Ibnu
Abi Khaitsamah rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا عَمْرِو بْنِ مَرْزُوقٍ،
قَالَ: أنا شُعْبَةُ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، قَالَ: قَالَ
عَلِيٌّ: مَا لِي وَلِهَذَا الْحَمِيتِ الأَسْوَدِ،
يَعْنِي: عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَبَإٍ، وَكَانَ يَقَعُ فِي أَبِي بَكْرٍ،
وَعُمَرَ.
Telah
menceritakan kepada kami ‘Amru bin Marzuuq, ia berkata : Telah mengkhabarkan
kepada kami Syu’bah, dari Salamah bin Kuhail, dari Zaid bin Wahb, ia berkata :
Telah berkata ‘Aliy (bin Abi Thaalib) : “Apa urusanku dengan orang hitam jelek
ini – yaitu ‘Abdullah bin Saba’ - . Dia biasa mencela Abu Bakar dan ’Umar”
[At-Taariikh no. 4358].
Berikut
keterangan para perawinya :
a.
’Amru bin Marzuuq
Al-Baahiliy, Abu ’Utsmaan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, faadlil,
namun mempunyai beberapa keraguan. Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya.
Wafat tahun 244 H [At-Taqriib, hal. 745 no. 5145].
b.
Syu’bah bin
Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-’Atakiy; seorang tsiqah, haafidh,
lagi mutqin. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Wafat tahun 160 H [idem, hal. 436 no. 2805].
c.
Salamah bin Kuhail
bin Hushain Al-Hadlramiy, Abu Yahyaa Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 402 no. 2521].
d.
Zaid bin Wahb
Al-Juhaniy, Abu Sulaimaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi jaliil.
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Wafat setelah
tahun 80 H, dikatakan juga tahun 96 H [idem, hal. 356 no. 2172].
Ada
riwayat lain yang semisal :
أخبرنا أبو القاسم يحي بن بطريق بن بشرى وأبو محمد عبد الكريم
ابن حمزة قالا : أنا أبو الحسين بن مكي ، أنا أبو القاسم المؤمل بن أحمد بن محمد
الشيباني ، نا يحيى بن محمد بن صاعد، نا بندار ، نا محمد بن جعفر ، نا شعبة ، عن
سلمة ، عن زيد بن وهب عن علي قال : مالي وما لهذا الحميت الأسود ؟ قال: ونا يحي بن
محمد ، نا بندار ، نا محمد بن جعفر ، نا شعبة عن سلمة قال: سمعت أبا الزعراء يحدث
عن علي عليه السلام قال: مالي وما لهذا الحميت الأسود
Telah
mengabarkan kepada kami Abu Qaasim Yahya bin Bitriiq bim Bisyraa dan Abu Muhammad
Abdul Kariim bin Hamzah keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu
Husain bin Makkiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Qaasim
Mu’ammal bin Ahmad bin Muhammad Asy Syaibaniy yang berkata telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Muhammad bin Shaa’idi yang berkata telah menceritakan
kepada kami Bundaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Salamah dari
Zaid bin Wahb dari Aliy yang berkata “apa urusanku dengan orang jelek
hitam ini?”. [Mu’ammal] berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Bundaar yang berkata telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan
kepada kami Syu’bah dari Salamah yang berkata aku mendengar Abu Az Za’raa
menceritakan hadis dari Ali [‘alaihis salaam] yang berkata “apa urusanku
dengan orang jelek yang hitam ini?” [Tarikh Ibnu Asakir 29/7].
Riwayat
ini juga shahih.
Ada
yang mengatakan bahwa penyebutan lafadh ‘Abdullah bin Saba’ itu ma’lul,
karena :
Ghundaar perawi yang lebih tsabit darinya tidak menyebutkan lafaz
ini. ‘Amru bin Marzuuq adalah perawi yang shaduq tetapi bukanlah hujjah jika ia
tafarrud sebagaimana telah ternukil jarh terhadapnya dan lafaz “yakni
‘Abdullah bin Saba’ dia mencela Abu Bakar dan Umar” adalah tambahan lafaz
dari ‘Amru bin Marzuuq.
Kita
katakan :
Ghundar
memang dikatakan beberapa ulama sebagai hujjah dalam hadits Syu’bah.
Al-‘Ijliy berkata bahwa ia orang yang paling tsabt dalam hadits Syu’bah
[Ma’rifatuts-Tsiqaat, 2/234]. Ibnul-Mubaarak mengatakan jika orang-orang
berselisih dalam hadits Syu’bah, maka kitab Ghundar menjadi pemutus di antara
mereka [Al-Jarh wat-Ta’diil, 1/271]. Hal yang sama dikatakan oleh
Al-Fallaas [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 2/274]. Dan yang lainnya dari pujian
ulama yang disematkan pada Ghundar dalam periwayatannya dari Syu’bah.
