Al-Imaam
Muslim bin Hajjaaj rahimahullah berkata :
حَدَّثَنِي
عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ
الْمَعْقِرِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا النَّضْرُ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ
الْيَمَامِيُّ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي
ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: " كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي
سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
يَا نَبِيَّ اللَّهِ، ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: عِنْدِي
أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ
أُزَوِّجُكَهَا؟ قَالَ نَعَمْ، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ، تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ
يَدَيْكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ
كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلَا
أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا
أَعْطَاهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا، قَالَ: نَعَمْ
"
Telah
menceritakan kepadaku ‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy dan Ahmad bin
Ja’far Al-Ma’qiriy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami
An-Nadlr bin Muhammad Al-Yamaamiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Ikrimah :
Telah menceritakan kepada kami Abuu Zumail : Telah menceritakan kepadaku Ibnu
‘Abbaas, ia berkata : Kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula
mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Wahai Nabi Allah, penuhilah tiga
permintaanku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Abu
Sufyan berkata : “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling
cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin
menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab : “Ya”. Abu Sufyan
berkata : “Dan agar Anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Abu Sufyan berkata : “Dan anda
mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana
dulu saya memerangi orang-orang Islam”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menjawab : “Ya”. Abu Zumail berkata : “Seandainya Abu Sufyan
tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tentu beliau tidak akan memberinya, karena jika beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dimintai sesuatu, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak akan menjawab selain ‘ya’”. [Shahih Muslim, 4/1945
no 2501, Bab Keutamaan Abu Sufyan bin Harb tahqiq Muhammad Fuad Abdul
Baqi].
Ada
hal yang menarik dalam bahasan hadits di atas, yaitu perkataan Ibnu Hazm rahimahullah.
Saat mengomentari hadits di atas, ia berkata :
هَذَا حَدِيثٌ
مَوْضُوعٌ لا شَكَّ فِي وَضْعِهِ , وَالآفَةُ فِيهِ مِنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ
, وَلا يَخْتَلِفُ اثْنَانِ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِالأَخْبَارِ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَتَزَوَّجْ أُمَّ حَبِيبَةَ
إِلا قَبْلَ الْفَتْحِ بِدَهْرٍ وَهِيَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ وَقِيلَ : هَذَا لا
يَكُونُ خَطَأَ إِمْلَاءٍ ، وَلا يَكُونُ إِلا قَصْدًا ، فَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ
الْبَلاءِ
“Hadits
ini maudluu’ (palsu), dan tidak lagi diragukan akan kepalsuannya. Dan
penyebabnya adalah dari ‘Ikrimah bin ‘Ammaar. Para ulama tidak berselisih
pendapat tentang khabar bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
menikahi Ummu Habiibah kecuali sebelum peristiwa Fathu Makkah, yaitu pada saat
ia berada di negeri habasyah. Dan dikatakan : Hal ini tidaklah terjadi karena
kekeliruan penyalinan (penulisan) dan tidak pula terjadi kecuali karena
kesengajaan. Kita berlindung kepada Allah dari balaa’ (yang akan
menimpa)” [Al-Mishbaah fii ‘Uyuunish-Shihaah – lihat di sini].
Ini
adalah sikap berlebih-lebihannya Ibnu Hazm rahimahullah dalam penilaian
hadits dan perawi. Para ulama, dulu dan sekarang, telah banyak memberikan
kritikan kepada Ibnu Hazm rahimahullah ini.
Ibnu
Hajar Al-‘Asqaalaniy ketika menyebutkan biografi Ibnu Hazm rahimahumallah berkata
: “Ia adalah orang yang sangat luas hapalannya. Hanya saja, bersamaan dengan
ketisqahan dan hapalannya, ia sangat ofensif dalam perkataan jarh dan ta’diil,
serta penjelasan nama-nama perawi, sehingga ia jatuh karenanya dalam banyak
kekeliruan yang buruk” [Lisaanul-Miizaan, 4/198 no. 531 – biografi Ibnu
Hazm].
Perkataan
Ibnu Hazm rahimahullah ini seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang
senang memanfaatkan situasi untuk menjatuhkan kredibilitas hadits dan/atau
perawinya, seperti kalangan kuffar orientalis. Juga Syi’ah Raafidlah, karena
keduanya memang kakak beradik yang beda warna kulit.
Tentang
‘Ikrimah bin ‘Ammaar rahimahullah, berikut keterangan para ulama
tentangnya :
‘Ikrimah bin ‘Ammaar Al-‘Ijliy Abu ‘Ammaar Al-Yamaamiy
(عكرمة بن عمار العجلي ، أبو عمار
اليمامي).
Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat
tahun 159 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah.
Ahmad bin Hanbal berkata : “Mudltharibul-hadiits dari
Yahyaa bin Abi Katsiir”. Ia juga berkata : “Mudltharibul-hadits dari
selain Iyaas bin Salamah. Adapun haditsnya yang berasal dari Iyaas bin Salamah shaalih (baik)”.
Dalam riwayat lain : “Orang yang paling menguasai hadits Iyaas bin Salamah,
yaitu ‘Ikrimah bin ‘Ammaar”. Abu Zur’ah berkata : Aku mendengar Ahmad bin
Hanbal melemahkan riwayat Ayyuub bin ‘Utbah dan ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dari
Yahyaa bin Abi Katsiir, dan ia berkata : ‘’Ikrimah paling tsiqah dari keduanya
(yaitu antara ‘Ikrimah dan Ayyuub)”. Dalam riwayat lain dari Al-Fadhl bin
Ziyaad, Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa ‘Ikrimah kedudukannya di atas Ayyuub
bin ‘Utbah, Muzaazim bin ‘Amru, dan yang lainnya dari penduduk Yamaamah.
Yahyaa bin Ma’in berkata : “Tsiqah”.
Di riwayat lain: “Tsabat”. Di lain riwayat : Shaduuq, tidak
mengapa dengannya”. Di riwayat lain: “Ia seorang buta huruf (ummiy),
namun haafidh”. Di riwayat lain ia mengatakan bahwa ’Ikrimah lebih
ia cintai daripada Ayyuub bin ‘Utbah.
‘Aliy bin Al-Madiiniy berkata :
“Hadits-hadits ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dari Yahyaa bin Abi Katsiir tidaklah
seperti itu. Ia diingkari. Adapun Yahyaa bin Sa’iid mendla’ifkan keduanya”. Di
lain riwayat : “Yahyaa (bin Sa’iid) melemahkan riwayat penduduk Yamaamah
seperti ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dan membuangnya”. Di lain riwayat ia
(Ibnul-Madiiniy) berkata : “’Ikrimah bin ‘Amaar di sisi shahabat kami seorang
yang tsiqah lagi tsabat”.
