Abu
Nu’aim rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ مَالِكٍ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، ثنا
أَبِي، ثنا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، ثنا الأَشْجَعِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ:
قَالَ طَاوُسٌ: " إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا،
فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Maalik : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah
menceritakan kepada kami Haasyim bin Al-Qaasim : Telah menceritakan kepada kami
Al-Asyja’iy, dari Sufyaan (Ats-Tsauriy), ia berkata : Telah berkata Thaawus :
“Sesungguhnya orang yang meninggal akan terfitnah (diuji) dalam kuburnya selama
7 hari. Dulu mereka[1]
menyukai untuk memberikan makanan dari mereka (yang meninggal) pada hari-hari
tersebut” [Hilyatul-Auliyaa’ 4/11].
Keterangan
para perawinya adalah sebagai berikut :
1.
Abu
Bakr bin Maalik, namanya adalah : Ahmad bin Ja’far bin Hamdaan bin Maalik bin Syabiib
Al-Baghdaadiy Al-Qathii’iy Al-Hanbaliy, Abu Maalik; seorang yang tsiqah.
Lahir tahun 274 H dan wafat tahun 368 H [Lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’,
16/210-213 dan Mishbaarul-Ariib 1/75 no. 1316].
2.
‘Abdullah bin Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu ‘Abdirrahmaan
Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-12, dan wafat tahun 290
H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 490 no. 3222].
3.
Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu ‘Abdillah
Al-Marwaziy;
seorang imam yang tsiqah, haafidh, faqiih, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 164 H, dan wafat tahun 241 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 98 no. 97].
4.
‘Ubaidullah bin ‘Ubaidirrahmaan
Al-Asyja’iy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi ma’muun
– orang yang paling tsabt kitabnya dalam riwayat dari Ats-Tsauriy.
Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 182 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 642 no. 4347].
5.
Sufyaan
bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 97 H, dan wafat tahun 161 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 394 no. 2458].
6.
Thaawuus bin Kaisaan
Al-Yamaaniy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Humairiy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 106 H,
dan dikatakan juga setelah itu. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 462 no. 3026].
Dapat
kita lihat bahwa para perawi riwayat di atas adalah tsiqaat. Namun, rijaal
tsiqaat tidaklah langsung menjadikan satu riwayat shahih[3]
karena ternyata riwayat tersebut ma’luul lagi dla’iif.
Sufyaan
Ats-Tsauriy lahir pada tahun 97 H di Kuufah, sedangkan Thaawuus bin Kaisaan
wafat 106 H di Makkah. Hingga tahun wafatnya Thaawuus, Sufyaan belum melakukan rihlah
ke Makkah[4].
Selain itu, tidak masyhur penukilan bahwa Thaawuus termasuk syuyuukh
Ats-Tsauriy rahimahumallah.
Ada
riwayat lain :
عَنِ ابْنِ
جُرَيْجٍ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ " إِنَّمَا يُفْتَنُ
رَجُلانِ مُؤْمِنٌ، وَمُنَافِقٌ، أَمَّا الْمُؤْمِنُ: فَيُفْتَتَنُ سَبْعًا،
وَأَمَّا الْمُنَافِقُ: فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، وَأَمَّا الْكَافِرُ:
فَلا يُسْأَلُ عَنْ مُحَمَّدٍ، وَلا يَعْرِفُهُ "
Dari
Ibnu Juraij, ia berkata : Telah berkata ‘Abdullah bin ‘Umar : “Dua orang yaitu orang
mukmin dan munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia
difitnah selama tujuh hari. Orang munafiq selama empat puluh hari. Adapun orang
kafir, maka jangan ditanya dari Muhammad, ia tidak mengetahuinya” [Diriwayatkan
oleh ‘Abdurrazzaaq 3/590 no. 6757].
Riwayat
lemah karena munqathi’. Ibnu Juraij tidak pernah bertemu dengan Ibnu
‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Selain itu, Ibnu Juraij sendiri seorang
yang tsiqah namun sering melakukan tadlis dan irsaal.[5]
Riwayat
yang shahih yang berkaitan dengan permasalahan ini
adalah :
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا
هُشَيْمٌ. ح وحَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُو الْفَضْلِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنْ إِسْمَاعِيل بْنِ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ
أَبِي حَازِمٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ، قَالَ: "
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ
النِّيَاحَةِ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Sa’iid bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Husyaim (ح).
Dan telah menceritakan kepada kami Syujaa’ bin Makhlad Abul-Fadhl, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari
Qais bin Abi Haazim, dari Jariir bin ‘Abdillah Al-Bajaliy, ia berkata : “Kami (para
shahabat) menganggap menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) termasuk bagian dari niyahah
(meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1612].
Diriwayatkan
juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 2/307-308 no. 2279.
Semua
perawinya tsiqaat, hanya saja Husyaim seorang mudallis[6]
dan di sini ia meriwayatkan dengan ‘an’anah. Husyaim mempunyai mutaba’ah
dari Nashr bin Baab sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad[7]
2/204.
Nashr
bin Baab seorang yang lemah[8].
Riwayat
di atas dikuatkan oleh :
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، عَنْ مَالِكِ بْنِ مِغْوَلٍ، عَنْ طَلْحَةَ، قَالَ: قَدِمَ جَرِيرٌ عَلَى
عُمَرَ، فَقَالَ: " هَلْ يُنَاحُ قِبَلُكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ ؟ قَالَ: لَا
" قَالَ: " فَهَلْ تَجْتَمِعُ النِّسَاءُ عندَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ
وَيُطْعَمُ الطَّعَامُ؟ قَالَ: نَعَمْ "، فَقَالَ: " تِلْكَ
النِّيَاحَةُ "
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’, dari Maalik bin Mighwal, dari Thalhah, ia
berkata : Jarir mendatangi ‘Umar, lalu ia (‘Umar) berkata : “Apakah kamu
sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata :
“Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga
mayit dan makan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu
sama dengan niyahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
2/487].
Semua
perawinya tsiqaat, hanya saja ada kekhawatiran keterputusan antara
Thalhah dengan Jariir. Ada syaahid yang lain :
ثنا عَبْدُ
الْحَمِيدِ، قَالَ: أنا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ: أنا عُمَرُ أَبُو حَفْصٍ
الصَّيْرَفِيُّ، وَكَانَ ثِقَةً، قَالَ: ثنا سَيَّارٌ أَبُو الْحَكَمِ، قَالَ:
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: " كُنَّا نَعُدُّ
الِاجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ بَعْدَمَا يُدْفَنُ مِنَ النِّيَاحَةِ
"
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada
kami Yaziid bin Haaruun, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin
Abi Hafsh Ash-Shairaafiy - dan ia seorang yang tsiqah - ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Sayyaar Abul-Hakam, ia berkata : Telah berkata
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu : “Dulu kami menganggap
berkumpul-kumpul di sisi keluarga mayit setelah si mayit dikuburkan termasuk niyahah
(meratap)” [Diriwayatkan oleh Aslam bin Sahl dalam Taariikh Waasith hal.
26 no. 206].
Semua
perawinya tsiqaat, hanya saja Sayyaar tidak pernah bertemu dengan ‘Umar radliyallaahu
‘anhu.