Namun,...
itu bukan berarti ziyaadah keterangan dari ‘Amru bin Marzuuq adalah syaadz
atau ma’luul. Mengapa ? karena tambahan lafadh yang dibawakan oleh ‘Amru
bin Marzuuq tidak menafikkan atau bertentangan dengan ashl riwayat –
sebagaimana ini disebutkan oleh para ulama dalam penerimaan ziyaadah seorang
perawi.[1]
Bersamaan sedikit jarh beberapa ulama terhadapnya, ‘Amru bin Marzuuq sendiri
termasuk perawi tsiqah dalam periwayatan hadits Syu’bah. Abu Haatim
berkata : “Tsiqah, termasuk ahli ibadah. Dan kami tidak pernah bertemu
dengan ashhaab Syu’bah yang kami tulis riwayat darinya, yang lebih baik
haditsnya dari ‘Amru” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/263]. Ibnu Sa’d berkata :
“Tsiqah, mempunyai banyak hadits dari Syu’bah” [Ath-Thabaqaat, 7/305].
Al-Azdiy berkata : “Penyimakan riwayat Abu Daawud Ath-Thayaalisiy[2]
dan ‘Amru bin Marzuuq dari Syu’bah adalah selevel” [Al-Mu’alamu bi-Syuyuukh Al-Bukhaariy wa
Muslim, hal. 436]. Ia termasuk di antara ashhaab Syu’bah yang
diunggulkan, meskipun thabaqah-nya di bawah Ghundar.
Jadi,...
asal riwayat ‘Amru bin Marzuuq dari Syu’bah adalah shahih. Atau dikatakan : Ia
tsiqah dalam periwayatan dari Syu’bah. Oleh karena itu, ini termasuk
bagian ziyaadatuts-tsiqah yang merupakan tabyiin (penjelas) identitas
orang yang dicela oleh ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu dan
sekaligus sebab pencelaan tersebut.[3]
Walhasil,
riwayat pencelaan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu tersebut
adalah shahih.
Ada
riwayat lain :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْمَكِّيُّ، نا سُفْيَانُ،
قَالَ: نا عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ عَبَّاسٍ الْهَمْدَانِيُّ، عَنْ سَلَمَةَ، عَنْ
حُجَيَّةَ الْكِنْدِيِّ، رَأَيْتُ عَلِيًّا عَلَى الْمِنْبَرِ، وَهُوَ يَقُولُ: مَنْ
يَعْذِرُنِي مِنْ هَذَا الْحَمِيتِ الأَسْوَدِ الَّذِي يَكْذِبُ عَلَى اللَّهِ، يَعْنِي:
ابْنَ السَّوْدَاءِ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abbaad Al-Makkiy : Telah menceritakan
kepada kami Sufyaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Jabbaar
bin ‘Abbaas Al-Hamdaaniy, dari Salamah, dari Hujayyah Al-Kindiy : Aku pernah
melihat ‘Aliy ada di atas mimbar dan berkata : “Siapakah yang mau membelaku
dari orang hitam jelek ini yang telah berdusta kepada Allah, yaitu : Ibnus-Saudaa’”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam At-Taariikh no. 4359].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عباد، قَالَ: نا سُفْيَانُ، عَنْ عمار
الدهني، قَالَ: سمعت أبا الطفيل، يقول: رأيت المسيب بْن نجية أتى بِهِ ملببه، يَعْنِي:
ابْن السوداء، وعلي عَلَى المنبر، فَقَالَ عَليّ: ما شأنه؟ فَقَالَ: يكذب عَلَى اللَّه،
وعلى رسوله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abbaad, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Sufyaan, dari ‘Ammaar Ad-Duhniy, ia berkata Aku mendengar
Abuth-Thufail berkata : Aku pernah melihat Al-Musayyib bin Najayyah membawa
Ibnus-Saudaa’ dengan menyeretnya, yang waktu itu ‘Aliy berada di atas mimbar. ‘Aliy
berkata : “Ada apa dengan dia ?”. Ia (Al-Musayyib) berkata : “Berdusta atas
nama Allah dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam At-Taariikh no. 4360].
Kedua
riwayat ini hasan, saling menguatkan.