Ahmad bin ‘Abdilah Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah,
telah meriwayatkan darinya An-Nadlr bin Muhammad seribu hadits”. Al-Bukhaariy
berkata : “Mudltharib dalam hadits Yahyaa bin Abi Katsiir, dan ia
(‘Ikrimah) tidak mempunyai kitab (catatan)”. Al-Aajurriy berkata : “Aku pernah
bertanya kepada Abu Daawud tentang ‘Ikrimah in ‘Amaar, maka ia berkata : ‘Tsiqah,
dan dalam hadits Yahyaa bin Katsiir idlthiraab (goncang)”. An-Nasaa’iy
berkata : “Tidak mengapa dengannya, kecuali haditsnya yang berasal dari Yahyaa
bin Abi Katsiir”. Abu Haatim berkata : “Ia seorang yang shaaduq, kadangkala
ragu dalam haditsnya, kadangkala pula melakukan tadlis. Sedangkan
haditsnya yang berasal dari Yahyaa bin Abi Katsiir sebagiannya terdapat
beberapa kekeliruan”.
Zakariyyaa bin Yahyaa As-Saajiy berkata :
“’Ikrimah bin ‘Ammaar, shaduuq. Telah meriwayatkan darinya Syu’bah,
Ats-tsauriy, dan Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan. Ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu
Ma’iin dan Ahmad bin Hanbal. Hanya saja, Yahyaa Al-Qaththaan melemahkan
hadits-haditsnya yang berasal dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dan ia mendahulukan
Mulaazim daripada ‘Ikrimah bin ‘Ammaar”.
Muhammad bin ‘Abdillah Al-Muushiliy
berkata : “’Ikrimah bin ‘Ammaar tsiqah di sisi mereka. Telah
meriwayatkan darinya Ibnu Mahdiy. Dan tidaklah aku mendengar tentangnya kecuali
hanya kebaikan”. ‘Aliy bin Muhammad Ath-Thanaafisiy berkata : “Tsiqah”.
Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy berkata : “Ia sering bertafarrud dalam
hadits-hadits yang panjang tanpa ada penyertanya..... Ia seorang yang shaduuq,
kecuali dalam haditsnya terdapat sesuatu”. Ishaaq bin Ahmad bin Khalaf
Al-Bukhaariy Al-Haafidh berkata : “Tsiqah. Telah meriwayatkan darinya
Sufyaan Ats-Tsauriy dan ia menyebutkan tentang keutamaannya. Akan tetapi ia
banyak keliru, bertafarrud dalam riwayat Iyyaas tanpa ada penyertanya seorangpun”.
Ibnu Khiraasy berkata : “Shaduuq,
dan dalam haditsnya terdapat nakarah”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Mustaqiimul-hadiits,
apabila meriwayatkan darinya perawi tsiqah”. Ibnu Hibbaan
menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Dalam
riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir idlthiraab. Ia meriwayatkan
dari selain jurusan kitabnya”. Ya’quub bin Syaibah berkata : “Tsiqah lagi tsabat”.
Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata :
Telah berkata Ahmad bin Shaalih : “Aku katakan bahwa ia seorang yang tsiqah,
dan aku berhujjah dengannya dan perkataannya”. Ayyuub pernah ditanya
tentangnya, lalu ia berkata : “Seandainya ia bukan seorang yang tsiqah, niscaya
aku tidak menulis hadits darinya. Abu Ahmad Al-Haakim berkata : “Haditsnya
sangat banyak dari Yahyaa, namun ia tidak tegak dalam periwayatan (darinya)” [selengkapnya
lihat : Tahdziibul-Kamaal, 20/256-264 no. 4008, Tahdziibut-Tahdziib,
7/261-263 no. 475, dan Mausu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad 3/23-25 no.
1843].
Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah, kecuali
riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir, maka mudltharib” [Al-Kaasyif,
2/33 no. 3866].
Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq,
sering keliru. Dan riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir idlthiraab”
[At-Taqriib, hal. 687 no. 4706].
Dengan melihat jarh dan ta’diil
para imam di atas, maka ‘Ikrimah ini adalah seorang yang mempunyai beberapa
kekeliruan dalam periwayatan sehingga menurunkan kredibilitasnya pada level shaduuq,
tidak lebih rendah dari itu. Dan khusus riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir,
maka terdapat idlthiraab.
Kita kembali pada pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah
tentang penghukuman ‘palsu’ hadits di atas.
Definisi hadits palsu adalah :
هُوَ الخَبْرُ
الْمَكْذُوبُ الْمَنْسُوبُ إِلى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
افْتِرَاءً عَلَيْهِ . فَلاَ يَجُوزُ عَزْوُهُ إِلى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنْ غَيْرِ بِيَانٍ
“Ia
adalah khabar dusta yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, sebagai bentuk kebohongan terhadap beliau. Maka tidak
diperbolehkan menisbatkannya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tanpa adanya penjelasan” [Al-Fushuul oleh Haafidh Tsanaaullah
Az-Zaahidiy hafidhahullah].
Kedustaan
dalam definisi di atas, maksudnya kedustaan murni yang dilakukan dengan sengaja
(al-mukhtalaq al-mashnuu’) [Al-Muqaddimah oleh Ibnu Shalaah, hal.
130]. Adz-Dzahabiy rahimahullah menjelaskan persyaratan hadits maudluu’,
bahwa matannya menyelisihi kaedah-kaedah (yang telah ma’ruf), dan perawinya
adalah pendusta (kadzdzaab)” [Syarh Al-Muuqidhah, hal. 60].
Jika demikian, bisakah dibenarkan
perkataan Ibnu Hazm – dan orang yang memanfaatkan perkataannya – bahwa ‘Ikrimah
bin ‘Ammaar adalah pendusta yang melakukan pemalsuan riwayat ?. Anda dapat lihat
perkataan para imam di atas. Banyak ulama yang mengatakan ‘Ikrimah seorang yang
tsiqah, yang artinya : menetapkan kejujuran padanya dan tidak melakukan
kedustaan secara sengaja (dalam riwayat). Ia dikritik dalam jurusan hapalannya
saja.
Jika ada yang mengatakan : kepalsuannya benar tetapi pernyataan bahwa yang
bertanggung-jawab adalah Ikrimah bin Ammar layak diberikan catatan. Ikrimah bin
Ammar disebutkan dalam kitab biografi perawi hadis adalah perawi yang
tsiqat, mereka yang mempermasalahkan Ikrimah hanya mempersoalkan hadis Ikrimah
dari Yahya bin Abi Katsir; maka ini
adalah pernyataan yang ambigu.