Oleh
karena itu, dengan keseluruhan jalan riwayatnya, atsar Jariir bin Abdillah radliyallaahu
‘anhu adalah shahih.[9]
Asy-Syaafi’iy
rahimahullah berkata :
وَأَكْرَهُ
النِّيَاحَةَ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ
عَلَى الِانْفِرَادِ، لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ
الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ، وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ
الْمُؤْنَةَ، ....
“Dan
aku membenci perbuatan niyaahah (meratap) terhadap mayit setelah
kematiannya dan orang yang meratap tersebut menyebut-nyebut kebaikan si mayit
secara tersendiri. Akan tetapi hendaknya ia dihibur dengan sesuatu yang
diperintahkan Allah agar bersabar dan mengucapkan kalimat istirjaa’. Dan
aku juga membenci[10]
berkumpul-kumpul di keluarga di mayit meskipun tidak disertai adanya tangisan,
karena hal tersebut akan menimbulkan kesedihan dan membebani materi/bahan
makanan (bagi keluarga si mayit)...” [Al-Umm, 1/248].
Kesimpulan
: Tahlilan sampai tujuh hari ternyata (BUKAN) tradisi para
sahabat Nabi Saw dan para tabi'in.
Wallaahu
a’lam.
Semoga
ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– perum ciomas permai – 15122012 – 22:24 – revisi : 16122012, 17:00].
[1] ‘Mereka’ yang dimaksudkan oleh Thaawus di
sini adalah sebagian shahabat dan taabi’iin yang semasa dengannya.
[2] Riwayatnya adalah :
وَقَالَ أَحْمَدُ فِي الزُّهْدِ حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ
الْقَاسِمِ، ثنا الأَشْجَعِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: قَالَ طَاوُسٌ: "
إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، وَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ
أَنْ يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامَ "
[4] Bahkan ia (Sufyaan) belum keluar dari
negerinya (Kuufah).
أَخْبَرَنَا ابن رزق، قال: أَخْبَرَنَا عثمان بن أحمد، قال:
حَدَّثَنَا حنبل بن إسحاق، قال: قال أبو نعيم: خرج سفيان الثوري من الكوفة سنة خمس
وخمسين ومائة ولم يرجع، ومات سنة إحدى وستين ومائة، وهو ابن ست وستين فيما أظن
Telah mengkhabarkan kepada kami
Ibnu Rizq, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami 'Utsmaan bin Ahmad, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Hanbal bin Ishaaq, ia berkata : Telah
berkata Abu Nu'aim (Al-Fadhl bin Dukain) : "Sufyaan Ats-Tsauriy keluar
dari Kuufah pada tahun 155 H, dan kemudian ia tidak kembali lagi. Ia meninggal
tahun 161 H dalam usia 66 tahun sebagaimana yang aku kira" [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Taariikh
Baghdaad, 10/242 - biografi Sufyaan Ats-Tsauriy].
Sanad riwayat ini shahih, semua
perawinya tsiqaat.
[5] ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy
Al-Umawiy, Abul-Waliid atau Abu Khaalid Al-Makkiy - terkenal dengan nama Ibnu
Juraij; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil, akan tetapi banyak
melakukan tadlis dan irsal. Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 150 H,
atau dikatakan setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 624
no. 4221].
Ia tidak pernah berjumpa
seorang pun dari kalangan shahabat [Jaami’ut-Tahshiil, hal. 229-230 no.
472].
[6] Husyaim bin Basyiir bin Al-Qaasim bin Diinaar
As-Sulamiy, Abu Mu’aawiyyah bin Abi Khaazim; seorang yang tsiqah lagi tsabt, namun banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy. Termasuk thabaqahke-7, lahir tahun 104/105 H, dan wafat tahun 183 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1023 no. 7362].
[7] Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ بَابٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ
قَيْسٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ، قَالَ: " كُنَّا
نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ
دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ "
[8] Beberapa ulama mengkritiknya dengan keras,
seperti Ibnu Ma’iin, Zuhair bin Harb, Abu Haatim, Juzjaaniy, dan yang lainnya.
Akan tetapi Ahmad bin Hanbal mentautsiqnya dan membelanya saat mengetahui
beberapa ulama mendustkannya. Ia (Ahmad) mengatakan bahwa Nashr bin Baab diingkari
para ulama saat ia (Nashr) meriwayatkan dari Ibraahiim Ash-Shaaigh. Ibnu Sa’d
juga mengatakan hal yang sama dengan Ahmad. Ahmad adalah ulama yang terkenal muta’addil
dalam urusan al-jarh wat-ta’diil, dan ia juga termasuk orang yang paling
tahu mengenai gurunya, Nashr bin Baab, sehingga mengambil riwayat darinya.
Namun bukan berarti jarh para ulama kepada Nashr tidak memberikan
pengaruh. Nashr adalah seorang yang dla’iif yang riwayatnya dapat
digunakan sebagai i’tibaar, hanya saja tidak benar tuduhan dusta yang
dialamatkan kepadanya. Wallaahu a’lam.
[9] Atsar Jariir bin ‘Abdillah radliyallaahu
‘anhu tersebut dishahihkan oleh An-Nawawiy dalam Al-Majmuu’ 5/285,
Ibnu Katsiir dalam Irsyaadul-Faqiih 1/241, Al-Buushiiriy dalam
Zawaaidu Ibni Maajah hal.
236, Ibnu Hajar Al-Haitamiy dalam Tuhfatul-Muhtaaj 3/207, Asy-Syaukaaniy
dalam As-Sailul-Jaraar 1/372, dan yang lainnya.
[10] Makna ‘makruh’ dalam perkataan Asy-Syaafi’iy
rahimahullah di sini adalah tahriim (pengharaman), karena sebelumnya
ia juga mengatakan tentang makruhnya perbuatan niyaahah (meratap). Perkataan
itu satu rangkaian. Meratap sendiri sudah jelas hukumnya, yaitu haram,
berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ، الطَّعْنُ
فِي النَّسَبِ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ
“Dua
perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan niyaahah (meratapi
mayit)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 67].
Ummu
‘Athiyyah berkata :
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَانَا عَنِ النِّيَاحَةِ "
“Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kami dari
perbuatan niyaahah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3127; shahih].
Comments
Afwan stadz.
Jadi bisa dikatakan bahwa riwayat tsb tidak bisa dijadikan hujjah, ditambah lagi riwayat lain yg tidak bisa mengangkat status derajat hadits tsb.
Bgitu kah stadz ?
Apakah tidak ada riwayat lain yg serupa itu stadz ?
Jazakallahu khayran atas faidahnya.
Abu Sahl
benar
Assalamu'alaikum ustadz,
Kalau tidak salah atsar dari Thaawuus tersebut di shahiihkan oleh As Suyuuthiy dalam Al Haawiy Lil Fataawaa dan Ad Diibaaj 'Ala Shahiih Muslim dan di shahiihkan juga oleh Ibnu Hajar Al Haitamiy dalam Fataawaa-nya.
Memang dikatakan oleh As Suyuuthiy,
وسفيان ـ هو الثوري ـ وقد أدرك طاوساً فإن وفاة طاوس سنة بضع عشرة ومائة في أحد الأقوال، ومولد سفيان سنة سبع وتسعين
Dan Sufyaan - dia adalah Ats Tsauriy - telah berjumpa dengan Thaawus, jika wafatnya Thaawus antara tahun 113 H sampai dengan tahun 119 H dalam salah satu perkataan, dan lahirnya Sufyaan tahun 97 H.
