Pantalon
adalah istilah serapan dari bahasa asing (Inggris) pantaloons, yang
artinya : a man's close-fitting garment for the hips and legs,
worn especially in the 19th century, but varying in form from period
to period; trousers (pakaian ketat laki-laki untuk pinggul dan kaki,
terutama dipakai pada abad ke-19, akan tetapi bentuknya bervariasi dari waktu
ke waktu; celana).[1]
Ada juga yang mengartikan : Men's wide breeches extending from waist to
ankle, worn especially in England in the late 17th century
(celana lebar laki-laki yang memanjang dari pinggang hingga pergelangan kaki,
terutama dipakai di Inggris pada abad ke-17).[2]
Jadi, kalau kita tilik dari makna asalnya dalam bahasa Inggris, secara garis
besar pantaloon ini artinya celana panjang bagi laki-laki. Ada yang
model ketat, ada pula yang lebar. Orang ‘Arab kemudian mengadopsi istilah pantaloons
menjadi banthaluun (البنطلون).
Seperti
apa bentuk pantaloons itu ?. Berikut gambarnya :
Orang
‘Arab mempunyai istilah dan jenis pakaian tersendiri yang ‘serupa’ dengan
pantalon, yaitu : saraawiil (السراويل). Para pakar bahasa ‘Arab mengatakan bahwa saraawiil sebenarnya
merupakan kata dalam bahasa Persi yang di-Arab-kan (muannats), jamaknya
: saraawiilaat (سراويلات). Sebagian pakar bahasa yang lain mengatakan bahwa saraawiil
merupakan bentuk jamak dari kata sirwaal (سروال), sirwaalah (سروالة), dan sirwiil (سرويل). Namun yang lebih fasih dalam bahasa ‘Arab adalah kata saraawiil
(sebagai mufrad). Definisi saraawiil sendiri adalah
pakaian yang menutupi pusar dan kedua lutut, serta apa-apa yang berada di
antara keduanya [lihat : Al-Qaamuus Al-Muhiith, 1/1311; Al-Mu’jamul-Wasiith,
1/888; dan Lisaanul-‘Arab, 11/334].
Saraawiil
telah
dipakai oleh orang ‘Arab sejak jaman dulu, sebagaimana terdapat dalam banyak
riwayat. Diantaranya :
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ يَحْيَى،
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلَاءِ بْنِ زَبْرٍ، حَدَّثَنِي الْقَاسِمُ،
قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ، يَقُولُ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى مَشْيَخَةٍ مِنَ الْأَنْصَارٍ بِيضٌ لِحَاهُمْ، فَقَالَ: "
يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ، حَمِّرُوا، وَصَفِّرُوا، وَخَالِفُوا أَهْلَ
الْكِتَابِ "، قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَهْلَ
الْكِتَابِ يَتَسَرْوَلَونَ وَلَا يَأْتَزِرُونَ ! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " تَسَرْوَلُوا وَائْتَزِرُوا، وَخَالِفُوا أَهْلَ
الْكِتَابِ ".....
Telah
menceritakan kepada kami Zaid bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah bin Al-‘Alaa’ bin Zabr : Telah menceritakan kepadaku Al-Qaasim, ia
berkata : Aku mendengar Abu Umaamah berkata : Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam keluar menemui para sesepuh Anshaar yang jenggot-jenggot
mereka telah memutih. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai
sekalian kaum Anshaar, semirlah uban kalian dengan warna merah dan kuning,
selisihilah Ahlul-Kitaab”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
Ahlul-Kitaab memakai saraawiil namun tidak memakai kain sarung”. Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pakailah
saraawiil dan sarung. Selisihilah Ahlul-Kitaab”... [Diriwayatkan oleh
Ahmad, 5/264; Al-Arna’uth berkata : ‘Sanadnya shahih’].
Asy-Syaukaaniy
rahimahullah berkata :
وفيه الإذن بلبس السراويل وأن مخالفة أهل
الكتاب تحصل بمجرد الاتزار في بعض الأوقات لا بترك لبس السراويل في جميع الحالات
“Dalam
hadits tersebut terdapat izin memakai saraawiil. Dan bahwasannya
penyelisihan terhadap Ahlul-Kitaab tercapai dengan pemakaian sarung pada
sebagian waktu, tidak dengan meninggalkan pemakaian saraawiil dalam semua
keadaan....” [Nailul-Authaar, 2/123].
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ، وَمَحْمُودُ بْنُ
غَيْلَانَ، قَالَا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ سِمَاكِ بْنِ
حَرْبٍ، عَنْ سُوَيْدِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: جَلَبْتُ أَنَا وَمَخْرَفَةُ
الْعَبْدِيُّ بَزًّا مِنْ هَجَرَ، فَجَاءَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَسَاوَمَنَا بِسَرَاوِيلَ وَعِنْدِي وَزَّانٌ يَزِنُ بِالْأَجْرِ، فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْوَزَّانِ : "زِنْ وَأَرْجِحْ
"
Telah
menceritakan kepada kami Hannaad dan Mahmuud bin Ghailaan, mereka berdua
berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Simaak bin
Harb, dari Suwaid bin Qais, ia berkata : Aku dan Makhramah Al-‘Abdiy pernah
membawa pakaian dari Hajar. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi
kami. Lalu beliau menawar saraawiil kepada kami (untuk dibeli), yang
waktu itu aku memiliki tukang timbang yang aku upah. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada tukang timbang : “Timbanglah dan
lebihkanlah” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1305, dan ia berkata :
“Hadits hasan shahih”[3]].
Sebagian
ulama mengatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli saraawiil
namun tidak memakainya. Yang benar, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membelinya
untuk beliau pakai. Inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar [Fathul-Baariy,
10/284] dan Ibnul-Qayyim [Zaadul-Ma’aad, 1/139].
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ،
قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَامَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَسَأَلَهُ، عَنِ الصَّلَاةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ؟ فَقَالَ: "
أَوَكُلُّكُمْ يَجِدُ ثَوْبَيْنِ "، ثُمَّ سَأَلَ رَجُلٌ عُمَرَ، فَقَالَ:
إِذَا وَسَّعَ اللَّهُ فَأَوْسِعُوا، جَمَعَ رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابَهُ، صَلَّى
رَجُلٌ فِي إِزَارٍ وَرِدَاءٍ، فِي إِزَارٍ وَقَمِيصٍ، فِي إِزَارٍ وَقَبَاءٍ، فِي
سَرَاوِيلَ وَرِدَاءٍ فِي سَرَاوِيلَ وَقَمِيصٍ، فِي سَرَاوِيلَ وَقَبَاءٍ، فِي
تُبَّانٍ وَقَبَاءٍ، فِي تُبَّانٍ وَقَمِيصٍ، قَالَ: وَأَحْسِبُهُ، قَالَ: فِي
تُبَّانٍ وَرِدَاء
Telah
menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Harb, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Ayyuub, dari Muhammad, dari Abu Hurairah, ia
berkata : Seorang laki-laki berdiri dan bertanya kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tentang shalat yang hanya mengenakan satu pakaian saja.
Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Apakah setiap
orang di antara kalian bisa mendapatkan dua helai baju ?”. Kemudian orang
tersebut bertanya kepada ‘Umar, lalu ia (‘Umar) menjawab : “Apabila Allah
memberikan kelapangan, maka pergunakanlah. Seseorang yang dapat mengumpulkan
pakaiannya untuk shalat, hendaklah ia shalat dengan pakaian itu. Seseorang bisa
shalat dengan memakai sarung dan ridaa’[4],
sarung dan qamiish, sarung dan qubaa’ (pakaian luar), saraawiil
dan ridaa’, saraawiil dan qamiish, saraawiil dan
qubaa’, atau celana pendek dan qamiish”. Abu Hurairah berkata :
“Aku mengira ia (‘Umar) berkata : celana pendek dan ridaa’”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 365].
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ لَمْ يَجِدْ
إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ
خُفَّيْنِ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan,
dari ‘Amru, dari Jaabir bin Zaid, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang tidak mendapatkan
sarung, hendaklah ia memakai saraawiil. Dan barangsiapa yang mendapatkan
sepasang sandal, hendaklah ia memakai khuff (ketika ihraam)” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 5804].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ
فَارِسٍ الذُّهْلِيُّ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو
تُمَيْلَةَ يَحْيَى بْنُ وَاضِحٍ، حَدَّثَنَا أَبُو الْمُنِيبِ عُبَيْدُ اللَّهِ
الْعَتَكِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: "
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُصَلِّيَ فِي
لِحَافٍ لَا يَتَوَشَّحُ بِهِ وَالْآخَرُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي سَرَاوِيلَ وَلَيْسَ
عَلَيْكَ رِدَاءٌ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa bin Faaris Adz-Dzuhliy : Telah
menceritakan kepada kami Sa’iid bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami
Abu Tumailah Yahyaa bin Waadlih : Telah menceritakan kepada kami Abul-Muniib
‘Ubaidullah Al-‘Atakiy, dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat dengan
menggunakan selimut tanpa mengikatkannya. Dan beliau juga melarang engkau
shalat dengan saraawiil tanpa mengenakan ridaa’” [Diriwayatkan
oleh Abu Daawud no. 636; dan dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan
Abi Daawud, 1/189].
حَدَّثَنَا أَبُو الْعَلَاءِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ،
عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ، أَنَّهُ قَالَ: رَقِيتُ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ عَلَى
ظَهْرِ الْمَسْجِدِ، وَعَلَيْهِ سَرَاوِيلُ مِنْ تَحْتِ قَمِيصِهِ، فَنَزَعَ
سَرَاوِيلَهُ، ثُمَّ تَوَضَّأَ، وَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، وَرَفَعَ فِي
عَضُدَيْهِ الْوُضُوءَ، وَرِجْلَيْهِ، فَرَفَعَ فِي سَاقَيْهِ
Telah
menceritakan kepada kami Abul-‘Alaa’, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Laits, dari Khaalid bin Yaziid, dari Sa’iid bin Hilaal, dari Nu’aim
Al-Mujmir, bahwasannya ia berkata : Aku pernah naik di atas punggung masjid bersama Abu Hurairah yang waktu itu ia
memakai saraawiil di bawah qamish (baju)-nya. Kemudian ia
mengangkat (melinting) saraawiil-nya, lalu berwudlu. Ia membasuh wajah
dan kedua tangannya. Ia melebihkan basuhan wudlunya pada tangan hingga lengan
atas, dan kaki hingga kedua betisnya....” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/400; dan
Al-Arna’uth berkata : “Sanadnya qawiy (kuat)”].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ:
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ، عَنْ أَبِي خَلْدَةَ، قَالَ: رَأَيْتُ أَبَا
الْعَالِيَةِ عَلَيْهِ سَرَاوِيلُ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: قَالَ: " إِنَّهَا
مِنْ لِبَاسِ الرِّجَالِ "
Telah
menceritakan kepada kami Zaid bin Hubbaab, dari Abu Khaldah, ia berkata : Aku
pernah melihat Abul-‘Aaliyyah memakai saraawiil, lalu aku tanyakan hal
itu kepadanya, dan ia menjawab : “Ia adalah pakaian laki-laki” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25254; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ
عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ أَنَّهُ بَالَ ثُمَّ
أَدْخَلَ يَدَهُ فِي سَرَاوِيلِهِ فَغَسَلَ ذَكَرَهُ "
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’, dari Syu’bah, dari ‘Amru bin Murrah, dari
Ibraahiim, dari Al-Aswad : Bahwasannya ia pernah kencing, kemudian memasukkan
tangannya ke dalam saraawiil-nya, lalu mencuci dzakarnya” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah no. 603; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدٍ،
قَالَ: أخبرنا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ
عُثَيْمِ بْنِ نِسْطَاسٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ
شَهِدَ الْعَتَمَةَ فِي سَرَاوِيلَ وَرِدَاءٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’d : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ma’n bin ‘Iisaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Muslim,
dari ‘Utsaim bin Nisthaas, ia berkata : “Aku melihat Sa’iid bin Al-Musayyib
menghadiri shalat ‘Isya’ dengan mengenakan saraawiil dan ridaa’”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat, 5/72; sanadnya hasan].
Riwayat-riwayat
di atas menunjukkan bahwa saraawiil merupakan pakaian laki-laki yang
telah masyhur lagi biasa dikenakan semenjak jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, dan turun-temurun di kalangan salaf.
Lantas,
seperti apa itu bentuk saraawiil ?. Berikut gambarnya :
Gambar di atas saya ambil dari kitab Libaasur-Rajul,
Ahkaamuhu wa Dlawaabithuhu fil-Fiqhil-Islaamiy (2/1468) oleh Naashir bin
Muhammad Al-Ghaamidiy – desertasi Univ. Ummul-Qurraa’, tahun 1422 H.
Kembali
bahasan yang terkait dengan judul.......
Bolehkah
kita (laki-laki) memakai pantalon/pantaloons dalam keseharian aktivitas
kita ?.
Para
ulama kontemporer berbeda pendapat. Ada yang melarang, ada pula yang
memperbolehkannya (dengan syarat). Berikut sebagian fatwa mereka :
Ulama
yang Melarang
a.
Asy-Syaikh
Al-Albaaniy rahimahullah.