Pura-pura ‘membela’ ‘Ikrimah bin ‘Ammaar
tidaklah banyak menolong, karena kemungkinan yang ada dalam perkataan di atas ada
dua :
a. Tidak tahu definisi hadits palsu (maudluu’).
b. Pura-pura tidak tahu definisi hadits palsu
dengan ‘mendompleng’ perkataan Ibnu Hazm.[1]
Hadits dinyatakan palsu tentu dikembalikan
pada syarat-syaratnya yang dikenal dalam ilmu hadits. Dan itu tidak terpenuhi
dalam hadits ‘Ikrimah bin ‘Ammaar di atas.
Ibnul-Atsiir rahimahullah berkata :
لا اختلاف بين
أهل السير وغيرهم في أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوج أم حبيبة وهي بالحبشة إلا
ما رواه مسلم بن الحجاج في صحيحه ....... وهو وهم من بعض رواته
“Tidak ada perselisihan di kalangan ahli
sejarah dan yang lainnya bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menikahi Ummu Habiibah saat ia (Ummu Habiibah) di Habasyah, kecuali
hadits yang diriwayatkan Muslim bin Al-Hajjaaj dalam Shahiih-nya......
dan itu merupakan kekeliruan sebagian perawinya” [Usdul-Ghaabah,
7/304 no. 7409].
Ibnu Sayyidin-Naas rahimahullah berkata
:
وَهَذَا
مُخَالِفٌ لِمَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَرْبَابُ السِّيَرِ وَالْعِلْمِ بِالْخَبَرِ
“Dan hal ini[2]
menyelisihi apa yang telah disepakati oleh para ahli sejarah dan ahli riwayat”
[‘Uyuunul-Akhbaar – lihat : sini].
Al-‘Alaaiy rahimahullah berkata :
وهو خطأ فاحش،
فإن أحدا لم ينسب عكرمة إلى الوضع، وقد وافقه جماعة، واحتج به مسلم كثيرا، ولكنه
وهم فيه
“Hal itu[3] adalah
kekeliruan yang sangat fatal, karena tidak ada ulama menisbatkan pada ‘Ikrimah
memalsukan hadits. Sekelompok ulama telah menyepakatinya, dan Muslim banyak
berhujjah dengannya, akan tetapi ia telah keliru (wahm) dalam
riwayat tersebut” [lihat : At-Tanbiihaat, hal. 66-67].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata
:
وأما مسلم ففيه ألفاظ
عرف أنها غلط........ وفيه أن أبا سفيان سأله التزويج بأم حبيبة، وهذا غلط
“Dan adapun Muslim, maka padanya terdapat
beberapa lafadh yang diketahui kekeliruannya..... dan padanya terdapat hadits
bahwa Abu Sufyaan meminta Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi
Ummu Habiibah. Ini keliru” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 18/43].
Dan yang lainnya.
Banyak ulama yang mengkritisi hadits
Muslim tersebut, khususnya lafadh permintaan pernikahan dengan Ummu Habiibah radliyallaahu
‘anhaa. Ini menunjukkan para ulama Ahlus-Sunnah bersikap ‘adil, meskipun di
antara mereka terdapat perbedaan pendapat dalam menyikapi lafadh tersebut – dan
itu biasa.
Sebagaimana disebutkan di atas, ada ulama
yang mengatakan bahwa perawi telah keliru dalam membawakan sebagian lafadh hadits.
Ada yang mengatakan bahwa seharusnya lafadh Ummu Habiibah tersebut adalah ‘Azzah
bintu Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhaa. Ada juga ulama yang menempuh
jalan takwil untuk menjamak hadits-hadits yang ada. Diantaranya ada yang
mentakwil permintaan Abu Sufyaan itu agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam memperbaharui akad nikahnya. Diantaranya ada yang mentakwil
permintaan itu adalah untuk melanggengkan pernikahannya (yaitu : Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak menceraikan Ummu Habiibah). Diantaranya ada yang
mentakwil permintaan Abu Sufyaan itu menunjukkan keridlaannya atas pernikahan
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut, setelah sebelumnya
(ketika masih kafir) tidak meridlai[4]. Dan
yang lainnya.
Di sini saya tidak akan membahas lebih
jauh tentang konklusi lafadh permintaan Abu Sufyaan agar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam untuk menikahi anaknya tersebut. Yang menjadi fokus di
sini hanyalah cara pandang kepada hadits saja.
Seandainya lafadh tersebut keliru, maka itu pun tidak mengkonsekuensikan
hadits menjadi palsu. Kekeliruan perawi tsiqah adalah sangat mungkin,
karena mereka masih dinamakan manusia yang tidak ma’shuum. Tentu saja, kekeliruan
itu mesti dibuktikan dengan metode-metode standar yang dikenal di kalangan
ulama. Oleh karena itu, dalam ilmu hadits dikenal hadits syaadz, mudltharib,
atau mudraj. Hadits-hadits ini merupakan jenis hadits lemah yang (bisa)
terjadi pada perawi tsiqah. Bisa terjadi pada sanad ataupun matan
hadits/riwayat.
Contoh 1 :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ
مُحْرِمٌ
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menikahi Maimuunah dalam keadaan ihram [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1837 & 4259 & 5114, Muslim no. 1410, At-Tirmidziy no.
842-844, Abu Daawud no. 1844, dan yang lainnya].
Perkataan Ibnu ‘Abbaas ini diselisihi oleh
Maimuunah sendiri sebagaimana hadits :
عَنْ مَيْمُونَةَ، قَالَتْ: " تَزَوَّجَنِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ حَلَالَانِ بِسَرِفَ
"
Dari Maimuunah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menikahiku, dan kami dalam keadaan halal (selesai ihraam)
di Sarif” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1411, Abu Daawud no. 1843, At-Tirmidziy
no. 845, Ahmad 6/332 & 333 & 335, Ad-Daarimiy no. 1831, dan yang
lainnya; ini adalah lafadh Abu Daawud].
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu telah
keliru dalam membawakan hadits, karena ada bukti kuat bahwa memang ia telah
keliru. Tapi apakah lantas bisa seenaknya dikatakan bahwa riwayat Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa di atas palsu (maudluu’) ?. Tentu tidak.
Contoh 2 :
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ النَّمَرِيُّ،
حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ الْحَسَنِ، عَنْ سَمُرَةَ، عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ
تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُدَمَّى "
Telah
menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘Umar An-Namariy : Telah menceritakan kepada
kami Hammaam : Telah menceritakan kepada kami Qataadah, dari Al-Hasan, dari
Samurah, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda
: “Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh,
dicukur rambut kepalanya, dan kepalanya dilumuri darah (yudammaa)” [Diriwayatkan
oleh Abu Dawud no. 2837].