Memang ada pula yang mengatakan bahwa Thaawus wafat tahun 101 H, 106 H. Ibnu Syaudzab menyaksikan jenazah Thaawus pada tahun 100 H di Makkah. 'Amru bin 'Aliy dan yang lainnya mengatakan pada tahun 106 H, Al Haitsam bin 'Adiy mengatakan antara tahun 113 sampai dengan 119 H. Ibnu Hajar, Ibnu Hibbaan dan yang lainnya memilih pendapat yang mengatakan tahun 106 H.
Kalau kita coba mentarjih pendapat yang paling kuat, yakni Thaawus bin Kaisaan wafat pada tahun 106 H yang pada saat itu Sufyaan Ats Tsauriy berumur sekitar 9 tahun. Apakah dengan umur segitu sudah dapat dikatakan memasuki usia mumayyiz ustadz?
Ana belum menemukan perkataan seorang Imaam Al Jarh Wat Ta'dil yang menafikan pertemuan antara Sufyaan Ats Tsauriy dengan Thaawus. Akan tetapi di dalam Al Muntakhab Min 'Ilal Al Khalaal telah dinukil perkataan Al Imaam Ahmad bahwa Sufyaan Ats Tsauriy keluar dari Kuffah pada tahun 155 H, sedangkan Abu Nu'aiim berkata pada tahun 155 H. Apakah ini termasuk qarinah bahwa pertemuan antara Sufyaan dan Thaawus tidak pernah terjadi?
Mohon penjelasannya Ustadz, baarakallaahu fiik...
Umur 9 tahun adalah usia mumayyiz.
As-Suyuuthiy rahimahullah telah keliru dalam menetapkan perjumpaan antara Ats-Tsauriy dengan Thaawuus. Banyak riwayat yang membuktikan bahwa riwayat Ats-Tsauriy dari Thaawuus melalui perantaraan perawi lainnya. Itu pertama. Adapun yang kedua, benar kata antum bahwa Ats-Tsauriy keluar dari negerinya setelah Thaawuus meninggal.
أَخْبَرَنَا ابن رزق، قال: أَخْبَرَنَا عثمان بن أحمد، قال: حَدَّثَنَا حنبل بن إسحاق، قال: قال أبو نعيم: خرج سفيان الثوري من الكوفة سنة خمس وخمسين ومائة ولم يرجع، ومات سنة إحدى وستين ومائة، وهو ابن ست وستين فيما أظن
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Rizq, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami 'Utsmaan bin Ahmad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hanbal bin Ishaaq, ia berkata : Telah berkata Abu Nu'aim (Al-Fadhl bin Dukain) : "Sufyaan Ats-Tsauriy keluar dari Kuufah pada tahun 155 H, dan kemudian ia tidak kembali lagi. Ia meninggal tahun 161 H dalam usia 66 tahun sebagaimana yang aku kira" [Taariikh Baghdaad, 10/242 - biografi Sufyaan Ats-Tsauriy].
Sanad riwayat ini shahih, semua perawinya tsiqaat
Riwayat ini menunjukkan penafikkan yang jelas adanya kemungkinan pertemuan antara Sufyaan Ats-Tsauriy dengan Thaawuus bin Kaisaan rahimahumullah.
Adapun perkataan Ahmad bin Hanbal dalam Al-Muntakhab, saya belum mengetahuinya. Mungkinkah antum menukilkannya di sini untuk menambah faedah ?.
wallaahu a'lam.
أخبرنا عبدالله، قال: سمعتُ أبي يقول: خرج سفيان من الكوفة سنة أربع وخمسين.
Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullaah, berkata: aku mendengar ayahku telah berkata: Sufyaan keluar dari Kuufah pada tahun 54(154 H)[Al Muntakhab No. 224]
Sekaligus meralat pernyataan ana yang mengatakan bahwa Al Imaam Ahmad berkata Sufyaan keluar dari Kuufah pada tahun 155, yang benar adalah tahun 154 H.
Dan di terangkan juga dalam Al 'Ilal Wa Ma'rifatur Rijaal 3/133 No. 4580. Wallaahu a'lam.
Tambahan yang sangat berharga. Kebetulan saya barusan membuka kitab Al-'Ilal, tepatnya no. 4579 disebutkan oleh 'Abdurrahmaan bin Mahdiy bahwa Sufyaan (Ats-Tsauriy) melakukan ibadah haji pada tahun 151 H, dan kemudian tahun-tahun setelahnya.
Alhamdulillaah, syukran atas tambahan faidahnya ustadz.
Berarti Sufyaan Ats Tsauriy menunaikan haji pada tahun 151 H berturut-turut setiap tahunnya hingga tahun 153 H. Lalu beliau keluar meninggalkan negrinya kuufah pada tahun 155 H(menurut Al Fadhl bin Dukain) atau tahun 154 H(menurut Ahmad bin Hanbal) dan tidak pernah kembali hingga wafatnya pada tahun 161 H.
Dan dapat diketahui pula bahwa Sufyaan Ats Tsauriy menunaikan ibadah haji dan mengunjungi Makkah untuk pertama kalinya pada tahun 151 H, dan darisini pula di dapatinya petunjuk bahwa ketika Sufyaan Ats Tsauriy mengunjungi Makkah pada tahun 151 H, Thaawuus bin Kaisaan sudah lama meninggal.
Apakah benar pemahaman ana ustadz?
Perkataan Ibnu mahdiy tersebut menunjukkan adanya perbedaan pendapat tentang kapan keluarnya Ats-Tsauriy dari negerinya. Kalau menunaikan ibadah haji, tentu saja artinya ia keluar dari negerinya menuju Makkah. Akan tetapi apapun perbedaan pendapat tersebut, tetap saja menunjukkan bahwa Ats-Tsauriy keluar dari negerinya jauh setelah meninggalnya Thaawus.
wallaahu a'lam.
Iya ustadz, semua perbedaan pendapat tersebut berujung pada sebuah kesimpulan bahwa Sufyaan Ats Tsauriy tidak pernah berjumpa dengan Thaawus bin Kaisaan rahimahumullaah.
Dan ana akan menambahkan bahwa pendapat yang dipegang oleh As Suyuuthiy bahwa Thaawus wafat antara tahun 113-119 H sebenarnya sudah dibantah oleh Adz Dzahabiy dalam As Siyar,
لا رَيْبَ فِي وَفَاةِ طَاوُسٍ فِي عَامِ سِتَّةٍ وَمِائَةٍ، فَأَمَّا قَوْلُ الْهَيْثَمِ: مَاتَ سَنَةَبِضْعَ عَشْرَةَ وَمِائَةٍ فَشَاذٌّ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Tidak ada keraguan tentang wafatnya Thaawus pada tahun 106 H, adapun perkataan Al Haitsam: "Wafat antara tahun 113-119 H", adalah pendapat yang syaadz. Wallaahu a'lam. [As Siyar 9/50]
Baarakallaahu fiik..
Alhamdulillah... yang ana tanya udah di jawab..
