبُو زُمَيْلٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ، أَقْبَلَ نَفَرٌ مِنْ صَحَابَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: فُلَانٌ شَهِيدٌ، فُلَانٌ شَهِيدٌ، حَتَّى مَرُّوا عَلَى رَجُلٍ، فَقَالُوا: فُلَانٌ شَهِيدٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " كَلَّا إِنِّي رَأَيْتُهُ فِي النَّارِ فِي بُرْدَةٍ غَلَّهَا أَوْ عَبَاءَةٍ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، اذْهَبْ فَنَادِ فِي النَّاسِ، أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ، قَالَ: فَخَرَجْتُ، فَنَادَيْتُ، " أَلَا إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ "
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Haasyim bin Al-Qaasim : Telah menceritakan kepada kami ‘Ikrimah bin ‘Ammaar, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Simaak Al-Hanafiy Abu Zumail, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin Al-Khaththaab, ia berkata : Ketika perang Khaibar berlangsung, sekelompok shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadap beliau dan berkata : ‘Fulaan mati syahiid, Fulaan mati syahiid’, hingga ketika mereka melewati seseorang pun mereka juga berkata : ‘Fulaan mati syahiid, Fulaan mati syahiid’. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sekali-kali tidak. Sesungguhnya aku melihatnya di neraka dengan sebab kain burdah atau ‘abaa-ah yang ia ambil secara khianat (ghuluul)”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Ibnul-Khaththaab, pergilah dan serulah kepada orang-orang bahwasannya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang mukmin”. Maka ‘Umar berkata : “Aku pun berseru : ‘Ketahuilah, bahwasannya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang mukmin” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 114].
حَدَّثَنِي أبو رجاء قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ مَاتَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ: الْكِبْرِ، وَالْغُلُولِ، وَالدَّيْنِ، دَخَلَ الْجَنَّةَ "
Telah menceritakan kepadaku Abu Rajaa’ Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Qataadah, dari Saalim bin Abi Ja’d, dari Tsaubaan, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang meninggal dan ia berlepas diri dari tiga hal, yaitu : sombong, ghuluul (khianat/korupsi), dan hutang; maka dijamin masuk surga” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1572; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy, 2/197-198].
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ أَبُو طَالِبٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ عَبْدِ الْوَارِثِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ "
Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Akhzam Abu Thaalib : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, dari ‘Abdul-Waarits bin Sa’iid, dari Husain Al-Mu’allim, dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang kami pekerjakan dengan satu pekerjaan dan kami upah ia (atas pekerjaan yang ia lakukan), maka harta apapun yang ia ambil selebih dari itu adalah ghuluul (korupsi)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2943; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/230].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ عَمِيرَةَ الْكِنْدِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Wakii’ bin Al-Jarraah : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Qais bin Abi Haazim, dari ‘Adiy bin ‘Amiirah Al-Kindiy, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa di antara kalian yang kami pekerjakan dengan satu pekerjaan, lalu ia menyembunyikan sebatang jarum atau yang lebih dari itu, maka itu termasuk ghuluul (korupsi) yang akan dibawanya di hari kiamat....” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1833].