Poros
sanad riwayat ini ada pada Muhammad bin ‘Abbaad
bin Az-Zibriqaan, Abu ‘Abdillah Al-Makkiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : “shaduuq
yahimu (sering ragu)”. Termasuk thabaqah ke-10,
dan wafat tahun 234 H di Baghdaad. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 858
no. 6031].
Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat.
Ibnu ‘Adiy berkata : “Haditsnya termasuk hadits orang yang yang jujur, dan aku
berharap tidak mengapa dengannya”. Shaalih bin Muhammad berkata : “Tidak
mengapa dengannya”. Ibnu Qaani’ berkata : “Tsiqah”. Ibnu Ma’iin berkata
: “Tidak mengapa dengannya”. Namun ia telah keliru dalam beberapa hadits yang
ia bawakan, sebagaimana dibawakan contohnya dalam Tahdziibul-Kamaal.
Selama tidak terdapat bukti ia melakukan kekeliruan atau penyelisihan, maka
haditsnya hasan (karena ia seorang yang shaduuq).
Tiga
riwayat di atas saling menjelaskan, bahwa orang hitam jelek itu yang dicela ‘Aliy
tersebut adalah Ibnu-Saudaa’ atau ‘Abdullah bin Saba’. Kedua nama ini satu
orang. Ia dicela karena berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya, yang di antaranya karena
mencela Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
‘Aliy
dan ahlul-baitnya[4] berlepas
diri dari para pencela Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum. Artinya,
mereka berlepas diri dari kelakukan jahat orang-orang Syi’ah yang mengikuti
sosok orang yang berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya : ‘Abdullah bin Saba’. Ternyata
kita lebih Syi’ah daripada Syi’ah Raafidlah dalam membela madzhab ‘Aliy bin Abi
Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’
– sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta, 23072012].
[1] Silakan baca beberapa kitab yang membahas ziyaadatuts-tsiqaat,
antara lain : Al-Aqwaalur-Raajihaat fiil-Hadiits Asy-Syaadz wa
Ziyaadatits-Tsiqaat oleh Abu Hurairah Asy-Syaamiy, Ziyaadatuts-Tsiqaat wa
Mauqiful-Muhadditsiin wal-Fuqahaa’ minhaa oleh Nuurullah Syaukat Biik
(desertasi S3, Univ. Ummul-Quraa’), dan yang lainnya.
[2] Padahal, Abu Daawud Ath-Thayaalisiy
termasuk di antara terdepan dalam jajaran ashhaab Syu’bah, sebagaimana ma’ruf.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Abu Daawud Ath-Thayaalisiy dan
Muhammad bin Ja’far (Ghundar) termasuk orang yang paling tsabt di
kalangan ashhaab Syu’bah” [Fathul-Baariy, 2/227].
[3] Yang seperti ini banyak terdapat dalam
kutub hadits. Satu contohnya yang sering dibawakan ulama (misal : Ibnu Shalaah)
dalam pencontohan diterimanya ziyaadatuts-tsiqaat :
حَدَّثَنَا
إِسْحَاق بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ، حَدَّثَنَا مَعْنٌ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ،
عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ، صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى
مِنَ الْمُسْلِمِينَ ".قَالَ أَبُو عِيسَى: حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ حَدِيثٌ
حَسَنٌ صَحِيحٌ .وَرَوَى مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ حَدِيثِ أَيُّوبَ، وَزَادَ
فِيهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، وَرَوَاهُ غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ نَافِعٍ، وَلَمْ
يَذْكُرْ فِيهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Telah
menceritakan kepada kami Ishaaq bin Muusaa Al-Anshaariy : Telah menceritakan Ma’n
: Telah menceritakan kepada kami Maalik, dari Naafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar
: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibakan
zakat fithr di bulan Ramadlaan, satu shaa’ tamr, atau satu shaa’
gandum sya’iir pada setiap orang yang merdeka, budak, laki-laki, atau
perempuan dari kaum muslimin.
Abu
‘Iisaa (At-Tirmidziy) berkata : “Hadits Ibnu ‘Umar adalah hadits hasan shahih.
Dan riwayatkan oleh Maalik, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Naabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam semisal hadits Ayyuub, dan ia menambahkan lafadh padanya
: ‘minal-muslimiin (dari kaum muslimin)’. Dan telah diriwayatkan lebih
dari satu orang dari Naafi’ tanpa penyebutan lafadh ‘minal-muslimiin’ [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 676].
At-Tirmidziy
menshahihkan tambahan lafadh ‘minal-muslimiin’ dari Maalik yang
tidak diriwayatkan oleh jama’ah perawi tsiqaat dari Naafi, dari Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhumaa. Muslim menerima ziyaadah Maalik ini dalam
kitab Shahiih-nya.