Afwan Kalimat menyingkat salam kepada rasul "SAW"
((Kesimpulan : Tahlilan sampai tujuh hari ternyata (BUKAN) tradisi para sahabat Nabi Saw dan para tabi'in)).
apa tidak lebih baik di sempurnakan?
jazakallah khair wa barakallahu fik
bagaimana dengan hadits ini ustad?
co pas
Dari kitab Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; Musnad Imam Ahmad juz 5 hal 293-294. sunan Darul Qutny juz 4 hal 685 yang berbunyi sebagai berikut:
عن عاصم ابن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار: قال خرجت مع رسول الله صلي الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلي الله عليه وسلم وهو على القبر يوصى الحافر يقول أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجعنا إستقبله داعي إمراته فأجاب ونحن معه فجيئ بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظرنا إلى رسول الله صلي الله عليه وسلم يلوك لقمة في فيه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها فأرسلت المرأة تقول يا رسول الله إني أرسلت ألى النقيع وهو موضع يباع فيه الغنم ليشترى لي شاة فلم توجد فأرسلت إلى جارلي قد اشترى شاة أن يرسل بـها إليّ بثمنها فلم يوجد فارسلت إلى إمراته فار سلت إليّ بـها فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم أطعمي هذا الطعام الأ سرى
“Kami keluar bersama Rasulullah SAW. pada sebuah jenazah, maka aku melihat Rasulullah SAW berada diatas kubur berpesan kepada penggali kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga luaskanlah pada bagian kepalanya”, Maka tatkala telah kembali dari kubur, seorang wanita mengundang (mengajak) Rasulullah, maka Rasulullah datang seraya didatangkan (disuguhkan) makanan yang diletakkan dihadapan Rasulullah, kemudian diletakkan juga pada sebuah perkumpulan (sahabat), kemudian dimakanlah oleh mereka. Maka ayah-ayah kami melihat Rasulullah SAW makan dengan suapan, dan bersabda: “aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya”. Kemudian wanita itu berkata : “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengutus ke Baqi’ untuk membeli kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus kepada tetanggaku untuk membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istrinya (untuk membelinya) dan ia kirim kambing itu kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “berikanlah makanan ini untuk tawanan”.
Yang bener itu penyebutannya adalah Ad-Daaruquthniy (bukan Darul-Quthniy).
Riwayat tersebut shahih. Namun kalau itu dijadikan dalil bolehnya berkumpul-kumpul makan-makan di rumah keluarga mayit, maka sangat jauh. Alasannya :
1. Tidak ada keterangan bahwa yang mengundang Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat makan itu keluarga si mayit.
2. Undangan makan itu adalah undangan makan biasa yang sering dilakukan oleh para shahabat.
3. Undangan makan itu dilakukan setelah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya pulang dari kubur.
Wallaahu a'lam.
@anonim 17 Desember 2012 10:18
Saya tambahkan keterangan yang lebih terperinci dari salah satu Ustadz terhadap hadist yang anda cantumkan.
===========================
Abu Hudzaifah Al Atsary
Pendalilan spt itu jelas keliru dari beberapa sisi:
1- Jamuan makan ini adalah sesuatu yang telah diniatkan jauh hari sebelumnya, namun baru terlaksana pada momentum tsb secara kebetulan. Ini dapat difahami melalui lafazh lain yang disebutkan oleh Imam Ahmad dlm musnadnya (no 22509) yg menyebutkan bahwa si wanita mengatakan:
فَقَامَتْ الْمَرْأَةُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ كَانَ فِي نَفْسِي أَنْ أَجْمَعَكَ وَمَنْ مَعَكَ عَلَى طَعَامٍ فَأَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ فَلَمْ أَجِدْ شَاةً تُبَاعُ وَكَانَ عَامِرُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ ابْتَاعَ شَاةً أَمْسِ مِنْ الْبَقِيعِ فَأَرْسَلْتُ إِلَيْهِ أَنْ ابْتُغِيَ لِي شَاةٌ فِي الْبَقِيعِ فَلَمْ تُوجَدْ فَذُكِرَ لِي أَنَّكَ اشْتَرَيْتَ شَاةً فَأَرْسِلْ بِهَا إِلَيَّ فَلَمْ
“Ya Rasulullah, aku telah berniat dalam hati untuk mengumpulkanmu dan para sahabatmu dalam jamuan makan, maka kuutus seseorang ke Baqie’…” dst.
Dalam lafazh lain yang diriwayatkan oleh Imam At Thahawy dlm Musykilul Aatsaar (no 3005) disebutkan bhw si wanita mengatakan:
فقالت يا رسول الله , لم يزل يعجبني أن تأكل في بيتي , وإني أرسلت إلى النقيع
“Ya Rasulullah, aku senantiasa senang bila engkau makan di rumahku. Dan aku telah mengutus seseorang ke Naqie’… dst”.
Kalau kita renungkan, penjelasan si wanita ini menunjukkan bhw acara tsb sudah diniatkan sebelumnya, namun pelaksanaannya yang bertepatan usai pemakaman sifatnya sekedar ‘memanfaatkan momentum’. Sebab bila ada acara pemakaman, maka Nabi akan berkumpul dengan para sahabat sehingga lebih mudah dan praktis untuk diundang. Lain halnya kalau harus mendatangi Nabi dan para sahabatnya satu persatu. Kemudian, si wanita sempat mengutus pesuruhnya kesana kemari mencarikan daging kambing untuk disuguhkan kepada Nabi; bukankah ini menguatkan kesan bhw jamuan tsb dilaksanakan secara mendadak, dan bukan sesuatu yg direncanakan utk dilaksanaka tepat setelah acara pemakaman? Jadi, jelaslah bahwa alasannya sekedar ingin mengundang makan yang tidak ada kaitannya dengan pemakaman itu sendiri…
2- Yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat beliau hanya makan-makan. Tidak ada tahlilan atau bacaan apa-apa di sana. sama sekali tidak ada.
3- Jamuan tsb tidak dilakukan di rumah keluarga mayit, sebab kata ‘wanita’ dlm hadits tersebut adalah isim nakirah yang sifatnya tak dikenal. Jadi ia bukanlah istri si mayit, dan jamuan tsb tidak dilakukan di rumah keluarga yg berduka. Bahkan dalam lafazh lain yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dlm kitab Ma’rifatus Shahabah dgn sanad yg shahih (6/3088) disebutkan sbb:
معرفة الصحابة لأبي نعيم (6/ 3088)
حدثنا ابو عمرو بن حمدان ثنا الحسن بن سفيان ثنا وهب بن بقيه ثنا خالد بن عبد الله عن عاصم بن كليب عن ابيه عن رجل من الانصار قال خرجنا مع رسول الله صلي الله عليه وسلم في جنازه رجل من الانصار فلما انصرفنا لقينا داعي امراه من قريش فقال ان فلانه تدعوك ومن معك علي طعام فانصرف فجلس وجلسنا معه وجيء بالطعام
… dari Asim bin Kulaib, dr bapaknya, dari seorang lelaki Anshar, katanya, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah mengantarkan JENAZAH SEORANG LELAKI DARI KAUM ANSHAR, usai pemakaman, kami ditemui oleh seorang utusan WANITA QURAISY, yg mengatakan bahwa si Fulanah mengundangmu dan orang-orang yg bersamamu untuk makan… dst.
Jelaslah bahwa yg meninggal adalah orang Anshar sedangkan yg mengundang adalah wanita Quraisy, jadi tidak ada hubungannya dgn keluarga mayit, beda dgn tahlilan.
http://basweidan.com/571/comment-page-1/#comment-4315
Terima kasih atas tambahannya.