Hammaam
adalah seorang yang terpercaya. Namun ia telah menyelisihi beberapa orang dan
lebih dlabth darinya
dalam penyampaian khabar (periwayatan) dari
Qataadah; dimana mereka menggunakan lafadh : yusammaa (diberikan nama) –
bukan yudammaa. Mereka adalah : Sa’iid bin Abi ‘Aruubah (ia
adalah orang yang paling tsabt periwayatannya di antara ashhaab Qataadah),
Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar, Sallaam bin Abi Muthii’, dan Ghailaan bin Jaami’[5]
[Irwaaul-Ghaliil oleh Al-Albaaniy 4/387-388 dan Taisiru
‘Uluumil-Hadits oleh ‘Amr bin
‘Abdil-Mun’im hal. 81].
Hadits
Hammaam tidak lantas dikatakan palsu, dan Hammaam dituduh memalsukan riwayat.
Selain
itu, ketika Hammaam dikatakan telah keliru dalam penyampaian sebagian lafadh
riwayat, tidaklah berkonsekuensi membatalkan keseluruhan lafadh riwayat. Yang
dikritik hanyalah sebatas lafadh wa yudammaa saja, karena ada qarinah
kuat yang menunjukkan kekeliruannya. Riwayat Hammaam ini tetap dipakai dan
dijadikan hujjah dengan pengkoreksian pada lafadh wa yudammaa saja.
Sama
halnya dengan hadits Muslim yang sedang kita bahas. Para ulama hanyalah
mengkritik seputar lafadh permintaan pernikahan dari Abu Sufyaan saja. Seandainya
lafadh itu kita hukumi syaadz, maka lafadh yang lain tidak. Tetap
dipakai dan dijadikan hujjah. Ini adalah ma’ruf di kalangan ulama
hadits.[6]
Tidak
ada petunjuk yang mengindikasikan bahwa hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa
dalam Shahiih Muslim di atas palsu. Tapi jika memang niatnya ‘membonceng’
perkataan Ibnu Hazm rahimahullah, itu lain perkara.
Hadits
tersebut menunjukkan keutamaan Abu Sufyaan radliyallaahu ‘anhu, sebagaimana
fiqh dari Muslim bin Al-Hajjaaj dalam judul Baab kitab Shahiih-nya.
Keutamaan
lain dari Abu Sufyaan radliyallaahu ‘anhu antara lain terdapat dalam
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat Fathu Makkah :
مَنْ دَخَلَ دَارَ أَبِي سُفْيَانَ فَهُوَ آمِنٌ،
وَمَنْ أَلْقَى السِّلَاحَ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ أَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ آمِنٌ
“Barangsiapa
yang masuk ke rumah Abi Sufyaan, maka ia aman. Barangsiapa yang meletakkan
senjatanya, maka ia aman. Dan barangsiapa yang menutup pintunya, maka ia aman”
[Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daawud, Ahmad, dan yang lainnya].
Penyebutan
secara khusus rumah Abu Sufyaan radliyallaahu ‘anhu merupakan satu
keutamaan darinya yang diperhatikan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu
juga menunjukkan keutamaan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhu
sebagai pencatat wahyu. Apakah mungkin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam akan menyerahkan amanah pencatatan wahyu yang suci kepada orang yang
kafir atau orang yang akan mati kafir – sebagaimana kedengkian Raafidlah kepadanya
– sementara di sisi beliau ada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu
yang sebelumnya telah beliau tunjuk sebagai sekretaris beliau ?. Tidakkah beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan dengan ‘Aliy saja ?. Tidakkah
mereka (orang Raafidlah) mau sejenak berpikir ?.
Wallaahul-musta’aan.
Semoga
ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta].
[1] Cara ini sangatlah bermanfaat. Kalaupun toh nanti akan ketahuan sikap
‘kepura-puraannya’ itu, masih ada Ibnu Hazm rahimahullah yang akan
menjadi bumper. Ini adalah metode yang lazim dipakai ‘peneliti’ berniat
bengkong.
[2] Yaitu tawaran Abu Sufyaan agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi
Ummu Habiibah, dalam riwayat Muslim.
[3] Yaitu perkataan Ibnu Hazm yang menghukumi
palsu dan menisbatkan kepalsuan tersebut pada ‘Ikrimah bin ‘Ammaar rahimahumallah.
[4] Diantara yang mengatakannya adalah Al-Mu’allimiy
Al-Yamaaniy rahimahullah dalam Al-Anwaarul-Kaasyifah,
[5] Abu Daawud berkata :
وَهْمٌ مِنْ هَمَّامٍ وَيُدَمَّى، قَالَ أَبُو دَاوُد: خُولِفَ هَمَّامٌ فِي هَذَا
الْكَلَامِ وَهُوَ وَهْمٌ مِنْ هَمَّامٍ، وَإِنَّمَا قَالُوا: يُسَمَّى، فَقَالَ هَمَّامٌ:
يُدَمَّى،
“Kekeliruan
(wahm) berasal dari Hammaam, yaitu lafadh : wa yudammaa. Hammaam
telah diselisihi dalam perkataan tersebut, yaitu merupakan kekeliruan dari
Hammaam. Mereka (para perawi lain) berkata : ‘yusammaa’ – lalu Hammaam
berkata : ‘yudammaa’ [selesai].
[6] Beda halnya dengan keadaan ‘peneliti’ Syi’ah
Raafidlah yang sedang kebingungan dalam mencari jalan melemahkan riwayat karena
tidak sesuai dengan hawa nafsunya.
Seandainya
ada orang Syi’ah ‘mendompleng’ perkataan Ibnu Hazm akan penghukumannya atas kepalsuan
riwayat, Anda tentu paham karena lafadh hadits Ibnu ‘Abbaas itu tidaklah
menguntungkan posisi ‘aqidah Syi’ah Raafidlah yang penuh umpatan dan caci maki
terhadap Abu Sufyaan dan anaknya (Mu’aawiyyah) radliyallaahu ‘anhumaa.
Kebetulan ada celah yang dapat dimanfaatkan, maka dipakailah ia.
Bukan
hanya sekali. Misal dalam kasus sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
:
يَا عَلِيُّ، هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَشَبَابُهَا بَعْدَ
النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ
“Wahai
‘Aliy, dua orang ini (yaitu Abu Bakr dan ‘Umar) adalah pemimpin bagi
orang-orang dewasa penduduk surga dan para pemudanya (wa syabaabuhaa),
selain para Nabi dan Rasul”.