Comments
maju terus ust, bongkar fallacy nya si SP
Ust. AJ
mohon kiranya jika memungkin kan dibuat artikel spesial Ramadhan tentang "Sejarah Cinta Lebay" nya Syi'ah pada 'Aliy, Husein dst.
Kenapa harus 'Aliy yang diunggulkan, kenapa Husein dll
Jazakallah
Ana ada pertanyaan, akhiy.
1. Hadits Ma`luul itu sama dengan hadits Syadz, ya?
2. Kriteria Syadz dan Ziyadatuts-tsiqoh yang pernah ana pelajari:
a. Syadz, tambahan dari perowi tsiqoh yang tambahannya bertentangan dengan riwayat dari jama`ah perowi lain.
b.Ziyadatuts-tsiqoh, tambahan dari perowi tsiqoh yang tidak bertentangan dengan riwayat dari jama`ah perowi yang lain.
Apa benar begitu?
Jazakallaahu khoir.
Disanggah balik ustadz, ana copaskan disini ya....
---wah maaf ya pembelaannya ma’lul, nama ‘Abdullah bin Sabaa’ hanya muncul dalam periwayatan ‘Amru bin Marzuuq dari Syu’bah dan ia telah diperbincangkan. kalau ada yang mau berhujjah dengan
pernyataan Abu Hatim bahwa “Tsiqah, termasuk ahli ibadah. Dan kami tidak pernah bertemu dengan ashhaab Syu’bah yang kami tulis riwayat darinya, yang lebih baik haditsnya dari ‘Amru” maka kami katakan Abu Hatim menyendiri dengan pernyataan ini dan ini keliru
Para ulama lain telah menyatakan bahwa ada ashhaan Syu’bah yang lebih baik hadisnya seperti Ibnu Mahdiy dan Ghundaar
Ternukil cukup banyak jarh terhadap ‘Amru bin Marzuuq seperti yang telah kami tuliskan Ali bin Madini meninggalkan hadisnya. Abu Walid membicarakannya. Yahya bin Sa’id tidak meridhai ‘Amru bin Marzuuq. Ibnu ‘Ammar Al Maushulliy berkata “tidak ada apa-apanya”. Al Ijliy berkata “Amru bin Marzuuq dhaif, meriwayatkan hadis dari Syu’bah yang tidak ada apa-apanya”. Daruquthni berkata “shaduq banyak melakukan kesalahan”. Al Hakim berkata “buruk hafalannya”. Ibnu Hibban berkata “melakukan kesalahan. Jarh ini cukup untuk menyatakan tafarrud ‘Amru bin Marzuuq tidak bisa dijadikan hujjah.
Hujjahnya dengan Al Azdiy “penyimakan riwayat Ath Thayalisi dan ‘Amru bin Marzuuq dari Syu’bah adalah selevel” tidak bernilai karena Al Azdiy sendiri seorang yang dikenal dhaif sehingga tidak bisa dijadikan pegangan perkataannya
Perlu diingatkan yang tkami dhaifkan bukan keseluruhan riwayat ‘Amru bin Marzuuq tetapi tambahan lafaz yang memuat nama Abdullah bin Sabaa’ karena dalam riwayat Ghundaar yang lebih tsabit darinya lafaz ini tidak ada. Maka cukup beralasan untuk dikatakan bahwa tambahan itu berasal dari ‘Amru bin Marzuuq bukan bagian dari perkataan Imam Ali.
Kalau ada yang mengatakan Abdullah bin Sabaa’ adalah Ibnu Saudaa’ maka seperti yang kami katakan ia harus membawakan riwayat shahih bukan sekedar berandai-andai. Riwayat ‘Amru bin Marzuuq yang memuat lafaz ‘Abdullah bin Sabaa’ mensifatkan dirinya bahwa ia mencela Abu Bakar dan Umar sedangkan dalam riwayat yang menyebut Ibnu Saudaa’ ia disifatkan dengan berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya. Hal ini justru menguatkan kekeliruan lafaz ‘Amru bin Marzuuq
Dan maaf saudara Abul pembelaan itu bahkan tidak bernilai karena sekiranya ia bisa membuktikan keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’ maka mana buktinya bahwa ia adalah pendiri Syiah. Bisa saja tuh dikatakan Abdullah bin Sabaa’ yang dimaksud adalah Abdullah bin Wahb Ar Raasibiy seorang gembong khawarij. Dan khawarij termasuk yang mecela sahabat bahkan mengkafirkannya.---
--Tommi--
@Abu Yahyaa,....