=====
Dan ada yang terlewat dari Anonim 17 Desember 2012 13:34,.... mengenai kalimat :
"Kesimpulan : Tahlilan sampai tujuh hari ternyata (BUKAN) tradisi para sahabat Nabi Saw dan para tabi'in"
maka memang sengaja saya tuliskan seperti itu, karena sebenarnya itu hanyalah mengutip judul salah satu artikel yang menshahihkan atsar Thaawus tersebut :
Tahlilan sampai tujuh hari ternyata tradisi para sahabat Nabi Saw dan para tabi’in
tulisan saudara Al-Katibiy di :
http://ummatipress.com/2011/10/04/fakta-mengejutkan-tentang-tahlilan-yang-dianggap-haram-oleh-salafi-wahabi/.
Hanya saja saya menyisipkan kata (BUKAN) sebagai penegasan kesimpulan kebalikan dari judul yang ia tuliskan.
Afwan, maksud saya untuk anonim 22 Desember 2012 12:08
Iya, komentar saya di atas juga bukan tertuju ke antum kok.
NB : Mohon kiranya bagi semua jika menuliskan komentar untuk menuliskan nama, tidak sekedar Anonim.
ada komen di ummati ttg sanggahan antm ini, ane copas disini :
Bismillah,
Tentang atsar Thowus, nampaknya Ustadz Abul Jauza’ melupakan atau mungkin menyembunyikan jalur lain atsar Imam Thowus. ada yang berjalur dari Mujahid, ada yang dari Ubaid bin Umair…
selanjutnya, seandainya atsar Imam Thowus tersebut dianggap dho’if, Ustadz Abul Jauza juga tidak memperhatikan perbedaan para Ahli Hadits dalam mensikapi hadits-hadits dho’if….
berikutnya beliau berargument dengan atsar (Ijtihad) Sayyidina Jarir…. Pertanyaannya : Kenapa terhadap sama-sama atsar beliau tidak mempertimbangkan untuk mencari Jami’-nya?…
Silakan saja disebutkan keberadaan 'jalur lain' tersebut lengkap dengan sanadnya dan sumbernya. Setahu saya, jalur 'Ubaid bin 'Umar dengan lafadh yang disebutkan dalam ummati.wordpress adalah lafadh 'Abdullah bin 'Umar (bukan 'Ubaid bin 'Umair).
Penjamakan itu hanya bisa dilakukan pada hadits-hadits shahih yang dhahirnya ada ta'arudl. Bagaimana bisa dilakukan penjamakan kalau dasar hadits 'tahlilan' itu dla'if ?.
Para ulama memang berbeda pendapat mengenai kehujjahan hadits dla'iif. Tapi saya tidak tahu, apakah yang bersangkutan juga paham bahwa semisal Ibnu Hajar dan yang lainnya menjelaskan hadits dla'if (yang tidak terlalu dla'if) itu tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah ahkam dan 'aqidah. Nah, atsar Thaawus itu sudah bicara masalah ahkaam dan 'aqiidah. Bukan sekedar fadlaailul-a'mal.
Jazakumullah Khairan Katsiran Wa Jazakumullah Ahsanal Jaza, (Ust Abul jauzaa & Ust Abu Hudzaifah.
Afwan jadi puyeng gara2 g pake nama cuma pake Anonim aja, ana yg bertanya itu Ustad.
by : Abu Jufri
Barakallahu fikum
Alhamdulillah .. postingan antum sangat mencerahkan .. ana sering menjumpai artikel-artikel di facebook tentang tahlilan dan mencatut hadits2 tersebut.. nampak seperti ilmiah tapi sejatinya menyesatkan.. alhamdulillah artikel ini banyak faedahnya
lukman
Bismillah.
Ustadz, mohon penjelasan atas subhat yg dibawakan salah satu ustadz aswaja yang mendasarkan tahlilan pada hadits berikut :
قال النبي صلى الله عليه وسلم الدعاء والصدقة هدية إلى الموتى
وقال عمر رضي الله عنه : الصدقة بعد الدفنى ثوابها إلى ثلاثة أيام والصدقة فى ثلاثة أيام يبقى ثوابها إلى سبعة أيام والصدقة يوم السابع يبقى ثوابها إلى خمس وعشرين يوما ومن الخمس وعشرين إلى أربعين يوما ومن الأربعين إلى مائة ومن المائة إلى سنة ومن السنة إلى ألف عام (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص: ١٩٨
Sesungguhnya pembaca’an tahlil tidak terkurung oleh waktu-waktu tertentu kapanpun tahlil itu di baca akan tetap sampai juga, Namun juga berdasarkan hadist di atas maka di adakan lah acara 7 hari yang pahalanya mencukupi untuk masa 25 hari, dan yang 25 hari mencukupi untuk yang 40 hari dan yang 40 hari pahalanya mencukupi untuk 100 hari dan seterusnya.....
Kami menunggu penjelasan tersebut.
Syukron wa barakallahu fiek
anonim 26 Desember 2012 07:51
ada sanadnya gak? kalo ada, mungkin nanti bisa diteliti kembali oleh ustadz abul jauzaa. kalo tidak ada, menurut hemat ana, rasanya tidak perlu dibicarakan lebih lanjut lagi.
Ustadz Abul Jauzaa yg saya hormati,
Saya cuma mau tanya kpd antum, harapan saya antum mau berbagi ilmu dengan kami-kami Aswaja:
1. Kenapa Nabi menetapkan Miqat haji penduduk NAJD Hijaaz di QARN?
2. Kenapa Nabi mnyebutnya daerah miqat itu dengan QARN?
3. Adakah kaitannya dengan hadits shohih yg menjelaskan bahwa NAJD tempat munculnya QARN (tanduk) setan?
4. Adakah hal itu suatu kebetulan? Atau ucapan Nabi itu memang ada isyarat tertentu tentang tempat munculnya Fitnah QARN (tanduk) setan di sana?
Ustadz Abul jauzaa.... Tolong bagi2 ilmunya tentang pertanyaan saya di atas ya? Syukron katsiiir….
Saya kira kita sepakat bahwa masalah nash tidak boleh untuk dikira-kira sesuai dengan selera kita.
Terkait dengan pertanyaan antum, saya tidak tahu karena saya belum mendapati penjelasan ulama terdahulu yang berkaitan dengan pertanyaan antum.
Yang saya tahu dari bagian pertanyaan antum adalah masalah makna Najd dalam hadits fitan adalah Najd 'Iraaq. Banyak ulama yang telah menjelaskan hal ini, termasuk Ibnu Hajar Al-'Asqalaaniy rahimahullah. Silakan baca :
1. Tanduk Setan.
2. Najd Bukan 'Iraaq ?.
3. Fitnah Masyriq - Kemunculan Tanduk Setan.
Semoga ada manfaatnya.
Alhamdulillah, syukron atas jawabannya ustadz Abul jauzaa....