“....... "Celana
pantalon mengandung dua cela. Pertama, orang yang menggunakannya berarti
bertasyabuh dengan kaum kafir. Pada mulanya kaum muslimin mengenakan celana
panjang yang luas dan longgar yang sekarang masih digunakan oleh sebagian orang
di Suriah dan Libanon. Mereka sama sekali tidak mengenal celana pantalon,
kecuali setelah mereka ditaklukkan dan dijajah. Kemudian setelah kaum penjajah
takluk dan mengundurkan diri mereka meninggalkan jejak yang buruk, lalu dengan
kebodohan dan kejahilan kaum muslimin melestarikan peninggalan mereka tadi. Kedua,
celana pantalon dapat membentuk aurat, sedangkan aurat laki-laki adalah dari
lutut hingga pusar. Ketika sholat seorang muslim seharusnya amat jauh dari
keadaan bermaksiat kepada RabbNya, namun bagi mereka yang menggunakan celana
pantalon, anda akan melihat kedua belahan pantatnya terbentuk, bahkan dapat
membentuk apa yang ada di antara kedua pantatnya tersebut. Bagaimana muungkin
orang yang dalam keadaannya semacam ini dikatakan sholat dan berdiri di hadapan
Rabbul 'Alamin?!
Anehnya banyak di
antara pemuda muslim yang mengingkari wanita-wanita berpakaian ketat atau
sempit karena membentuk bodinya sementara mereka sendiri lupa akan diri mereka.
Mereka sendiri terjatuh pada hal yang diingkari, sebab tidak ada perbedaan
antara wanita yang berpakaian sempit dan membentuk tubuhnya dengan pria yang
memakai celana pantalon yang juga membentuk pantatnya. Pantat pria dan pantat
wanita keduanya sama-sama aurat. Karena itu wajib bagi para pemuda untuk segera
menyadari musibah yang telah melanda mereka kecuali orang yang dipelihara
Allah, namun mereka sedikit”.
b.
Asy-Syaikh Yahyaa
Al-Hajuriy hafidhahullah.
Soal
:
Sebagian orang yang membolehkan celana pentalon
dan dasi berdalih
dengan kaidah: hukum asal segala sesuatunya itu adalah boleh, benarkah dalih
yang seperti ini?
Jawab
:
Ini tidaklah benar, ibarah “hukum asal segala sesuatunya itu adalah boleh” adalah
ibarah yang masih butuh diteliti lagi, hanya saja yang mereka (ulama) katakan
adalah: hukum asal dalam perkara makanan dan minuman dan seterusnya adalah
boleh, dan kemaluan hukum asalnya adalah haram, maka apakah kaidah tersebut
yang menghukumi dalil ataukah dalil-lah yang menghukumi kaidah? Tidaklah di
sana terdapat kaidah melainkan engkau perlu mencarikan dalil untuknya bukan
malah engkau berdalih dengannya,
Memakai celana
pentalon itu menyerupai orang-orang kafir Apakah Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam dulunya mengenakan pentalon, demikian juga Abu Bakr
Ash-Shiddiq dan khulafa’ur Rosyidin, demikian pula Ibnu Mubarak, Sufyanain
(Sufyan At-Tsaury dan Sufyan ibnu ‘Uyainah), Hammadain (Hammad bin Zaid dan
Hammad bin Salamah), dan Al-Auza’i, tidak satupun dari mereka yang
mengenakannya.
Andaikata celana
ini ada pada zaman mereka, tentulah mereka akan sangat membencinya, sebab
mereka itu sangat melarang untuk menyerupai orang-orang Eropa (barat) dan
orang-orang kafir, Allah subhanahu wa ta’ala berkata:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا
إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
"Apakah
engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwasanya mereka itu telah
beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelummu?mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu" [An-Nisaa': 60].
Sama saja apakah
itu dalam ucapan, perbuatan ataupun selainnya, dan berkata Allah ta’ala:
لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
"Dan
janganlah kalian mengambil orang-orang kafir sebagai wali (teman akrab,
penolong, dan pelindung), dengan meninggalkan orang-orang mukminin"
[An-Nisaa': 144].
Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam berkata:
ومن تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan kaum
tersebut” [HR. Abu Daud dari sahabat Ibnu
Umar radhiyallahu 'anhu, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah di Irwaa' (1269)
dengan syawahidnya]
Dan Syaikhul Islam
punya ungkapan yang kuat di “Iqtidhaa’ Shiratal Mustaqim Mukhalafat Ashhabil
Jahim“: Barangsiapa yang memakai pakaian orang-orang kafir dan berpendapat
bahwa pakaian itu lebih bagus dan lebih mendapat petunjuk daripada pakaian
muslimin maka dia kafir. -selesai- [Al-Iftaa' alal Asilah Al-Waridah min
Duwalin Syatta, hal. 200-201].
c.
Asy-Syaikh Rabii’
Al-Madkhaliy hafidhahullah.
“.......Dan potong
jenggot termasuk dari maksiat yang merupakan sebab kekalahan, dan tasyabbuh
(menyerupai orang kafir) dengan memakai pentalon adalah bentuk peniruan
terhadap musuh-musuh Allah –semoga Allah memberkahimu- sementara kalian
tahu bahwasanya para sahabat kalah pada perang Uhud dan Hunain, adapun hari
Uhud disebabkan penyelisihan pasukan pemanah yang akhirnya menimpa para sahabat
yang dipimpin oleh Rasulullah apa yang telah menimpa mereka.
Demikian juga hari
Hunain peristiwanya hampir sama:
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ
عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ
مُدْبِرِينَ * ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ
“Dan (ingatlah)
peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah
kalian, Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian
sedikitpun, dan bumi yang
luas itu telah terasa sempit oleh kalian, kemudian kalian lari kebelakang
dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya
…” [At-Taubah: 25-26].
Jadi karena
sebagian di antara mereka ada yang mengatakan “Sekarang jumlah kita sungguh
banyak, kita tidak akan terkalahkan hari ini karena jumlah yang sedikit: Maka
Allah Tabaraka wa Ta’ala memberi mereka pelajaran karena apa
yang timbul pada diri mereka (dari ‘ujub), maka bagaimana kiranya dengan pasukan
yang memotong jenggotnya dan memakai pakaian orang-orang kafir, kemudian
mengharap pertolongan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala?! Karena itulah
kita tidak mendapat pertolongan, seringnya musuh-musuh islam-lah yang meraih
kemenangan melawan kita.
Maka wajib bagi
kita untuk bersemangat dalam menaati Allah dan menetapi dan merealisasikan
perintah-perintah Allah, terutama di medan peperangan agar Allah Tabaraka
wa Ta’ala menolong kita:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ
يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Apabila kalian
menolong (agama) Allah niscaya Ia akan menolong kalian dan mengokohkan
kedudukan kalian.” [Muhammad 7].
Ketika itulah baru
kita berhak dan pantas meraih pertolongan dari Allah ‘Azza wa
Jalla yang telah Ia janjikan kepada kita. -selesai- [Ajwibah
Al-'Allamah Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali As-Salafiyyah 'Ala Asilati
Abi Rawahah Al-Manhajiyyah, hal. 25-27].
Ketiga
fatwa ulama di atas saya ambilkan dari http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=59
dan http://isnad.net/fatwa-ulama-tentang-celana-pantalon.
Silakan merujuk ke sana.
Jika
kita cermati inti fatwa ketiga ulama tersebut, maka ‘illat larangan
memakai pantalon ada 2, yaitu tasyabbuh dengan orang kafir dan
menampakkan aurat (karena sempit).
Ulama
yang Membolehkan dengan Syarat
a.
Ulama Lajnah
Daaimah.
الأصل في أنواع اللباس الإباحة ؛ لأنه من أمور العادات ، قال تعالى :
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ
مِنَ الرِّزْقِ ويستثنى من ذلك ما دل الدليل الشرعي على تحريمه أو كراهته كالحرير
للرجال ، والذي يصف العورة ؛ لكونه شفافا يرى من ورائه لون الجلد أو لكونه ضيقا
يحدد العورة ، لأنه حينئذ في حكم كشفها وكشفها لا يجوز ، وكالملابس التي هي من
سيما الكفار الخاصة بهم ، فلا يجوز لبسها لا للرجال ولا للنساء ؛ لنهي النبي صلى
الله عليه وسلم عن التشبه بهم ، وكلبس الرجال ملابس النساء ولبس النساء ملابس
الرجال ؛ لنهي النبي صلى الله عليه وسلم عن تشبه الرجال بالنساء والنساء بالرجال.
وليس اللباس المسمى بالبنطلون والقميص مما يختص لبسه بالكفار ، بل هو لباس عام في المسلمين والكافرين في كثير من البلاد والدول ، وإنما تنفر النفوس من لبس ذلك في بعض البلاد لعدم الألف ومخالفة عادة سكانها في اللباس ، وإن كان ذلك موافقا لعادة غيرهم من المسلمين ، لكن الأولى بالمسلم إذا كان في بلد لم يعتد أهلها ذلك اللباس ألا يلبسه في الصلاة ولا في المجامع العامة ولا في الطرقات.
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
وليس اللباس المسمى بالبنطلون والقميص مما يختص لبسه بالكفار ، بل هو لباس عام في المسلمين والكافرين في كثير من البلاد والدول ، وإنما تنفر النفوس من لبس ذلك في بعض البلاد لعدم الألف ومخالفة عادة سكانها في اللباس ، وإن كان ذلك موافقا لعادة غيرهم من المسلمين ، لكن الأولى بالمسلم إذا كان في بلد لم يعتد أهلها ذلك اللباس ألا يلبسه في الصلاة ولا في المجامع العامة ولا في الطرقات.
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
“Hukum asal dari
berbagai jenis pakain adalah diperbolehkan, karena ia termasuk perkara ‘aadaat
(kebiasaan). Allah ta’ala berfirman : “Katakanlah: "Siapakah
yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?"
(QS. Al-A’raaf : 32). Dan dikecualikan dari hal tersebut jika ada dalil syar’iy
yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya, seperti sutera bagi laki-laki.
Pakaian yang dapat menampakkan aurat dikarenakan tipis sehingga menampakkan
warna kulit yang ada di balik pakaian, atau sempit sehingga membentuk aurat,
(maka itu tidak diperbolehkan), termasuk hukum menyingkap aurat, sedangkan
menyingkap aurat tidak diperbolehkan. Dan seperti pakaian yang menjadi
kekhususan orang kafir, maka tidak diperbolehkan memakainya, baik laki-laki
ataupun wanita dengan sebab larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bertasyabbuh pada mereka. Dan juga seperti laki-laki yang memakai pakaian
wanita, dan wanita yang memakai pakaian laki-laki; dikarenakan larangan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dari laki-laki bertasyabbuh dengan wanita, dan wanita
bertasyabbuh dengan wali-laki.
Dan pakaian yang
disebut pantalon dan qamiish (kemeja) itu bukanlah termasuk kekhususan
pakaian orang kafir. Bahkan ia termasuk pakaian yang umum dipakai oleh kaum
muslimin dan orang kafir di banyak negeri. Hanya saja yang membuat jiwa enggan
memakainya di sebagian negeri adalah karena peniadaan kelembutan dan
penyelisihan terhadap kebiasaan berpakaian penduduk setempat, meskipun hal itu
berkesesuaian dengan kebiasaan kaum muslimin yang lainnya. Akan tetapi yang
lebih utama bagi seorang muslim apabila di satu negeri pakaian tersebut tidak
dianggap/dipakai oleh penduduknya, hendaknya ia tidak memakainya dalam shalat,
pertemuan umum, dan di jalan-jalan. Wabillaahit-taufiiq, wa shallallaahu
‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa shahbihi wa sallam” [Al-Fataawaa,
24/38-39 no. 1620; dengan ketua : Ibnu Baaz, wakil ketua : ‘Abdurrazzaaq
‘Afiifiy, anggota : ‘Abdullah Al-Ghudayyaan & ‘Abdullah Al-Qu’uud – lihat :
http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=3&View=Page&PageNo=9&PageID=9347].
b.
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimiin rahimahullah.
Beliau rahimahullah
ketika ditanya tentang batasan-batasan tasyabbuh dengan orang kafir,
menjawab :
التشبه بالكفار هو أن الإنسان يتزيا
بزيهم في اللباس, أو في الكلام, أو ما أشبه ذلك, بحيث إذا رآه الرائي يقول: هذا من
الكفار, أما ما يشترك فيه المسلمون والكفار فهذا ليس تشبهاً, مثل: الآن لبس
البنطلون للرجال لا نقول هذا تشبه؛ لأنه صار عادة للجميع, وأما مسألة السيارات
وغيرها فهذه ما فيها تشبه إطلاقاً
“Tasyabbuh dengan
orang kafir adalah seseorang yang meniru mode mereka dalam pakaian, perkataan,
atau yang semisalnya; dimana jika ada orang yang melihat hal tersebut akan
berkata : ‘hal ini (berasal) dari orang kafir’. Adapun hal-hal yang kaum
muslimin dan orang-orang kafir bersekutu di dalamnya, maka ini bukan tasyabbuh.
Misalnya sekarang ini memakai pantalon bagi laki-laki. Kita tidak mengatakannya
perbuatan ini tasyabbuh, karena hal itu telah menjadi kebiasaan bagi
semua orang (baik muslim atau kafir). Adapun masalah mobil dan yang lainnya,
maka ini bukan tasyabbuh secara mutlak” [Pertemuan Terbuka tanggal 16
Jumadits-Tsaaniy 1416 H; lihat : http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=111742].
c.
Asy-Syaikh Abu
Ishaaq Al-Huwainiy hafidhahullah.