1. Tidak. Syaadz itu sebagai bagian dari ma'lul. Namun ma'lul itu tidak mesti harus syaadz.
2. Ringkasnya seperti itu.
--------
@Tommie,...
Pernyataan bahwa ta'dil Abu Haatim terhadap 'Amru bin Marzuuq bahwa ia orang yang yang paling baik haditsnya di kalangan ashhaab Syu'bah, kalau dianggap 'menyendiri', ya memang dhahirnya seperti itu. Namun itu bukan berarti harus dipertentangkan dengan perkataan Ibnul-Mubaarak dan yang lainnya terhadap Ghundar, sehingga riwayat ‘Amru bin Marzuuq dari Syu’bah tidak shahih atau lemah. Oleh karena itu, perkataan Abu Haatim tersebut merupakan qarinah bahwa riwayat 'Amru bin Marzuuq dari Syu'bah itu shahih. Ibnu Sa’d pun berkata : “Ia seorang yang tsiqah, banyak haditsnya dari Syu’bah (kaana tsiqah katsiirul-hadiits ‘ann Syu’bah)”. Perkataan Ibnu Sa’d ini tentu beda makna dan konsekuensinya jika ia hanya mengatakan tsiqah, katsiirul-hadiits”, sebagaimana banyak ia katakan dalam kitab Ath-Thabaqah. Perkataan Ibnu Sa’d terhadap ‘Amru bin Marzuuq itu menandakan bahwa ketsiqahannya itu terkait dengan banyaknya periwayatan dari Syu’bah. Atau dengan kata lain, ia tsiqah dalam hadits Syu’bah, yang salah satu sebabnya karena menguasai hadits Syu’bah dengan banyaknya periwayatan darinya. Kedudukan orang yang banyak periwayatan dengan yang sedikit periwayatan adalah beda, sebagaimana dikenal dalam ilmu hadits. Penyendirian (tafarrud) orang yang sedikit periwayatannya (apalagi jika ia meriwayatkan daris eorang syaikh yang dikenal punya banyak murid dan riwayat) lebih mudah dihukumi ghariib dan syaadz dibandingkan orang yang banyak riwayatnya.
Dan ingat,... para ulama sendiri berbeda-beda tentang siapakah orang yang tsabt periwayatannya dari Syu'bah. Saya contohkan : Ahmad bin Hanbal berkata tentang ‘Affaan : “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih baik haditsnya dalam periwayatan dari Syu’bah, dibandingkan ‘Affaan (bin Muslim)” [Al-‘Ilal, 2/362]. Ya, Ahmad – kalau menurut terminologi orang Syi’ah itu – menyendiri dalam pengunggulan ini. Ulama lain menyebutkan urutan di antara ashhaab Syu’bah. Ibnu ‘Adiy mengurutkan : Mu’aadz bin Mu’aadz, Khaalid bin Al-Haarits, Yahyaa Al-Qaththaan, Ghundar, dan yang kelima Abu Daawud Ath-Thayaalisiy” [Al-Kaamil, 3/1129]. Ad-Daaruquthniy berkata : “Yahyaa Al-Qaththaan, ‘Abdurrahmaan, Mu’aadz bin Mu’aadz, Khaalid bin Al-Haarits, dan Ghundar” [Suaalaat Ibni Bukair, hal. 43-44].
Intinya, ashhaab Syu’bah yang shahih periwayatan darinya itu bukan hanya satu orang, tapi banyak. Dan ‘Amru bin Marzuuq salah seorang di antaranya.
Benar beberapa ulama mengkritik ‘Amru bin Marzuuq, tidak ada yang mengingkari karena memang tercantum dalam kitab Al-Jarh wat-Ta’diil. Ibnul-Madiiniy berkata : “Tinggalkan hadits dua orang yang bernama Fahd dan ‘Amru, yaitu : Fahd bin ‘Auf, Fahd bin Hayyaan, ‘Amru bin Marzuuq, dan ‘Amru bin Hakkaam” [Tahdziibul-Kamaal, 22/228-229]. Maka ini adalah jenis jarh mubham, karena ia tidak menjelaskan sebab mengapa ia mesti ditinggalkan. Begitu pula dengan perkataan Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan dan Abul-Waliid. Begitu juga yang lain sebagaimana tertulis di atas.