Akana tetapi ustadz Abul Jauzaa, Seandainya Najd adalah Irak, apakah masuk akal ketika Rasulullah Saw membedakan miqat bagi penduduk Najd dan penduduk Iraq? Penduduk Iraq miqotnya di Dzat Irq (Timur Laut Makkah), sedangkan Penduduk Najd miqat di Qarnul Manazil sebelah timur dari kota Makkah. Mari kita simak haditsnya:
حدثنا محمد بن عبد الله بن عمار الموصلي قال حدثنا أبو هاشم محمد بن علي عن المعافى عن أفلح بن حميد عن القاسم عن عائشة قالت وقَّت رسول الله صلى الله عليه وسلم لأهل المدينة ذا الحُليفة ولأهل الشام ومصر الجحفة ولأهل العراق ذات عرق ولأهل نجد قرناً ولأهل اليمن يلملم
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Ammar Al Maushulli yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim Muhammad bin ‘Ali dari Al Mu’afiy dari Aflah bin Humaid dari Qasim dari Aisyah yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam dan Mesir di Juhfah, bagi penduduk Iraq di Dzatu ‘Irq, bagi penduduk Najd di Qarn dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam [Shahih Sunan Nasa’i no 2656]
Afwan ustadz, bukankah dari hadits shahih di atas sangat jelas Rasulullah saw membedakan miqot penduduk Irak dan Najd? Yang otomatis hal itu menunjukkan bahwa Najd bukan di Irak, bukankah begitu Ustadz Abul Jauzaa?
Mas Yanto,... saya tidak mengingkari adanya nama Najd Hijaz dalam ilmu bumi Arab sebagai nama tempat. Dalam hadits yang Anda sebutkan itu salah satunya. Hadits itu sudah menjadi materi fiqh anak-anak pesantren ketika masuk dalam Baab Haji.
Akan tetapi yang dibahas di sini bukankah Najd dalam hadits fitan, bukan Najd dalam hadits miqat haji ?. Sepakat ?. Jika kita bicara Najd dalam hadits fitan, maka kita mesti melihat jalan riwayat hadits fitan. Dan ternyata, maksud Najd dalam hadits fitan itu adalah Najd 'Iraaq. Para ulama pun telah menjelaskan kemusykilan itu bahwasannya Najd itu dalam kamus nama-nama negeri (misalnya : Mu'jamul-Buldaan) ternyata banyak, bukan hanya Najd Hijaaz saja. Oleh karena itu, ndak ada masalah jika Najd dalam hadits fitan itu menunjukkan 'Iraaq. Itu kata ulama loh, bukan kata saya.
Assalamu'alaikum Ustadh.. Ana mendapati atsar semacam ini dijadikan dalil tahlilan
كنتُ أسمَعُ عُمرَ بنَ الخطَّابِ ، رضي اللهُ عنه ، يقولُ : لا يدخُلُ رجلٌ من قريشٍ في بابٍ إلا دخَل معه ناسٌ فلا أدري ما تأويلُ قولِه حتى طُعِن عُمرُ فأمَر صُهيبًا أن يصلِّيَ بالناسِ ثلاثًا ، وأمَر بأن يجعَلَ للناسِ طعامًا ، فلما رجَعوا منَ الجنازةِ جاءوا وقد وُضِعَتِ الموائدُ ، فأمسَك الناسُ عنها ، للحزنِ الذي هم فيه ، فجاء العباسُ بنُ عبدِ المُطَّلِبِ قال : يا أيُّها الناسُ قد مات رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فأكَلْنا بعدَه وشرِبْنا ، ومات أبو بكرٍ فأكَلْنا بعده وشرِبْنا ، أيُّها الناسُ كُلوا من هذا الطعامِ ، فمَدَّ يدَه ومدَّ الناسُ أيديَهم فأكَلوا ، فعرَفتُ تأويلَ قولِه
Apakah atsar ini shahih ?
Jazakallahu khairan katsira
Abul Hasan
Assalamu'alaikum Ustadz.
Saya mantan Nasrani, di agama saya dulu kristen, ada juga sebagian yang memperingati kematian,
Mereka berdalih katanya berdasarkan dengan Yesus naik ke surga pada hari yang keempat puluh setelah kebangkitan yesus
Dan juga mereka meyakini arwah dari orang yang telah meninggal itu masih ada dirumahnya dan akan ‘pergi’ setelah 40 hari.
Mereka bertujuan peringatan 40 hari adalah untuk kebaktian dan mengingatkan bahwa hidup ini katanya hanya sementara saja, sebagai bentuk ucapan syukur pada Tuhan dan untuk menghibur / menguatkan keluarga yang ditinggalkan, dan selain melakukan PESTA MAKAN-MAKAN, mereka meminta pelayanan bidston kepada pendeta setempat.
Namun orang kristen yang identik dengan kejawen, biasanya tidak hanya 40 hari saja, namun mulai hari pertama meninggal sampai seminggu, 40 hari setelah meninggal, 100 hari setelah meninggal, dan setahun setelah meninggal
terima kasih kepada semuanya yang telah memberi pencerahan, yang penting kita contoh saja ibadah dan amalan yang dilakukan oleh nabi dan para sahabat, yang baik itu belum tentu benar, yang benar adalah yang mengikuti nabi dan para sahabat, karana ibadah hanya sebatas contoh dari nabi, bukan diakal-akal baiknya
Nabi memiliki beberapa anak, yang anak laki2 semua
meninggal sewaktu masih kecil. Anak-anak perempuan
beliau ada 4 termasuk Fatimah, hidup sampai
dewasa.
Ketika Nabi masih hidup, putra-putri beliau yg
meninggal tidak satupun di TAHLIL i, kl di do'akan
sudah pasti, karena mendo'akan orang tua,
mendo'akan anak, mendo'akan sesama muslim amalan
yg sangat mulia.
Ketika NABI wafat, tdk satu sahabatpun yg TAHLILAN
untuk NABI,
Fatimah tdk mengadakan TAHLIL an, padahal Fatimah
putrinya yg paling dicintai Nabi..
Apakah Fatimah durhaka..???
Apakah Nabi dianggap HEWAN..???? (kata sdr sebelah)
Para sahabat Utama masih lengkap.., masih hidup..
ABU BAKAR adalah mertua NABI,
UMAR bin KHOTOB mertua NABI,
UTSMAN bin AFFAN menantu NABI 2 kali malahan,
ALI bin ABI THOLIB menantu NABI.
Apakah para sahabat BODOH....,
Apakah para sahabat menganggap NABI hewan....
(menurut kalimat sdr sebelah)
Apakah Utsman menantu yg durhaka.., mertua
meninggal gk di TAHLIL kan...
Apakah Ali bin Abi Tholib durhaka.., mertua
meninggal gk di TAHLIL kan....
Apakah mereka LUPA ada amalan yg sangat baik,
yaitu TAHLIL an koq NABI wafat tdk di TAHLIL i..
Saudaraku semua..., sesama MUSLIM...
saya dulu suka TAHLIL an, tetapi sekarang tdk
pernah sy lakukan. Tetapi sy tdk pernah mengatakan
mereka yg tahlilan berati begini.. begitu dll.
Para tetangga awalnya kaget, beberapa dr mereka
berkata:" sak niki koq mboten nate ngrawuhi
TAHLILAN Gus.."
sy jawab dengan baik:"Kanjeng Nabi soho putro
putrinipun sedo nggih mboten di TAHLILI, tapi di
dongak ne, pas bar sholat, pas nganggur leyeh2,
lan sakben wedal sak saget e...? Jenengan Tahlilan
monggo..., sing penting ikhlas.., pun ngarep2
daharan e..."
mereka menjawab: "nggih Gus...".
sy pernah bincang-bincang dg kyai di kampung saya,
sy tanya, apa sebenarnya hukum TAHLIL an..?