Beliau hafidhahullah
pernah ditanya : Apakah diperbolehkan bagi seseorang kadang-kadang memakai
baju dan pantalon, ataukah ia harus senantiasa memakai jubah panjang setiap
saat, dan apakah ia diharamkan dan termasuk tasyabbuh dengan orang kafir
?. Beliau menjawab :
أما لبس البنطلون فلست أراه من التشبه لأنه زي غلب على ديار المسلمين
وكما في القاعدة الفقهية إذا ضاق الأمر اتسع ومع ذلك ففيه حرج من جهة الصلاة فيه
ولذلك أرى ألا يلبسه المسلم اذا لم يكن هناك داع اليه
“Adapun memakai
pantalon, maka aku tidak memandang itu termasuk tasyabbuh (dengan orang
kafir), karena ia adalah pakaian yang umum dipakai di negeri-negeri kaum
muslimin. Dan sebagaimana kaedah fiqhiyyah : ‘apabila satu perkara menjadi
sempit, ia menjadi luas’. Bersamaan dengan hal itu, padanya terdapat kesempitan
(larangan) dari sisi shalat jika mengenakannya. Oleh karena itu aku
berpandangan seorang muslim tidak memakainya apabila tidak ada alasan yang
mendesak” [lihat : http://ar.islamway.com/fatwa/9814].
d.
Asy-Syaikh
Mushthafaa bin Al-‘Adawiy hafidhahullah.
Beliau hafidhahullah
pernah ditanya : “Apakah boleh memakai baju orang Eropa dan pantalon ?”. Dijawab
:
نعم، يجوز العمل في القميص (الإفرنجي) وفي (البنطلون) إذا كان واسعاً
وسابغاً
“Ya, diperbolehkan
memakai baju orang Eropa dan pantalon jika longgar dan besar” [Silsilatut-Tafsiir,
17/46].
Pendapat
yang Raajih
Dengan
mencermati pendapat para ulama di atas beserta alasan-alasan yang
dikemukakannya, maka kami lebih condong pada pendapat yang membolehkannya
dengan alasan (dimana ini merupakan sedikit rangkuman dari yang dijelaskan para
ulama di atas) :
1.
Hukum asal pakaian
adalah mubah, dan tidak ada dalil yang menunjukkan secara jelas tentang
pelarangannya.
2.
Tidak ada bedanya
secara hakekat antara saraawiil dengan pantalon. Ibnu Baaz rahimahullah
di atas juga menyamakan antara hakekat saraawiil dengan pantalon.
Dilihat dari bentuk keduanya pada asalnya memang sama sebagaimana ditampilkan
pada gambar di atas. Hanya saja, modelnya berlainan. Ada yang sempit, ada pula
yang longgar. Oleh karena itu, diperbolehkan bagi seorang muslim memakai
pantalon yang longgar sebagaimana kebolehan memakai saraawiil yang
semisal (longgar).
3.
Pantalon yang
longgar sudah merupakan pakaian yang dapat menutupi aurat laki-laki.[5]
Dr. Naashir bin
Muhammad Al-Ghaamidiy dalam desertasinya (1/176) menjelaskan bahwa saraawiil
adalah pakaian yang memenuhi syarat tersebut.
4.
Pantalon bukanlah
pakaian yang menyerupai (tasyabbuh) pakaian orang kafir, karena
ia sudah merupakan pakaian yang umum dipakai oleh kaum muslimin dan orang-orang
kafir, terlebih di negeri kita ini.
Hanya
saja yang menjadi permasalahan adalah memakainya ketika shalat. Satu point
penting yang perlu dibahas di sini adalah tentang batasan menutup ‘aurat, karena
sebagian ulama melarang seseorang shalat memakai pantalon adalah dengan alasan ini.
Menutup
aurat merupakan syarat keabsahan shalat[6],
dimana kain/pakaian yang dikenakan harus memenuhi syarat : tebal dan tidak
tipis, sehingga tidak menyifatkan warna kulit yang ada di bawahnya. Bila
keadaan ini tidak terpenuhi, maka pakaian/kain tersebut tidak boleh dipakai
untuk shalat menurut kesepakatan para ulama. Dan seandainya pakaian tersebut dapat
menutup warna kulitnya, namun masih menyifatkan bentuk badannya, sah shalatnya.
Meskipun demikian, tetap dibenci (makruuh)
pakaian yang dapat menggambarkan bentuk ‘aurat dan menyembulkannya. Ini
berlaku baik untuk laki-laki dan wanita. Berikut sebagian perkataan ulama madzhab
:
Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah
berkata :
( قَوْلُهُ لَا يَصِفُ مَا تَحْتَهُ ) بِأَنْ
لَا يُرَى مِنْهُ لَوْنُ الْبَشَرَةِ احْتِرَازًا عَنْ الرَّقِيقِ وَنَحْوِ
الزُّجَاجِ ( قَوْلُهُ وَلَا يَضُرُّ الْتِصَاقُهُ ) أَيْ بِالْأَلْيَةِ مَثَلًا ،
....... وَعِبَارَةُ شَرْحِ الْمُنْيَةِ : أَمَّا لَوْ كَانَ غَلِيظًا لَا يُرَى
مِنْهُ لَوْنُ الْبَشَرَةِ إلَّا أَنَّهُ الْتَصَقَ بِالْعُضْوِ وَتَشَكَّلَ
بِشَكْلِهِ فَصَارَ شَكْلُ الْعُضْوِ مَرْئِيًّا فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَمْنَعَ
جَوَازَ الصَّلَاةِ لِحُصُولِ السَّتْرِ
“(Perkataannya : Tidak menyifatkan
apa-apa yang ada di bawahnya), yaitu tidak terlihat darinya warna kulit,
terhindar dari sifat tipis dan transparan. (Perkataannya : Tidak memudlaratkan jika
pakaian/kain itu ‘ngepres’/menempel/ketat), yaitu dengan pantat misalnya.....
Dan ‘ibarat dalam kitab Syarh
Al-Mun-yah : Adapun jika kain/pakaian tersebut tebal tidak nampak darinya
warna kulit, namun ia ‘ngepres’/menempel dengan anggota badan dan tergambar bentuk/rupanya,
lalu terlihatlah bentuk tubuhnya; maka itu tidak menghalangi kebolehan (sahnya)
shalat dengan adanya penutup tadi” [Raddul-Muhtaar, 3/270 – via Syaamilah].
Ibnu Syaas Al-Maalikiy rahimahullah
berkata :
في صفة الساتر : وليكن صفيقا
كثيفا، ولا يكون شفا، ولا بحيث يصف، فإن كان شفا، فهو كالعدم مع الانفراد. وإن كان
بحيث يصف وليس يشف فهو مكروه، ولا يؤدي إلى بطلان الصلاة
“Tentang
sifat penutup (‘aurat) : Hendaknya tebal, tidak tipis, dan tidak bisa mensifati
(‘aurat). Apabila tipis, maka ia seperti ketiadaannya. Dan apabila dapat
menyifatkan ‘aurat, namun tidak tipis, maka makruh, dan shalatnya tidak batal
sehingga perlu diulang” [‘Iqdul-Jawaahir Ats-Tsamiinah fii Madzhab
‘Aalimil-Madiinah, 1/159].
An-Nawawiy
rahimahullah berkata :
قال أصحابنا يجب الستر بما يحول
بين الناظر ولون البشرة، فلا يكفي ثوب رقيق يُشاهد من ورائه سواد البشرة أو بياضها،
ولا يكفي أيضاً الغليظ المهلهل النسج الذي يُظهر بعض العورة من خلله. فلو ستر اللون
ووصف حجم البشرة كالركبة والإلية ونحوهما، صحت الصلاة فيه لوجود الستر
“Shahabat-shahabat
kami (kalangan ulama Syaafi’iyyah – Abul-Jauzaa’) berkata : wajib menutup
‘aurat dengan sesuatu yang dapat menghalangi antara orang yang memandang dengan
warna kulit. Maka, tidaklah mencukupi pakaian tipis yang dapat dilihat hitam
atau putihnya kulit yang ada dibaliknya. Dan tidak mencukupi juga kain tenun tebal
yang menampakkan sebagian ‘aurat dikarenakan tenunnya renggang. Seandainya ia dapat
menutupi warna kulit namun masih menyifatkan bentuk kulit luar (badan) seperti
lutut, pantat, dan yang semisalnya; maka sah shalatnya karena keberadaan
penutup (‘aurat) tersebut” [Majmuu’ Syarhul-Muhadzdzab, 3/170].
Al-Khathiib
Asy-Syarbiiniy Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
فلا يكفي ثوب رقيق ولا مهلهل
لا يمنع إدراك اللون ولا زجاج يحكي اللون لأن مقصود الستر لا يحصل بذلك. أما إدراك
الحجم فلا يضر لكنه للمرأة مكروه وللرجل خلاف الأولى
“Maka
tidaklah mencukupi pakaian tipis yang tidak menghalangi nampaknya warna kulit,
tidak pula (mencukupi) pakaian yang transparan yang dapat menggambarkan warna
kulit; karena tujuan menutupi ‘aurat tidak tercapai dengan hal itu. Adapun nampaknya
bentuk tubuh, tidak memudlaratkannya, akan tetapi bagi wanita adalah makruh dan
bagi laki-laki khilaaful-ulaa[7]
(meninggalkannya lebih baik)” [Mughnil-Muhtaaj, 1/398].
Ibnu
Qudaamah rahimahullah berkata :
وأن كان يستر لونها ويصف
الخلقة جازت الصلاة لأن هذا لا يمكن التحرز منه وإن كان الساتر صفيقا
“Dan
apabila pakaian tersebut menutup warna kulitnya, namun menyifatkan bentuk
badannya, maka shalatnya sah, karena tidak mungkin menghindarkan diri dari hal
tersebut meskipun pakaian/kain penutup itu tebal” [Al-Mughniy,
2/286-287].
Ibnu
Muflih Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
إذا وصف بياض الجلد، أو
حمرته فليس بساتر، وإذا ستر اللون، ووصف الخلقة، أي: حجم العضو، صحت الصلاة فيه،
لأن البشرة مستورة، وهذا لا يمكن التحرز منه
“Apabila
pakaian/kain dapat menyifatkan putih atau merahnya warna kulit, maka itu
bukanlah penutup. Dan apabila ia dapat menutupi warna kulit, namun masih
menyifati bentuk tubuh/anggota badan; sah shalatnya, karena kulit telah
tertutup. Dan yang demikian tidaklah mungkin untuk menghindarinya” [Al-Mubdi’
Syarh Al-Muqni’, 2/51 – via Maktabah Syaamilah].
Dalil
yang dipakai untuk membangun pendapat di atas di antaranya :
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا
زُهَيْرٌ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدِ بْنِ
عَقِيلٍ، عَنِ ابْنِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، أَنَّ أَبَاهُ أُسَامَةَ، قَالَ: كَسَانِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُبْطِيَّةً كَثِيفَةً كَانَتْ مِمَّا
أَهْدَاهَا دِحْيَةُ الْكَلْبِيُّ، فَكَسَوْتُهَا امْرَأَتِي، فَقَالَ لِي رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا لَكَ لَمْ تَلْبَسْ الْقُبْطِيَّةَ
"، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَوْتُهَا امْرَأَتِي، فَقَالَ لِي رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مُرْهَا فَلْتَجْعَلْ تَحْتَهَا غِلَالَةً،
إِنِّي أَخَافُ أَنْ تَصِفَ حَجْمَ عِظَامِهَا "
Telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir : Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin
Muhammad, dari ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil, dari Ibnu Usaamah bin Zaid,
bahwasannya ayahnya yaitu Usaamah berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pernah memberiku baju Qubthiyyah yang tipis yang dihadiahkan oleh
Dihyah Al-Kalbiy. Lalu aku memberikannya kepada istriku untuk dipakai. Setelah
itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Mengapa
engkau tidak mengenakan baju Qubthiyyah ?”. Aku berkata : “Wahai
Rasulullah, aku telah memberikannya kepada istriku agar ia memakainya”. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Perintahkanlah ia
agar ia mengenakan di bawahnya ghilaalah[8].
Sesungguhnya aku khawatir ia akan menyifatkan bentuk tulangnya”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 5/205; sanadnya dla’iif dengan sebab ‘Abdullah
bin Muhammad bin ‘Aqiil. Al-Arna’uth mengatakan : “Kemungkinan untuk dihasankan”[9]].
Faedah
: Riwayat ini menunjukkan perintah menutup ‘aurat bagi wanita lebih keras/ketat
daripada perintah menutup ‘aurat bagi laki-laki, karena ketika Usaamah
memberitahukan pakaian/kain Qubthiyyah kepada istrinya, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk melapisinya dengan ghilaalah.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal yang sama
ketika kain itu diberikan kepada Usaamah di kali pertama.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
يَحْيَى الْحُلْوَانِيُّ، ثنا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ
الْعَوَّامِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي
حَازِمٍ، عَنْ جَرِيرٍ، قَالَ: " إِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْتَسِي وَهُوَ عَارٍ،
يَعْنِي الثِّيَابَ الرِّقَاقَ "
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Yahyaa Al-Hulwaaniy : Telah menceritakan
kepada kami Sa’iid bin Sulaimaan, dari ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Ismaa’iil
bin Abi Khaalid, dari Qais bin Abi Haazim dari Jariir (bin ‘Abdillah
Al-Bajaliy) radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Sesungguhnya ada seorang
laki-laki yang berpakaian, namun hakekatnya telanjang. Yaitu pakaiannya tipis”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 2215; sanadnya
shahih].