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ أَبِي حَيَّانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو زُرْعَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَامَ فِينَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ الْغُلُولَ فَعَظَّمَهُ وَعَظَّمَ أَمْرَهُ، قَالَ: " لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ شَاةٌ لَهَا ثُغَاءٌ عَلَى رَقَبَتِهِ فَرَسٌ لَهُ حَمْحَمَةٌ، يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ وَعَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ، يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ وَعَلَى رَقَبَتِهِ صَامِتٌ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ أَوْ عَلَى رَقَبَتِهِ رِقَاعٌ تَخْفِقُ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ،
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Abu Hayyaan, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Zur’ah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami lalu menyebutkan tentang permasalahan ghuluul (pengkhianatan/korupsi). Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganggapnya sebagai sesuatu yang besar lagi penting, lalu bersabda : “Sungguh aku akan menjumpai salah seorang di antara kalian pada hari kiamat yang di lehernya dipikulkan kambing yang mengembik dan di lehernya dipikulkan kuda yang meringkik, lalu berkata : ‘Wahai Rasulullah, tolonglah aku’. Aku berkata : ‘Aku tidak punya wewenang sedikitpun dari Allah untuk menolongmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu’. Dan orang yang di lehernya dipikulkan onta yang menderum berkata : ‘Wahai Rasulullah, tolonglah aku’. Aku pun berkata : ‘Aku tidak punya wewenang sedikitpun dari Allah untuk menolongmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu’. Dan orang yang di lehernya dipikulkan emas dan perak berkata : ‘Wahai Rasulullah, tolonglah aku’. Aku pun berkata : ‘Aku tidak punya wewenang sedikitpun dari Allah untuk menolongmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu’. Dan orang yang di lehernya terdapat lembaran kertas yang melambai-lambai berkata : ‘Wahai Rasulullah, tolonglah aku’. Aku pun berkata : ‘Aku tidak punya wewenang sedikitpun dari Allah untuk menolongmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3073].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ: هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا أُهْدِيَ لِي، قَالَ: فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ، فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ، ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ، اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ، اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, dari Abu Humaid As-Saa’idiy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memperkerjakan seseorang dari suku Al-Azd yang bernama Ibnul-Utbiyyah untuk menarik zakat. Ketika ia datang (dari pekerjaannya itu), ia berkata : “Ini adalah harta kalian, dan ini adalah harta yang dihadiahkan untukku”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seandainya ia duduk saja di rumah ayah atau ibunya, maka lihatlah, apakah ia akan diberikan hadiah ataukah tidak. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun yang mengambil harta (suap) itu sedikitpun juga, kecuali ia akan datang pada hari kiamat dengan memikul harta suap itu di lehernya yang mungkin berupa onta yang menderum, sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangannya hingga kami melihat putih ketiak beliau, yang bersabda : “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan, Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan" - sebanyak tiga kali [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2597].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
وَفِي هَذَا الْحَدِيث : بَيَان أَنَّ هَدَايَا الْعُمَّال حَرَام وَغُلُول ؛ لِأَنَّهُ خَانَ فِي وِلَايَته وَأَمَانَته
“Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa hadiah bagi pegawai adalah haram dan (termasuk) ghuluul, karena ia telah berbuat khianat dalam kekuasaan dan amanah yang diberikan kepadanya” [Syarh Shahiih Muslim, 6/304].