Hadits
ini diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaidul-Musnad 1/80
dan Fadlaailush-Shahaabah no. 141, serta Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 3/68-69
no. 1376; dari jalan Wahb bin Baqiyyah Al-Waasithiy, dari ‘Umar bin Yuunus
Al-Yamaamiy, dari ‘Abdullah bin ‘Umar Al-Yamaamiy, dari Al-Hasan bin Zaid bin
Hasan, dari ayahnya, dari, kakeknya, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu secara marfu’ [lihat
juga Ithraaful-Musnid oleh Ibnu Hajar, 4/395 no. 6198].
Sanad
riwayat ini hasan, seluruh perawinya tsiqah lagi terkenal
kecuali Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan. Ibnu Hajar berkata : “Jujur,
kadang salah (shaduuq yahimu). Dan ia seorang yang mempunyai keutamaan”
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 236 no. 1252]. Sedangkan ‘Abdullah bin ‘Umar
Al-Yamaamiy, ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad Al-Yamaamiy, dikenal sebagai Ibnu
Ar-Ruumiy, termasuk rijaal Muslim.
[catatan
: penghukuman Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth dalam Tahriirut-Taqriib no.
1242 yang melemahkan Al-Hasan bin Zaid adalah keliru – dan mendapatkan kritik
oleh Dr. Maahir Al-Fahl dalam Kasyful-Iihaam, hal. 349. Al-Hasan bin
Zaid ini telah ditsiqahkan oleh Ibnu Sa’d, Al-‘Ijliy, dan Ibnu Hibbaan. Ia juga
merupakan syaikh dari Maalik bin Anas dimana telah diketahui bahwa Maalik
tidaklah meriwayatkan dari seseorang (syaikh-nya) kecuali ia tsiqah di
sisinya. Dan dikecualikan dua orang, yaitu : Ibnu Abil-Mukhtaar dan ‘Aashim bin
‘Ubaidillah. Maalik adalah orang yang paling ‘alim tentang penduduk Madiinah –
sedangkan Al-Hasan bin Zaid termasuk dari kalangan mereka. Selain itu, Al-Hasan
bin Zaid juga merupakan syaikh dari Ibnu Abi Dzi’b, dimana Ahmad bin
Shaalih dan Ibnu Ma’iin mengatakan bahwa syuyuukh Ibnu Abi Dzi’b adalah tsiqaat,
kecuali ‘Abdul-Kariim dan Abu Jaabir. Jadi, hadits Al-Hasan ini tidaklah jatuh
di bawah derajat hasan – dengan adanya jarh dari Ibnu Ma’iin dan Ibnu ‘Adiy].
‘Peneliti’
Raafidlah ini bingung melemahkan riwayat ini, dan akhirnya berkata :
Nashibi ini maaf tidak memahami dengan baik letak kemungkaran hadis
Hasan bin Zaid. Lafaz “dan para pemudanya” adalah lafaz yang mungkar
dan bertentangan dengan kabar yang shahih. Asal kemungkaran ini hanya bisa
dikembalikan pada Hasan bin Zaid karena ia diperbincangkan dan dikenal
meriwayatkan hadis-hadis yang diingkari, Jarh Ibnu Ma’in dan Ibnu Ady sangat
sesuai dari sisi ini. Jadi Hasan bin Zaid tertuduh dalam hadis ini dan jelas
sekali hadis mungkar ini tidak bisa dijadikan hujjah.
Taruhlah
bahwa kita sependapat bahwa lafadh ‘dan para pemudanya’ adalah munkar
dan kemunkaran itu disebabkan oleh Al-Hasan bin Zaid – seperti sangkaannya;
maka itu tetap tidak menghapuskan eksistensi lafadh yang lainnya. Kemunkaran
itu hanyalah terletak disebagian lafadh saja. Apalagi dalam riwayat Al-Aajurriy
tidak disebutkan lafadh yang dipermasalahkan.
Membatalkan
keseluruhan lafadh merupakan pilihan yang mesti diambil oleh orang Rafidlah
tersebut. Jika tidak, sama saja dengan ‘bunuh diri’ dengan adanya pengakuan
keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu yang diriwayatkan
melalui jalan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhum.
So, hadits
tentang keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dari jalan Al-Hasan
bin Zaid, dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Aliy di atas adalah hasan lidzaatihi
tanpa lafadh : ‘dan para pemudanya’.
Baca
artikel :
Nah,...
dari sini Anda akan kenal sedikit-demi sedikit metode ‘peneliti’ Raafidlah
tersebut.
Comments
Afwan ustadz, sedikit agak keluar dari bahasan.
Barangkali dengan kesibukan antum bekerja, antum kemudian memanfaatkan teknologi yang ada seperi internet ini dalam menambah referensi selain kitab asli tentunya.
Pertanyaan saya yang awan ini, Sejauh manakah keontentikan suatu sumber yang anda ambil sebagai rujukan.
Seperti misalnya ketika antum mentakhrij satu hadits, seandainya ada hacker dari kaum orientalis yang secara sembunyi-sembunyi merubah content salah satu webpage rujukan anda, atau kitab-kitab klasik dalam bentuk PDF yang sepengetahuan saya sangat mungkin untuk di-edit, atau maktabah syamilah & software-software sejenis yang tanpa diketahui telah diutak-atik tangan jahil gimana ustadz.
Adakah antum selalu meng cross-check sumber tersebut (dengan kitab-kitab yang ada diperpustakaan LPIA misalnya) atau bagaimana cara antum bisa yakin bahwa sumber-sumber tersebut masih otentik?
Jazakallahu khairan atas jawaban antum.
Rizal
Saya memang sering melengkapinya dengan beberapa link di internet dalam penulisan blog ini, karena saya menuliskannya via media internet.
Saya sebenarnya tidaklah terlalu tergantung pada link di satu web page dalam penulisan hadits (takhrij). Kecuali kalau memang saya bertujuan hanya menterjemahkan total, maka - tentu saja - ini hasilnya saya sandarkan pada si penulis di web (ulama, muhaqqiq-nya). Tidak semua situs internet saya 'percaya' tentu saja.
Walau mungkin dilakukan, saya kok belum bisa menerima logika ada hacker atau orientalis yang mengubah content web page ya.... Dalam arti : merubah sebagian kecil beberapa referensi online. Kalau merubah 'besar-besaran', ya...itulah yang sangat mungkin. Hanya saja, tentu akan terlihat jelas.
Sekarang ini banyak tools yang dapat mengcross check validitas satu sumber. Ada hard copy, soft copy, ada software, ada pula internet. Adalah hal yang 'sangat berat' (and I say : almost impossible) bagi seorang hacker atau orientalis mengubah satu content permasalahan di semua tools tersebut. Bahkan kalau mengubah kontent referensi di satu web page saja, itu sangat mudah diketahui diketahui dengan membandingkannya dengan web-web sejenis. Atau bahkan dengan bantuan mbah Google.