Walhasil, jika
seseorang shalat dengan pakaian/kain yang dapat untuk menutupi kulit sehingga
tidak dapat terlihat dari luar, meskipun akan membentuk sebagian anggota tubuh;
maka shalat sah, walau sebagian ulama ada yang memakruhkannya.
Kembali
pada masalah pantalon. Seseorang yang shalat dengan memakai pantalon yang dapat
menutupi ‘auratnya sehingga warna kulitnya tidak terlihat, sah shalatnya. Jika
pantalonnya sempit[10]
hingga dapat membentuk anggota badannya, maka makruh. Bahkan jika terlalu sempit, saya khawatir itu masuk dalam hukum : keberadaannya seperti ketiadaannya. Jika longgar[11],
maka boleh. Yang lebih sempurna dan lebih menutupi ‘aurat (lagi terhindar dari
perselisihan pendapat), maka ia shalat dengan didobeli kain sarung atau gamis
panjang (model Pakistan, Saudi, atau yang semisalnya).
Asy-Syaafi’iy
rahimahullah berkata :
ويصلى الرجل في السراويل إذا
وارى ما بين السرة والركبة، والإزار أستر وأحب منه .قال وأحب إلى أن لا يصلى إلا
وعلى عاتقه شيء عمامة أو غيرها ولو حبلا يضعه
“Seorang
laki-laki boleh shalat dengan saraawiil apabila dapat menutupi apa-apa
yang terletak antara pusar dan lutut. Dan sarung lebih menutupi dan lebih aku
sukai darinya (saraawiil). Dan aku lebih suka jika ia tidak shalat
kecuali jika di atas pundaknya ada sesuatu berupa ‘imaamah atau yang
lainnya, meskipun hanya seutas tali yang ia letakkan padanya (pundak)” [Al-Umm,
1/89].
Al-Barbahaariy
rahimahullah berkata :
ولا بأس بالصلاة في السراويل
“Tidak
mengapa shalat dengan mengenakan saraawiil” [Syarhus-Sunnah, hal.
61 no. 37].
Asy-Syaikh
Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya tentang hukum memakai celana
pantalon dimana sebagian pemakainya tersingkap sebagian auratnya ketika rukuk
dan sujud dalam shalat. Beliau rahimahullah menjawab :
إذا كان البنطلون - وهو
السراويل - ساتراً ما بين السرة والركبة للرجل، واسعاً غير ضيق صحت فيه الصلاة،
والأفضل أن يكون فوقه قميص يستر ما بين السرة والركبة، وينزل عن ذلك إلى نصف الساق
أو إلى الكعب؛ لأن ذلك أكمل في الستر.
والصلاة في الإزار الساتر
أفضل من الصلاة في السراويل إذا لم يكن فوقها قميص ساتر؛ لأن الإزار أكمل في الستر
من السراويل
“Apabila pantalon –
yaitu saraawiil – dapat menutupi apa-apa yang terdapat antara pusar dan
lutut bagi laki-laki, longgar lagi tidak sempit, maka sah shalatnya. Dan afdlal-nya
agar didobeli qamiish yang menutup antara pusar dan lutut, dan lebih
rendah lagi hingga pertengahan betis atau hingga mata kaki. Hal itu dikarenakan
lebih sempurna dalam menutup aurat. Dan shalat dengan memakai sarung penutup
aurat lebih utama daripada shalat dengan memakai saraawiil bila tanpa
didobeli qamiish sebagai penutup aurat. Karena, sarung lebih sempurna
untuk menutup aurat daripada saraawiil” [sumber : http://www.ibnbaz.org.sa/mat/2480].
Wallaahu
a’lam.
Ini
saja yang dapat dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
[Abul-Jauzaa’
– sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta, 24062012. Banyak mengambil faedah
dari Libaasur-Rajul, Ahkaamuhu wa Dlawaabithuhu fil-Fiqhil-Islaamiy oleh
Naashir bin Muhammad Al-Ghaamidiy dan Mukhtaarul-Ahaadiits wal-Aatsaar
wal-Aqaawiil li-Ba’dli Maa Yata’allaqa bis-Saraawiil oleh Khaalid bin
Muhammad Al-Ghurbaaniy, ditambah beberapa artikel dan fataawaa yang ada di
internet].
[3] Simaak bin Harb adalah perawi yang jujur,
namun berubah hapalannya di kahir usianya. Namun Sufyaan Ats-Tsauriy
meriwayatkan hadits darinya sebelum ia berubah hapalannya [Al-Mukhtalithiin
oleh Al-‘Alaaiy, hal. 49 no. 20, beserta komentar muhaqqiq-nya].
[4] Ridaa’ menurut istilah adalah
sesuatu yang dipakai dari jenis pakaian yang tidak meliputi/mengelilingi tubuh
(ghairu muhiith), yang diletakkan di atas pundak/bahu atau di antara
kedua pundak/bahu [lihat: Fathul-Baariy, 10/277].
Sebagaimana
terdapat dalam riwayat :
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ
سَعْدٍ، عَنْ صَالِحِ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ
الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ يَوْمًا عَلَى بَابِ حُجْرَتِي وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ
فِي الْمَسْجِدِ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ يَسْتُرُنِي
بِرِدَائِهِ، أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d, dari Shaalih, dari Ibnu Syihaab,
ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair : Bahwasannya
‘Aaisyah berkata : “Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pada suatu hari di pintu kamarku, dan orang-orang
Habasyah saat itu sedang bermain-main di masjid. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menutupiku dengan ridaa’-nya ketika aku melihat
permainan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 455].
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي
حَازِمٍ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: " جَاءَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَجِدْ
عَلِيًّا فِي الْبَيْتِ، فَقَالَ: أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ؟ قَالَتْ: كَانَ بَيْنِي
وَبَيْنَهُ شَيْءٌ فَغَاضَبَنِي فَخَرَجَ فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِنْسَانٍ: انْظُرْ أَيْنَ هُوَ،
فَجَاءَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ، فَجَاءَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ قَدْ سَقَطَ
رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ وَأَصَابَهُ تُرَابٌ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُهُ عَنْهُ، وَيَقُولُ: قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ
أَبَا تُرَابٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Haazim, dari Abu Haazim, dari Sahl bin Sa’d,
ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang
ke rumah Faathimah namun tidak mendapatkan ‘Aliy dalam rumah tersebut. Beliau
bertanya : “Dimanakah anak pamanmu ?”. Faathimah menjawab : “Telah
terjadi sesuatu antara aku dengannya, lalu marah kepadaku kemudian ia keluar
dan tidak tidur siang bersamaku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada seseorang : “Carilah, dimanakah ia berada !”.
Lalu orang tersebut datang dan berkata : “Wahai Rasulullah, ia sedang tiduran
di masjid “. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian
mendatanginya, dimana waktu itu ‘Aliy sedang berbaring, dan ridaa’-nya
terjatuh dari sisinya dan terkena tanah. Lalu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam membersihkan tanah tersebut darinya dan berkata : “Bangunlah
Abu Turaab, bangunlah Abu Turaab !” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 441].
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ أَبِي بَكْرٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عَبَّادَ بْنَ تَمِيمٍ يُحَدِّثُ أَبَاهُ عَنْ
عَمِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ، " أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَاسْتَسْقَى فَاسْتَقْبَلَ
الْقِبْلَةَ وَقَلَبَ رِدَاءَهُ، وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Sufyaan, dari ‘Abdullah bin Abi Bakr, bahwasannya ia mendengar
‘Abbaad bin Tamiim menceritakan dari ayahnya, dari pamannya yaitu ‘Abdullah bin
Zaid : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju
tanah lapang untuk memohon hujan (istisqaa’). Lalu beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam menghadap kiblat dan membalikkan ridaa’-nya dan
shalat dua raka’at” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1012].
[5] Pemutlakkan sebagian ulama bahwa pantalon
itu sempit, maka ini kurang tepat, karena kenyataannya pantalon itu ada yang
sempit, ada pula yang leonggar sebagaimana dijelaskan oleh para ulama lainnya.
Sebagian
rekan-rekan pun juga menganggap bahwa celana yang bukan jenis sirwal (saraawiil)
seperti celana yang jamak dipakai oleh orang untuk sekolah, kuliah, ngantor,
dan yang semisalnya; termasuk katagori ‘sempit’ yang tidak boleh dipakai. Saya
pribadi agak bingung dengan batasan ‘sempit’ yang dimaksudkan, karena celana
pantalon itu pun banyak yang mempunyai ukuran yang tidak jauh berbeda dengan
sirwal-sirwal yang lazim dipakai. Hanya saja tidak bertali, serta diberi
kancing dan resliting.
[6] Allah ta’ala berfirman :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid”
[QS. Al-A’raaf : 31].
حَدَّثَنَا أَبِي، ثنا أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ
صَالِحٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ:
" يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ، قَالَ: كَانُوا
يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ الْحَرَامِ عُرَاةٍ بِاللَّيْلِ، فَأَمَرَهُمُ اللَّهُ أَنْ
يَلْبَسُوا ثِيَابَهُمْ وَلا يَتَعَرُّوا "
Telah
menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Abu Shaalih :
Telah menceritakan kepadaku Mu’aawiyyah bin Shaalih, dari ‘Aliy bin Abi
Thalhah, dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid” (QS.
Al-A’raaf : 31); ia berkata : “Dulu mereka (orang Arab Jaahiliyyah) melakukan
thawaf sambil telanjang di malam hari, lalu Allah memerintahkan mereka agar
memakai pakaian mereka dan jangan telanjang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim
no. 8376. Sanad riwayat ini lemah karena keterputusan antara ‘Aliy bin Abi
Thalhah dengan Ibnu ‘Abbaas. Selain itu, Abu Shaalih (namanya : ‘Abdullah bin
Shaalih Al-Juhhaniy) banyak dikritik ulama. Akan tetapi periwayatan dari
perantaraan kitabnya adalah tsabt, dan ia sendiri mempunyai naskah
periwayatan yang besar dari Mu’aawiyyah bin Shaalih. Riwayat ini mempunyai
penguat].
نَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ طَاوُسٍ، فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ:
خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ قَالَ: " الثِّيَابُ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, dari Thaawus (bin Kaisaan)
tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid” (QS. Al-A’raaf : 31); ia
berkata : “(Perhiasan tersebut) adalah pakaian” [Diriwayatkan oleh Sa’iid bin
Manshuur dalam Tafsiir-nya no. 947; sanadnya shahih].
وحَدَّثَنَا أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو
الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا عُثْمَانُ، عَنْ
مُجَاهِدٍ، فِي قَوْلِهِ: خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ. قَالَ:
" مَا وَارَى عَوْرَتَكَ، وَلَوْ عَبَاءَةً "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Thaahir Al-Faqiih, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Asham, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin ‘Aliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin
Muusaa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan, dari Mujaahid
tentang firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid” (QS. Al-A’raaf : 31); ia
berkata : “Apa saja yang dapat menyembunyikan auratmu, meskipun ‘abaa’ah
(sejenis mantel)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Ma’rifah 2/94;
sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ
مِنْهَالٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ،
عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ الْحَارِثِ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا
بِخِمَارٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada
kami Hajjaaj bin Minhaal : Telah menceritakan kepada kami Hammaad, dari
Qataadah, dari Muhammad bin Siiriin, dari Shafiyyah binti Al-Haarits, dari
‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Allah
tidak menerima shalat seorang wanita yang telah haidl, hingga ia mengenakan
khimaar (kerudung)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 641; dishahihkan oleh
Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil no. 196].
Ayat
dan hadits di atas dijadikan dalil oleh jumhur ulama bahwa menutup aurat
termasuk syarat sahnya shalat.
Ibnu
Qudaamah rahimahullah berkata :
سَتْرَ الْعَوْرَةِ عَنْ النَّظَرِ ، بِمَا لَا يَصِفُ الْبَشَرَةَ ،
وَاجِبٌ , وَشَرْطٌ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ . وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ
وَأَصْحَابُ الرَّأْي
“Menutup
‘aurat dari pandangan dengan sesuatu yang tidak menyifatkan kulit adalah wajib,
dan termasuk syarat sahnya shalat. Inilah yang dikatakan Asy-Syaafi’iy dan ashhaabur-ra’yi”
[Al-Mughniy, 1/336].
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata :
ذهب الجمهور إلى أن ستر العورة من شروط الصلاة
“Jumhur
ulama berpendapat bahwa menutup ‘aurat termasuk syarat (sahnya) shalat” [Fathul-Baariy,
1/466].
[7] Istilah di sebagian kalangan ushuuliyyiin
– terutama Syaafi’iyyah – yang maknanya hampir sama dengan makruh.
[8] Yaitu pakaian dalam yang dikenakan di
bawah/di belakang pakaian luar.
[9] Abul-Jauzaa’ berkata : Ada riwayat lain
yang luput dari pengamatan Al-Arna’uth hafidhahullah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْكَرِيمِ، حَدَّثَنَا
حَنْبَلُ بْنُ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ،
عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ كُرَيْبٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ أُسَامَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" أَرْدَفَهُ مِنْ جَمْعٍ " فَذَكَرَهُ، وَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَصِفَ
عُجْمَ عِظَامِهَا.قَالَ: وَإِنَّمَا هُوَ: حَجْم عِظَامِهَا
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil-Kariim : Telah
menceritakan kepada kami Hanbal bin Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami
Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Ibraahiim
bin ‘Uqbah, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Usaamah radliyallaahu ‘anhumaa
: Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memboncengnya
dari sekelompokl orang. Lalu ia menyebutkannya. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku khawatir ia akan menyifatkan
pangkal ekor (‘ujm) tulangnya”. Perawi berkata : Sesungguhnya perkataan
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanyalah : ‘bentuk (hajm)
tulangnya” [Diriwayatkan oleh Al-Hasan bin ‘Abdillah Al-‘Askariy dalam Tashhiifaat
Al-Muhadditsiin hal. 30].