Banyak contoh dari salaf kita yang shaalih bagaimana mereka sangat menjaga diri dari perbuatan ghuluul. Sedikit di antaranya adalah yang terdeskripsi dalam riwayat berikut :
وَحَدَّثَنِي مَالِك، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ إِلَى خَيْبَرَ، فَيَخْرُصُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ يَهُودِ خَيْبَرَ، قَالَ: فَجَمَعُوا لَهُ حَلْيًا مِنْ حَلْيِ نِسَائِهِمْ، فَقَالُوا لَهُ: هَذَا لَكَ، وَخَفِّفْ عَنَّا وَتَجَاوَزْ فِي الْقَسْمِ.فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ: يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ، وَاللَّهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللَّهِ إِلَيَّ، وَمَا ذَاكَ بِحَامِلِي عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ، فَأَمَّا مَا عَرَضْتُمْ مِنَ الرَّشْوَةِ، فَإِنَّهَا سُحْتٌ وَإِنَّا لَا نَأْكُلُهَا، فَقَالُوا: بِهَذَا قَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ.
Telah menceritakan kepadaku Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari Sulaimaan bin Yasaar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus ‘Abdullah bin Rawaahah ke Khaibar, lalu ia menaksir pembagian antara dirinya dan Yahudi Khaibar. Perawi berkata : Lalu mereka (Yahudi Khaibar) mengumpulkan perhiasan dari perhiasan wanita-wanita mereka untuknya. Mereka berkata kepadanya : “Ini adalah bagianmu. Berilah keringanan bagi kami dan lebihkanlah bagian kami”. Maka ‘Abdullah bin Rawaahah berkata : “Wahai sekalian orang Yahudi, demi Allah, sesungguhnya kalian termasuk makhluk Allah yang paling aku benci. Namun demikian, hal itu tidak menyebabkan aku berbuat dhalim kepada kalian. Adapun sesuatu yang kalian berikan kepadaku itu termasuk risywah (suap/sogokan) dan dosa. Sesungguhnya kami (kaum muslimin) tidak memakannya”. Mereka berkata : “Dengan ini, tegaklah langit dan bumi” [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 3/494-495 no. 1514; sanadnya mursal shahih. Al-Arna’uth menjelaskan beberapa jalan yang menyambungkannya, dan kemudian menghasankannya dalam Jaam’ul-Ushuul 4/617 no. 2701. Dishahihkan oleh Al-Hilaaliy dalam Takhrij Al-Muwaththaa’ 3/494-495].
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو الْمَلِيحِ، عَنْ فُرَاتِ بْنِ سَلْمَانَ، قَالَ: " اشْتَهَى عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ التُّفَّاحَ، فَبَعَثَ إِلَى بَيْتِهِ، فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا يَشْتَرُونَ لَهُ بِهِ، فَرَكِبَ، وَرَكِبْنَا مَعَهُ، فَمَرَّ بِدَيْرٍ، فَتَلَقَّاهُ غِلْمَانٌ لِلدَّيْرَانِيِّينَ، مَعَهُمْ أَطْبَاقٌ فِيهَا تُفَّاحٌ، فَوَقَفَ عَلَى طَبَقٍ مِنْهَا، فَتَنَاوَلَ تُفَّاحَةً فَشَمَّهَا، ثُمَّ أَعَادَهَا إِلَى الطَّبَقِ، ثُمَّ قَالَ: ادْخُلُوا دَيْرَكُمْ، لا أَعْلَمُكُمُ بُعِثْتُمْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِي بِشَيْءٍ، قَالَ: فَحَرَّكْتُ بَغْلَتِي، فَلَحِقْتُهُ، فَقُلْتُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، اشْتَهَيْتَ التُّفَّاحَ فَلَمْ يَجِدُوهُ لَكَ، فَأُهْدِيَ لَكَ فَرَدَدْتَهُ، قَالَ: لا حَاجَةَ لِي فِيهِ، فَقُلْتُ: أَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، يَقْبَلُونَ الْهَدِيَّةَ؟ قَالَ: إِنَّهَا لأُولَئِكَ هَدِيَّةٌ، وَهِيَ لِلْعُمَّالِ بَعْدَهُمْ رِشْوَةٌ "
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Ja’far, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Maliih, dari Furaat bin Salmaan, ia berkata : “’Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz pernah menginginkan buah apel. Maka ia mengutus seseorang ke rumahnya, namun utusan itu tidak mendapatkan uang untuk membelikan apel untuknya. Ia pun menaiki tunggangannya, dan kami pun menaiki tunggangan kami bersamanya. Kemudian ia melewati sebuah biara. Ada dua orang penghuni biara menemuinya dengan membawa beberapa nampan yang berisi apel. Lalu ia berhenti di salah satu nampan dan mengambil apel lalu menciumnya. Kemudian ia mengembalikan apel itu ke nampan, seraya berkata : “Masuklah kalian ke biara kalian. Aku tidak mengenal kalian. Kalian telah mengutus seseorang kepada salah seorang shahabatku dengan membawa sesuatu”. Perawi berkata: Lalu akupun menggerakkan keledaiku berjalan mendekatinya. Aku berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, engkau tadi menginginkan apel, namun mereka tidak mendapatkan sesuatu (untuk membelinya) buatmu. Kemudian dihadiahkan apel untukmu, namun engkau menolaknya”. Ia berkata : “Aku tidak membutuhkannya”. Aku berkata : “Bukankah dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Umar menerima hadiah ?”