Akan tetapi kita juga harus melihat perkataan ulama lain tentangnya. Ahmad bin Hanbal berkata : “Tsiqah lagi ma’muun”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah lagi ma’muun”. Sulaimaan bin Harb mengatakan bahwa jarh yang dialamatkan kepada ‘Amru dikarenakan hasad. ‘Affaan bin Muslim meridlai haditsnya. Abu Daawud mengunggulkan ‘Amru bin Marzuuq dibandingkan ‘Aliy bin Al-Ja’d. Padahal, status ‘Aliy bin Al-Ja’d adalah tsiqah lagi tsabat, dan sebagian ulama ada yang mengunggulkannya dalam periwayatan dari Syu’bah. Ibnu Ma’iin berkata : “’Aliy bin Ja’d adalah orang yang paling tsabt dari kalangan penduduk Baghdad dalam priwayatan dari Syu’bah”.
Dan yang lainnya dari perkataan ulama yang menta’dil atau mentsiqahkannya. Oleh karena itu, Ibnu Hibbaan berkata : Kadang keliru, namun kekeliruannya tersebut tidak banyak hingga menyimpang dari keadilan. Akan tetapi kemudian terdapat padanya beberapa kekeliruan yang tidak bisa dihindari oleh manusia”. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth mengomentari perkataan Ibnu Hibbaan ini sebagai perkataan yang ‘adil/pertengahan dalam menyikapi jarh dan ta’dil para imam [Tahriirut-Taqriib, 3/107]. Ibnu Hajar sendiri juga mengatakan : “Tsiqah faadlil, lahu auhaam”. Artinya, ia seorang yang tsiqah, namun memiliki beberapa kekeliruan dalam hadits yang ia riwayatnya. Inilah hukum umum yang diberikan Ibnu Hajar.
Maka di sini sudah dapat diketahui bahwa ‘Amru bin Marzuuq dari Syu’bah tsiqah secara mutlak dalam periwayatan dari Syu’bah, dan haditsnya shahih.
Sebagai informasi saja.... banyak perawi yang mempunyai kelemahan dalam haditsnya secara umum, namun ia shahih pada orang tertentu. Begitu juga sebaliknya, ada orang yang tsiqah secara umum, namun ia lemah pada orang tertentu. Misalnya adalah ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Athaa’ Al-Khaffaaf. Beberapa mengkritiknya, disamping yang memujinya tentu saja. Oleh karena itu, Ibnu Hajar hanya menghukuminya pada level pertengahan : “seorang yang shaduuq, namun kadang keliru” [At-Taqriib, hal. 633 no. 4290]. Namun khusus periwayatannya dari Ibnu Abi ‘Aruubah, maka shahih. Hal itu dikarenakan ia adalah orang yang paling tahu tentang hadits Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, sebagaimana dikatakan Ahmad bin Hanbal. Contoh lain : Hisyaam bin Sa’d Al-Madaniy. Jumhur ulama melemahkannya. Akan tetapi khusus dalam periwayatannya dari Zaid bin Aslam, maka shahih. Abu Daawud berkata : “Hisyaam bin Sa’d orang yang paling tsabt dalam hadits Zaid bin Aslam”. Adapun contoh perawi tsiqah yang periwayatannya lemah dari orang-orang tertentu, misalnya : Ma’mar bin Raasyid, ia lemah dalam periwayatan dari Tsaabit Al-Bunaniy. Abu Ahmad Az-Zubairiy, ia lemah dalam hadits Ats-Tsauriy.
Nah,... saya ulangi dalam kasus ‘Amru bin Marzuuq, ia shahih dalam periwayatan dari Syu’bah.
Kemudian bandingkan dengan metode ambigu orang Syi’ah itu dalam kasus lain, yaitu hadits yang menyatakan Mu’aawiyyah minum khamr.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan aku dahulu memiliki kenikmatan seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku” [Diriwayatkan oleh Ahmad].
Abu Zur’ah dalam Taariikh-nya (2/677), dan dari jalannya Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq (27/126-127) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Syabbuuyah : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Husain, dari ayahnya : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata :
دخلت مع أبي على معاوية
“Aku bersama ayahku masuk menemui Mu’aawiyyah” [selesai].
Hadits ini dan hadits sebelumnya berporos pada Al-Husain bin Waaqid. Hanya saja, dalam riwayat Ahmad di atas, Zaid bin Hubbaab menambahkan lafadh - yang menurut orang Syi’ah itu – Mu’aawiyyah menawarkan khamr kepada Buraidah. Tsiqahkah Zaid bin Hubbaab ?. Ia hanya berderajat shaduuq saja. Jadi ini adalah tambahan lafadh yang diberikan oleh Zaid bin Hubbaab. Kemudian ada riwayat lain :
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadits tersebut dengan lafadh sebagai berikut :
حدثنا زيد بن الحباب عن حسين بن واقد قال حدثنا عبد الله بن بريدة قال : قال : دخلت أنا وأبي على معاوية، فأجْلَسَ أبي على السَّرير، وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ، فقال معاوية:"ما شيءٌ كنتُ أستَلِذَّهُ وأنا شابٌّ فآخُذُهُ اليومَ إلا اللَّبَنَ؛ فإني آخُذُه كما كنتُ آخُذُه قَبْلَ اليَومِ، والحديثَ الحَسَنَ .
Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubaab, dari Husain bin Waaqid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : Aku dan ayahku masuk/mendatangi Mu’aawiyyah. Maka ia (Mu’aawiyyah) mempersilakan duduk ayahku di atas sofa. Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia meminumnya. Mu’aawiyyah berkata : “Tidak ada sesuatu yang aku pernah merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda,yang kemudian aku ambil pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik” [Al-Mushannaf, 6/188].
Susunan perawi yang dibawakan oleh Ibnu Abi Syaibah ini sama dengan yang dibawakan Ahmad. Hanya saja, riwayat Ibnu Abi Syaibah ini tidak terdapat lafadh menawarkan minum khamr. Yang ada, Mu’aawiyyah malah menyatakan bahwa minumannya adalah susu.
Jelas dan kentara sekali bahwa ziyaadah Zaid bin Hubbaab itu bermasalah, karena lafadh antara Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad berlainan bahkan kontradiktif. Nah,... orang Raafidlah ini mati-matian membela ziyaadah bermasalah ini. Kenapa ?. Karena isinya Mu’aawiyyah menawarkan minum khamr. Pas sekali dengan tabiat orang Raafidlah ini yang memang gemar mencela Mu’aawiyyah.
Bandingkan dengan riwayat ‘Amru bin Marzuuq. Ia hanya menambahkan lafadh ‘Abdullah bin Saba’ yang tidak dibawakan oleh Ghundar. Padahal, ulama telah mengatakan bahwa riwayat ‘Amru bin Marzuuq dari Syu’bah adalah shahih.
Jazakallahu khoiron ustadz, sudah berbagi ilmu..
Sebagaimana diklaim oleh shiah yang durhaka terhadap buyutnya, masalah eksistensi buyut shiah gimana ustadz ? apa orang item bin saba' ini memang buyut mereka ?
ust, bgm dg tanggapan balik komentar si rafidi thd bantahan antm diatas?
Ndak ada tambahan dari saya, karena yang bersangkutan memang mengkondisikan tambahan keterangan 'Abdullah bin Saba' itu mesti lemah, sehingga alasan yang dibuatnya cenderung mengada-ada. Dia juga tidak berusaha memahami perkataan jarh dan ta'dil para ulama 'Amru bin Marzuuq secara 'adil, karena jika ia lakukan, tentu saja akan menggagalkan usaha yang dirintisnya dari awal. Dalam kitab Ma'rifatu Ashhaabi Syu'bah pun disebutkan bahwa ia seorang yang tsiqah periwayatannya dari Syu'bah.
mantap ustadz, hajar terus. Lemahkan terus argumen muter2 dan mulut berbusa-busanya serta mengada-ada.
Ini bukti kalo dia hanya mau menerima perkataan ulama yg menjarh 'Amr bin Marzuq :
"Jika ia (maksudnya Abul Jauzaa') berkeras dengan apa yang dikatakan Abu Hatim maka apa salahnya juga kalau kami mau berkeras dengan apa yang dikatakan Al Ijliy “dhaif meriwayatkan hadis dari Syu’bah tidak ada apa-apanya”. "
Sudah mafhum kalo org rafidhi itu spt itu, ia hanya mau menerima riwayat/perkataan yg menguntungkan golongannya oleh krn itu ia hanya mau mendengarkan perkataan ulama yg menjarh 'Amr bin Marzuq (dan jarh-nya jg jarh mubham) pdhl ga sedikit para ulama yg jg menta'dil beliau. Tambahan lg, Abdullah bin Saba' memang telah dikenal di dunia islam sebagai kakek moyang syi'ah, so, apalagi yg musti dibantah?
--Tom's--
bgmn ust. ttg pernyataan Ibnu Hajar bahwa kisah ttg Ibnu dalam sejarah sangat terkenal, tetapi tdak ada yg bernilai riwayat . Lisanul Mizan Jilid 3 hal 289-290 .
klo bgt riwayat diatas masuk dalam kategori pernyataan Ibnu Hajar.