Dia jawab Sunnah.., tdk wajib.
sy tanya lagi, apakah sdh pernah disampaikan
kepada msyarakat, bahwa TAHLILAN sunnah, tdk
wajib...??
dia jawab gk berani menyampaikan..., takut timbul
masalah...
setelah bincang2 lama, sy katakan.., Jenengan
tetap TAHLIl an silahkan, tp cobak saja
disampaikan hukum asli TAHLIL an..., sehingga
nanti kita di akhirat tdk dianggap menyembunyikan
ILMU, karena takut kehilangan anggota.., wibawa
dll.
Untuk para Kyai..., sy yg miskin ilmu ini,
berharap besar pada Jenengan semua...., TAHLIL an
silahkan kl menurut Jenengan itu baik, tp sholat
santri harus dinomor satukan..
sy sering kunjung2 ke MASJID yg ada pondoknya.
tentu sebagai musafir saja, rata2 sholat jama'ah
nya menyedihkan.
shaf nya gk rapat, antar jama'ah berjauhan, dan
Imam rata2 gk peduli.
selama sy kunjung2 ke Masjid2 yg ada pondoknya,
Imam datang langsung Takbir, gk peduli tentang
shaf...
Untuk saudara2 salafi..., jangan terlalu keras
dalam berpendapat...
dari kenyataan yg sy liat, saudara2 salfi memang
lebih konsisten.., terutama dalam sholat.., wabil
khusus sholat jama'ah...
tapi bukan berati kita meremehkan yg lain.., kita
do'akan saja yg baik...
siapa tau Alloh SWT memahamkan sudara2 kita kepada
sunnah shahihah dengan lantaran Do'a kita....
demikian uneg2 saya, mohon maaf kl ada yg tdk
berkenan...
semoga Alloh membawa Ummat Islam ini kembali ke
jaman kejayaan Islam di jaman Nabi..., jaman
Sahabat.., Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in
Amin ya Robbal Alamin
Assalamu'alaykum
Ustadz Abul Jauza mengatakan bahwa riwayat dai Imam Thawus dhoif karena tidak ada bukti bahwa Sufyan bertemu dengan Imam Thawus. Kami mencoba mengutip bantahan dari Ustadz Idrus Ramli bahwa ada perselisihan ulama tentang syarat isttishal sanad :
1. Menurut Imam al-Bukhari, harus ada bukti pernah bertemu antara dua perawi walaupun satu kali.
2. Sementara menurut Imam Muslim, (dan beliau menganggapnya sebagai ijma’ ulama), mencukupkan dengan mungkinnya terjadinya pertemuan antara dua perawi, yaitu hidup dalam satu masa, walaupun tidak ada bukti.
Dengan demikian, menurut Imam Muslim, dan mayoritas ulama, atsar di atas jelas shahih.
Dan juga menurut Hafiz Suyuti : وسفيان هو الثوري ، وقد أدرك طاوسا ، فإن وفاة طاوس سنة بضع عشرة ومائة في أحد الأقوال ، ومولد سفيان سنة سبع وتسعين ، إلا أن أكثر روايته عنه بواسطة " انتهى من " الحاوي " (2/216)
Karena Thawus wafat tahun 110 lebih, dalam salah satu pendapat. Sedangkan kelahiran Sufyan, tahun 97. Hanya saja sebagian besar riwayatnya dari Thawus melalui perantara.”
Jadi menurut Imam Muslim, dan mayoritas ulama atsar tersebut adalah SHAHIH.
Dan juga di dalam kitabnya المطالب العالية Hafiz Ibn Hajar mengutip atsar tersebut dengan judl 16 - باب صنعة الطعام لأهل الميت. Sedangkan kitab tersebut berisi perubatan-perbuatan yang mempunyai nilai yang tinggi. Kesimpulannya Hafiz Ibn Hajar mengajarkan/menganjurkan untuk memberi makan untuk pahalanya kepada arwah. Dan dengan kata lain Hafiz Ibn Hajar menganggap atsar tersebut adalah BAIK.
Kemudian ada 2 atsar lagi yang mendukung atsar tersebut, yaitu : dari Ubaid ibn Umair (tabiin), yaitu :
" يفتن رجلان مؤمن ومنافق ، فأما المؤمن فيفتن سبعا ، وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا "
“Seorang mukmin dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi.”
In sepertinya sama dengan yang ditulis oleh Ustadz tetapi Bukan Abdullah bin Umar menurut Ustadz yang diriwayatkan oleh Abudurrazzaq.
selanjutnya juga diriwayatkan oleh Tabiin Mujahid :
" إن الموتى كانوا يفتنون في قبورهم سبعاً ، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام "
"Sesungguhnya mayyit itu diuji selama 7 hari, dan KAMI menyukai kalau memberi makan selama 7 hari"
Ada yang menarik di atsar Mujahid ini bahwa Beliau mengatakan bahwa Beliau menyuakai, berarti ini bertanda ini telah dilakukan oleh generasi tabiin dan juga oleh Mujahid.
Kemudian perbuatan memberi makan untuk arwah selama 7 hari ini DISAKSIKAN/DIBUKTIKAN oleh Hafiz Suyuthi di dalam kitabnya Al-Hawi lil Fatawi tela dilakukan di ZAMAN Beliau di Mekah dan Madinah
Begitu telah disakasikan oleh KH dari tahun 1947 s.d pulang ke Indonesia tahun 1958 oleh KH Muhammad Nur.
Jadi perbuatan memberi makan selam 7 hari kematian telah dilakukan di Madina dan Mekah dari zaman Imam Suyuthi, dan menurut Beliau hal terus dilakukan dari zaman salafus shaleh.
Wallahu 'alam
Wassalamu'alaykum
Makanya itu sudah saya bilang dari kemarin-kemarin bahwa Anda itu perlu belajar ilmu hadits lebih giat.
Mu'asharah (semasa) itu memang persyaratan jumhur ulama. Ia tetap dalam keadaan seperti itu hingga ada bukti bahwa keduanya tidak pernah bertemu atau ada imam naqd yang menegaskan adanya inqithaa'.
Di atas sudah saya sebutkan buktinya. Jadi, tak perlu saya tanggapi banyak-banyak.
Assalamu'alaykum
Alhamdulillah kami belajar dan mengikuti pendapat ULAMA yang ahli dibdiangnya. Seangkan anda mengikuti pendapat DIRI ANDA SENDIRI. Kami mengikuti anjuran Hafiz Ibn Hajar, kami mengikuti pendapat Hafiz Suyuthi. Kami mengikuti amalan Tabiin Mujahid, dan Ubayd ibn Umair. dan juga Imam Thawus
Silahkan bagi salafy di sini yang menganggap JELEK perbuataan TABIIN tersebut.
Tetapi Insya Allah mereka yang bersedeqah buat mayyit akan mendapatkan manfaatnya
Walahu 'alam
Wassalamu'alaykum
Wa'alaikumus-salaam.
Tidak perlu saya ulang. Di atas tulisan saya masih jelas.
Atsar 'Ubaid bin 'Umair itu tidak ada. begitu juga dengan atsar Mujaahid dengan lafadh itu juga tidak ada dalam kutub riawayat. So, bagaimana saya bisa mempercayainya kalau wujudnya saja tidak ada ?.