Intinya, jika kita sering baca, kita punya logika akurasi tersendiri untuk melacak keotentikan satu sumber yang akan kita jadikan rujukan.
Atau barangkali Anda dapat mencontohkan barang satu ada dua contoh kontent web page rujukan yang telah diubah-ubah isinya secara halus oleh hacker atau orientalis ?.
Assalamu'alaikum
afwan ane sedikit menanggapi komentar anon di awala komentar,
sepengetahuan saya sich ini lho... sebagai praktisi IT saya sedikit banyak mengetahui akan dunia2 IT, klo sich ada yang sampe mw merubah suatu system suatu web itu ga akan kecil sekecil2 nya seseorang melakukan defacement pada web site ga akan sampe kepikiran buat merubah hal-hal atau kontent2 yang ada di dalam nya, kebanyakan hanya mengganti halaman depan, dan sekalipun di ganti kontent yang ada didalam nya akan sangat bertabrakan dengan data base yang sudah di buat, karen seorang dfacer hanya memanfaatkan celah celah yang tidak disadari oleh si develop, dan biasanya tujuan seorang defacer dalam melakukan aksinya bukan untuk tujuan seperti yang disebutkan... jadi akan sangat kecil kemungkinan untuk perubahan yang seperti di khawatirkan oleh akhi yang di atas...
Kutip:
"Intinya, jika kita sering baca, kita punya logika akurasi tersendiri untuk melacak keotentikan satu sumber yang akan kita jadikan rujukan."
Masya Allah. Lagi-lagi. Saya susah sekali mengungkapkan yang mudah diungkapkan oleh ustadz. Persis seperti yang saya alami selama ini.
Dan saudaraku, sungguh mendekati mustahil-lah ada heker orientalis atau kafir yang sekurang kerjaan itu menyentuh bagian yang detil dari Shahih Muslim. Mereka itu bukannya lebih tertarik sama jeroan web daripada Islam? Bukankah heker biasanya tidak memedulikan masalah keagamaan?
Dan bapak ustadz Abul-Jauzaa yang saya cinta, sungguh terima kasih yang besar. Saya senang sekali membaca komentar kecil ustadz ini. Masya Allah. Padahal saya niat mau komentar "promosi SalafiDB" di sini. Masya Allah, Allah telah memalingkan ketertarikan saya.
Dan alhamdulillah dengan bantuan orang-orang seperti ustadz ini yang saat ini ada di mana-mana, saya pun memiliki (sedikit dari yang paling sedikit) apa yang ustadz katakan itu. Yah selama yang saya hadapi orang yang terpercaya, maka sudah hilang beban kekhawatiran akan keotentikan sumber.
Namun jika saya keliru, terima kasih jika ustadz mengingatkan.
Begitu juga menunjukkan keutamaan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhu sebagai pencatat wahyu. Apakah mungkin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan menyerahkan amanah pencatatan wahyu yang suci kepada orang yang kafir atau orang yang akan mati kafir – sebagaimana kedengkian Raafidlah kepadanya – sementara di sisi beliau ada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu yang sebelumnya telah beliau tunjuk sebagai sekretaris beliau ?. Tidakkah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan dengan ‘Aliy saja ?. Tidakkah mereka (orang Raafidlah) mau sejenak berpikir ?.
pikiran mereka, tertutup oleh kedengkian.
ust. ada kabar terbaru dan jg Syubhat mengenai para ulama sedunia yg membela syiah.., tolong dicek dunk kebenaranx..., sy lihat ada bbrp blogger yg memposting berita tersebut, jazakallalahu.... :D
ustad afwan klo saya gk setuju klo hadis itu palsu,saya baik sangka sama telitinya imam muslim dalam penentuan derajat hadis.
@Anonim,... saya juga gak setuju. Coba baca artikel di atas dari awal hingga akhir.
Ustadz...mohon share ilmunya. ana mau tanya tentang contoh hadits-hadits dalam SHAHIHAIN yang dikritik oleh para ulama selain Al Albani, karena selama ini golongan Anti-Wahabi sering memojokkan beliau dikarenakan pendho'ifan beliau terhadap hadits-hadits dalam SHAHIHAIN.
syukron sebelumnya
Rahmat - Malang
Salam ustadz,
Benarkah muawiyah ra ini penulis wahyu?? Lalu mengapa Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi mengatakan ia hanya penulis surat aja??
Shamsudin Zahabi dalam Siyar A’lam Nubala menulis:
ونقل المفضل الغلابي عن أبي الحسن الكوفي قال كان زيد بن ثابت كاتب الوحي وكان معاوية كاتبا فيما بين النبي صلى الله عليه وسلم وبين العرب .
الذهبي ، شمس الدين محمد بن أحمد بن عثمان أبو عبد الله ، سير أعلام النبلاء ، ج 3 ص 123 ، تحقيق : شعيب الأرناؤوط ، محمد نعيم العرقسوسي ، ناشر : مؤسسة الرسالة – بيروت ، الطبعة : التاسعة ، 1413هـ .Daripada Abi al-Hasan al-Kufi yang berkata: Zaid bin Thabit penulis Wahyu, Muawiyah adalah penulis surat-surat Nabi kepada orang-orang Arab – Siyar A’lam al-Nubala juz 3 halaman 123.
Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam al-Ishabah menulis:
وقال المدائني كان زيد بن ثابت يكتب الوحي وكان معاوية يكتب للنبي صلى الله عليه وسلم فيما بينه وبين العرب .
الذهبي ، شمس الدين محمد بن أحمد بن عثمان أبو عبد الله ، سير أعلام النبلاء ، ج 3 ص 123 ، تحقيق : شعيب الأرناؤوط ، محمد نعيم العرقسوسي ، ناشر : مؤسسة الرسالة – بيروت ، الطبعة : التاسعة ، 1413هـ .Madain berkata: Zaib bin Tsabit menulis Wahyu dan Muawiyah menulis surat Nabi (saw) untuk orang-orang Arab – al-Ishabah juz 6 halaman 153
Ibnu Abil Hadid menulis:
فالذي عليه المحققون من أهل السيرة أن الوحي كان يكتبه علي عليه السلام وزيد بن ثابت ، وزيد بن أرقم ، وأن حنظلة بن الربيع التيمي ومعاوية بن أبي سفيان كانا يكتبان له إلى الملوك وإلى رؤساء القبائل ، ويكتبان حوائجه بين يديه ، ويكتبان ما يجبى من أموال الصدقات وما يقسم في أربابها .