Sanad
hadits ini shahih.
Comments
Alhamdulillah, bagus artikelnya. Jazakallahu khairan.
Btw ustadz, yg gambar di footnote no. 11, celananya longgar tp isbal banget tuh :D
--Tommi--
Assalamu'alaykum warohmatulloh...
Jadzaakallohu khoiron katsiron atas uraiannya Pak Ustadz. Diperusahaan tempat ana bekerja, ada aturan bahwa tidak boleh berpakaian dengan baju dikeluarin (alias baju harus dimasukin). Terkadang terfikir untuk mengeluarin baju (yg tadinya dimasukun) ketika sholat, tapi masih ragu apakah hal tsb lebih baik daripada dimasukin, mengingat bagian baju yang tadinya dimasukin mejadi mengkerut2 dan tidak rapi ketika dikeluarin (menjadi terlihat tidak pas). Mohon sarannya untuk kasus seperti ini. Ketika sholat diluar jam kantor, ana seringnya pake gamis.
Wassalam,
Anonim#100
@Mas Tommi,... itu gambar saya ambil dari model celana yang beredar di negeri Barat. Jadi, jarang yang modelnya gak isbal.
@Anonim#100,.... wa'alaikumus-salaam. Alangkah lebih baik jika antum ke kantor membawa kain sarung yang kemudian antum pakai ketika shalat. Insya Allah tidak menambah berat bawaan di tas antum.
Assalamu'alaikum..., OOT lg ni ust.
wawajadaka daallan fahadaa
[93:7] Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk
kata 'daallan' lbh tepatx diartikan apa..?? bingung ataukah sesat...???
cz diayat yg lain ([1:7])diartikan 'sesat'
mohon jawabanx ust, syukran..!
Jadi kesimpulannya
tentang bantolun (bukan yang sempit); ada tiga pendapat ulama:
- mubah (boleh tanpa ada kemakruhan), dan ini yang dirajihkan ustadz abdulhakim
- makruh, ini yang dirajihkan ustadz yazid;
- haram (karena tasyabbuh), ini yang dirajihkan ustadz2 lulusan yaman.
Begitu, ustadz?
-----
Pertanyaan terkait anonim diatas:
"bantolun yang dipakai kebanyakan kaum muslimin, khususnya waktu kerja (secara umum); tidak dikategorikan "sempit" kan? Karena setahu ana, standar sempit-tidaknya menurut 'urf kita ketika berdiri.
Apakah jawaban ustadz diatas, dikarenakan "lebih disukai" sbgmn pendapat imam syaafi'i? Ataukah karena "makruh" karena dianggap "sempit"?
Jazaakallaahu khairan ustadz
Hukum pantalon itu sama dengan hukum sirwal/saraawiil. Kalau ada orang yang mengatakan bahwa pantalon itu makruh secara mutlak, apalagi sampai pada derajat haram, dimanakah akan diletakkan dalil-dalil kebolehan memakai saraawiil ?.
Ada memang sebagian kalangan yang menganggap bahwa pantalon itu PASTI sempit, dan sirwal itu PASTI lebar/longgar. Dengan hal ini diambillah sikap : pantalon tidak boleh, dan saraawiil boleh. Sebagaimana telah saya sebutkan di atas, ini adalah pandangan keliru.
Tentang sempit dan longgar, di atas sudah saya sertakan visualisasinya. Adalah 'sulit' mendefinisikan longgar jika sekedar perkataan atau kalimat.
tinggal dilihat saja, pakaian yang biasa dikenakan ustadz abdulhakim... beliau pakai baju koko + pantalon... menurut 'urf kita, pantalon yang beliau kenakan itu tidak masuk dalam kategori "sempit", dan pantalon/celana seperti inilah yang menjadi keumuman di indonesia... dikecualikan ada model-model baru, yang bagian bawah tubuh..
maksud ana diatas yaitu adanya ulamaa' dan ustadz, yang memakruhkan pantalon (khusus ketika shalat); beralasan pada posisi sujudnya.
padahal, pantalon; ukuran sempit atau longgar, adalah ketika berdiri bukan sujud.
oleh karenanya, jika standar "lebar/longgar" dibatasi pada footnote no. 11; maka ana kurang setuju. karena PADA UMUM-nya, celana pantalon yang ada di indonesianya tidaklah dikategorikan "sempit"... sehingga sah-sah saja, digunakan diluar shalat, maupun didalam shalat..
wallahu a'lam
Bukan membatasi. Lihat saja tulisan di footnote no. 11 :
" Misalnya sebagai berikut :....."
MasyaAllah.. pembahasan yang bagus sekali ustadz.
Kenapa masih banyak ikhwan2 yang rajin ngaji, ketika shalat hanya mengenakan celana pantalon tanpa menutupinya dengan sarung atau kemeja panjang?
Selonggar apapun celana pantalon, ketika posisi sujud nampak sekali membentuk benjolan-benjolan / alur-alur bagian dalam.
Bukankah yang terbaik adalah menutupinya dengan sempurna ketika kita sedang menghadap sang maha diraja...? tidakkah kalian punya adab wahai ikhwan? disatu sisi kalian perintahkan istri2 kalian untuk berpakaian longgar & bercadar. Namun disisi lain kalian menampakan bentuk aurat dihadapan Alla 'azza wa jalla...??
Baarakallahu Fiikum,
abdul aziz
nah maksud ana seperti kayak akh abdul 'aziiz ini...
sampai-sampai berkata:
yaa 'abdal 'aziiz... jikalau antum MENGHARAMKAN bantolun, bagaimana antum menyikapi NABI shallallahu 'alayhi wa sallam YANG TIDAK MELARANG shahabat yang memakai SIRWAL (yang ini SAMA/SERUPA dengan bantolun)!?
seandainya itu HARAM, pastilah DILARANG nabi. tapi nabi tidak melarangnya? sedangkan nampak dari sikap antum seakan-akan melarang... tapi nabi tidak melarang!?
yang paling tahu tentang adab dihadapan Allah dan rukhshah itu antum apa nabi? jika nabi memberikan rukhshah, mengapa antum tidak?
antum udah baca artikel diatas belom? coba baca lagi tuh footenotenya:
"Sebagian rekan-rekan pun juga menganggap bahwa celana yang bukan jenis sirwal (saraawiil) seperti celana yang jamak dipakai oleh orang untuk sekolah, kuliah, ngantor, dan yang semisalnya; termasuk katagori ‘sempit’ yang tidak boleh dipakai. Saya pribadi agak bingung dengan batasan ‘sempit’ yang dimaksudkan, karena celana pantalon itu pun banyak yang mempunyai ukuran yang tidak jauh berbeda dengan sirwal-sirwal yang lazim dipakai. Hanya saja tidak bertali, serta diberi kancing dan resliting."
semoga diberi pemahaman dan kelapangan hati..
ishbir yaa akhiy ibn abdillah.
Mohon antum fahami lebih teliti tulisan saya diatas.
Yang saya pertanyakan sekarang adalah pemakaian pantalon tanpa penutup "KETIKA SHALAT" sedangkan diluar shalat, nanti ada pembahasan lain.
syukron,
abdul aziz
Kalau dari artikel di atas :
"Kembali pada masalah pantalon. Seseorang yang shalat dengan memakai pantalon yang dapat menutupi ‘auratnya sehingga warna kulitnya tidak terlihat, sah shalatnya. Jika pantalonnya sempit hingga dapat membentuk anggota badannya, maka makruh. Bahkan jika terlalu sempit, saya khawatir itu masuk dalam hukum : keberadaannya seperti ketiadaannya. Jika longgar, maka boleh. Yang lebih sempurna dan lebih menutupi ‘aurat (lagi terhindar dari perselisihan pendapat), maka ia shalat dengan didobeli kain sarung atau gamis panjang (model Pakistan, Saudi, atau yang semisalnya)" [selesai].
Silakan cermatii kondisi yang saya bold di atas.
Nah, dari ilustrasi yg anda berikan, yang antum sebut longgar itu cuma longgar bagian bawahnya ( paha kebawah) sedangkan bagian pinggang & ( maaf) pantat enggak kan?
Ketika posisi sujud, yang paling mengalami streching adalah bagian belakang pantat sampai keselangkangan. sedangkan paha kebawah tidak.
silahkan perhatikan orang yang lagi sujud didepan antum dengan hanya memakai celana pantalon tanpa tutup. akan tersifatkan dengan jelas bentuk pinggiran celana dalam bahkan kadang apa yg didalamnya. Apakah hak itu sudah dikatakan sempurna tertutup?
abdul aziz
Kalau Anda baca dengan seksama penjelasan para ulama madzhab di atas, saya kira pertanyaan Anda sudah terjawab. Kalau posisi sujud, ini adalah satu hal yang tidak terhindari pantat atau pinggang akan terbentuk.
Saya pribadi sudah sering mendengar alasan serupa. Sekarang saya tanya saja sama Anda :
Dalam hadits jelas sekali dikatakan kebolehan shalat memakai saraawiil. Para ulama pun tidak sedikit yang mengatakan kebolehannya. Nah, sekarang, ilustrasikan kepada saya, saraawiil apa yang boleh dipakai dalam shalat ? Bagaimana ukurannya. Di atas sudah saya sebutkan model saraawiil dalam desertasi Dr. Naashir bin Muhammad Al-Ghaamidiy. Apakah seperti itu juga tidak boleh atau bagaimana ?. Mohon penjelasannya, sehingga kita tidak banyak beretorika pada kata longgar dan sempit tanpa mampu memberikan gambarannya.
'Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu 'anhu :
صَلَّى رَجُلٌ فِي إِزَارٍ وَرِدَاءٍ، فِي إِزَارٍ وَقَمِيصٍ، فِي إِزَارٍ وَقَبَاءٍ، فِي سَرَاوِيلَ وَرِدَاءٍ فِي سَرَاوِيلَ وَقَمِيصٍ، فِي سَرَاوِيلَ وَقَبَاءٍ، فِي تُبَّانٍ وَقَبَاءٍ، فِي تُبَّانٍ وَقَمِيصٍ
"Seseorang bisa shalat dengan memakai sarung dan ridaa’, sarung dan qamiish, sarung dan qubaa’ (pakaian luar), saraawiil dan ridaa’, saraawiil dan qamiish, saraawiil dan qubaa’, atau celana pendek dan qamiish” [selesai].
Jenis-jenis pakaian di atas jika dipakai bersama saraawiil dalam shalat, maka 'kekhawatiran' Anda di atas pun bisa terjadi. Dan ingat akh, jaman dahulu itu keadaannya sulit daripada jaman sekarang untuk mendapatkan pakaian. Ada beberapa shahabat yang hanya punya satu atau dua helai pakaian.
NB : Kalau Anda bicara tentang afdlaliyyah, maka ini tidak salah, karena di atas pun telah ditegaskan.
Sedikit tambahan saja :
Perhatikan perkataan Asy-Syaafi'iy di atas. Maka itu terbangun dari hadits :
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ
"Janganlah salah seorang di antara kalian shalat hanya dengan satu pakaian tanpa ada sesuatu yang menutup pundaknya" [shahih].
Seandainya seseorang memakai saraawiil dan di atas pundaknya terdapat kain penutup, maka boleh.
Wallaahu a'lam.
di sini perlu diperjelas, di sebut longgar itu dengan ukuran lebar berapa ?
taruhlah pake sirwal, toh kalo kita duduk, jongkok, sujud, ruku, tetap saja keliatan 'ketat' ( kain nempel ke kulit.
oh iya ustadz, saya mau tanya, selama ini saya perhatikan banyak ikhwan yang sholat pakai baju lengan pendek, tapi lengannya melebihi / mencapai siku.
Apakah lengan atas tangan itu termasuk aurat dalam sholat ? atau hanya adab ?
Terimakasih untuk tambahan faedahnya, hanya saja yang saya fahami dari penjelasan para ulama: diperbolehkan mengenakan saraawil baik yang ketat maupun longgar hanya apabila disertai dengan memakai penutup baik itu berupa baju panjang ataupun ridaa' panjang.
syukron,
abdul aziz
Perkataan Anda : "hanya apabila disertai dengan memakai penutup baik itu berupa baju panjang ataupun ridaa' panjang" adalah keliru.
Pakaian semacam ridaa', qubaa', dan yang lainnya itu tidak melazimkan merupakan pakaian panjang hingga selutut atau di bawah lutut. Coba Anda kembalikan pada definisinya.
Baarakallaahu fiikum.
mohon maaf, leetak kekeliruannya dimana ya? bukanya rida' itu = " cloak ", coba antum cari di google pic dg keyword tsb.
syukron,
abdul aziz
setau saya, Rida' itu modelnya semacam Kain Kafiyeh yang dipakainya cuma sekitar kepala dan bahu saja tidaksampai ke lutut/dibawah lutut.
mungkin ada yang memiliki informasi lain mengenai Rida', silahkan dibagikan.