. Ia menjawab : “Hal itu bagi mereka adalah hadiah, dan bagi para pemimpin setelahnya adalah suap” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d, 5/188; sanadnya shahih].
Semua orang ‘gregetan’ dengan korupsi dan koruptor. Sayangnya, ada beberapa oknum yang berlebih-lebihan menyikapinya hingga menghukumi kafir bagi pelaku korupsi. Benar jika dikatakan bahwa korupsi itu termasuk dosa besar sebagaimana nash-nya telah disebutkan di atas. Namun menjadi tidak benar jika korupsi termasuk perbuatan kufur akbar yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Pengkafiran adalah hukum syar’i dan merupakan hak murni milik Allah ta’ala, tidak dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu. Konsekuensinya, seseorang tidaklah dikafirkan kecuali yang memang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وهذا بخلاف ما كان يقوله بعض الناس كأبي إسحاق الإسفراييني ومن اتبعه يقولون لا نكفر إلا من يكفر فإن الكفر ليس حقا لهم بل هو حق لله وليس للإنسان أن يكذب على من يكذب عليه ولا يفعل الفاحشة بأهل من فعل الفاحشة بأهله بل ولو استكرهه رجل على اللواطة لم يكن له أن يستكرهه على ذلك ولو قتله بتجريع خمر أو تلوط به لم يجز قتله بمثل ذلك لأن هذا حرام لحق الله تعالى ولو سب النصارى نبينا لم يكن لنا أن نسبح المسيح والرافضة إذا كفروا أبا بكر وعمر فليس لنا أن نكفر عليا
“Hal ini bertentangan dengan pekataan sebagian orang seperti Abu Ishaq Al-Isfirayiiniy serta orang yang mengikuti pendapatnya, mereka mengatakan : Kami tidak mengkafirkan kecuali orang-orang mengkafirkan (kami). (Perkataan ini salah), karena takfir itu bukanlah hak mereka tapi hak Allah. Seseorang tidak boleh berdusta kepada orang yang pernah berdusta atas namanya. Tidak boleh pula ia berbuat keji (zina) dengan istri seseorang yang pernah menzinahi istrinya. Bahkan kalau ada orang yang memaksanya untuk melakukan liwath (homo sex), tidak boleh baginya untuk membalas dengan memaksanya untuk melakukan perbuatan yang sama, karena hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak Allah. Seandainya orang Nashrani mencela Nabi kita, kita tidak boleh mencela Al-Masih (‘Isa ‘alaihis-salaam). Demikian pula seandainya orang-orang Rafidlah mengkafirkan Abu Bakar dan ‘Umar, tidak boleh bagi kita untuk mengkafirkan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum ajma’iin” [Minhajus-Sunnah, 5/244].
Pengkafiran itu dijatuhkan berdasarkan nash Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; bukan dengan perasaan, emosi, atau sentimen kelompok. Jika demikian, apakah ada nash yang menyatakan korupsi termasuk kufur akbar ?. Jawabnya : Tidak ada. Apakah ada nash yang menyatakan koruptor termasuk orang kafir lagi murtad, keluar dari agama Islam ?. Jawabnya : Tidak.
Mari kita perhatikan nash berikut :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ، حَدَّثَنَا وَاصِلٌ الْأَحْدَبُ، عَنِ الْمَعْرُورِ بْنِ سُوَيْدٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي فَأَخْبَرَنِي أَوْ قَالَ بَشَّرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ، قُلْتُ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ، قَالَ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ "
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin maimuun : Telah menceritakan kepada kami Waashil Al-Ahdats, dari Al-Ma’ruur bin Suwaid, dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Telah datang kepadaku malaikat utusan Rabbku, lalu ia mengkhabarkan kepadaku – atau : ia memberikan berita gembira untukku – bahwasannya barangsiapa yang meninggal dari kalangan umatku yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun niscaya akan masuk surga”. Aku (Abu Dzarr) berkata : “Meskipun ia pernah berzina dan mencuri ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya, walau ia pernah berzina dan mencuri?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1236].
Mencuri dan korupsi itu pada hakekatnya sama, yaitu mengambil harta yang bukan haknya. Seandainya perbuatan itu termasuk kufur akbar, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan menafikkan surga pada pelaku perbuatan tersebut.
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ، قال: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ، عَنْ أَبِي عَمْرَةَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ، قال: مَاتَ رَجُلٌ بِخَيْبَرَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ إِنَّهُ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ "، فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا فِيهِ خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ مَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah bin Sa’iid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, dari Yahyaa bin Sa’iid Al-Andhaariy, dari Muhammad bin Yahyaa bin Habbaan, dari Abu ‘Amrah, dari Zaid bin Khaalid, ia berkata : “Seseorang meninggal di Khaibar. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Shalatilah shahabat kalian ini. Sesungguhnya ia telah berbuat ghuluul di jalan Allah”. Maka kami pun memeriksa perbekalan yang ia bawa dan kami dapati padanya batu mulia dari perhiasan orang-orang Yahudi yang tidak mencapai dua dirham [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1959; dilemahkan oleh Al-Albaaniy dalam Dla’iif Sunan An-Nasaa’iy hal. 66-67, namun dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam takhriij Sunan Abi Daawud 4/344].
Para ulama berhujjah dengan hadits di atas bahwa seorang imam disyari’atkan untuk tidak menshalatkan jenazah orang muslim yang fasiq dan menyuruh orang lain untuk menshalatkannya sebagai peringatan untuk menjauhi perbuatan yang dilakukan orang tersebut.  Al-Imaam Ahmad rahimahullah berkata :
ما نعلم أن النبي صلى الله عليه وسلم ترك الصلاة على أحد إلا على الغال وقاتل نفسه
“Kami tidak mengetahui bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan untuk menyalati seseorang kecuali orang yang berbuat ghuluul dan bunuh diri” [Al-Kabaair, hal. 56].
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :
ولا نكفر أحدا من أهل القبلة بذنب ما لم يستحله، ولا نقول : لا يض مع الإيمان ذنب لمن عمله
“Dan kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat dengan sebab perbuatan dosa selama ia tidak menghalalkannya. Dan kami pun tidak mengatakan : perbuatan dosa tidak membahayakan keimanan pelakunya” [Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah, hal. 21].
وأهل الكبائر من أمة محمد صلى الله عليه وسلم في النار لا يخلدون ، إذا ماتوا وهم موحدون ، وإن لم يكونوا تائبين ، بعد أن لقوا الله عارفين . وهم في مشيئته وحكمه ، إن شاء غفر لهم وعفا عنهم بفضله ، كما ذكر عز وجل في كتابه : ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء [ النساء : 48 و 116 ] وإن شاء عذبهم في النار بعدله ، ثم يخرجهم منها برحمته وشفاعة الشافعين من أهل طاعته ، ثم يبعثهم إلى جنته . وذلك بأن الله تعالى تولى أهل معرفته ، ولم يجعلهم في الدارين كأهل نكرته
 “Dan para pelaku dosa besar dari umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di neraka namun tidak kekal di dalamnya apabila mereka meninggal dalam keadaan mentauhidkan Allah - meski belum sempat bertaubat – pasca mereka menghadap Allah dan mengakui dosa-dosa yang mereka perbuat. Mereka berada dalam kehendak dan hukum Allah. Apabila berkehendak, Allah akan mengampuni mereka dan memaafkannya dengan karunia-Nya, sebagaimana disebutkan Allah ‘azza wa jalla dalam Kitab-Nya : ‘Dan Dia mengampuni apa (dosa) selain (syirik) itu bagi siapa saja yang Ia kehendaki” (QS. An-Nisaa’ : 48  & 116). Dan apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya di neraka dengan keadilan-Nya, kemudian mengeluarkan mereka darinya dengan rahmat-Nya dan syafa’at orang-orang yang dapat memberi syafa’at dari kalangan orang-orang mukmin. Kemudian Allah masukkan mereka ke surga-Nya. Hal itu dikarenakan Allah ta’ala adalah Penolong bagi hamba-Nya yang muslim, dan Allah tidak menjadikan mereka di dunia dan di akhirat hidup sengsara seperti orang-orang yang ingkar (kepada-Nya)” [idem, hal. 22-23].