إبن أبي الحديد المعتزلي ، أبو حامد عز الدين بن هبة الله ، شرح نهج البلاغة ، ج 1 ، ص 201 ـ 202 ، تحقيق : محمد عبد الكريم النمري ، ناشر : دار الكتب العلمية – بيروت / لبنان ، الطبعة : الأولى ، 1418هـ – 1998م .
Penyelidik daripada kalangan sejarawan mengatakan: Sesungguhnya Wahyu ditulis oleh Ali, Zaid bin Tsabit dan Zaid bin Arqam. Manakala Hanzalah bin al-Rabi’ al-Timi dan Muawiyah menulis surat baginda kepada kerajaan-kerajaan dan kepala-kepala kabilah, mereka berdua menulis keperluan-keperluan dan harta-harta Baitul Mal termasuk pembahagiannya…. – Syarah Nahjul Balaghah Ibnu Abil Hadid juz 1 halaman 201-202
Minta penjelasan ya ustadz..
Tentang kutipan Adz-Dzahabiy dari Abul-Hasan Al-Kuufiy, di situ tidak ada tashrih yang menafikkan Mu'aawiyyah sebagai penulis wahyu. Persis di bawah kalimat tersebut Adz-Dzahabiy menuliskan :
عمرو بن مرة: عن عبد الله بن الحارث، عن زهير بن الاقمر، عن عبد الله بن عمرو، قال: كان معاوية يكتب لرسول الله صلى الله عليه وسلم
'Amru bin Murrah, dari 'Abdullah bin Al-Haarits, dari Zuhair bin Al-Aqmar, dari 'Abdullah bin 'Amru, ia berkata : "Adalah Mu'aawiyyah biasa menuliskan untuk Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam".
أبو عوانة: عن أبي حمزة، عن ابن عباس، قال: كنت ألعب مع لغلمان، فدعاني النبي صلى الله عليه وسلم، وقال: " ادع لي معاوية " وكان يكتب الوحي.
Abu 'Awaanah, dari Abu Hamzah, dari Ibnu 'Abbaas, ia berkata : "Aku pernah bermain-main dengan anak-anak, lalu Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memanggilku dan berkata : 'Panggilkan untukku Mu'aawiyyah' - dan ia seorang yang biasa menuliskan wahyu" [Siyaru A'laamin-Nubalaa', 3/123].
Adapun Ibnu Hajar, maka sama. Adakah di situ berisi tashrih penafikkan Mu'aawiyyah sebagai penulis wahyu ?. Persis di bawah kalimat di atas (yang antum bawakan), Ibnu Hajar menuliskan :
وفي مسند أحمد وأصله في مسلم عن بن عباس قال: قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: " ادع لي معاوية " - وكان كاتبه
"Dan dalam Musnad Ahmad dan asalnya ada dalam (Shahih) Muslim, dari Ibnu 'Abbaas, ia berkata : Telah berkata Nabi shallallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam : "Panggilkan Mu'aawiyyah untukku" - dan ia adalah penulis/sekretaris beliau".
Hadits yang disebutkan oleh Ibnu Hajar ini sama dengan yang disebutkan Adz-Dzahabiy, yaitu bahwasannya Mu'aawiyyah adalah penulis wahyu bagi beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam.
وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ شَهْرَيَارَ، قَالَ: حَدَّثَنَا فَضْلُ بْنُ زِيَادٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا رَبَاحُ بْنُ الْجَرَّاحِ الْمَوْصِلِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَجُلا، يَسْأَلُ الْمُعَافَى بْنَ عِمْرَانَ فَقَالَ: يَا أَبَا مَسْعُودٍ، أَيْنَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ مِنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ؟ فَرَأَيْتُهُ غَضِبَ غَضَبًا شَدِيدًا وَقَالَ: لا يُقَاسُ بِأَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ، مُعَاوِيَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَاتِبُهُ وَصَاحِبُهُ وَصِهْرُهُ وَأَمِينُهُ عَلَى وَحْيِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Syahrayaar : Telah menceritakan kepada kami Fadhl bin Ziyaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Rabbaah bin Al-Jarraah Al-Maushiiliy, ia berkata : Aku mendengar seseorang bertanya kepada Al-Mu’aafaa bin ‘Imraan. Ia berkata : “Wahai Abu Mas’uud, dimanakah kedudukan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dibandingkan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan ?”. Maka aku (Rabbaah) melihatnya (Al-Mu’aafaa) sangat marah, lalu berkata : “Tidak boleh dibandingkan seorang pun dengan shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mu’aawiyyah radliyallaahu ‘anhu adalah sekretaris beliau, shahabat beliau, kerabat beliau, dan kepercayaan beliau atas wahyu Allah ‘azza wa jalla (untuk menulisnya)” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy 3/520; sanadnya hasan].
Tentang Ibnu Abil-Hadiid, maka tidak layak kita bersibuk ria memperhatikan omongannya, karena ia seorang Raafidlah yang berbaju sunnah (Ahlus-Sunnah).
Tentang hadist yang ada dalam catatan kaki artikel di atas :
يَا عَلِيُّ، هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَشَبَابُهَا بَعْدَ النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ
“Wahai ‘Aliy, dua orang ini (yaitu Abu Bakr dan ‘Umar) adalah pemimpin bagi orang-orang dewasa penduduk surga dan para pemudanya (wa syabaabuhaa), selain para Nabi dan Rasul”.
ada yang mempermasalahkan tentang perawi yang bernama 'Abdullah bin 'Umar Al-Yamaamiy. Katanya ia majhuul dengan menukil dari Al-Husainiy dalam Al-Ikmaal, dan kemudian ia mencari 'pengembangan' dari perkataan Al-Husainiy ini.
Sebenarnya Ibnu Hajar telah mengoreksi perkataan Al-Husainiy dalam Al-Ikmaal yang menghukumi majhuul. Ibnu Hajar berkata setelah menyebutkan penyimpulan Al-Husainiy :
قلت ضرب عليه الحسيني وقال هو بن محمد الذي أخرج له مسلم
"Aku berkata : Al-Husainiy telah menetapkannya, dan ia berkata : Ia adalah Ibnu Muhammad yang dipakai riwayatnya oleh Muslim" [Ta'jiilul-Manfa'ah, 1/756 no. 571].
Oleh karena itu, Ibnu Hajar dalam Tahdziibut-Tahdziib (6/21-22 no. 31) menetapkan sebagaimana penetapan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal (16/305 no. 3554) dengan nama :
عبد الله بن محمد ويقال ابن عمر اليمامي المعروف بابن الرومي
"'Abdullah bin Muhammad, dan dikatakan : Ibnu 'Umar Al-Yamaamiy, dikenal dengan nama : Ibnu Ar-Ruumiy" [selesai].