Salahnya adalah adanya pembatasan dalam perkataan Anda :
"yang saya fahami dari penjelasan para ulama: diperbolehkan mengenakan saraawil baik yang ketat maupun longgar hanya apabila disertai dengan memakai penutup baik itu berupa baju panjang ataupun ridaa' panjang" [selesai].
Ulama siapa ?. Apakah semua ulama ? atau sebagian ulama ?. Di atas sudah saya sebutkan loh diantara perkataan ulamanya. Saya lihat, masih terbaca jelas perkataannya, dan belum terhapus.
Itu pertama.
Kedua tentang mahallun-nizaa' nya dalam bahasan ini bukan memakai dobelan kain panjang seperti perkataan Anda. Seandainya seseorang memakai saraawiil sempit, lalu memakai sarung; ya ini sudah keluar dari bahasan. Yang dihukumi adalah sarungnya, bukan saraawiilnya, karena saraawiil-nya tidak terlihat. Makanya, kalau Anda pakai kemeja biasa, celana dalam (maaf), dan sarung; maka ini boleh, karena yang dihukumi bukan lagi celana dalamnya, tapi sarungnya. Semoga Anda paham yang saya maksudkan.
Ketiga,.....
Di atas telah saya sebutkan definisi yang adalah dalam An-Nihaayah 2/217. Jadi ridaa' itu memang seperti cloak yang ada di google, tapi tidak mesti harus seperti itu. Itu kain yang letaknya di belakang punggung yang kemudian ditaruh atau disampirkan di kedua pundak.
Tentang qubaa'. Maka ia adalah jenis pakaian yang agak sempit atau ngepas ukuran lengan bajunya, yang cari makainya dari belakang (belah di bagian belakang) yang dipakai oleh laki-laki di atas bajunga (tsiyaab) saat safar atau peperangan, karena memudahkan dalam gerak.
Hadits :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُصَلِّيَ فِي لِحَافٍ لَا يَتَوَشَّحُ بِهِ وَالْآخَرُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي سَرَاوِيلَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ رِدَاءٌ
"Dan beliau juga melarang engkau shalat dengan saraawiil tanpa mengenakan ridaa’” [selesai].
Maka Ibnu Hajar mengatakan bahwa penafikkan dalam hadits ini adalah penafikkan kesempurnaannya (نفي الكمال) [Fathul-Baariy, 9/208]. Jadi maksudnya, jika pun ada seseorang shalat hanya mengenakan saraawiil saja tanpa memakai baju apa-apa (baca : telanjang dada), maka sah, tidak batal.
Adapun Al-'Ainiy berkata :
فالظاهر أنه إذا كان قصيرا لا يَسْتر عورته، فأما إذا كان طويلاً وصلى فيه بدون الرداء، فصلاته جائزة ، إلا أنها تكره، ومن هذا كره بعضُ أصحابنا الصلاة في السراويل وَحْدها
"Bahwasannya yang dhahir (dalam larangan tersebut) apabila saraawiilnya itu pendek sehingga tidak bisa menutup auratnya. Namun apabila saraawiilnya itu panjang lalu ia shalat tanpa menggunakan ridaa' (baca : shalat dengan saraawiil saja, sedangkan perut ke atas terbuka tanpa menggunakan baju), maka shalatnya sah. Namun hal tersebut makruh. Dan dari sinilah sebagian shahabat kami meakruhkan shalat hanya mengenakan saraawiil saja" [Syarh Sunan Abi Daawud, 3/167].
Jadi, maksud dari hadits itu adalah larangan shalat jika menggunakan saraawiil saja dengan kondisi badan atas terbuka (telanjang dada). Ini ada kaitannya dengan hadits yang saya sebutkan sebelumnya :
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ
"Janganlah salah seorang di antara kalian shalat hanya dengan satu pakaian tanpa ada sesuatu yang menutup pundaknya" [shahih].
Para fuqahaa' telah menjelaskan perbedaan antara aurat dalam shalat dan aurat dalam pandangan. Aurat dalam shalat itu lebih dari sekedar menutup antara pusar dan lutut. Oleh karena itu, para fuqahaa membahas masalah menutup kedua pundak. Dan seterusnya... (agak panjang jika didetilkan).
Nah,... yang jadi permasalahan di sini bukan itu. Yang dibahas adalah orang yang shalat memakai baju (misal : baju koko atau kemeja/hem) dan kemudian memakai saraawiil di bagian bawahnya.
Jika demikian, maka permasalahannya bukan sekedar mengenakan dobelan ataukah tidak, karena hakekatnya seseorang yang shalat dengan mengenakan kemeja dan saraawiil itu tidak shalat dengan satu baju, tapi dua baju. Sehingga,.... kita lebih membicarakan pada sempit atau tidak sempit (longgar) pakaian itu, yaitu : saraawiil.
Sebagaimana telah dijelaskan ulama kita, jika saraawiilnya lebar/longgar, maka boleh. Jika sempit, maka makruh.
wallaahu a'lam.
Alhamdulillah banyak ilmu yang saya dapat dari penjelasan antum, tapi yang saya maksud bukan itu akhil fadhil.
Yang saya maksud diatas, apakah benar pakaian bagian atas yang dimaksudkan para ulama ( baik itu ridaa', qubaa', atau selainnya) tersebut panjangnya kurang, sama, ataukah lebih panjang dari kemeja yang lazimnya saudar-saudara kita di tanah air ini? sehingga otomatis berfungsi sebagai penutup/dobelan.
Smoga antum berkenan menhadirkan dengan lebih rinci definisi syukur-syukur beserta ilustrasinya.
Baarakallahu Fiik.
Sebenarnya apa yang sedikit saya tuliskan di atas sudah bisa menjawab. Makna hadits janganlah kamu shalat kecuali dengan mengenakan ridaa', maka itu adalah penafikkan kesempurnaan. Artinya, jika ada orang yang shalat dengan telanjang dada, maka sah shalatnya. Kenapa ? Karena telah ada sesuatu yang menutupi aurat antara pusar dan lututnya. Terkait hadits : "Janganlah salah seorang di antara kalian shalat hanya dengan satu pakaian tanpa ada sesuatu yang menutup pundaknya". Maka madzhab Hanaabilah berpendapat menutup pundak itu wajib. Sedangkan jumhur hanya mengatakan sunnah saja.
Itulah yang dipahami oleh Asy-Syaafi'iy ketika beliau mengatakan hendaknya ia meletakkan sesuatu di kedua pundaknya, meskipun itu berupa selendang imamah atau yang semisalnya.
Maka, ridaa', qubaa', qamiish, dan yang lainnya adalah jenis-jenis pakaian yang dipakai bersamaan dengan saraawiil. Selain dikenakan dengan maksud agar menutupi aurat dengan lebih sempurna, juga untuk melaksanakan perintah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam shalat dengan menutup pundak dan shalat dengan dua kain.
Shalat dengan dua kain ini hukumnya sunnah saja, sebab beliau sendiri pernah shalat hanya dengan satu kain. Oleh karena itu beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعاً فَالْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقاً فَأتَّزِرْ بِهِ
“Jika kainnya longgar/lebar maka gunakanlah seperti selimut. Namun jika kainnya sempit maka gunakanlah sebagai sarung”.
Ini adalah keadaan seseorang yang shalat dengan satu kain.
Lantas bagaimana halnya dengan orang yang telah mengenakan baju atasan dan saraawiil ?. Sebagaimana telah saya katakan di atas, ia telah mengenakan dua kain. Hanya saja kemudian yang menjadi bahasan : "Apakah saraawiilnya tadi cukup menutupi aurat ketika shalat ?".
Hukum asal saraawiil adalah pakaian yang dapat menutupi aurat. Jika ia merupakan jenis pakaian yang tidak dapat menutupi aurat, tentu akan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam larang. Ia tidak boleh dipakai di dalam shalat ataupun di luar shalat. Aktifitas di luar shalat pun sangat rentan dengan pergerakan yang 'rentan' menampakkan aurat sebagaimana persepsi Anda. Namun sebagaimana yang Anda ketahui, saraawiil itu lazim dipakai oleh salaf. Jadi,... sekali lagi, saraawiil itu adalah jenis pakaian yang dapat menutupi aurat. Tentu saja, saraawiil yang lebar.
Jika kita sepakat bahwa saraawiil adalah jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, maka pada asalnya ia bisa dipakai untuk shalat. Itu bisa kita ketahui tentang penjelasan para ulama kita tentang keabsahan orang yang shalat hanya dengan mengenakan saraawiil saja. Hanya saja ia makruh dari sisi ia tidak melaksanakan kesempurnaan. Dan ingat akh,.... menutup aurat itu adalah syarat sahnya shalat menurut jumhur ulama.
Maka, di atas telah saya nukil fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah yang pernah ditanya tentang hukum memakai celana pantalon dimana sebagian pemakainya tersingkap sebagian auratnya ketika rukuk dan sujud dalam shalat. Beliau rahimahullah menjawab :
إذا كان البنطلون - وهو السراويل - ساتراً ما بين السرة والركبة للرجل، واسعاً غير ضيق صحت فيه الصلاة، والأفضل أن يكون فوقه قميص يستر ما بين السرة والركبة، وينزل عن ذلك إلى نصف الساق أو إلى الكعب؛ لأن ذلك أكمل في الستر.
والصلاة في الإزار الساتر أفضل من الصلاة في السراويل إذا لم يكن فوقها قميص ساتر؛ لأن الإزار أكمل في الستر من السراويل
“Apabila pantalon – yaitu saraawiil – dapat menutupi apa-apa yang terdapat antara pusar dan lutut bagi laki-laki, longgar lagi tidak sempit, maka sah shalatnya. Dan afdlal-nya agar didobeli qamiish yang menutup antara pusar dan lutut, dan lebih rendah lagi hingga pertengahan betis atau hingga mata kaki. Hal itu dikarenakan lebih sempurna dalam menutup aurat. Dan shalat dengan memakai sarung penutup aurat lebih utama daripada shalat dengan memakai saraawiil bila tanpa didobeli qamiish sebagai penutup aurat. Karena, sarung lebih sempurna untuk menutup aurat daripada saraawiil” [sumber : http://www.ibnbaz.org.sa/mat/2480].
Pertanyaan itu tentu saja maksudnya bukan orang yang shalat dengan saraawiil saja dengan bertelanjang dada, tapi terkait dengan fenomena yang lazim ada di sekitar kita (termasuk yang Anda tanyakan). Beliau ketika berbicara untuk dobelan qamish atau sarung yang panjang adalah dalam konteks afdlaliyyah. Bukannya : boleh dan tidak boleh.
Wallaahu a’lam.
Atau jika Anda belum memahami komentar saya di atas, maka perhatikanlah yang berikut :
'Umar radliyallaahu 'anhu berkata :
صَلَّى رَجُلٌ فِي إِزَارٍ وَرِدَاءٍ، فِي إِزَارٍ وَقَمِيصٍ، فِي إِزَارٍ وَقَبَاءٍ، فِي سَرَاوِيلَ وَرِدَاءٍ فِي سَرَاوِيلَ وَقَمِيصٍ، فِي سَرَاوِيلَ وَقَبَاءٍ، فِي تُبَّانٍ وَقَبَاءٍ، فِي تُبَّانٍ وَقَمِيصٍ
"Seseorang bisa shalat dengan memakai sarung dan ridaa’, sarung dan qamiish, sarung dan qubaa’ (pakaian luar), saraawiil dan ridaa’, saraawiil dan qamiish, saraawiil dan qubaa’, atau celana pendek dan qamiish" [selesai].
Dhahir perkataan 'Umar menyebutkan pasangan pakaian yang dipakai seseorang untuk shalat sebagai berikut :
1. sarung dan ridaa’.
2. sarung dan qamiish,
3. sarung dan qubaa’ (pakaian luar).
4. saraawiil dan ridaa’,
5. saraawiil dan qamiish,
6. saraawiil dan qubaa’, atau
7. celana pendek dan qamiish
Pasangan-pasangan pakaian ini hukumnya setara (equal).
Sekarang saya tanya pada Anda :
"Bolehkah jika Anda shalat dengan memakai kopiah, kemeja/hem/baju koko, dan sarung ?".
Jika Anda menjawab boleh (dan saya hampir yakin Anda akan menjawab hal itu); mencocoki pakaian yang manakah kemeja/hem yang Anda pakai dengan pasangan sarung yang disebutkan 'Umar ?. Ridaa', qubaa', atau qamiish ?.
Jawaban Anda terkait dengan pasangan saraawiil yang disebutkan 'Umar : Ridaa', qubaa', atau qamiish.
Dan ingat, Anda sebelumnya mengatakan bahwa : tidak boleh mengenakan saraawiil kecuali dengan kain pelapis yang panjang (selutut atau lebih).
Kembali ke pertanyaan saya sebelumnya. Jika Anda mengatakan kebolehan shalat memakai sarung dan kemeja berdasarkan keumuman memakai ridaa', qubaa', dan qamiish sebagai pasangan kain sarung; maka konsekuensinya alasan ini tidak mempertimbangkan panjang pendeknya kain pelapis sarung. Akan tetapi mempertimbangkan : tertutup tidaknya 'aurat dan pelaksanaan shalat dengan 2 kain.
Jika memang ini alasan yang Anda sepakati; sama halnya dengan saraawiil. Seseorang shalat dengan memakai saraawiil dengan ridaa', qubaa', atau qamiish; pada asalnya tidak fokus mempertimbangkan panjang pendeknya kain pelapis itu. Selutut atau lebih, seperti kata Anda. Akan tetapi pertimbangannya sama dengan sebelumnya, yaitu : menutupi 'aurat dan pelaksanaan shalat dengan dua kain.