Ash-Shaabuuniy rahimahullah berkata :
ويعتقد أهل السنة أن المؤمن وإن أذنب ذنوباً كثيراً، صغائر وكبائر، فإنه لا يكفر بها، وإن خرج عن الدنيا غير تائب منها، ومات على التوحيد، والإخلاص فأمره إلى الله
“Ahlus-Sunnah berkeyakinan bahwa seorang mukmin meski ia banyak berbuat dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil, maka ia tidaklah dikafirkan dengannya. Seandainya ia meninggal dunia belum bertaubat dari dosa tersebut, dan ia meninggal di atas tauhid, maka perkaranya di akhirat diserahkan kepada Allah (apakah ia akan mengadzabnya ataukah akan mengampuninya)” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 276].
An-Nawawiy rahimahullah setelah menjelaskan hadits ‘barangsiapa berdusta atas namanya dengan sengaja, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka’, berkata :
ثُمَّ مَعْنَى الْحَدِيث : أَنَّ هَذَا جَزَاؤُهُ وَقَدْ يُجَازَى بِهِ ، وَقَدْ يَعْفُو اللَّهُ الْكَرِيمُ عَنْهُ وَلَا يَقْطَعُ عَلَيْهِ بِدُخُولِ النَّار ، وَهَكَذَا سَبِيل كُلّ مَا جَاءَ مِنْ الْوَعِيد بِالنَّارِ لِأَصْحَابِ الْكَبَائِر غَيْر الْكُفْر ، فَكُلّهَا يُقَال فِيهَا هَذَا جَزَاؤُهُ وَقَدْ يُجَازَى وَقَدْ يُعْفَى عَنْهُ ، ثُمَّ إِنْ جُوزِيَ وَأُدْخِلَ النَّارَ فَلَا يَخْلُدُ فِيهَا ؛ بَلْ لَا بُدَّ مِنْ خُرُوجه مِنْهَا بِفَضْلِ اللَّه تَعَالَى وَرَحْمَتِهِ وَلَا يَخْلُدُ فِي النَّار أَحَدٌ مَاتَ عَلَى التَّوْحِيد . وَهَذِهِ قَاعِدَة مُتَّفَق عَلَيْهَا عِنْد أَهْل السُّنَّة
“Makna hadits tersebut : Hal ini merupakan balasan bagi orang itu. Bisa jadi ia memang dibalas (siksaan) dengannya, dan boleh jadi Allah Yang Maha Pemurah akan memaafkannya. Tidak boleh dipastikan baginya akan masuk neraka. Demikianlah pemahaman yang benar tentang ancaman neraka bagi para pelaku dosa besar yang bukan termasuk katagori kekufuran. Semuanya itu hendaknya dikatakan dalam permasalahan tersebut (pelaku dosa besar) : itulah balasannya (ancaman neraka) yang bisa jadi ia akan benar-benar dibalas dan bisa jadi ia dimaafkan. Kemudian jika ia dibalas dan dimasukkan ke dalam neraka, maka ia tidak kekal di dalamnya. Akan tetapi, ia pasti akan keluar darinya dengan karunia Allah ta’ala dan rahmat-Nya. Tidak ada yang kekal di dalam neraka orang yang meninggal di atas ketauhidan. Ini adalah kaedah yang disepakati menurut Ahlus-Sunnah” [Syarh Shahiih Muslim, 1/4].
Di akhir tulisan ini, akan saya tutup dengan hadits :
وحَدَّثَنَا يَحْيَي بْنُ يَحْيَي التَّمِيمِيُّ، وَيَحْيَي بْنُ أَيُّوبَ، وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا، عَنْ إِسْمَاعِيل بْنِ جَعْفَرٍ، قَالَ يَحْيَي بْنُ يَحْيَي: أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ "
Dan telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa At-Tamiimiy, Yahyaa bin Ayyuub, Qutaibah bin Sa’iid, dan ‘Aliy bin Hujr, semuanya dari Ismaa’iil bin Ja’far - Telah berkata Yahyaa bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Ismaa’iil bin Ja’far - , dari ‘Abdullah bin Diinaar, bahwasannya ia mendengar Ibnu ‘Umar berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya : ‘Wahai kafir !’, maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya. Seandainya saudaranya itu seperti yang dikatakannya, (maka kekafiran itu ada padanya), namun jika tidak demikian, maka perkataan itu kembali pada pengucapnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 60].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 08022013 – 0039].

