Nama
Ayatullah Ja’far As-Subhaaniy sangatlah terkenal bagi masyarakat Syi’ah. Ia
adalah salah satu marja’ kontemporer yang cukup disegani. Beberapa orang
memberikan gelar padanya : Ayatullah Al-Faqiih Al-Muhaqqiq. Cukup
produktif dalam menghasilkan tulisan/buku, yang sebagiannya telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia. Namun ternyata, nama besarnya ini tidaklah cukup
membuatnya berperilaku jujur sehingga malah melestarikan budaya dusta para
pendahulunya di kalangan ulama Syi’ah. Mau bukti ?.
Di
antara buku yang pernah ia tulis berjudul : Mut’atun-Nisaa’ fil-Kitaab
was-Sunnah. Inti kitab ini ingin menegaskan keabsahan nikah mut’ah dalam
syari’at Islam menurut kaca mata Syi’ah dan Ahlus-Sunnah. Covernya adalah
sebagai berikut :
Mari
kita buka halaman 29. Ja’far As-Subhaaniy membawakan dalil-dalil dari kitab
Ahlus-Sunnah – yang menurut prasangkanya – menguatkan legalitas nikah mut’ah. Di
antara dalil yang ditulisnya berbunyi :
أخرج الترمذي أن رجلا من أهل الشام سأل
ابن عمر عن المتعة، فقال : هي حلال. فقال الشامي : إن أباك قد نهى عنها. فقال ابن
عمر : أرأيت إن كان أبي قد نهى عنها وقد صنعها رسول الله صلى الله عليه وسلم أأمر أبي
نتبع أم أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟.هـ
“Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy bahwasannya ada seorang laki-laki dari penduduk Syaam
bertanya kepada Ibnu ‘Umar tentang mut’ah. Maka Ibnu ‘Umar berkata : ‘Hal itu
halal’. Orang Syaam itu berkata : ‘Sesungguhnya ayahmu telah melarangnya’.
Ibnu ‘Umar berkata : ‘Bagaimana pendapatmu seandainya ayahku melarangnya,
padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya.
Apakah perkara ayahku yang mesti kita ikuti ataukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam ?” [selesai].
Tidak
lupa Ja’far As-Subhaaniy memberikan sumber riwayat tersebut pada catatan kakinya :
Sunan At-Tirmidziy no. 823. Scan halaman kitabnya bisa dilihat di bawah
:
Sekarang,
mari kita buka riwayat tersebut dalam kitab Sunan At-Tirmidziy yang asli
dimana dalam buku yang saya pegang bernomor no. 824 (juz 2 hal. 175, tahqiq : Dr.
Basyaar ‘Awwaad, Daarul-Gharb, Cet. 1/1996). Di situ tertulis :
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، أَخْبَرَنِي
يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ،
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ
رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الشَّامِ وَهُوَ يَسْأَلُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، عَنِ التَّمَتُّعِ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ، فَقَالَ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: هِيَ حَلَالٌ، فَقَالَ
الشَّامِيُّ: إِنَّ أَبَاكَ قَدْ نَهَى عَنْهَا، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ:
أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ أَبِي نَهَى عَنْهَا وَصَنَعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَمْرَ أَبِي يُتَّبَعُ أَمْ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ بَلْ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: لَقَدْ صَنَعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid : Telah mengkhabarkan kepadaku Ya’quub
bin Ibraahiim bin Sa’d : Telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Shaalih
bin Kaisaan, dari Ibnu Syihaab, bahwasannya Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar
telah menceritakan kepadanya, bahwasannya ia mendengar seorang laki-laki
dari penduduk Syaam bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar tentang masalah tamattu’
dengan melaksanakan ‘umrah dahulu, baru kemudian haji. Maka ‘Abdullah bin ‘Umar
berkata : “Hal itu halal”. Orang Syaam itu berkata : “Sesungguhnya ayahmu
telah melarangnya”. ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : “Bagaimana pendapatmu
seandainya ayahku melarangnya, padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah melakukannya. Apakah perkara ayahku yang mesti diikuti ataukah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Laki-laki itu
menjawab : “Tentu saja perkara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
kita ikuti”. Ibnu ‘Umar berkata : “Sungguh, hal itu (haji tamattu’) telah
dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Sunan
At-Tirmidziy no. 824].