[Makanya, kalau menukil riwayat, sertakan sumber dan sanadnya secara jelas. Bukan cuma penukilan]
Adapun madzhab salaf dari kalangan shahabat, silakan lihat kembali artikel di atas.
Sudah ditanggapi disini
http://asyaariresearchgroup.blogspot.com/2013/10/jawaban-atas-prasangka-dlaif-atsar.html
Tulisan itu tidak menanggapi apapun dari tulisan ini secara ilmiah.
Assalamu'alaikum, ustadz
saya mu'allaf, di agama saya yang dulu kristen, ada loh kalau ahlul bid'ah masih ngeyel kaya kambing terbang, saya kasih link orang kristen.
saya copas dikit :
Saya Copas sedikit :
Hari ini tanggal 25 Maret 2012, ayah saya genap empat puluh hari setelah kematiannya pada tanggal 14 Pebruari 2012. Seperti kebiasaan pada umumnya, acara mingguan, empat puluh hari, seratus hari dan bahkan setahun setelah kematian seseorang selalu diadakan acara kebaktian / ibadah oleh pihak keluarga Kristen. Hal inipun terjadi didalam keluarga kami. Pihak keluarga telah mengadakan acara mingguan dan rencananya akan mengadakan peringatan ke- 40 puluh harinya.
lanjut>>>
http://albertrumampuk.blogspot.com/2012/03/haruskah-peringatan-empat-puluh-hari.html
Wallahu waliyyut taufiq
Rhezi Ramdhani (Mu'allaf Centre)
ASsalamualaikum UStadz,... Apakah dapat dikatakan bahwa riwayat Sufyan dari Thawus di atas "mirip" dengan kasus pada mursal khafiy ya?
Saya tidak menyamakannya, karena mursal khafiy sependek pengetahuan saya adalah riwayat yang terdapat permasalahan antara dua rawi pada sanadnya yang dimana si A memang bertemu dengan si syaikh tetapi ditegaskan dengan qarinah-qarinah yang menunjukkan bahwa si A tidak mendengar dari si Syaikh.
Sehingga jika dilihat kesamaannya adalah pada Atsar Thawus di atas adalah telah ada qarinah kuat yang menunjukkan bahwasanya Sufyan tidak bertemu dengan Thawus.
Benarkah pemahaman saya demikian ustadz? Jazaakallaahu khairan.
- Abu 'Abdillah -
Ustadz,
Ini ada lagi syubhat yang menjadi landasan bolehnya tahlialan , mohon penjerlasannya :
Sementara Rosululloh saw telah bersabda:
MAN A'AANA 'ALAA MAYYITIN BI QIROOATIN WA DZIKRIN ISTAUJABALLOHU LAHUL JANNAH
(HR. Ad-Darimy dan Nasa-i dari Ibnu Abbas)
Barang siapa yg menolong saudaranya yg meninggal dunia dengan bacaan-bacaan (kalimatut thoyyibah) dan dzikir (laa ilaaha illalloh) Alloh mengabulkan nya dan dia (simati) dimasukkan ke dalam surga.
TASHODDAQU 'ALAA ANFUSIKUM WA AMWAATIKUM WALAU BI SYURBATI MAA'
FA ILLAM TAQDIRUU 'ALAA DZAALIKA FA BI AYATI MIN KITAABILLAHI TA'AALAA
FAILLAM TA'LAMUU SYAIAN MINAL QUR'AANI FAD'UULAHUM BIL MAGHFIROTI WAR ROHMATI.
FA INNALLOHA WA'ADAKUMUL IJAABAH
Bershodaqohlah atas diri kalian dan atas orang-orang yg meninggal dunia dari kalian walaupun hanya dengan seteguk air.
Apabila kalin tdk mampu mengadakan yang demikian itu maka bershodaqohlah dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Apabila kalian tdk mengetahuinya dari ayat-ayat Al-Qur'an maka doakanlah dengan memintakan ampun serta memintakan rohmat Alloh swt.
Maka sungguh Alloh mengabulkan doa kalian.
Silahkan sampean buka dalam Kitab AT-Tahqiiqoot Juz III hlm: 400
dan dlm kitab Sunan An-Nasa-i Juz II hlm:200
serta dlm Kitab Tanqiihul Qoul hlm: 28
dari dua hadits yg telah sy kutipkan di atas sdh sangat jls adanya perintah :
1. Untk membacakan kalimatutthoyyibah kpd org yg telah meninggal dunia
2. Untuk bershodaqoh
3. Utk membacakan ayat - ayat Al-Qur'an kpd org yg telah meninggal dunia
4. Untuk mendoakan dengan memohonkan ampunan Alloh swt kpd org yg telah meninggal dunia
5. Untuk memohonkan rohmat Alloh swt. kpd org yg telah meninggal dunia
Dan kesemuanya itu terangkum dalam suatu kegiatan yg disebut dg TAHLILAN.
Tanggapannya adalah sebagaimana telah dituliskan di atas. Wa fiika baarakallaah.
Apakah berkumpul dirumah ahli mayyit itu termasuk masalah khilafiyyah muktabar yg tidak perlu diingkari stadz?
Abul Hasan
Ustadz...
Saya menyimak pembahasan pada artikel ini bukan tentang tahlilan secara utuh, tapi hanya terkait tradisi jamuan makan yg dilakukan setelah kematian.
Perlu diketahui bahwa pada tahlilan ada 4 hal yg harus dibedakan pembahasannya.
1. Mendoakan orang yang telah meninggal
2. Melakukan amal dzikir, sholawat, bacaan Al-Qur'an yg pahalanya diniatkan untuk si mayit
3. Bersedekah dg memberikan jamuan makan pada para tamu yg pahalanya diniatkan untuk si mayit
4. Kegiatan dilakukan pada waktu2 tertentu setelah kematian (biasanya hingga malam ke 7, malam ke 40, dst)
Perlu diketahui oleh para pengkaji bahwa 4 hal tersebut tdk selalu 1 paket. Misalkan, bisa saja saya melakukan tahlilan sendiri di rumah tiap malam Jum'at, atau bisa juga suatu komunitas (jama'ah) melakukan tahlilan rutinan di rumah masing-masing anggotanya secara bergiliran, atau bisa juga tahlilan dilakukan pada waktu ziarah kubur.
Nah... Maka perlu ada pengkajian yg lebih utuh jika ingin mengetahui secara tepat dan obyektif kegiatan tahlilan.
Lebih dari itu, pada artikel maupun komentar-komentar disini Alhamdulillah saya lihat tidak ada bahasa-bahasa yg tidak layak. Dan begitulah seharusnya pembahasan dalam Islam.
Kita bisa berbeda pendapat dalam banyak hal, namun cukup rasanya keimanan kita kepada Allah menjadi hal yg bisa mempersatukan kita. Oleh karena itulah para ulama sholih selalu mengakhiri kajiannya dg والله اعلم بالصواب.
Selain itu, kajian selayaknya juga secara obyektif sehingga bisa dikemukakan semua dalil dari pihak yg setuju ataupun yg tidak. Adapun pilihan pendapat tetap kembali kepada masing-masing. Jangan sampai kajian yg baik justru mengotori hati dan keimanan kita.
Terimakasih
Nyimak
Posting Komentar