Comments

Ridho Amrullah mengatakan...

Sabda Rasulullah Saw:
اَلْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَ الْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab”. (HR. Ahmad dari Nu’man bin Basyîr dengan derajat hasan).

Bisakah Ustadz mentakhrij hadist tersebut ?
Mohon jawabannya

Anonim mengatakan...

Assmkum Bagaimana dgn pekerja yg mendapat hadiah dari penyuplai barang?samakah?

wahyono rejo mengatakan...

Yaa Akhuna, bagaimana hukumnya apabila koruptor itu telah menghalalkan korupsi yang dilakukannya tersebut?

Sependek pengetahuan saya, menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh syariat, bisa jatuh kepada kekafiran..

Jazakumulloh, Semoga Alloh senantiasa menjaga ana dan antum..

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Anonim 10 Februari 2013 03.22,... ya, termasuk ghuluul.

@wahyomo rejo,.... kalau sudah menghalalkan, tentu lain persoalan. Menghalalkan yang sudah jelas keharamannya, atau sebaliknya, hukumnya kufur akbar menurut kesepakatan ulama.

Anonim mengatakan...

Assalamu alaikum Ustadz,
semoga ALLAH S.W.T slalu memelihara antum dan keluaraga atas dakwah ini, shubungan dengan ini timbul prtanyaan bagaimana dngan para karyawan yang bkrja pada rstaurant yang kemudian diberi tips oleh customer sebagai tanda terima kasih ataupun dilandasi rasa iba atau kemanusiaan...apakah ini trmasuk ghulul, bahkan di katgorikan sebagai riba, di beberapa artikel umum di dapati bahwa menerima hadiah sprti ini bahkan termasuk riba....mohon penjelasannya, jazakullahu khairan katsiran...

By musafir

Anonim mengatakan...

Assalamu alaikum Ustad,
bagaimana dengan potongan artikel dibawah ini apakah ini bisa dikategorikan ghulul bahkan riba?

"Saat makan di restoran atau kafe, tip diberikan kepada pramusaji. Tip juga kadang diperuntukkan bagi kurir atau office boy di perkantoran, misalnya.

Fenomena pemberian uang tip nyaris ada di tiap lini kehidupan. Lalu, apa hukum pemberian tersebut menurut perspektif Islam? Apakah hal ini dalam kasus tertentu termasuk kategori grativikasi yang diharamkan?

Kebiasaan berbagi tip ini juga menjadi pemandangan yang lumrah di sebagian besar kawasan Timur Tengah. Istilah tip, di negara-negara Arab dikenal dengan baqsyisy atau ikramiyyah.

Tip seperti yang berlaku pada umumnya, diberikan kepada para pelayan dan kurir, misalnya, sebagai bentuk ucapan terima kasih dan penghargaan atas penggunaan jasanya. Fenomena ini pun mengundang perhatian lembaga fatwa di negara-negara tersebut.

Ketua Lembaga Dar al-Ifta Mesir, Syekh Ali Jumah, mengatakan tip tersebut hukumnya boleh. Tapi, bukan sebuah kewajiban dari pengguna jasa. Ini diberikan sebagai bentuk ucapan terima kasih dan hadiah.

bersambung..
By musafir

Anonim mengatakan...