Scan
kitabnya bisa dilihat di bawah :
Anda
dapat lihat bahwa Ja’far mengubah pertanyaan orang Syaam itu dari tamattu’
haji menjadi (nikah) mut’ah. Sulit untuk mengatakan perbuatan Ja’far ini
dilakukan secara tidak sengaja, sebab dalam kitabnya yang berjudul Mut’atul-Hajj
‘alaa Dlauil-Kitaab was-Sunnah hal. 30 ia telah berdalil dengan atsar
tersebut untuk menetapkan kebolehan tamattu’.[1]
Menurut
saya, ini adalah kedustaan, penipuan, dan distorsi. Bagaimana dengan Anda ?.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’
– wonokarto, wonogiri, 10062012, 00:43 WIB].
Comments
begitulah orang syiah... sedikit aja, plesetin sedikiiiit aja... toh orang awam bisa dikadalin, yang penting hawa nafsu mereka menerima... ha..ha... kalo ketauan... blang aja kesleo dikiiiit... ha..ha..ha...
asli ngakaks ustadz...
begitulah perilaku penganut agama syiah !!
Semoga kita di jagakan dari ajaran sesat dan menyesatkan ini
aamiiin
Ana usul ustadz ,
Ada baiknya tulisan antum perihal sekte syiah ini dibukukan , akan sangat bermanfaat bagi orang awam sebagai pegangan bilamana ada subhat yang ditebarkan oleh sekte ini.
Dalam kajian langsung yang banyak dilakukan , bahasannya melulu yang itu-itu saja , maka tulisan antum sedikit banyak dapat dijadikan referensi para da'i dalam dakwahnya.
Menurut saya, ini adalah kedustaan, penipuan, dan distorsi. Bagaimana dengan Anda ?
Menurut saya ngapain dia nyantumin dalil dr ahlus sunnah segala.. miskiin.. pake nipu lagi.. faqir emang orang satu ini...
Seribu-pakat sama akh anonim 8.40.. bukuin aja ustadz.. bermanfaat sekali buat dakwah tuh..
Assalamu'alaikum.
Seandainya tidak memberatkan antum, tolong di terjemahkan bantahan 200 syubhat syiah,dari website:
http://www.du3at.com/du3at11/alrafedhah/shubohat.htm
semoga bermanfaat!. jazakumullah
kalo melaqabkan syiah dengan syiah(lan) boleh tak ustadz??
Tidak.
Selain itu, memplesetkan bahasa seperti itu bukan kebiasaan para ulama, tapi kebiasaan orang-orang awam di jaman sekarang.
assalamu'alaykum.., afwan ust. sy OOT..
gmn tanggapan ust ttng Artikel ini..
'sertifikasi oleh MUI' untuk makanan adalah bid'ah...benarkah seperti itu?
http://hassankonakata.blogspot.jp/2011/02/20091013-fukuoka-alnour-islamic-culture.html
Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Prof. Hasan, tulisan beliau itu menurut saya cenderung berlebihan. Kita harus tahu dulu 'illat pensertifikasian itu sendiri, yaitu adanya produk-produk haram yang membanjiri pasar. Tentu saja ini perlu klasifikasi untuk kepentingan konsumen (muslim).
Yang jadi masalah adalah, sertifikasi itu menjadi bagian dari kepentingan bisnis. Baik dari pihak auditornya maupun auditee-nya, laiknya produk-produk komersial.
plesetan? kalo lawakan sih jadi laku, tapi kalo ulama, ya jadi sesat dan menyesatkan.
Posting Komentar