Dan beberapa ulama telah menjelaskan bahwa shalatnya seseorang dengan saraawiil yang lebar (dengan memakai kemeja atasan tentu saja) adalah boleh.
Semoga Anda memahami yang ini.
Kalau sarung memang tidak syak lagi lebih sempurna menutup apa yang ada diantara paha dan pantat. Karena sarung sangat berbeda denga saraawil yakni tidak memiliki belahan. kita sepakat & tidak mempermasalahkanya.
Dari penjelasan anda juga menegaskan bahwa mengenakan satu pakaian hanya boleh dilakukan dalam keadaan yang mendesak atau terpaksa. Bagaimana dengan ikhwan-ikhwan yang saat ini menjadikanya sebagai kebiasaan tanpa berusaha menghindarinya.
Ketika sholat seorang muslim seharusnya amat jauh dari keadaan bermaksiat kepada RabbNya, namun bagi mereka yang menggunakan saraawil akan terlihat kedua belahan pantatnya terbentuk, bahkan dapat membentuk apa yang ada di antara kedua pantatnya tersebut. Bagaimana mungkin orang yang dalam keadaannya semacam ini dikatakan sholat dan berdiri di hadapan Rabbul 'Alamin?!
Lalu bagaimana pula dengan Al Hafizh Ibnu Hajar yang meceritakan sebuah riwayat dari Asyhab tentang seseorang yang sholat hanya dengan menggunakan celana panjang (tanpa ditutupi sarung atau jubah atau gamis), beliau berkata, “Hendaknya ia mengulangi sholatnya ketika itu juga kecuali bila celananya tebal. ” Sedangkan sebagian ulama Hanafiyah memakruhkan hal itu. Padahal saat itu keadaan celana panjang mereka sangat longgar & berbeda dengan "pantalon longgar" yang anda ilustrasikan.
Syukron akh.
Tidak ada tambahan esensial sebenarnya. Jika itu memang pemahaman Anda, silakan saja. Dan kembali, Anda mengulangi 'kekeliruan' yang semisal :
"Dari penjelasan anda juga menegaskan bahwa mengenakan satu pakaian hanya boleh dilakukan dalam keadaan yang mendesak atau terpaksa. Bagaimana dengan ikhwan-ikhwan yang saat ini menjadikanya sebagai kebiasaan tanpa berusaha menghindarinya" [selesai].
Anda paham tidak mengenai shalat dengan satu kain ?. Memangnya rekan-rekan yang tidak sepakat dengan Anda itu telah shalat dengan menggunakan satu kain dan membiasakannya ?.
Mengenai nukilan Ibnu Hajar dari Asyhab, begini teksnya :
وعن أشهب فيمن اقتصر على الصلاة في السراويل مع القدرة : يعيد في الوقت ، إلا إن كان صفيقا . وعن بعض الحنفية يكره
"Dari Asyhab tentang orang yang shalat yang hanya mengenakan saraawiil, padahal ia mampu (untuk mengenakan baju tambahan) : maka ia mengulang shalatnya pada waktu itu, kecuali jika celana itu tebal. Dan dari sebagian ulama madzhab Hanafiyyah, maka mereka memakruhkannya" [lihat selengkapnya di : sini).
Jadi, konteks yang dibicarakan Asyhab itu adalah sebagaimana yang telah saya singgung di atas. Yaitu orang yang shalat dengan hanya menggunakan saraawiil saja tanpa baju atasan atau baju dobelan atau bertelanjang dada. Inilah yang dimaksudkan. Dan konteks mengulang shalat itu karena tipis sehingga terlihat auratnya. Oleh karena itu, Asyhab mengecualikannya jika saraawiil itu tebal, maka orang itu tidak perlu mengulang shalatnya.
Saya kira jelas kok duduk permasalahannya.
Benar sekali akhiy, Perbedaan pemahaman kita sangat jelas.
Saya sebenarnya sangat menghargai pendapat anda, namun karena permintaan saya untuk anda berikan bukti bahwa apapun bentuknya pakaian atas yang dimaksud para ulama ukuran kepanjanganya serupa dengan kemeja yang lazim dipakai di indonesia tidak anda penuhi,
maka ijinkan saya berbeda pendapat dengan anda dan tetap menganggap penampilan pakaian seperti itu bila dikenakan ketika shalat adalah sebuah akhlaq yang buruk terlebih bagi bagi ikhwan-ikhwan yang sudah banyak belajar tentang adab & akhlaq.
Baarakallahu Fiik
---Abdul Aziz---
Saya hanya bisa mengembalikan masing-masing istilah pada definisinya. Misal, di atas Anda menggambarkan (dan bahkan mungkin membatasi) makna ridaa' dengan 'cloak'. Referensinya : Google, dengan keyword : cloak. Istidlaal semacam ini saja sudah lemah. Kembalikan pada definisinya. Juga tentang masalah qubaa'. Dalam desertasi Dr. Naashir bin Muhammad Al-Ghaamidiy disebutkan definisi sebagaimana telah saya tuliskan.
Maaf jika saya katakan bahwa pendalilan Anda untuk berkukuh 'harus didobeli baju panjang' adalah lemah lagi kurang. Anda tidak memahami berdasarkan riwayat dan fiqh yang dijelaskan para ulama kita. Khususnya dalam hal pendefinisian larangan shalat dengan satu kain. Terlihat dalam komentar Anda.
Satu hal yang Anda tidak bisa kasih
clue adalah : Ketika Anda mengatakan 'mesti pake dobelan kain panjang selutut'; yang kemudian saya tanyakan tentang hukum orang shalat dengan memakai kain sarung dan kemeja, Anda malah menanggapi di luar esensi :
Kalau sarung memang tidak syak lagi lebih sempurna menutup apa yang ada diantara paha dan pantat. Karena sarung sangat berbeda denga saraawil yakni tidak memiliki belahan. kita sepakat & tidak mempermasalahkanya.
Bukan itu yang saya tanyakan. Yang saya tanyakan adalah mengenai baju atasannya atau dobelannya. Inilah yang Anda permasalahkan dan sekaligus pertanyakan.
Ketika Anda mengatakan boleh memakai sarung dan kemeja, apa dalilnya ?. Dan mengapa ketika Anda membolehkannya, Anda melarang memakai kemeja dan saraawiil (yang longgar) ?. Apa perbedaannya ?.
Kalau Anda mengatakan bahwa saraawiil adalah pakaian yang tidak cukup menutup 'aurat dalam shalat; maka inilah 'illat hukum yang saya maksudkan. Jadi bukan mempermasalahkan panjang pendek kain dobelannya. Pahamkah ?.
Jika memang ini menjadi alasan Anda, saya ingatkan bahwa 'Umar menganjurkan shalat denganb mengenakan sarung dan ridaa' atau saraawiil dan ridaa'. Menurut Anda, dapatkan dikatakan bahwa sarung dan saraawiil itu equal dalam kebolehan memakainya dalam shalat ?.
Dan satu lagi,.... jika Anda mengatakan bahwa saraawiil (meskipun longgar) itu adalah pakaian yang tidak cukup menutupi aurat dalam shalat (yaitu pantat dan selangkangan khususnya); maka logikanya Anda seharusnya tidak memperbolehkan memakainya di luar shalat. Segala sesuatu yang bisa menampakkan aurat antara pusar dan lutut itu tidak boleh dipakai. Konsekuensinya, Anda kemana-mana mesti pake gamis panjang atau sarung. Itu kalau Anda mau konsisten. Jika Anda membedakannya, apa dalil atau alasannya ?.
Oleh karena itu di sini saya cenderung pada ulama yang membolehkan shalat dengan memakai saraawiil yang longgar, karena itu sudah cukup menutupi 'aurat. Kalau kata Anda bahwa saraawiil itu menyifati belahan paha/kaki, ya karena memang itulah model atau karakteristik saraawiil sejak jaman dulu kala. Karena itu adalah lubang untuk masuk kaki. Kalau pakaian yang tidak menyifati belahan paha, maka itu namanya sarung. Tapi Anda dapat lihat sendiri bahwa saraawiil ini dipakai oleh salaf kita. Jika memang saraawiil tidak cukup menutupi 'aurat, niscaya mereka akan meninggalkan memakainya, mendahului kita. Lau kaana khairan lasabaquuna ilaihi.
Saya hargai pendapat Anda meskipun dengan label tidak beradab sekalipun terhadap orang yang berseberangan dengan Anda. Dan meski mereka mengamalkan kebolehan itu berdasarkan fatwa ulama.....
Sebagai tambahan mengenai fatwa para ulama mu'aashiriin (kontemporer) mengenai hal ini yang membolehkan shalat dengan memakai saraawiil yang lebar/longgar :
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya :
هل يجوز للرجل أن يصلي داخل بيته في سراويل وفنيلةٍ مغطيتان للعورة، أم يلزمه لبس ثيابه والتجمل مع الغترة ونحوها؟
"Apakah diperbolehkan bagi laki-laki untuk shalat di dalam rumahnya dengan mengenakan saraawiil dan kaos yang menutupi aurat ? Ataukah ia harus memakai pakaian (tsiyaab) dan berhias dengan ghutrah atau yang semisalnya ?".
Beliau rahimahullah menjawab :
الصلاة في السراويل وفي الفنيلة الساترة للمنكبين صحيحة، ولا بأس إذا كانت السراويل ساترة للعورة والفنيلة ساترة للمنكبين فكل هذا لا حرج فيه، لقول النبي -صلى الله عليه وسلم-: (لا يصلي أحدكم في الثوب ليس على عاتقه منه شيء)، فإذا كان على العاتق أو العاتقين شيء كفنيلة فالحمد لله. ولكن كونه يتجمل ويلبس قميصه وعمامته يكون أفضل، لقوله -سبحانه-: يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ[الأعراف: 31] وبأخذ الزينة المعتادة ويصلي مع الناس بالملابس الحسنة كل هذا أفضل، ولكن إذا صلى في إزار ورداء أو صلى في قميص ورداء أو قميص وفنيلة ساترة للمنكبين فلا بأس بذلك ولا حرج، فالصلاة صحيحة. بارك الله فيكم
"Shalat dengan mengenakan saraawiil dan kaos yang menutup kedua pundak adalah sah. Tidak mengapa jika saraawiil dapat menutupi 'aurat dan kaos menutupi kedua pundak. Tidak apa-apa padanya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam : 'Janganlah salah seorang di antara kalian shalat hanya dengan satu pakaian tanpa ada sesuatu yang menutup pundaknya'. Apabila di atas pundaknya atau kedua pundaknya sesuatu seperti kaos, maka alhamdulilah. Akan tetapi hendaknya ia berhias dan memakai qamiish dan 'imaamah, sehingga afdlal. Hal itu berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta'ala : 'Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid' (QS. Al-A’raaf : 31). Hendaknya ia memakai perhiasan yang biasa dipakai dan shalat bersama manusia dengan pakaian yang bagus. Semuanya ini afdlal. Akan tetapi, apabila ia shalat dengan sarung dan ridaa', atau ia shalat dengan qamiish dan ridaa', atau qamiish dan kaos yang menutupi kedua pundaknya, maka tidak mengapa dengan hal itu. Tidak berdosa. Dan shalatnya sah. Baarakallaahu fiikum" [selesai].
Asy-Syaikh Al-Maghrawiy hafidhahullah :
بالنسبة للبس السراويل في الصلاة؛ إذا كانت واسعة ساترة سترا كاملا لا تظهر معه العورة ولا تتحجم فالصلاة جائزة، أما إن كانت السراويل حازقة، أي: ضيقة تتميز معها العورة وتظهر وتتحجم، فلا تجوز الصلاة بها
"Tentang memakai saraawiil ketika shalat, apabila ia longgar menutup dengan sempurna tidak menampakkan aurat dan tidak membentuk tubuh, maka shalatnya (dengan pakaian itu) diperbolehkan (sah). namun bila saraawiil sempit/ketat sehingga menonjolkan, menampakkan, dan membentuk 'aurat, maka tidak boleh shalat dengannya" [selesai - sumber : http://maghrawi.net/?taraf=fatawi&file=displayfatawi&id=60].
Mohon anda jawab pertanyaan saya:
Seorang wanita yang berpakaian ketat memperlihatkan bentuk aurat bukankah disebut sebagai Kasiatun 'Ariyat?
Lalu bagaimanakah dengan laki-laki yang memperlihatkan bentuk aurat besarnya?
Baarakallahu Fiik,
---Abdul Aziz---
Asy-Syaikh 'Abdul-'Aziiz bin 'Abdillah Ar-Raajihiy hafidhahullah :
السؤال: هل تجوز الصلاة بالسراويل الضيقة وما يسمى بالسراويل الجنز وغيرها؟ الجواب: لا ينبغي، فالسراويل الضيقة التي تبين مقاطع الجسد وتؤذي الإنسان عند السجود والركوع وعند الوضوء لا يجوز الصلاة بها, بل ينبغي أن يكون السروال واسعاً فضفاضاً مريحاً للإنسان, والجنز إذا كان فيه تشبه بالكفرة فلا يجوز لبسه، لكن السراويل والبنطلونات الآن لم تعد خاصة بالكفار، فقد صارت عامة، كذلك فإذا كان واسعاً فلا بأس بالصلاة به, وإن كانت الصلاة في الثوب أحسن وأريح. يقول النبي صلى الله عليه وسلم: (من تشبه بقوم فهو منهم).