Hal yang sama, ketika Ibnu Hajar menetapkan kesimpulan tentangnya berkata :
عبد الله بن محمد اليمامي، نزيل ببغداد، المعروف بابن الرومي، ويقال اسم أبيه عمر، صدوق
"'Abdullah bin Muhammad Al-Yamaamiy, singgah di Baghdaad, terkenal dengan nama Ibnu Ar-Ruumiy, dan dikatakan nama ayahnya adalah 'Umar, seorang yang shaduuq" [Taqriibut-Tahdziib, hal. 544 no. 3628].
Termasuk thabaqah kesepuluh.
Apa yang dikatakan Ibnu Hajar bukanlah tanpa alasan, sebab perawi yang yang dikenal dengan penisbatan Ar-Ruumiy itu juga telah ma'ruuf.
Ayah dari 'Abdullah bin 'Umar Ar-Ruumiy - sebagaimana dimaksudkan Ibnu Hajar - adalah 'Umar bin 'Abdillah bin 'Abdirrahmaan Al-Bashriy, terkenal dengan nama Ar-Ruumiy. termasuk thabaqah ketujuh [Taqriibut-Tahdziib, hal. 722 no. 4964].
Ayah dari 'Umar ini (yaitu : 'Abdullah bin 'Abdirrahmaan) juga terkenal dengan nama Ar-Ruumiy. Termasuk thabaqah keempat [Tahdziibul-kamaal 15/230, Taqriibut-Tahdziib, hal. 522 no. 3462].
Jadi, 'Abdullah bin 'Umar Al-Yamaamiy ini bukanlah majhuul, akan tetapi ma'ruuf dengan nama 'Abdullah bin Ar-Ruumiy Al-Yamaamiy, dan terkenal lagi dengan julukannya Ibnu Ar-Ruumiy.
Benar bahwa dalam Al-Jarh wat-Ta'diil (5/208 no. 982) bahwa 'Umar bin Yuunus Al-Yamamiy adalah guru (syaikh) dari 'Abdullah Ar-Ruumiy. Namun apakah menjadi masalah jika kemudian dalam riwayat disebutkan bahwa 'Umar bin Yuunus Al-Yamaamiy mengambil riwayat dari 'Abdullah bin ('Umar) Ar-Ruumiy ?. Jika dianggap sebagai masalah, lantas apa artinya riwayat akaabir dari ashaaghir yang banyak bertebaran dalam kitab-kitab hadits ?. Adapun tidak disebutkannya periwayatan 'Abdullah Ar-Ruumiy dari 'Umar bin Yuunus dalam kitab biografi tidaklah menjadi masalah, karena yang menjadi pokok hujjah adalam riwayat itu sendiri.
Permasalahan selisih 68 tahun antara wafatnya Al-Hasan bin Zaid bin Hasan dengan wafatnya ‘Abdullah bin ‘Umar Al-Yamaamiy tidaklah menjadi masalah. Lihatlah thabaqahnya. Al-Hasan merupakan thaqabah ketujuh, setara dengan thabaqah ayah ‘Abdullah bin ‘Umar Al-Yamaamiy sebagaimana disebutkan di atas. Betapa banyak perawi yang berusia panjang ?. Seandainya 'Abdullah bin 'Umar Al-Yamaamiy berusia 80 tahun hingga 90 tahun, apakah mustahil ia meriwayatkan dari Al-Hasan bin Zaid ?. Apakah sangat jarang ditemui perawi yang usianya di atas 80 tahun ?.
Wallaahu a'lam.
Assalamu'alaikum..
Ustadz, afwan, mau bertanya.. apakah hadits ini sahih.??
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Seandainya agama itu berada pada gugusan bintang yang bernama Tsuraya niscaya salah seorang dari Persia atau dari putra-putra Persia akan pergi ke sana untuk mendapatkannya. (Shahih Muslim No.4618)
hadits di'atas saya kutif dari situs ini::
http://kabarislam.wordpress.com/2012/01/17/konflik-as-israel-arab-dengan-iran-mengkaji-al-quran-dan-hadits/
dengan Hadits ini, mereka jadi merasa mantap bahwa Syiah adalah ajaran yang benar dan Persia (Iran)adalah negri yang memiliki keutamaan.
terimakasih sebelumnya Ustadz.
Wa'alaikumus-salaam.
Hadits itu shahih. Tapi kalau kemudian hadits itu dijadikan dasar legitimasi ajaran Syi'ah, ya tidak lah ya..... Tulisan di khabar Islam itu banyak ngawurnya.
Okey Ustadz.. Makasih banyak jawabannya yaa..
oh iya, bagaimana dengan hadits ini ustadz ::
Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah dari Nafi’ bin ‘Utbah, beliau berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kami hafal darinya empat hal yang aku hitung dengan tanganku, beliau bersabda: “Kalian akan memerangi Jazirah Arab lalu Allah menaklukkannya, kemudian Persia lalu Allah menaklukkannya, kemudian kalian akan memerangi Romawi lalu Allah menaklukkannya, kemudian kalian akan memerangi Dajjal lalu Allah menaklukkannya.” Dia (Jabir) berkata, selanjutnya Nafi’ berkata, “Wahai Jabir, kita tidak akan melihat Dajjal keluar hingga bangsa Romawi ditaklukkan.” -{{ Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/26, Syarh an-Nawawi). }}-
hadis di'atas saya kutip dari Link ini ::
http://almanhaj.or.id/content/736/slash/0/50-51-mengharapkan-kematian-karena-beratnya-cobaan-banyaknya-jumlah-bangsa-romawi/
berdasarkan Hadits di'atas, apakah peperangan antara "Kaum Muslimin VS Prsia", dimana kaum Muslimin atas ijin Allah berhasil menaklukan Persia, peperangan ini sudah terjadi ataukah belum terjadi ustadz.??
sedangkan untuk peperangan besar antara "Kaum Muslimin VS Bangsa Romawi", peperangan ini kan belum terjadi.
_Si'Ardjuna_
Secara de facto, Persia sudah ditaklukkan oleh kaum muslimin pada jaman pemerintahan 'Umar bin Al-Khaththaab radliyallaagu 'anhu. Oleh karenanya, sebagian orang Syi'ah Raafidlah banyak yang menyimpan dendam karenanya. Simak video berikut :
http://www.youtube.com/watch?v=CqycG0_hruY.
Okey Ustadz.. makasiih ya jawabannya..
semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan kebaikan-kebaikan buat Ustadz untuk selama-lamanya. Amin.
sekali lagi, makasiih ya ustadz.
_Si'Ardjuna_
Posting Komentar