Pemberian tip tersebut, di luar akad transaksi antarkeduanya. Tip yang telah diberikan tidak boleh diambil oleh perusahaan atau pimpinan tempat si pelayan itu bekerja. Karenanya, ia berhak menyembunyikan tip dari bos tempat ia bekerja.

Ia mengutip hadis riwayat Bukhari Muslim dari Abu Humaid As Saidi. Rasulullah SAW mengecam para pekerja yang mengharapkan hadiah.

Menurut Imam an-Nawawi, pelarangan dalam hadis tersebut berlaku bila yang bersangkutan berkorelasi langsung dengan otoritas pemerintahan. Ini tidak diperkenankan, tapi bila sekadar hadiah tak jadi soal
Ia mengutip hadis riwayat Bukhari Muslim dari Abu Humaid As Saidi. Rasulullah SAW mengecam para pekerja yang mengharapkan hadiah.

Menurut Imam an-Nawawi, pelarangan dalam hadis tersebut berlaku bila yang bersangkutan berkorelasi langsung dengan otoritas pemerintahan. Ini tidak diperkenankan, tapi bila sekadar hadiah tak jadi soal
Sekjen Komite Fikih Amerika Serikat, Prof Shalah as-Shawi, berpendapat, pemberian tip diperbolehkan selama niatnya baik. Ini merupakan bentuk berlomba-lomba dalam kebajikan.

Pendapat ini juga diamini oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait. Menurut pendapat tersebut, baqsyisy boleh diberikan kepada pekerja.

Kubu yang kedua berpandangan hukum pemberian tip dilarang dan haram. Ini dikategorikan sebagai suap dan gratifikasi yang dihukumi haram menurut agama.

Opsi pelarangan ini merupakan simpulan yang dikeluarkan oleh sejumlah instansi fatwa, salah satunya Komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi.

Tip berdasarkan kajian lembaga yang dipimpin oleh Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz itu dinilai bisa menimbulkan beberapa mudarat. Baik dari segi pemberi atau penerima.

Penerima tip akan selalu berharap dan bisa tersakiti hatinya jika tidak menerimanya. Ini bisa berdampak pula pada diskriminasi antarpengguna jasa. Pekerja atau pelayan itu, misalnya, hanya akan memberikan layanan terbaik bagi mereka para pemberi tip.

Aktivitas itu akan menjadi budaya yang jelek, yaitu meminta-minta. Sejumlah ulama Arab Saudi, menguatkan pendapat ini, di antaranya Syekh Shalih al-Fauzan dan Syekh Abdurrahman al-Barrak.

Namun, mantan dekan Fakultas Ushuludin Universitas Al Azhar Mesir, Prof Muhammad al-Bahi, menyanggah pandangan kubu yang kedua. Menurutnya, tip dan gratifikasi atau suap tidak bisa disamakan. Keduanya, berbeda dari segi prinsip ataupun elemennya.

Tip diperuntukkan bagi mereka yang berpenghasilan rendah dan tidak memiliki kekuasaan atau berhubungan langsung dengan pemerintah. Jumlah tipnya pun tidak besar, hanya sepantasnya saja. Sementara, grativikasi atau suap ialah pemberian bagi mereka yang berhubungan langsung dengan pemerintah. Misalnya, soal pemenangan tender proyek.

Besaran suap dalam kasus semacam ini tentunya tidaklah kecil. Sekalipun kecil, pemberian kepada mereka yang berkepentingan dan mempunyai otoritas tersebut haram hukumnya. “Jadi, jangan samakan antara tip dan suap,” kata al-Bahi.

mohon pencerahannya,
Barakallahufik..
By musafir
by Musafir

Anonim mengatakan...

Assalamu alaikum Ya ustadz,
semoga ALLAH SWT menambah ilmu antum serta memelihara antum dan keluarga,
btw ana masih mohon pencerahan mengenai pertanyaan ana, apakah haram atau termasuk riba jika seseorang sekelas waitres atau pramusaji menerima tips dari pengunjung restaurant atau sejenisnya?

mohon pencerahannya

Barakallahufik,

ttd,
Musafir

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Tidak boleh.