Pertanyaan :
"Bolehkah shalat dengan mengenakan saraawiil sempit yang sering dinamakan celana jeans dan yang lainnya ?".
Jawab :
"Tidak boleh. saraawiil sempit yang menjelaskan/menampakkan anggota tubuh dan menyulitkan seseorang ketika sujud, rukuk, dan berwudlu; tidak diperbolehkan shalat dengannya. Namun hendaknya ia memakai sirwaal yang longgar dan nyaman bagi seseorang. Dan celana jeans, apabila padanya terdapat tasyabbuh terhadap orang kafir, maka tidak boleh memakainya. Namun saraawiil dan pantalon yang ada sekarang ini bukan merupakan kekhususan bagi orang kafir. Ia telah menjadi pakaian yang umum dipakai oleh semua orang. Oleh karena itu, apabila pakain tersebut (saraawiil dan pantalon) longgar, maka tidak mengapa shalat dengannya. Dan apabila ia shalat dengan memakai tsaub (pakain panjang/jubah), maka hal itu lebih baik dan lebih nyaman. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk golongannya" [selesai - lihat : http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=190038].
"Mohon anda jawab pertanyaan saya:
Seorang wanita yang berpakaian ketat memperlihatkan bentuk aurat bukankah disebut sebagai Kasiatun 'Ariyat?
Lalu bagaimanakah dengan laki-laki yang memperlihatkan bentuk aurat besarnya?
Baarakallahu Fiik,
---Abdul Aziz---" [selesai].
Pertanyaan Anda itu sudah tidak relevan dan kehilangan konteks. Kalau dikatakan meperlihatkan aurat, tentu saja tidak diperbolehkan.
Yang jadi bahasan adalah : Apakah saraawiil yang lebar itu telah menutupi aurat ataukah belum ?. Bilang saja Anda bahwa saraawiil itu belum cukup untuk menutupi 'aurat. Itulah intinya.
Adapun banyak ulama telah menyatakan bahwa saraawiil yang longgar sudah cukup untuk menutup aurat. Mungkin di benak Anda bahwa pakaian yang menutup aurat hanyalah sarung yang sifatnya melingkari tubuh saja. Kalau memang itu fiqh Anda, silakan saja.
kalau begitu, pertanyaan saya kemudian,
apakah benar saraawil yang dimaksud para ulama tersebut sama & serupa dengan celana panjang orang indonesia?
syukron
Kok pertanyaan Anda jadi mengesankan 'berkilah' ya ?. Coba saja cermati pertanyaannya dan jawaban yang diberikan oleh para ulama yang saya sebutkan di atas. Bisa membayangkan ndak Anda ?.
Para ulama memberikan batasan pantalon atau saraawiil yang longgar. Ini boleh dikenakan. Adapun yang sempit, tidak diperbolehkan. Tidak jelaskah dengan batasan fiqh ini ?. Batasan fiqh ini bisa diberlakukan pada celana panjang model apapun di negeri manapun (Indonesia, Argentina, Italia, Ethiopia, dan yang lainnya).
Sekarang saya balik tanya pada Anda : "Saraawiil itu boleh dipakai atau tidak ?".
Loh antum gak perlu terkesan gitu akh, saya sedang berusaha mengikuti & mengerti alur pemikiran antum.
Karena sampai sekarang saya belum bisa antum yakinkan bahwa saraawil yang dibicarakan para ulama tersebut sama persis dengan yang lazim dipakai di negri kita.
Gimana kalau gini saja, jika satu saat nanti ada masyaikh datang ke indonesia, antum tanyakan langsung saraawil versi antum tersebut,yg terpenting harus dengan saraawil yng biasa dipakai kuliah atau kekantor, bukan saraawil & baju yang biasa dipakai untuk mendatangi kajian. perlu juga sambil diperagakan dengan gerakan sujud di depan beliau2.
Gimana akh?
Saya tidak mempunyai tugas dan berkewajiban meyakinkan Anda. Pun dengan orang lain. Kalau memang Anda belum bisa memahami fatwa-fatwa ulama di atas berikut penjelasan fiqhiyyah dalam kitab-kitab fiqh, ya tidak mengapa. Namanya pantalon dan saraawiil itu di 'Arab sama di sini sama saja. Anda kalau ngomong ma orang Arab dengan kata bathaluun, ya mereka itu dah paham. Para masyaikh pun dah paham jika disebutkan pantalon, saraawiil, atau jeans. Cermati pertanyaan dan jawaban dalam fatwa-fatwa di atas dengan pikiran terbuka. Kejernihan pikiran kita seringkali tercemari oleh kecondongan perajihan atau bahkan kefanatikan terhadap satu pendapat tertentu.
Tidak perlu kita sok tahu dengan memperagakan di depan ulama. Itu namanya kurang adab. Ustadz Anda sekalipun kalau bertanya kepada ulama gak akan seperti bayangan pertanyaan Anda. Itu model pertanyaan kalau nanyanya ke teman Anda. Anda pun kalau nanya ke Ustadz Anda, saya sarankan tidak dengan cara seperti itu.
Dalam keseharian bahasa orang Arab, celana panjang yang sering kita kenakan kerja dan kuliah pun seringkali disebut dengan sirwaal. Kalau Anda sudah bisa bahasa 'Arab, insya Allah akan paham. Mudah kok. Dan jika Anda belum bisa bahasa 'Arab, Anda bisa tanyakan ke ustadz yang Anda percayai atau minimal, buka-bukalah kamus bahasa Arab.
Pun toh kalau Anda mau kuliah, kerja, dan aktifitas-aktifitas lain dengan memakai sarung, gamis panjang, atau yang semisalnya, ya monggo saja. That's your bussiness. Saya tidak akan mengingkari atau mencelanya.
Nah kalau antum mempermasalahkan adab pada ulama, kenapa anda membela orang yang kurang beradab ketika menhadap Allah Rabbul izzati?
Saya masih bingung dengan cara pandang antum & ikhwan-ilhwan yang sependapat dengan antum.
Barakallahu Fiikum.
Anonim mengatakan...
Nah kalau antum mempermasalahkan adab pada ulama, kenapa anda membela orang yang kurang beradab ketika menhadap Allah Rabbul izzati?
-----------------------------------
itu karena anda dari awal sudah memberi cap / stigma bahwa orang yg sholat TANPA SIRWAL adalah orang yg kurang adab terhadap Allah...
padahal esensinya bukan di sirwal atau pantalon, tapi apakah aurat sudah cukup tertutup dengan pakaian kita itu, apapun jenisnya.
Kalo dengan sirwal tapi ketat pun, tentu juga akan nampak aurat besar laki2, bukan ?
anonim berkata
1) "Bagaimana mungkin orang yang dalam keadaannya semacam ini DIKATAKAN SHOLAT dan berdiri di hadapan Rabbul 'Alamin?!"
intinya dia berpendapat bahwa shalat nya orang yang menggunakan saraawil dan kemeja yang panjangnya tidak menutupi bagian pantat ke bawah = tidah sah dan harus mengulangi shalatnya.
2) "apakah benar saraawil yang dimaksud para ulama tersebut sama & serupa dengan celana panjang orang indonesia?"
Intinya :
orang ini taklid kepada pendapat ustadz tertentu (dan sudah rahasia umum siapa2 saja kira2 ustadznya). dan ketika tidak ada hujjah lagi akhirnya NGELES.
sebanyak apapun pendapat ulama kibar yang dikemukakan, jika tidak sepaham dengan pemikiran ustadz2 mereka ya ditolak atau minimal ngeles seperti di nomor 2. jadi sebaiknya tidak usah ditanggapi orang seperti ini. karena kewajiban akh abul jauzaa sudah selesai.
Al-Allamah Albany-rahimahullah- berkata, ”Pada celana [pantalon] itu terdapat dua musibah. MusibahPertama, Pemakainya menyerupai orang kafir. Sedangkan orang muslim dahulu mengenakan celana yang lebar dan, longgar. Sebagian orang Suriah dan Lebanon masih mengenakannya. Kaum muslimin tidak mengenal celana [pantalon] ini, kecuali tatkala mereka dijajah. Sehingga tatkala penjajah itu hengkang, mereka meninggalkan perilaku-perilaku yang buruk, dan kaum muslimin pun mengikutinya disebabkan ketololan dan kebodohan mereka. Musibah kedua, Celana [pantalon] ini membentuk aurat, sedangkan aurat laki-laki batasannya adalah dari lutut sampai ke pusar. Padahal orang yang sedang shalat diwajibkan agar keadaaannya jauh dari memaksiati Allah, karena dia sedang sujud kepada-Nya. Maka Anda akan lihat kedua pantatnya terbentuk dengan jelas!? Bahkan, anggota tubuhnya yang ada di antara keduanya [kemaluan-pen.] terbentuk!! Bagaimana bisa orang yang demikian ini melakukan shalat mengahadap Rabb semesta Alam?? Yang sangat mengherankan, mayoritas pemuda-pemuda yang menamakan dirinya remaja muslim, mereka mengingkari wanita-wanita yang berpakaian ketat,karena membentuk tubuhnya. Sementara pemuda ini sendiri lupa dirinya, karena pemuda ini sendiri ternyata terjatuh pada kemungkaran yang dia ingkari itu. Tidak ada perbedaaan antara seorang wanita yang berpakaian ketat dan seorang lelaki yang memakai pantalon, karena keduanya sama-sama membentuk kedua pantatnya. Sedangkan pantat laki-laki dan pantat perempuan adalah aurat, keduanya sama hukumnya. Maka wajib bagi para pemuda untuk mengetahui musibah yang telah menimpa diri-diri mereka sendiri, kecuali orang-orang yang dirahmati Allah dan jumlah mereka ini sedikit sekali. [Lihat Al-Qaul Al-Mubin fi Akhtha’ Al-Mushallin (20-21)]
Fatwa Syaikh Al-Albaaniy di atas sudah saya jadikan bahan loh di artikel ketika membawakan perkataan ulama yang melarang. Coba baca-baca kembali.....
sengaja syaikh. karena ada yang mengomentarinya:
intinya dia berpendapat bahwa shalat nya orang yang menggunakan saraawil dan kemeja yang panjangnya tidak menutupi bagian pantat ke bawah = tidah sah dan harus mengulangi shalatnya.
@ anonim 1 juli.
Isbir yaa anonim ....
anda PASTI belum baca..
kan diatas sudah disebutkan...
Ustadz, kalau kita bicara kesempurnaan pakaian dalam menutup aurat, bukankah lebih bagus,lebih sempurna & lebih utama adalah yang lebih longgar & lebih menutup keseluruhan aurat?
syukron,
Abi syakir.
Benar. Di atas pun telah ditegaskan.
ustadz,
dengan kondisi keumuman masyarakat indonesia seperti sekarang ini, jika ada sebagian ikhwan yang kerja ke kantor SELALU mengenakan baju selutut & peci dengan alasan untuk syiar ditengah kejahilan?
atau malah sebaliknya, termasuk libas syuhroh?
syukron.
Apa maksud 'keumuman masyarakat Indonesia seperti sekarang ini' terkait dengan masalah pakaiannya ?. Jika apa yang antum maksud sama dengan yang saya maksud, maka memakai baju panjang dan peci bukan termasuk hal yang aneh di masyarakat, meski mungkin termasuk jarang.
Tapi kalau memakainya di kantor, perlu kita bertanya : Apakah pakaian resmi kantor itu mengharuskan berpakaian tidak sopan dan tidak sesuai dengan syari'at ?.
Jika tidak, maka sudah selayaknya kita mengikuti keumuman pakaian yang dikenakan di kantor dengan batas-batas atau penyesuaian terhadap syari'at. Mudah kok, karena saya juga melakukannya.
Kecuali, misal, seragam kantor antum atau orang-orang yang ada di kantor antum biasa mengenakan celana pendek dan baju singlet. Maka dalam hal ini, antum mesti mengadakan penyelisihan.
Model baju dan penutup kepala itu adalah masalah 'adat/kebiasaan. Jadi bukan sebagai standar. Yang menjadi standar syari'at adalah menutup aurat.
wallaahu a'lam.
2.
Maaf ustadz.
Kalau lihat film Omar yang notabene dibikin semirip mungkin dengan kondisi waktu itu, kebanyakan para sahabat mengenakan ridaa’ yang menjulur sampai ke bawah, jadi walaupun sempit, insyaallah tidak menjadi masalah. bandingkan dengan kondisi sekarang ini.
Mohon pencerahanya.
Assalamualaikum. wr.wb.
Saudara ku jagan lah kalian saling menghujat, Hanya Allah yang Maha Benar. Janganlah karena kalian berselisih pendapat menjadikan kita sebagai umat Islam menjadi terpecah belah.Jikalau kita hidup di masa Rasulullah tentu kita dapat bertanya langsung kepada Beliau, tetapi kita tidak hidup di Masa Beliau. Kita umat beliau hanya dapat mempelajarinya dari Al-Qur'an dan Hadist. Dirikanlah Shalat 5 waktu dengan berjamaah. dengan hati yang Ikhlas karena Allah, SWT semata.
Syukron ustadz atas penjelasannya, tapi dair yang saya bisa pahami pantalon itu berarti celana panjang non - jeans ya
Saya baru tahu bahwa paling baik kalaupun pakai celana panjang lebih baik ditutup sarung, ini ilmu lagi. Terima kasih
Wassalam
assalamu'alaykum
saya ijin untuk copy artikel tersebut
Posting Komentar