Bisa disebutkan teks asli perkataan Ibnu Hajar ?. Saya sudah membuka Lisaanul-Miizaan, terbitan Maktabah Al-Mathbuu'aat Al-Islaamiyyah (tahqiq : 'Abdul-Fattah Abu Ghuddah), dan terbitan Muassasah Al-A'lamiy Beirut pada juz dan halaman yang antum sebut tidak menemukannya.
Namun apapun itu, seandainya benar Ibnu Hajar mengatakannya, tetap itu harus diteliti ulang satu persatu riwayatnya. Di atas, telah shahih penyebutan 'Abdullah bin Saba' dari riwayat 'Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu 'anhu.
Assalamu'alaikum,
memang luar biasa semangat dan usaha SP di dalam mentahqiq hadits-hadits ahlu sunnah, benar-benar takjub melihatnya.
takjub karena dia meneliti riwayat sunni memakai kaidah ilmu hadits milik ahlu sunnah, menggunakan metode jarh wa ta'dl milik ahlu sunnah, tetapi dia sendiri lupa akan kondisi riwayat Syiah yang ada di dalam kitab-kitab induk mereka. ..hehe
seperti pendeta nashara yang mempelajari al-Qur'an dan sejarahnya, tetapi dengan tujuan mencari distorsi/penyimpangan dan kemungkinan tahrif yang ada di dalam Kitabullah.
Wallohul Musta'an
klo memang spt itu yg Ust. katakan maka org Rafidhah itu telah berdusta , mereka berhujjah dg perkataan Ibnu Hajar (Lisanul Mizan Jilid 3 289-290 ) untuk menolak keberadaan Ibnu Saba' , sy yg tdk punya kitab2 para Ulama bingung untuk mengecek kebenarannya , mk sy disini tuk menanyakannya, alhamdulilah klo memang tdk ada perkataan Ibnu Hajar yg spt itu .
Hafiz Firdaus Abdullah menjawab tentang isu Ibnu Hajar
Saya petik dari web beliau
“Malah mereka juga mendakwa bahawa kononnya al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (852H) menolak riwayat-riwayat berkenaan Ibn Saba’ sebagai “tidak bernilai.”
M. Hashem di dalam bukunya ‘Abd Allah bin Saba’ Dalam Polemik (Penerbitan YAPI, Jakarta 1989), ms. 24 telah menukil kata-kata Ibn Hajar yang beliau terjemahkan sebagai:
Berita-berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ dalam sejarah sangat terkenal tetapi tidak (satupun) bernilai riwayat. Dan segala puji bagi Allah…
Akan tetapi apabila dirujuk di dalam kitab Ibn Hajar - Lisan al-Mizan, jld. 4, ms. 24, biografi no: 4618 (‘Abd Allah bin Saba’),
Ibn Hajar berkata:
وأخبار عبد الله بن سبأ شهيرة في التواريخ, وليست له رواية ولله الحمد
...
Kata-kata Ibn Hajar yang ringkas ini sebenarnya memiliki 2 pecahan:
1. وأخبار عبد الله بن سبأ شهيرة في التواريخ bermaksud:
“Khabar-khabar ‘Abd Allah bin Saba’ masyhur di dalam kitab-kitab sejarah.”
Ini bererti Ibn Hajar mengiktiraf dan membenarkan kewujudan dan peranan Ibn Saba’ sebagaimana yang tercatit di dalam kitab-kitab sejarah.
2. وليست له رواية ولله الحمد
bererti: “Namun bagi dia tidak satu pun riwayat, dan bagi Allah segala puji-pujian.”
Maksud Ibn Hajar, Ibn Saba’ tidak meriwayatkan apa-apa hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sama ada dengan sanad yang sahih atau dha‘if atau maudhu’.
Ringkasnya Ibn Saba’ bukan seorang perawi hadis. Ibn Hajar mengakhiri dengan memuji Allah sebagai tanda kesyukuran.
Ini kerana jika Ibn Saba’ seorang perawi hadis, pasti akan wujud banyak hadis lemah dan palsu yang diriwayatkan olehnya sehingga mencemari ketulenan sumber al-Sunnah bagi umat Islam.
Kata-kata Ibn Hajar ini tidak sedikitpun bererti: “…tetapi tidak (satupun) bernilai riwayat…” sebagaimana yang diterjemahkan oleh M. Hashem.
Inilah yang penulis maksudkan sebagai pendustaan dan penyelewengan ilmiah.
http://www.hafizfirdaus.com/ebook/buku_syiah/Siri1/syiah-rafidhah.htm#_ftn5
Posting Komentar